Saturday, September 22, 2007

Contango - Backwardation, Oil Price?

Ada yang tanya lewat email: “Bang Ben, apa sich hubungannya antara istilah contango, oil price? bisa diberi pencerahan?

------------
Wah, kayaknya pertanyaannya salah alamat, harusnya tanya ke oil trader atau oil market analyst yang kerjaannya tiap hari berurusan dengan istilah2 tersebut. Tapi untuk tidak mengecewakan pemirsa, saya coba memberi gambaran sependek yang saya tahu.. (dan mohon maaf juga kalau kurang komprehensif ulasannya, inipun sambil terkantuk2 nungguin sahur he he..)

Jadi gini dik (karena manggil saya bang, jadi saya panggil dik ya..), ini istilah untuk membedakan antara harga minyak spot (saat ini) dengan harga penyerahan kemudian (future delivery), jadi kalau misalkan sekarang spot price besarnya $60 per barel, sementara penyerahan (misal 3 bulan kedepan) harganya $ 63 per barel, maka forward structure-nya disebut contango. Sementara gampangnya kalau kejadian itu sebaliknya (future delivery price lebih rendah dari spot price), maka disebutnya backwardation.

Terus? Jadi gini, kalau strukturnya contango, karena harga penyerahan pada masa datang lebih mahal, maka ada insentif buat yang punya tangki penyimpan (storage capacity) untuk menumpuk stock atau inventory (tentu dengan catatan biaya numpuk stock lebih rendah dari selisih harga tersebut). Ini akan mengundang aksi arbitrase, maksudnya: ente dipastikan bisa dapet profit, dengan cara beli harga spot sekarang, simpan di tangki, pada saat yang sama bikin kontrak untuk penjualan dengan harga “future delivery” yang lebih mahal. Apa implikasi dari struktur contango ini? Adanya struktur contango ini oleh pelaku pasar dianggap sinyal bahwa market “over supllied”. Penjelasan lebih gampangnya lagi gini: karena ada insentif mau numpuk stock, di pasar akan terjadi peningkatan permintaan (buat numpuk stock), maka otomatis harga akan meningkat, dengan demikian, harganya akan semakin mendekati atau sama dengan harga untuk penyerahan kemudian.

Backwardation? Ya pokoknya kebalikannya lah..he he., karena harga untuk future delivery lebih rendah, maka ada insentif bagi yang punya stock untuk melepas stock nya (lha iya ngapain simpen stock wong ekspektasi harga kedepan turun), akibatnya? Stock menipis, makanya structure backwardation itu dibaca pelaku pasar sebagai sinyal “tight market” (maksudnya kekurangan supply karena stock menipis itu).

Jadi gitu kira kira hubungannya, bagaimana kondisi saat ini? Beberapa tahun belakangan, forward structure itu bentuknya contango, bulan Juli kemaren, berubah jadi backwardation, yang juga ditandai dengan turunnya inventory minyak US sekian juta barrel. Artinya? pasar agak “tight”, jadi memang perlu tambahan supply.. kira kira gitulah… Kalau Anda mau serius mendalami oil prices dan futures ini, Dr. Bassam Fattouh banyak menulis tentang itu, dia ini dari Oxford Institue for Energy Studies, ketik aja namanya di Google, kalau mau lebih spesifik, minta format pdf, langsung bisa download paper2 nya.

Thursday, September 20, 2007

Memperkarakan harga minyak?

Oops judulnya salah nggak ya?, memperkirakan atau memperkarakan? Mungkin tepatnya: memperkarakan perkiraan harga minyak….. Jadi backgroundnya begini, di salah satu milis (indoenergy) ada members yang complaint dan mengajak untuk memperkarakan DESDM karena dianggap “sembrono” memperkirakan harga minyak.

Sebelum kita bahas, mari kita tengok dulu posting posting saya sebelumnya mengenai betapa sulitnya menebak harga minyak dan perkiraan harga minyak oleh beberapa analis kondang pada bulan April 2007 (
disini).

