Friday, December 29, 2006

Windfall Profits Tax - Kasus Algeria

Lagi cuti nih, tapi tetap rutin buka buka email, tadi pas cek email, ada email dari nona - orang library, mengenai special report dari Barrows terkait dengan windfall profit tax di Algeria. Nona selalu mengirim email “latest edition”, baik berupa special report, publikasi, paper, etc yang terkait dengan upstream petroleum contract dan petroleum economics.

Rencana Algeria mau mengenakan windfall profit tax sudah banyak dibahas mass media, cuma detail berapa besar tax-nya, apakah fix atau sliding scale belum ketahuan karena masih digodok disana. Kalau rajin mengikuti berita upstream, kita sering dengar gimana menteri pertambangan dan energi: Dr. Chakib Khelil menjelaskan kesana kemari mengenai latar belakang windfall profit tax atau exceptional profit tax ini. Ini salah satu komentarnya: “… It is a tax which has been imposed given the exceptional profits made by the companies which led to the disequilibrium between the interests of the companies and the state. When the companies signed the contracts the price of oil was $15”.

Tax “rezeki nomplok” ini baru akan dikenakan kalau harga minyak diatas $30 per barel (patokannya Brent Crude) dan berlaku untuk kontrak yang telah berjalan. Tentu perusahaan minyak keberatan, tapi seperti Mr. Khelil bilang: ini sovereign decision!. Apa nanti investor akan kabur?, seperti di kita khan, bentar bentar ketakutan diancam investor kabur, untuk kasus Algeria ini, kita lihat saja nanti, pada kabur beneran nggak sich?, kita tunggu aja, sekalian buat bahan pembelajaran.

Menurut undang undang di Algeria, bentuk partnership antara Sonatrach dengan perusahaan asing bisa dalam bentuk: commercial company, joint venture, production sharing contract dan risk service contract. Apapun bentuk partnershipnya, partner-nya Sonatrach (foreign company atau investor) bisa mencapai share produksi per tahun sampai 49%. Perhitungan share produksi investor sendiri sebenarnya cukup ribet, karena ada formula sendiri, yaitu: Pi = K*a – b, dimana K sendiri adalah koefisien yang besarmya kurang dari satu, “a” adalah fungsi dari produksi harian dan “b” fungsi dari V/I dimana “V” itu adalah value dari produksi dan “I” itu investment, mirip dengan rasio revenue over cost.

Nah untuk kasus PSC yang kaya gini, maka windfall profit tax-nya sebagai berikut:

Seperti banyak diulas, windfall profit tax ini selalu mengundang pro kontra, kalau IOC pasti ngeluh, khan harga bukan satu satunya determinan, pas harga minyak naik (selalu) diikuti dengan naiknya biaya biaya. Sebaliknya dari sisi government, tentu punya alasan juga, seperti kasus Algeria ini, mereka bilang, lha ini khan kontrak lama, nggak ada investasi apa apa lagi, kalau investasi baru khan ikut undang undang baru, nggak kena dengan windfall profit tax ini, karena di undang undang baru, hal kaya gini udah masuk. Simak komentar Mr. Khelil: ”'Well, look what is the state getting out of $60/ a barrel. It was getting very good at $15 but at $60 it's getting the same thing. So what is going on?”.

Friday, December 15, 2006

Recommended Book

Hari ini baru terima buku, judulnya: Economic Modeling for Upstream Petroleum Projects - A guide to the strategies and techniques for building project evaluation models. Sebenarnya sudah lama mau pesen buku ini, pertama pesen lewat amazon - gagal alias stok nya habis, entah kapan ada lagi. Belakangan saya browsing di internet, ternyata buku ini bisa dibeli online lewat trafford, enaknya lewat trafford, kalau kita pesen, buku baru dicetak, jadi mereka nggak pakai sistem setok, boleh juga!.


