Tuesday, January 23, 2007

Definisi Baru SPE

Hari Jumat tanggal 19 Januari ada workshop di kantor, yaitu workshop dengan SPE (Society of Petroleum Engineers) yang membahas mengenai “New SPE Petroleum Reserves and Resources Classification, Definitions and Guidelines”. Dari SPE yang presentasi dua orang, yaitu: Bernard Seiller, mantan ketua OGRC, yang juga Deputy VP Field Reserves Development TOTAL dan John Ritter, ketua SPE - Oil and Gas Reserves Committee (OGRC) yang juga Senior Director, Worldwide Reserves, Occidental Petroleum. Bernard presentasi mengenai: SPE Reserves Definitions Historical Perspective and Usage sementara John presentasi mengenai: 2007 Proposed Reserve and Definitions. Dari Sekretariat ada juga kolega saya yang presentasi.

Definisi SPE ini mengalami evolusi, mulai definisi mengenai cadangan oleh SPE tahun 1987, kemudian tahun 1997 bersama WPC (World Petroleum Congress), tahun 2000 dan 2001 bertambah dengan bergabungnya AAPG (American Association of Petroleum Geologist), keluarlah: 2001 SPE/WPC/AAPG Guidelines for the Evaluation of Petroleum Reserves and Resources, kemudian tahun 2005 muncul 2005 SPE/WPC/AAPG Glossary of Terms. Nah yang dibahas ini adalah: 2007 SPE/WPC/AAPG/SPEE Petroleum Reserves and Resources Classification, Definitions and Guidelines yang rencana akan dikeluarkan Maret tahun ini.

Apa yang direvisi?, ada 3 hal, lihat slide presentasi John dibawah*): Pertama, sistemnya sekarang menjadi "project based", kedua, ada sumbu klasifikasi dan kategorisasi (akan diterangan pada slide berikutnya) dan ketiga, masalah "base case" bahwasanya base case ini menggunakan perkiraan evaluator mengenai kondisi yang akan datang.

Sekarang kita ulas apa yang dimaksud dengan "project based system" , lihat slide dibawah *): Sistem SPE sekarang berdasarkan proyek, ada 3 elemen yaitu: Reservoir, Project dan Property (Lease). Kita lihat satu satu, Pertama, Reservoir adalah “basic resource entity” dimana kita memperkirakan berapa volume “cadangannya”, atau istilahnya “in-place volumes”. Kedua, Project adalah “basic entity” untung “tracking" investasi, produksi dan arus kas. Kita investasi proyek tentunya untuk memproduksi sejumlah kuantitas dari reservoir. Proyek disini meliputi aktivitas ekstraksi dan proses yang diperlukan sebelum dikirim ke pasar (konsumen). Ketiga adalah Property (or lease), ini urusannya dengan kepemilikan asset (ownership) dan kaitannya dengan model kontrak perminyakannya.

Satu proyek bisa terdiri dari satu atau beberapa reservoir, begitu pula sebaliknya, satu reservoir, bisa terdiri dari beberapa proyek. Biasanya dalam tahapan yang berbeda, misalnya proyek pada tahap primary recovery kemudian diikuti oleh proyek proyek enhanced oil recovery (EOR). Jadi kita "mengangkat sejumlah kuantitas cadangan" (disini saya mencoba menterjemahkan "recoverable quantities" dalam bahasa awam) dari suatu proyek, yang menjadi dasar sistem klasifikasi baru yang diajukan ini.

Team OGRC yang menyusun revisi ini (tentunya berdasarkan masukan dari banyak pihak), melihat bahwa sistem yang ada ini harus secara jelas memisahkan antara “klasifikasi” dan “kategorisasi” - lihat slide dibawah*). Klasifikasi (panah sumbu vertikal) mengacu kepada peluang suatu proyek akan menghasilkan penemuan (discovery) yang kemudian dilanjutkan dengan peluang proyek tersebut akan dikembangkan dan diproduksikan “on production”. Sementara kategorisasi (panah sumbu horizontal) mengacu pada “technical uncertainties”, jika suatu proyek yang dilakukan pada suatu reservoir maka akan ada “range potential recovery”-nya (terus terang agak susah menterjemahkan pake bahasa awam, takut maknanya malah hilang). Nah, “range potential recovery” inilah yang di kategorisasi, tentu ini merupakan fungsi dari “petroleum initial in place” dan “recovery efficiency”, buat yang latar belakang non PE atau G&G - mohon maaf kalau istilahnya agak teknis sekali.


