Wednesday, January 30, 2008

PSC vs Non Cost Recovery

Ijoel: Mas Ben, untuk model non CR, bisa nggak ditambahkan dengan ilustrasi dari perspektif IRR kontraktor?. Trims sebelumnya Jan.29.08 05:02 AM

--------
Sebenarnya saya sudah banyak sekali posting mengenai untung rugi metoda pembagian berdasarkan Gross Revenue alias model kontrak yang nggak ada cost recovery.

Saya berangkat dari latar belakang dulu: model ini jadi menarik karena ada kata "non cost recovery", timing-nya tepat karena saat ini "cost recovery" itu sedang menjadi musuh nomor satu bangsa, semua orang alergi kalau mendengar istilah cost recovery he he. Jadi kalau ada model yang "non cost recovery", maka model ini dianggap solusi paling ideal.

Ada juga yang berasumsi bahwa dengan model non-cost recovery, investor akan lebih effisien karena komponen cost sudah termasuk porsi bagian investor (investor share). Dengan demikian, investor akan terdorong melakukan efisiensi biaya dalam rangka memperoleh margin profit yang lebih besar.

Sekarang mari kita berandai andai, Anda adalah investor yang berminat ikut tender block (model non cost recovery ini). Singkat cerita, dari data2 sub-surface (bila tersedia), staff Anda bisa memperkirakan berapa cadangan dan expected profil produksinya, data estimasi biaya (finding, dev. dan production cost) juga bisalah diperkirakan. Dengan asumsi harga minyak, Anda kemudian bisa menghitung IRR dari block tersebut, baik dengan menggunakan PSC standard maupun dengan macam macam split untuk model yang "non cost recovery". Karena ada ketidakpastian dari estimasi yang dibuat, maka Anda perlu melakukan sensitivitas dari ketiga key profit drivers, yaitu: harga minyak, cadangan (yang direfleksikan oleh forecast produksi) dan biaya (baik Capex maupun Opex). Secara sederhana, hal ini bisa dilakukan dengan mengubah salah satu key profit drivers tersebut, sementara yang lain dianggap konstan, atau kalau Anda mau advanced dikit, supaya bisa melihat efeknya secara simultan, bisa juga dilakukan dengan metoda simulasi.

Supaya tidak terlalu komplek gambarnya, saya lampirkan 2 gambar berikut (Gambar 1 & Gambar 2). Pada dasarnya ini sensitivitas biasa, perlu diperhatikan disini yang penting dilihat adalah polanya, angka (dalam hal ini) tidak begitu penting karena bisa beda beda tergantung inputnya.


Membacanya kira kira begini: kalau key drivers profit-nya "favourable" (bisa karena prices naik, reserves naik atau costs turun, atau kombinasinya), maka IRR investor akan naik. Sebaliknya juga begitu, kalau "non favourable" (prices turun, reserves memble, cost naik), IRR akan turun.

Katakanlah, Anda sebagai investor akan nge-bid sebesar 30% - 70% (yang disebut duluan adalah bagian investor), dari Gambar 1 kita dapat bagi menjadi 3 Area. Area I dan Area III adalah area yang lebih "menguntungkan" bagi Government dibanding investor relatif terhadap PSC standard (85 : 15). Sebaliknya area II adalah area dimana investor yang "lebih diuntungkan". Kalau kita lihat split 30 – 70 selintas cukup fair, karena kemungkinan berada di area I + III sama dengan area II. Bisa juga dibaca begini: makin bagus "key profit drivers" (area II) makin untunglah investor (lagi2 maksudnya relatif terhadap PSC standard). Sebaliknya makin kurang bagus "key profit drivers" (area I + III), makin kurang beruntunglah investor, karena ternyata hasil ini lebih jelek dibanding kalau mereka pakai PSC standard.

Namun demikian perlu kita lihat bahwa area III adalah area dimana IRR investor akan kurang dari 10%, sehingga pada realitanya nanti, area III ini tidak akan terjadi, apabila ini case-nya, si investor akan mundur. Apa ada investor mau terus kalau proyeknya bakalan rugi. Hal ini tidak akan terjadi apabila menggunakan PSC standard, dengan PSC standard IRR investor masih diatas 10%, yang artinya proyeknya tetap akan berjalan.