Buku ini bagus, khususnya bagi analis junior atau siapa saja yang tertarik mendalami keekonomian proyek upstream migas. Pembahasan dimulai dengan Bab 1 commercial concepts and petroleum contract, di bab ini diulas: konsep government take, government marginal take, elements of royalty/tax agreement dan juga Production Sharing Contract (PSC). Kemudian dibahas juga mengenai rate of return contract, topics on petroleum taxation, risk and uncertainty dan booking reserves.

Bab 2 membahas petroleum finance and accounting, termasuk capital budgeting, full cylcle and point forward economics, incremental economics, depreciation methods, etc. Bab 3 modeling framework and design, nah yang menariknya di Bab 4 - modeling with microsoft excel, dia kasih contoh gimana nge-run economics pakai excel, sebagian pasti kita (sudah) familiar, cuma banyak juga tips yang dia kasih. Maklum karena biasa nge-run, tentu lama lama (dia) punya trik trik atau teknik teknik yang paling effektif. Di Bab 5, modeling applications, dia kasih contoh aplikasi untuk masing masing model untuk PSC, royalty/tax, service contract, sampai contoh nge-run model PSC yang splitnya pake ROR (atau ROR contract).

Kalau Anda sering nge-run economics oil projects - saya kira ada baiknya beli buku ini (atau suruh kantor yang beli dong), karena soft cover, buku ini relatif nggak mahal, sekitar 28 euro. Kalau pas beli buku gini, biasanya suka kepikiran, kapan bikin buku ya?, beli mulu!. Sebenarnya kepingin juga nulis buat buku, bahan bahan sudah banyak yang dikumpulin, tapi biasalah, penyakit males, kayanya perlu waktu luang yang banyak. Kalau sekarang, waktu luangnya belum banyak he he.

Wednesday, December 13, 2006

Cost Recovery & Model Kontrak Perminyakan

Latar Belakang

Belakangan ini masalah cost recovery sering dilansir oleh mass media dan juga dibahas beberapa mailing list, khususnya pemberitaan mengenai cost recovery yang terus meningkat sementara pada saat yang sama produksi terus menurun. Begitu pula diskusi mengenai pro & kontra dengan sistem PSC.

Cost Recovery

Pertama tama, (sebagaimana kita ketahui) secara alamiah sumur sumur minyak itu akan terus menurun produksinya, sebagian besar lapangan lapangan yang beroperasi di RI saat ini merupakan lapangan yang sudah tua (mature) sehingga produksinya akan terus menurun (declining stage). Pada periode decline ini, perusahaan minyak akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan cadangan/lapangan baru, melakukan optimisasi produksi supaya laju penurunan produksi (decline rate) tidak tambah drop atau “terjun bebas”. Dalam kaitannya dengan fase yang terjadi pada lapangan minyak ini – eksplorasi, pengembangan, produksi (plateau, decline) - ada time lag yang cukup lama antara penemuan baru (dalam Wilayah Kerja yang sudah berproduksi) dengan “put on production”, biaya eksplorasi dapat langsung dibebankan karena dalam satu Wilayah Kerja, sementara “manfaatnya” baru dapat dirasakan beberapa tahun kemudian. Dengan demikian, agak sulit membandingkan industri minyak dengan industri secara umum dalam kaitannya dengan “matching cost and revenue”.

Adanya nature bisnis tersebut perlu dipahami untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif namun bukan untuk men-justifikasi bahwa cost recovery yang tinggi itu “dibolehkan”, justru cost effisiensi harus ditingkatkan pada saat tahapan decline ini. Pengeluaran pengeluaran ataupun proyek proyek yang tidak terkait langsung dengan penambahan cadangan dan atau produksi merupakan sasaran untuk cost reduction. Disinipun kita harus berhati hati, karena pada saat mature stage ini, lapangan lapangan tua tetap perlu maintenance peralatan atau mungkin mengganti fasilitas sarana penunjang karena umurnya sudah tua. Disinilah dilematisnya, apabila tidak dilakukan penggantian atau perbaikan, bisa jadi akan menimbulkan masalah lingkungan yang serius (pencemaran, dsb-nya), sebaliknya apabila dilakukan penggantian, tentu akan menimbulkan tambahan beban cost recovery.