Sekarang coba kita lihat perkiraan dari analis kondang pada bulan April 2007 tersebut: angka rata rata 2007 (dibagian bawah) sebesar $61.66 per barel! Kita bisa melihat: nggak ada satupun analis (pada bulan April tersebut) yang meramal bisa tembus sampai $73 per barel. Ada temen saya iseng tanya: ”apa beda analis sama ”pengamat” mas?, dia jawab sendiri: ”kalau analis membuat perkiraan berdasarkan data yang dimiliki pada saat itu. Sedangkan, pengamat membuat komentar setelah kejadian..” he he..

Sesama analis dari instutisi kondang yang berbedapun forecastnya bisa bertolak belakang, inget cerita saya dulu?, saya singkat aja: Bulan September 2006, saya ikut Oxford Energy Seminar, waktu itu (sekitar akhir Agustus 2006) harga minyak WTI mencapai $73 per barel. Ada 2 konsultan dan investment advisor yang jadi pembicara yang kebetulan topiknya forecast harga minyak, yang pertama, Ivo Bozon dari Mackinsey, hitungan dia menunjukkan harga minyak akan segera turun, alasannya: perkiraan demand tidak sebanyak yang diperkirakan oleh beberapa lembaga riset, sementara tambahan supply akan meningkat pada masa yang akan datang, maka harga minyak akan segera turun ke level 35 -40 $/bbl. Pembicara kedua, Arjun Murti, managing director Goldman, Sachs &Co, judulnya menarik: oil prices and the future: how high is too high?, nama arjun ini populer di kalangan analis karena teorinya yang dia sebut "super spike", dimana dia meramalkan harga minyak akan segera mencapai 105 $/bbl. Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian?, harga minyak ternyata turun ke level 60-an $/bbl, teori Arjun dianggap "sampah", apa akan terjadi akhir tahun 2007 atau 2008?, wallahualam, terlalu banyak faktor yang berpengaruh.

Bagi para analyst yang bisa dilakukan hanya fundamental (perkiraan: supply demand dan stock) ditambah risk factors: seperti geopolitik, wheather, refinery bottleneck, aktivitas spekulan di futures market, etc. Ini tentu belum lagi faktor bencana alam yang entah nggak ada yang tahu kapan datangnya? Kalau tiba tiba ada badai di Gulf of Mexico misalnya, ya tentu berpengaruh thd harga minyak, apalagi kalau kejadian tersebut dekat dekat negara produsen dan konsumen besar.

Untuk level negara, sebagian besar negara produsen biasanya pasang harga yang amat sangat konservatif untuk anggarannya (Energy Compass, September 2007). Untuk level IOC juga saya kira perkiraan harga minyak yang mereka pakai untuk proyek proyek kedepan masih sangat konservatif, untuk test keekonomian bisa jadi masih menggunakan level 40 - 50 $ per barrel, beberapa mungkin lebih konservatif lagi.

Menebak harga minyak memang susahlah, nggak ada jaminan analis kondang sekalipun bisa ”tokcer” meramal harga minyak, kalau sering bener tentu udah jadi milyuner dia. Seandainya forecast meleset, apa harus diperkarakan? Kaya kurang kerjaan aja ah..!!

Tuesday, September 18, 2007

UU Migas Irak

Baru saja dikirimin artikel dari OGEL (Oil Gas Energy Law), Sharing Iraq’s Oil: Analyzing Production-Sharing Contracts Under The Final Draft Petroleum Law oleh Daniel Behn (J.D. Candidate 2008, Tulane University School of Law, Louisiana). Ini cerita tentang perkembangan Petroleum Law di Irak. Kalau kita lihat di internet, banyak berita terkait mengenai berlarut larutnya pengesahan UU Migas nya Irak ini. Terlalu banyak urusan dan pihak yang terlibat yang harus diakomodasi. Artikel Daniel ini sedikit banyak menyinggung mengenai latar belakang UU Migas Irak ini, tentu hal ini dianggap perlu mengingat dia berasal dari sekolah hukum.