Sekarang kita lihat Gambar 2, bagaimana kalau investor nge-bid sebesar 35% - 65%, yang terjadi adalah area II ("investor makin untung“), semakin membesar, pay-off bagi government (area I) semakin mengkerut. Begitu seterusnya, apabila investor nge-bid lebih besar lagi (mis: 40% - 60%), maka praktis government gigit jari, karena in any case, IRR investor akan lebih baik dari model PSC standard.

Dapat kita lihat sebenarnya model "non cost recovery" ini lebih kearah terjadinya "win – lose", artinya: kalau terjadi ekstrim negatif, investor kalah telak, sementara pada kondisi ekstrim positif, investor menang telak. Pada PSC standard, hal ini tidak terjadi (jadi cenderung lebih win-win). Pada kondisi ekstrim negatif, investor masih bisa eksekusi proyeknya, pada kondisi ekstrim positif, gorvernment dapet bagian yang lebih besar.

Kembali ke pertanyaan klasik. Betulkah Anda (sebagai investor) akan menjadi lebih efisien dalam hal manajemen biaya dengan model non cost recovery ini? Wallahualam!, kalaupun benar, saya tidak begitu yakin akan terjadi cost effisiensi yang signifikan. "Keberuntungan" investor lebih banyak dipengaruhi oleh ketemu reserves yang gede dan tertolong lonjakan harga minyak. Jadi nanti kalau investor untung banyak (area II), itu bukan karena cost efficiency. Sebaliknya, apabila terjadi kondisi di area III, apa dengan melakukan cost efficiency bisa menolong untuk mendongkrak IRR investor? Well, I hope so, but I doubt it....

Sejatinya, besarnya cost itu tidak bergantung jenis kontrak, jadi kalau Anda mau develop field, tentu Anda akan sampai pada estimasi cost yang sama terserah mau kontraknya kaya apa. Apa kalau modelnya royalty tax terus Anda merasa harus effisien? Sementara model PSC Anda akan jor jor-an?. Apa iya investor untung kalau jor jor-an di cost?. Coba lihat posting saya tentang cost recovery sebelumnya.

Bahwa ada upaya Government untuk mengupas detail komponen cost recovery saya kira itu perlu di-apresiasi, intinya "cost recovery" jangan dijadikan tong sampah, apapun dimasukkan kesana. Walapun saya kira pada akhirnya komponen biaya "receh receh" yang sering dbahas itu sebenarnya secara persentase dari total cost mungkin tidak terlalu signifikan (ini feeling saya aja, mohon share kalau ada yang punya datanya, walaupun kecil tentu bukan alasan pembenaran, tetap harus diproses kalau ada "kebocoran" sekecil apapun, namun yang penting itu, ibarat kata pepatah: kalau mau nangkep tikus, janganlah dibakar gudangnya..). Komponen biaya besar itu khan yang berhubungan dengan proyek2 yang terkait dengan core activities dari bisnis migas. Nah, disini pengawasan yang perlu ditingkatkan. Caranya? Tingkatkan: knowledges, experiences & integrities dari pihak yang mengawasi. Cukup? Belum, KKKS di RI ini banyak jumlahnya (apalagi proyeknya), maka diperlukan integritas dari teman2 yang beberja di KKKS yang nota bene mewakili pemerintah juga (karena toh "indirectly" makan gaji pemeritah juga?). Mohon juga kontribusinya, jangan jadi penonton saja, kalau ada "tikus" berkeliaran dikantor jangan diem saja, di-infokan ke pihak yang berwenang. Kalau kompetensi yang ngawasi sudah bagus, terus yang kerja di KKKS integritasnya meningkat, selesailah sudah urusan cost recovery ini. PSC ini banyak dipakai dimana mana, tapi nggak ada yang sebegitu hebohnya dengan cost recovery, apabila naik, bisa jadi level of activities meningkat dan tentu saja mereka paham dengan trend bahwa biaya upstream lagi naik. Kalau di kita ini, semua masalah jadi kompleks, sana sini teriak, akhirnya: tikusnya nggak dapet, gudangnya dibakar habis he he..