Namun demikian, tentu kita tidak perlu berkecil hati, masih banyak upaya yang bisa dilakukan dalam rangka menekan cost recovery, khusus untuk international oil companies yang cukup banyak menggunakan tenaga asing (TKA), pada saat declining stage ini sebenarnya saat yang tepat untuk melakukan pengurangan TKA secara signifikan. Maksimalkan ahli Indonesia yang saat ini malah berkeliaran di LN, padahal saya yakin dengan fasilitas dan benefit yang sedikit dibawah apa yang diterima expatriate tersebut, banyak “legiun asing” kita yang siap kembali berkiprah di tanah air.

Hal yang perlu juga dipahami bahwa makin tinggi cost recovery, tidak hanya merugikan host country (dalam hal ini RI) tetapi Kontraktor juga tidak diuntungkan. Timbul pertanyaan, siapa yang untung?, jawabnya gampang: oknum, bisa oknum di KKKS, di perusahaan jasa (service company) dan tentu bisa juga oknum dari host country sendiri.

Bagaimana mengontrol biaya, kenapa kok jadi susah?, ditempat lain (negara lain) yang pakai PSC, kok nggak ribut ribut?, menurut pendapat saya, cara yang paling praktikal menekan timbulnya inefisiensi di KKKS itu adalah kerjasama antara host country (dalam hal ini diwakili BP Migas, Ditjen Migas, etc ) dengan KKKS – kenapa harus bekerjasama?, ya seperti saya sebut sebelumnya, dua duanya akan rugi kalau ada “mark-up” cost (sebenarnya saya lebih suka menggunakan istilah “inefisiensi” ketimbang mark-up), dengan bekerjasama, “oknum” tadi dari awal sudah bisa dibaca “akrobatnya”. Inefisiensi tersebut bisa dalam bentuk proyek proyek yang tidak ada nilai tambahnya. Saya kira mencegah mark-up dari awal lebih effektif daripada mengotak ngatik mark-up yang sudah terjadi. Jadi, bantuan dari kolega di KKKS untuk melaporkan kemungkinan proyek mengandung unsur “mark-up” sangat membantu, tentu saja ini harus ditindaklanjut oleh pihak yang berwenang, kalau tidak si pelapor merasa, “ah capek capek aja, nggak ada follow-up nya”.

APAKAH PSC PERLU DIGANTI MODEL YANG LAIN?

Model Kerjasama Kontrak Perminyakan

Belakangan timbul wacana untuk melihat model kontrak lain selain PSC, saya kira ini hal yang positif, ada keinginan untuk membandingkan dengan model kerjasama lain, apa plus minus-nya.

Model kontrak atau kerjasama perminyakan antara host country (HC) dengan oil companies dapat dibagi menjadi tiga jenis: Concession (belakangan lebih popular dengan istilah Royalty/Tax, Production Sharing Contract (PSC), kadang disebut juga Production Sharing Agreement (PSA) dan terakhir Service Contract. Setiap negara tentu punya alasan jenis kontrak mana saja yang akan dipilih, tidak heran kalau suatu negara bisa saja punya lebih dari satu macam model kontrak, malah bisa saja 3 jenis kontrak tersebut tersedia.