Prinsip ketiga (lihat slide dibawah*), bahwa “base case” adalah asumsi yang dibuat oleh si-evaluator mengenai perkiraan kondisi yang akan terjadi selama implementasi proyek atau dengan kata lain: sampai berakhirnya proyek. Asumsi tersebut meliputi: harga harga, biaya biaya, teknologi, regulasi lingkungan dan lainnya. Ini disebutnya sebagai “forecast case”.

Tentunya perusahaan akan melakukan analisa sensitivitas sebelum melakukan komitmen terhadap suatu proyek, SPE guideline menyarankan bahwa dari sekian sensitivitas itu, ada kasus dimana diasumsikan bahwa kondisi saat ini tidak berubah selama umur proyek, atau disebut juga sebagai “constant case”. Mungkin sebagian teman di perusahaan minyak menyebutnya “kondisi paling jelek”.


*) Sumber Slide2: Presentasi John Ritter, ketua SPE OGRC, 19 Januari 2007

Monday, January 22, 2007

Fleksibilitas Kontrak Perminyakan

Harga minyak? mana ada yang tahu kapan naik kapan pula turunnya, suka suka dia aja, seperti dapat dilihat pada posting sebelumnya. Para analyst yang kerjaan tiap hari memprediksi harga minyak aja kebingungan sendiri. Padahal, untung ruginya perusahaan minyak, salah satunya ya ditentukan oleh harga minyak itu sendiri.

Apa hubungannya antara kontrak perminyakan dengan harga minyak?, tentu macem macem, tergantung mau dilihat dari perspektif apa. Kalau kita perhatiin, pada saat harga minyak naik, biasanya yang punya lahan (negara atau host country) merasa perlu mengenakan tambahan pajak buat si kontraktor, karena (menganggap) untungnya kontraktor “kebanyakan”. Sebaliknya dari sisi kontraktor, tentu akan berusaha menunjukkan bahwa mereka “nggak untung untung amat” karena toh biaya juga pada naik. Tentu nggak ada yang bisa disalahkan, semuanya punya argumen.

Tulisan ini mengajak kita melihat bagaimana perilaku kontrak perminyakan terhadap fluktuasi harga minyak. Sebelumnya perlu kita ingat kembali model model kontrak perminyakan yang ada, yaitu: konsesi (atau royalty tax), production sharing contract (PSC) dan service contract. PSC sendiri belakangan berkembang dengan macam macam features khususnya cara cara pembagian profit oil split.

Nah sekarang apa yang dimaksud dengan fleksibilitas kontrak perminyakan?, fleksibilitas disini maksudnya adalah seberapa fleksibel model kontrak tersebut terhadap perubahan tingkat keuntungan (profitability), untuk penyederhanaan diasumsikan bahwa perubahan tingkat keuntungan ini diakibatkan oleh naik turunnya harga minyak (pendekatan ini sedikit kasar namun valid, dari beberapa studi disebutkan bahwa kenaikan minyak pengaruhnya lebih signifikan dibanding kenaikan biaya biaya).

Supaya sedkit lebih jelas, coba kita ambil contoh, katakan, model royalty tax, kontractor akan bayar royalti 10% dari gross revenue dan tax sebesar 40% dari pajak korporasi. Dari sini kita bisa melihat bawa bagian yang masuk ke host country adalah royalty dan pajak. Parameter yang biasa digunakan untuk mengukurnya adalah Government Take (GT), dimana GT = bagian yang masuk negara (dalam kasus ini royalti dan pajak) dibagi dengan keuntungan atau profit yaitu gross revenue dikurangi cost.

Kalau kita lihat angka ril, dengan kenaikan harga minyak, tentu pembayaran royalti dan pajak dari kontraktor akan naik, jadi dari sisi host country akan terjadi kenaikan pendapatan, begitu pula dari sisi kontraktor, nggak ada yang aneh tentunya. Hal yang menarik itu adalah melihat bagaimana bagian “kue” keuntungan ini dibagi antara host country dengan kontraktor. Untuk sistem royalty tax ini, kalau kita buat exercises, maka makin tinggi harga minyak, maka sebenarnya “bagian kue” host country akan makin mengecil (istilah kerennya “Government Take” tadi). Jadi kalau pada saat harga minyak $20 per barel, host country dapet 70% dari profit, pada saat harga minyak naik, katakan $60 per barel, maka host country dapetnya cuma 58% profit (tentunya angka angka ini hanya untuk ilustrasi saja, perhitungan angka persisnya tentu perlu asumsi biaya biaya, profil produksi, dll). Jadi kalau kita plot antara profitability atau harga minyak dengan “Government Take (GT)”, hasilnya makin naik harga minyak makin turun GT-nya. Makanya jangan heran kalau host country tiba tiba minta naikin bagiannya kalau harga minyak naik, argumennya: ya kaya gini ini! masuk akal khan?