Sebetulnya, kalau kita lihat praktek PSC di mancanegara saat ini, Untuk E&P contracts, model PSC saat ini masih yang paling populer, perkembangannya juga sangat cepat dengan berbagai macam teknik dan formulasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Kita yang jadi pioneer malah sudah agak tertinggal. Bagaimanapun, di level kita ini kan cuma bisa memberikan pandangan dan wacana yang berkembang, yang mana yang mau dipilih mah terserah: apa mau modifikasi model PSC atau bikin trend baru dengan mengeluarkan model kontrak "non cost recovery"?

Sunday, January 27, 2008

Kontrak non cost recovery (lagi!)

Dari tagboard, zaki : Mas Benny, selamat online kembali Kemaren di suatu acara acara di Four Seasons, Pak Luluk mengatakan pemerintah sdg mengkaji jenis kontrak yg non cost recovery, dan nanti akan ditenderkan juga split-nya. Terus terang saya merasa agak bingung dg perkataan beliau, karena menurut saya, split itu thd revenue minus cost. Apakah memang ada contoh di negara lain yg seperti ini? Rasanya di Libya pun besaran split yg dibagi adalah besaran setelah cost recovery, pls confirm. Thx a lot. Jan.24.08 08:34 AM


---------------
Detail model yang dimaksud saya belum tahu, banyak memang praktisi migas di tanah air sibuk mencari cari model tanpa cost recovery. Model yang paling “pure” nggak ada cost recovery itu adalah model yang pembagiannya split nya berdasarkan gross revenue. (lihat posting saya sebelumnya disini)

Nah, mungkin yang mau ditenderkan itu, split gross revenue-nya. Jadi nantinya bagian gov sudah termasuk royalty, tax dan lain lain, sedangkan bagian KKKS sudah termasuk cost. Contoh di negara lain? rasanya hampir nggak ada, saya pernah kontak Daniel Johnston via email, dia bilang dia sedang evaluasi buat Turkmekistan karena pertimbangan khusus. Mungkin ada yang bisa update kalau pernah dengar aplikasi model ini ditempat lain.

Memang pada akhirnya yang paling sulit untuk model ini adalah menentukan berapa split yang pas (maksudnya yang bisa diterima investor tapi nggak lebih jelek buat Gov). Jadi kalau pada akhirnya ditenderkan saja mungkin ada benernya juga, daripada bingung menentukan berapa yang pas, ya sudah suruh investor yang minat compete aja beraninya berapa.

Kalau iseng, bisa juga dikira kira berapa kisaran split yang bakalan diajukan investor, coba lihat gambar diposting sebelumnya disini.

Model ini cuma berdasarkan perhitungan Gov. Take, untuk yang lebih komplit bisa dengan detail cash model (DCF anaysis), tapi lebih njelimet, (lihat posting sebelumnya mengenai kelemahan dan kelebihan metoda komparasi disini). Pada dasarnya perhitungan simple Gov Take ini kaya “quick count” aja, simpel tapi hasil akhirnya umumnya nggak beda banyak dengan metoda yang lebih kompleks lainnya.

Investor akan nge-bid dengan asumsi kira kira berapa persentase cost thd expected gross revenue. Kalau misalkan berdasarkan perkiraan besarnya kira kira 20%, maka untuk memperoleh Contraktor take yang sama (Cont take = 1 – Gov take) dengan PSC standard, split Gross revenue yang diperlukan sekitar 32% : 68% (Cont : Gov), kalau persentase cost thd gross revenue nantinya lebih besar, katakanlah 30%, maka investor akan “rugi”, kalau sebaliknya lebih rendah (mis: 10%), investor akan “untung”, kalau cost nya = 20% maka “indifference”. Terminologi: untung, rugi ini maksudnya relatif thd PSC standard.