Banyak hal yang membedakan model kontrak/kerjasama tersebut, baik aspek legal (transfer of ownership), pengakuan cadangan dan metoda pembagian revenue antara negara dengan perusahaan minyak. Dari segi transfer of ownership, sistem royalty tax yang paling ekstrim, dalam arti kepemilikan minyak tersebut di transfer ke perusahaan minyak, perusahaan timbul kewajiban untuk membayar royalty dan tax. Bagaimana dengan sistem PSC?, pada dasarnya “ownership” (kepemilikan) aset minyak tetap berada di host country, namun demikian, contractor dapat memiliki bagiannya (berupa profit oil dan cost recovery). Perbedaan utamanya adalah: dimana terjadinya point of transfer of ownership tersebut, jadi dalam sistem PSC, transfer of ownership bagian contractor terjadi pada point of export, sementara, kalau sistem royalty tax, point of transfer langsung terjadi di wellhead (kepala sumur). Bagaimana dengan sistem service contract, secara umum dalam model service contract, tidak terjadi transfer of ownership, walaupun di beberapa jenis risk service contract, dimungkinkan terjadinya sebagian transfer of ownership.

Bagaimana kalau dilihat dari aspek pengakuan cadangannya (reserves recognition)?, kalau kita melihat dari perspektif perusahaan minyak, degree of reserves recognition ini berbanding lurus dengan degree of ownership, dengan demikian, kalau kita urut, akan seperti ini: service contract, PSC, royalty tax. Makin kearah royalty tax makin besar degree of reserves of recognition-nya.

Bagaimana kalau kita lihat dari aspek metoda pembagian revenue? Untuk sistem royalty tax, secara umum host country hanya memperoleh royalty dan tax. Sementara sistem PSC, host country akan mendapat royalty, profit oil dan tax. Tentu hal ini tidak berlaku umum, sebagian PSC tidak mengenakan royalty, untuk kasus RI, kita menggunakan FTP, mirip royalty hanya saja FTP ini dibagi antara negara dengan perusahaan minyak. Sedangkan service contract, pada dasarnya semuanya akan masuk ke pundi negara, negara hanya me-reimburse atau me-recover biaya biaya termasuk bunga yang diizinkan plus fee atau remuneration.

Service contract tentu paling menarik bagi host country dan kurang menarik dari sisi investor, umumnya deal service contract terbatas untuk proyek proyek dalam rangka peningkatan produksi, sehingga resikonya lebih kearah resiko kegagalan teknologi dibanding resiko eksplorasi. Kalau kita mau menawarkan Wilayah Kerja baru, tentu tidak menarik kalau menawarkan model service contract, mungkin tidak ada investor yang tertarik. Jika ingin menggunakan model service contract untuk kasus RI, terbatas pada pengelolaan lapangan lapangan tua, lapangan marginal, aplikasi teknologi EOR dan proyek proyek terkait dengan production enhancement.

Bagaimana dengan sistem royalty tax dengan PSC?, apalagi belakangan banyak yang menyarankan “daripada cost recovery naik terus, susah dikontrol, lebih baik kita pakai sistem royalti saja”. Mari kita lihat lebih jauh: seperti dibahas sebelumnya, didalam sistem royalty tax, negara tidak mendapat bagian profit oil, jadi hanya memperoleh royalty dan tax. Masalah akan timbul apabila ternyata terjadi kenaikan harga minyak yang tinggi atau ternyata cadangannya sangat besar, maka negara tidak dapat apa apa dari “rezeki nomplok” ini, paling paling pajaknya meningkat. Di beberapa negara, kalau ada kejadian seperti ini, biasanya host country mengenakan tambahan pajak berupa windfall profit tax.

Kalau kita analisa lebih jauh, secara arimatika hampir tidak ada bedanya, artinya kita bisa mendisain suatu fiscal system yang memberikan keekonomian yang sama persis, apapun bentuk kontraknya. Jadi tidak bisa dikatakan PSC memberikan keekonomian yang lebih baik dari royalty tax atau sebaliknya, tergantung berapa besaran royalty, tax dan profit oil split. Dengan simulasi, kita bisa membuat Government Take yang sama persis antara sistem royalty tax dengan PSC. Begitu pula dari sisi IRR, misalnya kita mau IRR contractor sekitar sekian persen, dengan simulasi kita kita dapatkan berapa royalty dan tax untuk model royalty tax dan berapa royalty, profit oil split dan tax untuk model PSC. Oleh sebab itu jangan heran kalau ada yang mengatakan, royalty tax dengan PSC bisa sama baiknya secara keekonomian lapangan.