Saya tidak akan mem-posting latar belakang dan pendahuluan lainnya tetapi langsung ke rekomendasi yang dia tawarkan:.

Pertama, harus dibedakan antara kontrak eksplorasi dan pengembangan dengan kontrak kontrak yang langsung mengembangkan lapangan lapangan yang sudah ditemukan, model kontrak yang pertama tentu pantas memperoleh profit oil yang lebih besar karena resiko yang diemban lebih besar pula.

Kedua, lama kontrak sebaiknya diperpendek megingat resiko yang dihadapi relatif terbatas dan biaya investasi relatif kecil. Kontrak 35 tahun tentu terlalu lama. Ketiga, Undang undang Migas sebaiknya mengkomodasi pembagian profit-sharing berdasarkan profitability of the project melalui mekanisme R-factors atau IRR.

Keempat, UU migas sebaiknya membuat batasan maksimal cost recovery per tahun yang boleh diambil Kontraktor. Kelima, 51% interest dari PSC harus merupakan interest dari perusahaan minyak nasional Irak, ini untuk menjamin bahwa pengawasan proyek tetap dalam koridor kepentingan Irak. Keenam, UU migas harus menetapkan perlunya dibuat “regional oil funds” yang akan di monitor oleh DPRD-nya Irak. Porsi tertentu dari pendapatan minyak bagian negara harus masuk kedalam fund ini. (Walaupun ada resiko di korupsi), namun pembentukan funds ini penting untuk menunjukkan bahwa minyak Irak adalah milik semua rakyat.
---------
Itulah rekomendasi si Daniel ini, boleh keberatan, setuju juga tidak dilarang. Kalau saya secara umum oke oke ajalah, cuma agak heran dengan rekomendasi dia yang ketiga, dimana dia menyarankan pembagian profit-sharing berdasarkan profitability of the project melalui mekanisme R-factors atau IRR. Kalau rekomendasi yang ini saya tidak setuju. Model pembagian seperti ini justru bagus untuk proyek yang high risk buat kontraktor (deepwater, marginal, etc), pokoke yang susah susah deh. Dengan demikian menjamin Konraktor dapat segera memperoleh pengembalian investasinya lebih awal, karena pada saat awal negara berkorban memperoleh “profit oil” yang lebih kecil, baru setelah lebih ekonomis, maka bagian “profit oil” negara meningkat.

Agak kontradiktif, di satu pihak dia bilang Irak ini resikonya lebih kecil (kalau kita ngomong resiko disini maksudnya resiko eksplorasi & eksploitasi bukan resiko keamanan, perang, etc), tetapi dipihak lain dia sangat royal buat IOC dengan menawarkan model profitability based? Nggak klop!.

Anyway, beda pendapat khan boleh dong, saya kira yang paling penting buat Irak saat ini adalah keamanan, mau dibikin UU migas secanggih apa, kalau keamanan masih kaya sekarang, nggak ada yang mau ngebor disana, siapa yang mau digaji tinggi, tapi nggak aman, emang uangnya buat dibawa kemana? he he..

Summer Fellowship Program

Setiap tahun Sekretariat OPEC secara rutin melakukan apa yang disebut dengan Summer Fellowship Program, program ini ditujukan kepada para profesional dari negara anggota untu melakukan kajian selama 1.5 bulan di Wina. Peserta tahun ini ada 5 orang, topik yang dipilih bermacam macam, mulai dari modeling demand, EOR economics, Ethanol Economics, Fiscal System, etc.

Saya sendiri kebagian jadi supervisor salah seorang peserta dari Algeria (Rabah Lafer), yang mengambil Research topic: Project Economics of the Upstream Petroleum Contracts – A Comparative Analysis. Rabah memfokuskan pada perbandingan model kontrak baru di Algeria dengan beberapa model kontrak di dunia. Rabah sendiri adalah staf mata kuliah Petroleum Economics di Algerian Petroleum Institute. Saat ini sedang dalam proses untuk mengambil program Doktor dalam bidang yang sama di Universitas Aberdeen.