Kalau katakanlah asumsi cost thd Gross revenue sekitar 30%, maka perlu split sekitar 40% : 60% untuk memperoleh take yang sama dengan PSC standard. Persepsi Investor tentu beda dengan Gov, investor akan lebih cari save dengan asumsi cost yang lebih besar (karena berbagai pertimbangan spt reserves risk, inflasi, etc), sebaliknya persepsi Gov, persentase cost akan lebih kecil karena trend harga minyak yang terus meningkat. Kemungkinan kisaran Bid investor sekitar 30% – 45%. Makin berani investor (ngebid dibawah 30%) makin besar peluangnya.

Seperti pernah saya posting, disadvantage model ini adalah seperti “pisau bermata dua”, gambarannya gini: katakanlah investor yang jadi pemenang nge bid dengan 33% - 67%. Dari persepsi gov, bisa jadi ini lebih jelek ketika profitnya melonjak (karena reserve yang ternyata sangat gede dan harga migas ternyata terus meningkat). Sebaliknya bisa jadi lebih bagus, ketika ternyata prospeknya memble, dan harga migas nggak naik. Jadi model ini melindungi Gov thd “potential loss”, tapi tidak lebih baik ketika terjadi “excessive profit”.

Namun demikian, coba sejenak kita bayangkan apa yang akan terjadi, ketika terjadi kondisi “potential loss”, apa investor akan terus jalan dengan proyeknya? Sudah tahu bakalan rugi apa iya terus ??, bisa jadi investor akan “cut loss” alias mundur. Paling mungkin, yang akan terjadi adalah re-negosiasi, investor akan minta perubahan terms. Sebaliknya kalau terjadi excessive profit, apa rela investor bagi bagi rezeki tambahan tsb?. Akhirnya, “kelebihan” dari model ini (karena tidak ada mekanisme cost recovery) kelihatannya pada prakteknya tidak akan terjadi.

Secara “time value of money”, model seperti ini, tidak terlalu menarik buat investor, karena adanya karakteristik “cost recovery ceilling” (dalam contoh ini, cost hanya bisa direcover sebesar max 33% setiap tahunnya), padahal investasi awal nilainya sangat besar. Tentu akan berpengaruh ke perhitungan IRR, NPV, pay out etc.

Singkat cerita, kalau hanya pembagian split berdasarkan gross revenue saja, saya kira akan terlalu sederhana dan memungkinkan terjadi kondisi “pisau bermata dua“ tsb. Perlu dipikirkan untuk membuat terms & conditions lain untuk mengantisipasi kedua kondisi ekstrim diatas.

Tuesday, January 22, 2008

I am back

Always too short for holidays, padahal udah cuti sebulan lebih dikit, tetap aja rasanya kurang, lumayanlah ketemu teman2 lama, ketemu makanan enak, jadi pingin cuti lagi nih...

Kembali ke blog, banyak juga pertanyaan euy, tak jawab satu satu sekenanya dulu ya.

toni: mas benny yang baik, menurut mas beny apakah kalo ada KPS yang join ikutan KSO sama Pertamina itu, si KPS berhak meng klaim equity reserves yang dia dapat dari porsi nya pertamina itu sebagai book reserves nya ya? Jan.16.08 11:14 AM

Toni yang baik juga, KSO itu agak unik, selintas kayak “PSC dalam PSC”, btw, jawaban saya ini belum tentu benar karena saya nggak tahu detailnya KSO. Berdasarkan pengamatan jarak jauh saja, kuncinya sebenarnya adalah pertanyaan ada nggak “transfer of interest” dari PTM ke Partner? kalau nggak ada, ya nggak bisa booking reserves, sependek yang saya tahu dalam KSO itu nggak ada transfer of interest, kaya service contract biasa. Mungkin teman PTM yang involved di KSO bisa menambah pencerahannya

Malik: Mas Beni, saya ada pertanyaan, apa benar untuk kontrak PSC kita yang baru diberlakukan DMO untuk gas? Kalo YA, gimana ketentuannya. Kebetulan saya sedang running economics untuk exploration/NV propects untuk Eastern-Indonesia. Makasih sebelumnya. Salam, Malik (TM'91). Jan.16.08 03:09 AM