Perusahaan minyak lebih suka yang mana? jelas lebih suka royalty tax, pertama karena masalah reserves recognition tadi, kedua sistem royalty tax biasanya sedikit intervensi dari host country. Kalau kita mundur ke history, sebenarnya sistem PSC ini didisain untuk memperbaiki sistem konsesi (royalty tax). Tujuannya agar host country ikut terlibat dalam me-manage SDA yang vital ini. Tidak hanya percaya saja dengan investor, dengan imbalan menerima royalti dan tax. Kalau kembali ke sistem royalty tax, apakah ini bukan suatu langkah mundur?

Hubungan antara cost recovery dengan model kontrak

Saya melihat sering terjadi kesalahpahaman dalam konteks mekanisme cost recovery kaitannya dengan model kontrak, khususnya pada saat membandingkan sistem royalty tax dan PSC. Secara definisi, mekanisme cost recovery ini ada dalam sistem PSC, sementara tidak umum digunakan dalam sistem royalty tax (karena didalam sistem royalty tax istilah yang lebih sering digunakan adalah cost deduction). Sehingga orang beranggapan, dengan mengganti PSC menjadi sistem royalty tax, maka masalah membengkaknya cost recovery akan teratasi, atau yang lebih ekstrim lagi menyatakan cost recovery hilang, dengan demikian kita tidak perlu repot lagi mengurusi cost recovery. Saya pikir ini kesimpulan yang menyesatkan.

Kalau kita lihat dalam perspekstif kemungkinan kecenderungan terjadinya “inefisiensi biaya”, bukankah sistem royalty tax ini akan lebih mudah dimanfaatkan oleh oknum oknum untuk membengkakkan biaya karena sedikit atau tidak adanya intervensi atau kontrol dari host country?. Jadi pemikiran bahwa perusahaan minyak akan menekan biaya dengan sistem royalty tax dibandingkan dengan sistem PSC merupakan kesimpulan yang sangat diragukan kebenarannya, karena masalahnya bukan di mekanisme sistemnya, tapi pada oknumnya.

Kaitan antara model kontrak dan upstream cost

Studi Alomair, Attar (2004), melihat kaitan antara model kontrak dengan Finding & Development cost (F&D cost), mereka membagi menjadi tiga kelompok: low, medium dan high cost berdasarkan database upstream cost around the world dan analisa statistik, Kesimpulannya: negara negara yang masuk kelompok low cost cenderung menggunakan tipe Service Contract, yang medium sebagian besar menggunakan PSC dan beberapa menggunakan royalty tax, sedangkan yang high cost umumnya menggunakan sistem royalty tax. Dalam studi ini RI masuk kelompk medium cost. Sementara sebagian besar negara Middlle East, masuk kelompok low cost.

PENUTUP & SARAN

Kalau kita melihat secara global, negara negara yang menggunakan PSC dan royalty tax hampir sama banyaknya, PSC 63 negara, royalty tax 58 negara, service contract 11 negara (Johnston, 2005). Kalau kita kaji lebih jauh lagi, penganut royalty tax, sebagian besar negara Eropa, Middle East (sisa konsesi dulu yang masih berlangsung, seperti: Neutral Zone, Sharjah, Abu Dhabi, Fujairah, Dubai, Ajman) dan beberapa negara Afrika yang secara propectivity kalah bersaing dengan negara tetangganya. Pada dasarnya pemilihan negara tersebut terhadap model kontrak royalty tax adalah dalam rangka menarik minat investor (berangkat dari asumsi bahwa IOC akan lebih tertarik sistem royalty tax ketimbang PSC), sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertimbangan cost effisiensi apalagi dalam rangka pencegahan potensi terjadinya mark-up.