Monday, September 17, 2007

Konferensi 145

Konferensi ke 145 berlangsung tanggal 11 September 2007 di Sekretariat OPEC, Wina. Seperti biasa setelah 12 menteri yang membawahin perminyakan tiba di ruang konferensi, diberi waktu sekitar 15 menit bagi Pers untuk wawancara dengan para menteri, ini momen yang paling manarik, karena suasananya gaduh.. Setelah itu dilanjutkan dengan opening session dan sambutan dari negara produsen yang bukan anggota, spt biasa kali ini yang hadir: Rusia, Meksiko, Oman dan Egypt. Setelah itu ada beberapa presentasi dari Sekretariat.

Bagian yang paling penting adalah Closed session yang hanya dihadiri oleh 12 menteri tersebut ditambah Sekjen tentunya, disinilah keputusan digodok, mau naikin atau nurunin produksi. Kali ini Closed session berlangsung jauh lebih lama dari biasanya, cukup alot rupanya, kita2 yang nungguin di ruangan sebelah bingung juga kok nggak selesai2 ya.. Akhirnya closed session berakhir juga, para menteri sepakat untuk menaikan output sebesar 500 ribu bph efektif 1 November 2007
.

Thursday, September 06, 2007

Risk Sharing?

Dari tagboard, Eri: Mas Ben, apakah ada di salah satu negara yang menerapkan sistem cost recovery dengan sistem Risk Sharing. Maksud saya adalah misalnya di POD cost untuk mendevelop suatu lapangan adalah $100MM dengan perkiraan produksi 10 MMBO. Misalnya nih kejadian sebenernya cuman terecover 5 MMBO, CR yg bisa dinikmati oleh Contractor ya cuman 5/10 x $100MM (setengahnya)? Tentunya kalau produksi melebihi target, ada insentif tertentu untuk kontraktornya.

-----
Mas Eri apa khabar? Perlu pembahasan sedikit detail, nggak cukup kalau dijawab di tagboard. Untuk model PSC, saya belum pernah lihat ya (yang mirip seperti itu). Problem utamanya: pada saat awal, informasi bawah permukaan (subsurface) itu masih sangat terbatas, dengan demikian reserves uncertainty masih sangat besar. Saya yakin nggak pernah ada perkiraan cadangan di POD (plan of development) mendekati realisasinya. Ada proses pembelajaran selama tahap pengembangan tersebut, ada value dari setiap tambahan informasi yang membuat cadangan menjadi membesar atau mengecil.

Dengan nature seperti itu, maka model kontrak seperti diatas malah akan menimbulkan insentif untuk tidak melaksanakan “good engineering practices”, kontraktor akan ngotot bahwa cadangan tidak besar dengan harapan nanti pada saat realisasi, recovery- nya jadi besar, otomatis dapat reward yang besar pula. Sementara host country akan lebih optimis dengan cadangan yang besar. Waktu diskusi dan rapat akan habis dipakai mempertahankan argumentasi masing2 untuk sesuatu yang dua duanya masih belum jelas!. (lagi pula kalau kebanyakan rapat nanti bisa meningkatkan biaya: snacks, kopi, teh, lemper, etc- cost recovery meningkat pula jadinya… he ).

Problem kedua, kalaupun sudah sepakat masalah estimasi recoverable reserves dan biaya tersebut, realisasinya itu untuk berapa lama?. Maksudnya apakah dibatasi sampai periode di dalam POD, artinya kalau di POD, perkiraan produksi 15 tahun, apakah dengan demikian batas recoverable nya sampai 15 tahun juga.. Ini bisa rame lagi, pada prakteknya khan POD sering di revisi, lha kalau model kaya gini, masih boleh nggak revisi POD?, kalau boleh, pasti kontraktor minta revisi begitu melihat recoverable reserves- nya menyusut, kalau nggak boleh, kontraktor bisa jadi akan “cut loss”, proyeknya nggak diterusin…!