Mas Malik, Ketentuan detailnya saya belum tahu, DMO untuk Gas, mungkin lebih tepat nyebutnya DMA kali (Domestic Market Allocation) itu khan isu serius bagi pemerintah dan saya pikir perspektif KKKS juga harus diubah untuk melihat kondisi tersebut sebagai “kebutuhan yang mendesak” bagi pemerintah. Berapa besarnya? Saya nggak tahu persis, bisa jadi itu bagian dari negosiasi berdasarkan keekonomian proyek tersebut. Bisa saja direkomendasikan oleh pemerintah sama dengan DMO oil sebesar 25% (tentu bisa juga lebih). Pada akhirnya kuncinya khan di pricing gas, kalau harga gas domestik juga bagus, mestinya itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan buat KKKS, bukankah dalam kasus2 lain, buyers domestik ternyata berani beli dengan harga yang lebih bagus daripada buyers di LN?. Sekali lagi ini juga berdasarkan pengamatan jarak jauh lho..

adhi: mau tanya mas benny, ada gak artikel tentang PSC gas natuna yang kontroversial itu ? kalo gak salah porsi kontraktor dan negara 100:0. Kemaren di todays dialog metro TV Wapres JK mengatakan psc dirubah total menanggapi keberatan Amin Rais. Syukur alhamdulillah kalo mas benny bisa nerangin kronologis sampe yang terbaru. Jan.08.08 07:32 AM

Mas Adhi, Artikel Natuna khan udah banyak dibahas di mass media, coba juga liat posting saya sebelumnya.

Eri: Mas Ben, happy new year 2008. Barusan saya baca di [LINK] kalau pemerintah RI sedang mengkaji sistem kontrak yg berbasis TIDAK menggunakan cost recovery. Salah satu usulan yg dipertimbangkan adalah untuk tender, point yang akan dinilai adalah berapa % split yang ditawarkan kepada pemerintah RI. Gimana ini mas? Jan.07.08 12:21 PM

Mas Eri, Happy new year juga, kemaren pas malem tahun baru saya di Jakarta, nggak kemana2, kecapean, tiduran aja dirumah.

Untuk kasus model kontrak yang tidak menggunakan “cost recovery” sudah banyak saya bahas, buat saya itu bukan solusi optimum buat government, saya kira itu euphoria saja karena terlalu ketakutan dengan cost recovery. Saya khawatir, at the end, government yang akan jadi looser..

Mengenai bid-able split, itu udah banyak di praktekan di LN (Libya, Angola dan banyak lagi), profit oil split dikosongin, IOC tinggal isi sendiri beraninya nulis angka berapa, kadang kadang nggak cuma split yang di tenderkan, yang lain bisa juga kaya: royalty, cost recovery limit, etc. Untuk kasus EPSA Libya, mereka malah terkaget kaget sendiri waktu buka hasil bid-nya, kok IOC masukin split nya kecil sekali buat si IOC nya. Waktu ada yang kritik, kok terms Libya ketat sekali, Boss minyaknya Libya sana enteng aja bilang, lha mereka sendiri yang nekat minta splitnya kecil kecil he he..

Erwin: salm kenal sy adlh mahsiswa jursan Business Management yg sdng menysun skripsi.sampai saat ni sy msh dibingungkan dgn topik pa yg akan tuls pd skripsi sy ini.Permasalahannya, sy sangat interest dng topik sosio ekonomi yn berkaitan dng [LINK] ingin skripsi sy trsebut selain sbg salah satu syarat klulusan meraih gelar Srjana, tp jg sbg informasi & solusi atas prmasalahan prekonomian indo.Shg skripsi sy dpt mnjd kritik bg Khalayak umum yg memiliki peran di dlmnya.apakah sdr beny bs memberikan masukan thp prmasalahan sy? Terima Kasih..Best Regard Dec.27.07 06:05 AM

dan: Halo Pak Benny, wah.. senang sekali membaca blog-nya bapak, sy mendapatkan pengetahuan bnyk sekali. Kebetulan saya sedang mengerjakan studi literatur mengenai aset manajemen negara di bidang oil n gas. Saya ingin share lebih lanjut, bisakah Pak Benny hubungi saya di email saya? thx.. Dec.26.07 10:14 AM

Mas Erwin, saya nggak bisa buka LINK nya, email JAPRI aja ke saya (
blubiantara@gmail.com). Buat Mas Dan juga deh, kira2 apa yang bisa di share?