Kembali ke pertanyaan awal apakah model kontrak PSC sebaiknya diganti model kontrak lain? Berdasarkan pembahasan diatas, melihat plus minus masing masing model, Menurut saya TIDAK PERLU diganti, yang perlu dilakukan adalah meng – improve terms and conditions sehingga lebih flexible.

Secara global, model kontrak PSC paling bisa diterima baik oleh host country maupun international oil companies (IOC). Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah membuat terms and conditions yang tidak fixed dalam arti sistem tersebut berubah seiring dengan berubahnya parameter tertentu (sliding scale), parameter tersebut bisa berupa: profitability, “R” factor, production, oil prices, etc.

Terkait dengan cost effisiensi, perlu didisain suatu terms and conditions yang mengakomodasi reward and punishment sehingga ada motivasi contractor untuk melakukan cost saving. Sebagai contoh, ada model PSC yang membatasi suatu cost recovery sampai X%. Namun demikian, apabila Contractor dapat melakukan saving, sehingga cost recoverynya turun menjadi (X-S)%, maka S% cost saving ini akan memperoleh profit oil split yang lebih baik bagi Contractor.

Terkait dengan wacana untuk membuat model pembagian berdasarkan Gross Revenue, yang bertujuan agar host country tidak sibuk mengurusi cost recovery lagi. wacana seperti ini tentu perlu dikaji lebih jauh, sistem seperti ini sangat jarang atau mungkin tidak pernah ditemui lagi, dulu Peru pernah menggunakannya. Pembagian seperti ini dapat menjadi “pisau bermata dua”, baik bagi host country maupun investor. Bagi host country, ketika gross revenue naik (entah karena harga minyak melambung atau karena produksi meningkat), maka secara persentase dari Gross Revenue, cost recovery akan turun secara signifikan. Implikasinya, Contractor take (atau keuntungan Contractor) akan meningkat tajam. Namun demikian, apabila Gross Revenue turun, cost recovery secara persentase dari Gross revenue akan meningkat tajam, akibatnya, Contractor Take akan turun drastis juga.

Disamping itu, sistem seperti ini akan cenderung “regresif” karena semakin tinggi profitabilitas, semakin rendah Government Take (GT) (persentase porsi pendapatan host country terhadap profit). Jika dibandingkan dengan PSC standard, GT akan konsisten sebesar 85% - 88%, maka dengan sistem pembagian berdasarkan Gross Revenue, GT akan semakin menurun dengan meningkatnya keuntungan. Dengan demikian apabila ternyata harga minyak melambung atau produksi meningkat tajam, sistem ini akan memberikan hasil yang lebih buruk dibanding PSC standard. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih mendalam mengenai kemungkinan kemungkinan ini, jangan sampai hanya alergi dengan yang namanya cost recovery, kita membuat "sistem baru" yang malah berdampak buruk terhadap porsi pendapatan pemerintah (GT).

Kajian lebih mendalam juga harus dilakukan khususnya masalah pajak dan lain lain, dengan metoda pembagian berdasarkan Gross Revenue, Contractor seolah oleh tidak membayar pajak, akan timbul masalah di home country-nya, seperti yang pernah terjadi pada PSC generasi sebelumnya.

Semangat untuk mengubah terms dan conditions ini tentu tidak terlepas dalam rangka mengoptimalkan porsi pendapatan RI tanpa men-discourage investor. Secara umum dapat diterima bahwa semakin meningkat profitabilitas seyogyanya semakin meningkat pula persentase “Gov Take (GT)”. Jadi, untuk menguji apakah suatu sistem fleksibel terhadap profitabilitas, dapat dilakukan dengan membuat plot antara profitabilitas dengan “Gov. Take”, sistem yang “baik” itu dimana “Gov. Take” secara persentase harus naik proporsional terhadap profitabilitas atau dikenal dengan sistem yang "progresif" yang sekarang banyak berkembang dalam model model PSC yang muncul belakangan ini.