Problem ketiga, bagaimana metoda penalty – reward-nya, apakah berdasarkan kinerja tahunan (kalau nunggu end of project - ya kelamaan), apa yang bisa terjadi ? Kontraktor cederung akan nge-set produksi diawal kecil, tapi realisasinya akan digenjot segede mungkin, kembali lagi: prinsip good engineering practices diabaikan, sumur2 jadi rusak, secara longterm, tidak ada yang memperoleh manfaat (terlebih buat host country..). Jadi: serba susah deh mas..

----

Namun demikian (nah ini yang penting, kata temen saya: kalau denger orang ngomong, intronya dengerin sambil lewat aja, yang penting pas dia ngomong, “namun demikian”, atau kalau sama bule, dengerin pas dia ngomong “but”, “therefore”, etc.. bagian awalnya cuekin aja. Masalahnya kadang kadang “but” nya ini nggak keluar keluar…he he..). Untuk model service contract, hal tersebut masih dimungkinkan (tentu nggak persis seperti ilustrasi mas Eri diatas). Kenapa? karena sebagian besar model service contract itu untuk tahapan pengembangan (development), dalam banyak kasus berlaku untuk lapangan lapangan yang sudah berproduksi, dengan demikian data sudah cukup memadai, relatif “low uncertainty”.

Contohnya: Ada suatu model service contract, dimana dibuat kesepakatan mengenai laju produksi yang mereka sebut “stipulated production rate” kita singkat SPR, dapet reward kalau diatas SPR dan penalty kalau dibawahnya. Menurut cerita temen dari negara yang pernah pake model ini, menentukan SPR itu juga berlarut larut, setelah sepakat dengan angka SPR pun, nanti bisa rame lagi, kenapa? karena kontraktor cenderung akan genjot produksi setinggi mungkin, ya wajar dong dapet reward kalau diatas SPR, sebaliknya host country complaint, karena menggenjot produksi tanpa mempertimbangkan “good reservoir management”, malah memperkecil recoverable reserves, lha salah lagi… he he. Tapi pada prakteknya tidak sesulit itu, ada negosiasi negosiasi berdasarkan tambahan data baru di lapangan, karakteristik reservoir menjadi lebih jelas, tentunya akan ada kesepakatan untuk menyetujui kenaikan produksi.

Sekarang agak menyimpang sedikit, tidak berhubungan langsung dengan pertanyaan diatas, namun perlu juga untuk menambah wacana. Sekedar ilustrasi bahwa contoh klasik untuk model service contract itu adalah untuk project Enhanced Oil Recovery atawa EOR (dan atau metoda metoda lain yang bertujuan untuk meningkatkan recovery factor, seperti teknologi rusia itu lho: vibro apa itu? Yang mengguncang guncang lapisan tanah dekat sumur minyak, biar produksi bisa meningkat..). Umumnya kontraktor mendapat fee dari setiap barrel peningkatan produksi. Gambar klasiknya seperti dibawah ini.


Sederhana sekali, setiap peningkatan produksi (warna hijau) kontraktor dapet fee sebesar “x” US$ per barrel. Pada prakteknya, yang susah itu malah menentukan baseline (sebagai info buat yang awam, baseline ini di prediksi berdasarkan existing conditions, diluar pekerjaan EOR, maka profil produksinya akan mengikuti baseline tersebut) . Kalau realisasinya sama atau dibawah baseline, otomatis kontraktor nggak dapet apa apa (ya wajar, karena EOR itu khan tujuannya memberi tambahan recovery, kalau sama atau dibawah baseline, ya gatot, tanpa EOR produksinya akan segitu juga...).

Bagi yang niatnya jelek (alias oknum), baseline ini bisa jadi “mainan”, oknum di perusahaan kongkalikong aja sama kontraktor EOR (tentu oknum ini harus decision maker, kalau pegawai rendahan gimana mau jadi oknum? he he). Dia bikin baseline serendah mungkin, nanti si kontraktor juga bikin proyek EOR nya asal asalan (karena pada dasarnya si kontraktor ini emang nggak punya keahlian di bidang EOR, kalau ahli tentu nggak mau jadi oknum, nggak mau kongkalikong..). Jadi dari EOR bohong bohongan tadi, si kontraktor tinggal ongkang2 kaki aja, terima fee… seolah-olah ada “gain” dari baseline, padahal baseline nya bohong2 an juga.. ! harusnya biar fair, bayar fee-nya pake duit bohong2 an juga ya…. Udah dulu ah, ini ilustrasi juga bohong2 an kok!