Bagaimana dengan PSC?, tentu sedikit lebih kompleks karena PSC banyak pernik perniknya. Secara umum gini: PSC yang profit oil split based-nya berdasarkan “non-profitability based”, misalnya: fixed profit oil split (kaya RI standard), atau production based (banyak dipakai di mancanegara, RI juga punya yang model gini), cumulative based, etc, maka GT tidak sensitif terhadap kenaikan harga minyak. Misalnya harga minyak $20 per barel dapet GT = 70%, kalau harga minyak naik $ 60 per barel, dapetnya ya segitu juga 70%. Paling tidak lumayanlah - lebih baik dari model royalty tax.

Dalam perkembangannya, dibuatlah sistem PSC yang profit oil split-nya berdasarkan profitabililty, bisa berupa ROR, bisa juga berupa faktor tertentu lainnya yang pada intinya mengukur tingkat keuntungan. Profit oil split untuk sistem seperti ini biasanya lebih kecil bagi host counry pada saat profit rendah dan meningkat pada saat profit naik. Dengan demikian, kalau kita buat exercises, hasilnya akan seperti ini: pada saat harga minyak $ 20 per barel, GT misalnya sekitar 35%, pada saat harga minyak naik $ 60 per barel, GT meningkat jadi 75%. Kalau kita plot, makin naik harga minyak, makin meningkat GT-nya.

Ada juga suatu sistem PSC yang agak khusus, misalnya: salah satu PSC Sudan, dimana mereka melakukan pembatasan cost recovery sebesar 60%, artinya bila cost yang terjadi lebih dari 60% gross revenue, maka kurangnya akan dibayarkan pada tahun berikutnya (carry forward), namun kalau cost yang terjadi kurang dari 60% gross revenue, misalnya ternyata cuma 40% gross revenue, maka selisih 20% itu langsung diambil buat host country (Ini kasus khusus, umumnya yang 20% itu dibagi lagi antara host country dengan kontraktor dengan split yang sama dengan profit oil split). Untuk kasus yang kaya gini, tidak heran kalau makin naik harga minyak, makin besarlah GT.

Bagaimana dengan sistem service contract?, saya kira gampang dipahami, bawah untuk model seperti ini, dimana kontraktor hanya memperoleh fee, semua profit akan masuk ke host country, dengan demikian, otomatis dengan naiknya harga minyak akan naik pula GT-nya.

Kalau kita summary, kira kira plotnya kaya gini (angka angka relatif Government Take (GT) hanya untuk tujuan ilustrasi saja):


Apa yang bisa dilakukan oleh model royalty tax dan PSC non-profitability based untuk meningkatkan GT-nya?, bisa dengan dua cara, pertama naikin “state atau government participation”, kedua ya berlakukan “progressive taxes”, atau yang mau gampang, kenakan excess profit tax kaya yang sekarang dilakukan sama Algeria, emang agak kurang popular cara kaya gini.

Yang penting buat guideline adalah bahwa perlu dibuat suatu sistem yang mempunyai respons positif terhadap kenaikan harga minyak, apakah dengan demikian kita harus pake sistem progresif (profitability-based profit oil split)?, tentu nggak juga, lihat situasinya, karena sistem ini (umumnya) menghasilkan GT yang rendah pada saat awal. Sistem ini penekanannya adalah kontraktor diberi kesempatan untuk memperoleh minimum return yang diinginkan, baru setelah itu tercapai – GT bagian host country meningkat. Tentu nggak cocok untuk daerah yang prospek geologi bagus dan biaya rendah. Model progresif cocok untuk daerah yang resiko tinggi, artinya karena resikonya sangat tinggi, maka host coutry “berkorban” untuk dapat GT yang kecil lebih dahulu, baru setelah mulai profit, GT akan meningkat.