Wednesday, December 06, 2006

Workshop Financial Market dan Harga Minyak

OPEC-EU Workshop on the Impact of Financial Markets on the Price of Oil di Hofburg (Vienna Imperial palace) tuntas sudah, workshop yang berlangsung 2 hari ini dibagi jadi 7 sesi, dimana tiap sesi ada 4 pembicara, memang dari segi materi yang di cover sangat komprehesif, tapi akhirnya sangat minim waktu diskusi atau tanya jawab. Menurut saya sich pembicaranya kebanyakan. Malah ada satu sesi yang nggak sempat pake tanya jawab, karena waktunya terlalu molor..

Hofburg

Sesi yang dibahas meliputi: oil trading- the interaction between the physical and paper markets, the structure of the future markets, new players in the market (hedge funds and institutional investors), financial markets - identifying & measuring price impact, recent developments in the financial oil market, the multiple role of financial institutions in the oil market.

Yang menarik dari workshop2 opec itu adalah Sekretariat selalu mengundang pembicara dari semua pihak pihak berkepentingan, sehingga kita bisa langsung mendengar pendapat yang bertolak belakang satu sama lain, tentu dengan argumen masing masing. Seperti workshop ini, semua pihak yang terlibat ikut, mulai dari: oil companies, investment banks, stock exchanges, regulators, research institutions, hedge funds, pension funds, producers and inter-governmental agencies. Jadi nggak heran kalau banyak pendapat yang simpang siur, disitulah enaknya, jadi kita bisa “mengadu” pembicara secara langsung.

Pada akhirnya, hal yang paling sulit itu saat menentukan apakah spekulasi itu mempengaruhi kenaikan harga minyak?, Dr. Samiei dari IMF tegas dalam presentasi studinya menyatakan bahwa spekulasi tidak secara sistematik mempengaruhi harga minyak. Pada saat yang sama, Dr. Naini yang juga konsultan opec, meyatakan bahwa ada korelasi antara kenaikan harga minyak dengan aktivitas spekulan khususnya apabila menggunakan data tiga tahun belakangan ini.

Tentu banyak juga hal hal yang disepakati, diantaranya: semua sepakat bahwa financial market memicu oil price volatility, bahwa struktur future market membuat terjadinya mekanisme “price discovery” dan “price transparency”. Workshop juga melihat fenomena meningkatnya interaksi antara paper dan physical market.

Salah satu kesimpulan standard (seperti juga sering kita temui pada saat melakukan workshop atau forum di tanah air) yaitu: perlu ditindaklanjuti dengan workshop berikutnya dengan focus yang lebih spesifik… jadi bakalan ada workshop lagi dong he he..!


Suasana Workshop
(taken from PRID OPEC)

Friday, December 01, 2006

Harga minyak & futures market

Mulai senin minggu depan (4 -5 Desember) ada workshop menarik di Vienna, judulnya OPEC-EU Workshop on the Impact of Financial Markets on the Price of Oil, workshop akan berlangsung selama 2 hari, ini merupakan kerjasama antara OPEC dengan uni Eropa (EU), sebelumnya sudah sering ngadain kerjasama dalam bentuk workshop, macem macem topiknya, kali ini fokus ke futures market. Kalau lihat agendanya – kelihatannya cukup seru, karena pembicaranya mewakili semua pihak yang terlibat, mulai dari energy producer, consumer, financial institution, trading advisor, etc.

Ini workshop yang saya tunggu juga - pingin tahu lebih banyak mengenai futures market ini, dulu saya tertarik dengan yang kaya kaya gini, sempat banyak baca buku2 mengenai options, futures, financial & capital market, etc. Malah sempat ikut ikutan temen2 ngambil ujian kompetensi untuk dapet sertifikat wakil manajer investasi segala (sekitar tahun 1997) - lulus!, sayang nggak pernah kepake itu sertifikat, abis keburu krismon - dulu pingin ngerasain kerja di sekuritas, rupanya nggak kesampaian. Paling nggak istilah istilah futures market sudah pernah dengerlah - nggak gelap2 amat!.