Tuesday, September 04, 2007

Kebijakan Pajak BBM

Ini menyambung posting sebelumnya mengenai pajak BBM, soalnya sekarang lagi merhatiin kecenderungan energy taxes di negara konsumen gede (G7 countries). Kalau kita lihat negara G7 Eropa (UK, Perancis, Jerman dan Italy) termasuk gede banget pajaknya, sementara negara G7 lain kaya US dan Canada cenderung kecil. Apakah ada hubungan antara densitas populasi dengan kebijakan perpajakan? Bisa jadi!.

Ada juga pendapat yang bilang kalau masyarakat di belahan eropa (barat) punya toleransi yang tinggi terhadap tingginya pajak bahan bakar minyak ini dibanding orang amrik atau kanada karena dua alasan: pertama, shorter distance to travel, kedua, better access to public transport. Tapi sebenarnya nggak toleran2 amat, buktinya tahun 2000 ada demo juga di UK menentang tingginya pajak BBM ini.

Hal lain yang juga menarik untuk diamati itu adalah level konsumsinya, kita tahu kalau di US sana, konsumsinya luar biasa besar, gasoline misalnya konsumsi bisa 20 kali lipat dibanding UK. Sekarang timbul pertanyaan: apakah pajak yang rendah itu mendorong terjadinya konsumsi yang besar? Atau yang terjadi begini: karena tingkat konsumsi yang besar, maka menjadi semacam pressure buat government, yaitu pressure yang kuat untuk menentang setiap ada ide untuk menaikkan pajak.

Secara teori, pajak bahan bakar minyak ini antara lain bertujuan: 1. untuk mengcover biaya konstruksi dan maintenance infrastruktur transportasi, 2. sebagai sumber untuk pengeluaran pemerintah, 3. sebagai koreksi thd negative externalities, 4. dan lain lain

Point pertama kelihatannya oke untuk kasus US, tapi yang lebih umum buat negara lain kayanya point kedua. Nah, point ketiga ini yang kita coba bahas lebih jauh karena ini urusannya dengan lingkungan. Teorinya seperti ini: barang barang “jahat” harus dipajakin gede gede supaya mengurangi konsumsinya, slogannya: tax bad not goods. Karena fuel ini mempunyai efek negatif terhadap lingkungan, maka (katanya) perlu dipajakin yang gede, supaya dapat keuntungan ganda (istilah kerennya: double dividend), yaitu: pertama, pencemaran lingkungan berkurang karena konsumsi berkurang, kedua, ada pemasukan pajak (yang teorinya) bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Idealnya semakin mencemari suatu produk, semakin gede tingkat pajaknya, tapi realitanya tidaklah demikian, sebagai contoh: coal yang relatif lebih besar efek pencemarannya, malah dipajakin lebih rendah dari petroleum dan gas. Begitu pula untuk sesama petroleum products: kerosene dan diesel mestinya kena pajak lebih gede dari gasoline, tapi prakteknya tidak selalu demikian, karena urusannya dengan “distribusi of income”. Suatu negara mungkin harus memproteksi industri coal-nya, kalau nggak bisa2 angka pengangguran meningkat. Begitu juga dengan kerosene yang relatif lebih banyak digunakan oleh kelompok yang lebih miskin.. masak nekat dipajakin tinggi2, nanti government-nya nggak populer, tidak pro rakyat miskin. Not so easy ya?..

Sebagai penutup, menarik melihat komentarnya Sanjeev Gupta dalam papernya “Taxation of petroleum products: theory and empirical evidence”, saya kutip: the domestic taxation of petroleum products is an important source of revenue in most countries. However, there is a wide variation of taxes rates on petroleum products across countries, which cannot be explained by economic theory alone.