Sementara buat negara yang kaya minyak, biaya rendah, tentu mereka akan pilih service contract. Mana model yang terbaik? Ini pertanyaan yang susah jawabnya, karena kalau ditanya seperti ini, jawabnya selalu nggak ada yang terbaik, yang ada itu yang optimum sesuai dengan faktor geologi, strategi host country, resiko, biaya dan lain lain, jadi ujungnya: one size fits all models does not exist tetap berlaku!.

Tuesday, January 16, 2007

Kajian IEA

Hari Jumat tanggal 12 Januari ada undangan rapat, ini rapat pertama tahun ini, yaitu kunjungan team IEA ke kantor, ini kunjungan rutin sebenarnya, sekaligus presentasi dan koordinasi rencana workshop gabungan tahun 2007. Bagi yang belum familiar, IEA adalah International Energy Agency markasnya di Paris, anggotanya 26 negara, dari 26 negara tersebut semuanya anggota negara negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), yang jumlahnya 30 negara. Diantara anggota OECD yang nggak masuk list IEA ada 4 negara, yaitu: Meksiko, Iceland, Polandia dan Slovakia. Sebagian besar IEA/OECD ini anggotanya negara Eropa, diluar Eropa ada: Australia, Jepang, Korea Selatan, Turki, US dan Canada. Kerjaan IEA ini utamanya sebagai “penasehat kebijakan energi” negara negara tersebut, nggak heran kalau IEA ini tentunya organisasi yang disegani.

Karena punya kepentingan yang sama, maka OPEC dan IEA ini mempunyai hubungan yang dekat. Apalagi sekretariat OPEC punya kerjaan yang mirip dengan yang dikerjain IEA, seperti melakukan kajian: supply-demand, energy policy, energy environment, technology & economics, etc. Di Sekretariat sini nggak melulu focusnya ke oil, energi lainnya tentu dikaji juga karena pada gilirannya forecast supply demand energi ini outputnya berupa “energy mix” atau portfolio energi yang tentunya nggak cuma minyak dan gas.

Salah satu agendanya adalah presentasi IEA mengenai produk andalannya yang keluar tiap tahun, tentu yang paling baru ini untuk tahun 2006, judulnya World Energy Outlook 2006, bukunya dijual dengan harga 150 euro, lumayan mahal, kalau mau sekedar lihat ringkasan eksekutifnya ada disini.

Keuntungannya kita disini, bisa denger presentasi dan diskusi langsung dengan team IEA yang bikinnya, mengenai apa, mengapa dan bagaimana metodologi dan skenario, etc.. Kalau ngomong2 produk andalan, kalau IEA punya WEO, maka OPEC punya LTS (Long Term Strategy), isinya mengenai strategi jangka panjang, dan tentu fokusnya ke skenario perkiraan supply vs. demand oil kedepan. Bisa di download disini.

Presentasi IEA dimulai dengan reference scenario, jadi ceritanya IEA ini buat skenario ini dulu, ya dimulailah presentasi mengenai proyeksi permintaan energi sampai tahun 2030, tidak ada hal yang baru disini, spt kita ketahui: oil, gas dan coal tetap akan memainkan peranan utama. Sementara dari sisi pasokan, kenaikan pasokan utamanya akan datang dari negara negara OPEC khususnya: Saudi, Iran dah Irak. Sedangkan untuk coal, permintaan dunia akan meningkat utamanya oleh China, jadi proyeksi nanti China akan banyak menggunakan coal, kemudian dibahas juga masalah lingkungan seperti: emisi carbon dan lain lain. Pada bagian kesimpulan untuk reference scenario ini, intinya: ada ancaman dari sisi pasokan karena pasokan non OPEC sudah mencapai puncaknya, sedangkan kenaikan produksi hanya terkonsentrasi pada segelintir negara saja.

Kemudia IEA ini membuat skenario baru lagi yang mereka sebut sebagai alternative policy scenario, skenario baru ini semangatnya adalah teknologi efisiensi. (karena efisiensi tersebut) maka proyeksi impor minyak dari negara negara OECD akan turun sampai 5 juta barrel per hari dibanding reference scenario mereka sebelumnya.

Seperti biasa pada sesi tanya jawab berlangsung cukup alot, khususnya mengenai alternative policy scenario ini, timbul pertanyaan dari kolega saya disini, pertama mengenai seberapa indenpenden kajian ini dari intervensi negara anggota OECD, jangan jangan ini ada unsur pesanan. Tentu saja boss-nya IEA Mr. Mandill mengelak kemungkinan tekanan ini, walaupun menurut mereka studi ini tetap dibawah koordinasi negara anggota.