Salah satu tujuan workshop ini khan supaya lebih familiar mengenai kaitan antara harga minyak dengan kegiatan di “paper market” (pake istilahnya demikian untuk ngebedain dengan “physical trading”). Buat OPEC ini hal yang relatif baru, kayanya nggak banyak yang paham banget di sekretariat sini dengan kaitan tersebut, ada 2 teori sich: ada yang bilang nggak pengaruh - ada yang bilang pengaruh, ya biasalah. Belakangan khan aktivitas ”paper market” ini meningkat tajam, padahal sebagian besar pelakunya ini khan nggak ada urusan dengan physical crude, nah (katanya) ditenggarai paper market ini ikut memainkan harga minyak, khususnya spekulan itu. cuma itu juga dibantah sama pakar yang lain, jadi yah, masih belum ketahuan ujungnya, makanya biar lebih paham perlu workshop2 yang kaya gini. Siapa tahu spekulan bisa dijadikan kambing hitam baru sebagai penyebab harga minyak naik/turun he he.. selama ini yang dijadiin kambing hitam khan opec mulu...

Kalau yang tertarik latar belakang teori lebih detail, monggo mampir ke websitenya nymex dan websitenya commodity futures trading commission. Penting dipahami bawa futures market tujuan utamanya untuk hedging dan risk management dan tentu saja banyak pemain di futures market punya motif lain selain hedging tadi, apalagi kalau bukan spekulasi. Jadi pemain yang beraksi sebagai spekulator ini bukanlah produser ataupun konsumer komoditi tersebut, mereka mengambil resiko melalui trading di futures market dengan harapan memperoleh profit dari perubahan harga komoditi tersebut. Kehadiran spekulator sebenarnya baik juga, karena mereka juga membantu likuiditas pasar.

Ada beberapa istilah yang harus dipahami, pertama istilah long position (beli) dan short position (jual), long position diambil karena adanya ekspektasi komoditas tersebut harganya akan naik, sementara short position diambil kalau ekspektasi harga akan turun pada saat kontrak jatuh tempo. Jadi long position- ambil posisi beli pada harga saat ini, (karena ekspetasi harga akan naik) pas jatuh tempo - ada profit jadinya. Sementara kalau short position, ambil posisi jual dengan harga saat ini, (karena ekspetasi harga turun), akibatnya pas jatuh tempo - ada "profit", kira kira gitulah.

Ada lagi istilah Net Position: selisih antara open long contracts dengan open short contracts yang dimiliki oleh pelaku (trader) dalam satu komoditi tertentu. Istilah yang sangat penting lainnya adalah, Open Interest: total jumlah futures contracts long atau short yang belum di likuidasi oleh offsetting transation atau delivery, gampangnya yang masih outstanding, kadang disebut juga Open Contracts atau Open Commitments. Kemudian ada juga istilah commercial dan non-commercial traders, kalau yang commercial trader mereka menggunakan futures market untuk tujuan hedging, sedangkan non-commercial - ya bukan buat hedging, makanya non-commercial ini jadi proxy untuk memperkirakan spekulator.

Kembali ke kaitan antara aktivitas futures market dengan oil price ini gimana? ya orang nebak nebak nih, apa ada korelasinya, apa ada hubungan sebab akibat, atau sesuatu yang kebetulan. Nah seperti yang saya bilang diawal tadi, pendapatnya masih macem macem, biar ada gambaran saya tampilkan beberapa plot.



Lihat lihat gambar dulu lah, belum (bisa) bikin kesimpulan, siapa tahu dari workshop dapet gambaran yang lebih jelas, atau malah tambah nggak jelas.. we'll see...!