Buat sebagian kolega disini, alternative policy scenario agak terlalu ambisius khususnya asumsi mengenai peranan teknologi effisiensi sampai tahun 2030 yang dapat menekan penggunaan energi sampai begitu besar. Jadi IEA (menurut kolega saya) agak terlalu optimistis. Tentu kita tidak harus sepakat dalam hal ini, artinya boleh boleh aja IEA berpendapat demikian, tapi skenario tersebut sebenarnya bisa bahaya juga, khususnya buat investasi di sektor minyak. Kalau memang mau mengacu ke alternative policy scenario, tentu negara producen minyak jadi mikir, mereka akan membuat investasi jangka panjang khan sesuai perkiraan permintaan (demand). Kalau ternyata nanti efisiensi kurang berhasil alias memble, atau skenarionya IEA ngawur, bisa jadi setelah 2030, akan terjadi kekurangan pasokan minyak lagi. Jadi ya mesti hati hati juga dengan skenario mereka, bisa bisa mengancam keamaman sistem energi mereka juga akhirnya…

Monday, January 08, 2007

Kategori Buku

Pertanyaan: kalau kita beli buku, apa buku tersebut langsung dibaca semua?, baca dikit aja terus simpen lagi?, baca dikit dan keliatannya nggak bakal dibaca sampai tamat. Macem macem ya alasannya. Dari pengalaman saya kalau beli buku, maka buku tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Pinginnya dibaca sampai tamat tapi belum sempat2.
2. Nggak harus dibaca sampai tamat, sekali2 dibuka2 lagi.
3. Abis beli langsung dibaca sampai tamat.

Ini contoh contohnya:


Kategori 1, umumnya buku yang terkait dengan bidang kerjaan, selalu pingin beli dan baca sampai tamat. Masalahnya selalu sulit cari waktu untuk baca. Akhirnya ya, baca satu dua lembar terus kasih batas halaman simpen lagi. Buku kategori 1 yang pingin banget saya baca sampai tamat itu bukunya Daniel Yergin, the Prize, tebalnya 900-an halaman, ini cerita komplit mengenai sejarah industri minyak dibelahan dunia ini, termasuk motif politik dan ekonominya, sepanjang yang saya tahu, ini buku yang paling komplit dan menjadi referensi banyak buku lainnya. Oil Titan juga termasuk yang pingin dibaca tuntas, mengisahkan sejarah NOC di Middle East. Diantara buku tersebut, hanya 2 bukunya Daniel Johnston yang sudah khatam (International Petroleum Fiscal System & Production Sharing Contract, sama satu lagi, International Exploration Economics, Risk and Contract Analysis). Buku keluaran IMF juga bagus, judulnya: Fiscal Policy Formulation and Implementation in Oil Producing Countries, ini terdiri kumpulan paper paper, lumayan walaupun agak terlalu teoritis. Tentu saja nggak semua buku memenuhi harapan, bukunya Jim Haag, judulnya: The Acquisition & Divestiture of Petroleum Property, termasuk mengecewakan, judulnya sich boleh, isinya nggak banyak yang baru, tipis pula - padahal harganya relatif mahal. Ketipu judul dech. Covering Oil juga terlalu basic.


Kategori 2 termasuk jenis buku campur aduk, secara langsung nggak ada urusan dengan kerjaan, cuma menarik untuk dibaca, ada sejarah, geologi, marketing, ekonomi, etc. Dalam kategori ini, bukunya For GOD and Country termasuk yang menarik, (tapi belum sempat dibaca tuntas he he), ini cerita konflik seorang tentara muslim Amrik (James Yee) yang mendapat tugas di Guantanamo. Perfect Phrases for Executive Presentations juga bagus, lumayan kalau bosen pakai bahasa yang standard, disini banyak contoh kalimat pembuka dan penutup presentasi yang inspiratif. The Austrians - a thousand year odyssey, ini sejarah Austria, lumayan biar tahu dikitlah, gimana sejarahnya bangsa Austria ini. Ada satu lagi buku, yang malah dibukapun belum, ini buku geologi, The Deep Hot Biosphere - the Myth of Fossil Fuels.


Kategori 3, ini yang belakangan nggak sempat dibaca, dulu pas masih sendirian disini (keluarga belum nyusul) justru buku beginian yang selalu dibaca. Abis kalau pas susah tidur, pasti baca novel, kalau udah baca, ya dipaksa sampai selesai, penasaran soale.

Saturday, January 06, 2007

Kontrak Berdasarkan Gross Revenue

Sehubungan dengan wacana menggunakan model kontrak perminyakan berdasarkan pembagian dari Gross Revenue (selanjutnya kita singkat GR), saya kira ada baiknya kita kaji lebih jauh sistem ini. Apakah benar sistem ini superior karena: “lebih mudah alias tidak lagi berurusan dengan cost recovery” dan “lebih mudah mekanisme perhitungannya”.

Pada saat kita mengkaji suatu usulan kebijakan, pertanyaannya tentu apa tujuan kebijakan tersebut, kalau tujuan utamanya karena 2 hal tersebut diatas, maka pemilihan sistem pembagian berdasarkan GR ini TIDAK SALAH alias syah syah saja. Apakah sistem ini akan memberikan hasil yang paling optimum untuk host country? wacana inilah yang perlu kita kaji lebih jauh.

Pertama, saya berangkat dari data dulu, kalau seandainya ini sistem yang baik atau paling tidak yang cukup dikenal, kenapa hampir tidak pernah dijumpai kontrak pembagian berdasarkan GR di belahan dunia ini?, katanya Peru pernah menggunakannya - tapi itu pun model kontrak mereka yang lama, saya sendiri belum pernah melihat detail modelnya, karena database yang saya punya disini adalah untuk kontrak yang lebih baru (setelah tahun 1998), model kontrak mereka yang lebih baru tidak lagi menggunakan model pembagian berdasarkan GR ini. Saya berharap ada contoh negara lain, mungkin saya belum sempat memeriksa semua, tapi paling tidak, untuk kontrak kontrak yang lebih baru, hampir tidak pernah atau jarang sekali ditemui. Senang sekali kalau ada kolega yang dapat memberi info atau pernah menemukan model kontrak seperti ini, buat pembelajaran kita bersama tentunya.

Berangkat dari worldwide database tersebut, logis kalau timbul pertanyaan: “kok nggak ada (atau sedikit sekali) yang pakai model seperti ini?”, apa karena negara lain “belum sempat memikirkan untuk mencoba model ini”? atau justru sebaliknya, mereka sudah mengkaji lebih jauh dan mereka (memutuskan) tidak tertarik. Mungkin juga, tujuan utama mereka memang bukan “yang mudah mudah” seperti diatas sehingga wajar kalau mereka memilih tidak menggunakan sistem ini.

Disadvantage model pembagian berdasarkan GR
Mari kita lihat disadvantage sistem ini, misalkan kita memilih pembagian berdasarkan GR (X% : Y%), X% buat host country, dan Y% buat IOC. Silahkan dilakukan exercise atau simulasi, yang paling umum dilakukan adalah melihat respons Government Take (selanjutnya kita singkat GT*) terhadap profit. Apakah GT akan naik, konstan atau turun dengan kenaikan profit?, kenaikan profit yang paling umum disebabkan kenaikan harga minyak, bisa juga karena recoverable reserves yang naik atau karena biaya turun.

Suatu sistem disebut “regresif” apabila GT turun dengan kenaikan profit, “netral” apabila tidak berubah (konstan) dengan kenaikan profit dan “progresif” apabila naik dengan kenaikan profit.

Cara paling sederhana untuk menghitung kenaikan profit tentu dengan melakukan sensitivitas terhadap harga minyak, berdasarkan hitungan hitungan sederhana, maka sistem pembagian berdasarkan GR ini akan cenderung masuk golongan sistem yang “regresif” (mungkin rekan rekan bisa melakukan exercise juga, menarik untuk diskusi kalau seandainya hasilnya berbeda, sekali lagi ini untuk pembelajaran kita semua).

Sekarang kita bandingkan dengan PSC standard, PSC standard cenderung netral, dengan kenaikan profit, GT akan cenderung tetap, sekitar 85% (akan sedikit lebih tinggi karena pengaruh DMO, dll). Apabila kita bandingkan dengan sistem pembagian berdasarkan GR, maka untuk kasus low profitability (bisa karena harga minyak rendah, recoverable reserves lebih jelek dan atau biaya naik), maka model (pembagian berdasarkan GR) ini akan lebih baik bagi RI. Namun sebaliknya, apabila nantinya parameter yang men-drive profit (price, reserves, cost) membuat naiknya tingkat keuntungan (high profitability), maka sebenarnya GT untuk model pembagian berdasarkan GR akan lebih jelek daripada sistem PSC standard.

Wacana ini perlu diantisipasi dan dipahami, jangan sampai setelah kejadian (sekian tahun dari sekarang), kita baru terheran heran, “lha kok GT malah turun pada saat keuntungan naik?”. Saya sengaja memfokuskan ke “disadvantage” dari sistem pembagian berdasarkan GR, supaya kita dapat melihat kedepan, bahwa kemudahan yang kita inginkan (ternyata) ada “cost” nya juga.

Masalah perpajakan untuk model pembagian berdasarkan GR
Dari aspek perpajakan, pembagian berdasarkan GR akan mempunyai dua kemungkinan:

1. Bagian Contractor sudah “net”
2. Contractor masih membayar pajak dari bagiannya

Kemungkinan 2 tentu tidak ada masalah dari aspek perpajakan, saya berasumsi yang sedang kita bicarakan adalah jenis yang pertama, artinya bagian GR Contractor sudah “net”, dalam kasus ini “seolah olah” bagian tersebut after tax, jadi resminya Contractor tidak dikenakan pajak lagi. Kalau kasusnya seperti ini, ada kemungkinan timbul masalah perpajakan di home country Contractor tersebut, karena Contractor seolah olah “belum/tidak membayar pajak” di negara tempat mereka melakukan investasi. Contractor bisa berdalih “ini sudah net”, tapi kemungkinan besar otoritas pajak di negara asalnya tidak mau mengakui dan (tetap) akan mengenakan pajak lagi, ini dis-insentif buat Contractor tentunya. Oleh karena itu, perlu masukkan dari pakar perpajakan (yang memahami international taxation, tax treaty, etc) untuk model pembagian berdasarkan GR ini. Bukankah dalam PSC generasi sebelumnya, kita pernah mengalami masalah perpajakan seperti ini?, yang membuat RI harus me-redesign PSC generasi berikut untuk mengatasinya, seperti sistem yang sekarang kita gunakan.

Penutup
Tujuan saya melihat dari perspektif disadvantage ini supaya kita dapat memahami bahwa sistem ini juga mengandung banyak kelemahan. Namun demikian, saya percaya bahwa tidak ada satu sistem pun yang paling baik - “one size fits all model does not exist”. Sehingga kalau tetap berkeinginan memperkenalkan model pembagian berdasarkan GR, saya sarankan agar sistem pembagian berdasarkan GR dibuat sliding scale in favour of our country, ini untuk mengurangi “efek regresif” seperti penjelasan sebelumnya.

Parameter sliding scale yang umum dalam pembagian profit oil split adalah: profitability, oil price, production rate, cumulative production, etc. Untuk sistem “progresif”, idealnya sliding scale dilakukan berdasarkan profitability, namun untuk kasus pembagian berdasarkan GR ini, rasanya kurang pas atau kurang relevan apabila dilakukan sliding scale berdasarkan profitability, yang mungkin dapat dilakukan adalah sliding scale berdasarkan oil price atau production rate atau cumulative production.

Vienna, 2 January 2007
------
*) Formula:
Government take (GT) = Gov. Share/Profit
Contractor Take (CT) = Contr. Share/Profit
Profit = GR - cost
GT + CT = 1
Gov Share = PSC standard (FTP Gov, Profit Oil Gov, Tax)
Contr. Share = (FTP contr, Profit Oil contr)
----------------------------------------
Diskusi dan komentar:
Saya sempat berkomunikasi via email dengan Daniel Johnston (konsultan, pengajar kursus dan penulis beberapa buku mengenai petroleum fiscal system dan petroleum economics). Saya minta komentarnya mengenai sistem pembagian berdasarkan GR dan negara apa saja yang pernah menggunakannya (selain Peru). Setelah saya kirimkan email diatas di miling list kami (tmitb nusantara - alumni teknik perminyakan ITB), siangnya saya terima Email Daniel, yang memberi info bahwa: Turkmenistan juga pake dan dia sekarang lagi garap model GR untuk blok tertentu di Algeria. Sebagian besar komentarnya mirip komentar saya diatas, khususnya mengenai masalah "double taxation" dan "regresif". Secara umum, dia tidak merekomendasi menggunakan sistem ini, hanya untuk kondisi yang sangat khusus ("special circumstances") saja.

Komentar dari rekan TM yang Pro pembagian GR, umumnya menggunakan logika sederhana saja, kalau pembagian sudah berdasarkan GR, pembagian pemerintah tidak tergantung lagi dengan besarnya cost dan bagian contraktor saja yang tergantung dengan cost. Jika split 70:30 dan GR = 100 maka bagian pemerintah langsung 70, sedangkan bagian contraktor 30 yang sudah termasuk cost dan pajak. Sehingga kalau contraktor mau untung, maka contaktor harus berusaha semaksimal mungkin untuk memperkecil cost. Secara otomatis Contrator sendiri akan berusaha mengeluarkan cost seminim mungkin.

Saya sendiri tidak menolak "logika sederhana" diatas, diskusi di miling list cukup alot tapi konstruktif, benang merah perbedaan sudut pandang "logika sederhana" dengan logika "tidak sederhana" yang saya pakai itu adalah cara kita melihat persamaan dibawah ini:

GR = Gov Share + Ctr share + Cost

Logika sederhana yang dipakai rekan rekan "Pro pembagian berdasarkan GR", melihat persamaan diatas seperti ini: Government aman, karena persentase dari GR tetap 70%, sementara kontraktor akan menurunkan cost SECARA NOMINAL, supaya persentase Ctr. share lebih besar. INI TIDAK SALAH. Tapi ini "kondisi statis", kalau GR tetap.

Logika "tidak sederhana" yang saya pakai melihat "kondisi dinamis" dalam artian, bahwa tanpa melakukan apa apa, persen cost akan turun sendiri kalau GR naik dan akan naik kalau GR turun. Jadi fokusnya lebih kearah naik/turunnya GR (karena oil price & production), ketimbang naik turunya cost SECARA NOMINAL. Jadi saya melihat dalam kondisi ekstrim, cost itu menjadi "tidak terlalu penting", karena kalau terjadi "excessive profit", persen cost thd profit akan turun sendiri, konsekuensinya, tingkat keuntungan contractor melonjak melebihi PSC standard, artinya semakin profit blok tersebut, semakin kecil GT, ini yang berulang kali saya sebut sebagai sistem "regresif". Sebaliknya kalau ternyata "jelek" (oil prices anjlok & reserves/production jeblok), cost sebagai persentase GR akan naik sendiri, Contractor tekor, Khan nggak mungkin Contractor mau nerusin proyeknya kalau nggak minta perubahan terms alias renegosiasi lagi. Jadi kontrak seperti ini relatif tidak stabil.

Tentu Perdebatan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diskusi di miling list, namun disitulah sebenarnya kesempatan kita untuk mencari wacana baru dan melihat perspektif baru, dengan tujuan tentunya, hasil yang optimum buat RI. chau...

Nyetel Koboi (pas bengong)

Santai dulu, jangan ngomongin migas mulu ah - kita ngomongin hobi waktu senggang sekarang. Problem disini, semua acara tv pakai bahasa jerman, nggak ngertilah awak, yang bahasa inggris paling BBC sama CNN. Kalau mau nonton bioskop, nggak mungkinlah niggalin anak bini, padahal nonton bioskop itu hobi awak dari zaman kuliah.

Jalan keluarnya ya cari kaset DVD lah, kebenaran awak hobi nonton film koboi klasik, jadi kalau lagi jalan keluar kota, disempatin mampir ke toko yang jual kaset. Biasanya yang paling dicari koleksi TV series zaman baheula.
Sebagian besar belinya di Amazon dan DVD Avenue.

Sebagian koleksi

Saking baheulanya sebagian masih hitam putih, kaya: Gunsmoke, Rawhide, Black Saddle, film ini dulu pernah diputer di TVRI waktu awak masih SD kali, sebagian masih inget tokoh tokohnya, ya sekalian nostalgia. Yang paling seneng, Rawhide, di film ini si Clint Eastwood masih culun banget. Black Saddle juga bagus, ceritanya pendek pendek, Big Valley juga awak suka. Sebenarnya ada yang lebih baheula, dulu juga sempat diputer di TVRI, judulnya: Lancer, cuma belum ketemu euy, sudah browsing di internet, nggak ada yang jual..

Pas lagi bosen ngurusin kerjaan, lumayanlah nostalgia nyetel koboi, agak malem cuma nyetelnya, nunggu anak2 tidur, biar konsen he he..