Juwarto: Mas Benny, saya mo nanya soal Pertamina. Apa semua (mayoritas) kontrak2 pertamina itu "no-ringfencing". Soalnya pertamina menggunakan metode konsolidasi untuk menghitung biaya2 yang ditagihkan ke negara. Akibatnya pembagian hasil migas ke daerah(pemda) terkesan tidak adil. Daerah yang seharusnya dapat bagi hasil tinggi jadi berkurang karena harus "mensubsidi" biaya daerah lain. Terima kasih. Juwarto Dec.14.07 04:18 AM

Mas Juwarto, pertanyaannya saya kira sudah dijawab dengan sangat baik oleh mas adhi, tengkiu mas adhi.


Martinus: Hello Pak Benny, apa kabar? Semoga baik dan sehat2 selalu ya. Apa Pak Benny tertarik untuk menulis blog tentang windfall profit? Apalagi ada wacana untuk DPR menerbitkan RUU mengenai windfall profit tsb. Thanks. Dec.14.07 01:16 AM

Mas Martinus, tentang windfall profit, boleh juga tuh he he.. tapi serem buat KKKS kali ya. Kalau kolega saya disini bilangnya gampang aja, kalau diterjemahkan kira kira begini: “mister IOC, ente khan nggak pernah nyangka kalau harga minyak jadi setinggi kaya gini waktu ngitung keekonomian proyek ente 5 – 10 tahun lalu, oke lah ogut percaya, ente pasti protes, bilang apa apa naek mas, ngebor mahal, cari karyawan profesional susah mintanya gaji gede semua, pokoke semuanya naek deh. Gini aja deh mister, ogut ngertilah itu semua, gimana kalau kita transparan aja hitung2 annya, ogut juga nggak enak kalau ente jadi tekor, tapi ya jangan terlalu pelit juga, ngakunya miskin terus, ngasih tapi sing ikhlas dong, makanya kita itung2-an transparan ajalah…”. Inilah diskusi windfall profit ha ha…

Monday, January 07, 2008

Harga Minyak - how high is too high?

Namanya Arjun Murti, dia bekerja di Goldman Sachs, anak muda ini salah satu pembicara yang paling ditunggu pada waktu menghadiri Oxford Energy Seminar, September 2006. Arjun mendadak populer dikalangan analis harga minyak dengan teorinya super spike yang meramalkan harga minyak akan segera mencapai 105 $ per barrel. Pada saat itu, di kalangan analis - Arjun dianggap nyeleneh, tapi sebenarnya banyak juga yang penasaran dengan teorinya tersebut. Pada sesi lain dalam seminar yang sama, Ivo Bozon dari perusahaan konsultan yang juga terkenal (MacKinsey), membuat ramalan sebaliknya, harga minyak akan segera turun ke level 35 - 40 $ per barrel. Saat itu harga minyak WTI sekitar 64 $ per barrel, turun sejak mencapai puncaknya bulan Juli 2006 sebesar 76 $ per barrel. Dua bulan kemudian harga minyak terus turun ke level 55 $ per barrel dan orang mulai melupakan teorinya Arjun.

Mingguan Petroleum Intelligence Weekly (PIW), secara rutin mengadakan semacam kontes forecast harga minyak yang terdiri dari para analis beken dari institusi kondang kelas dunia. PIW edisi April 2007, memuat range forecast dari analis tersebut, hasilnya: untuk rata rata tahun 2007 range-nya berkisar antara 54 - 66 $ per barrel. Apa yang terjadi kemudian? Harga minyak terus meningkat sejak April 2007, pola ini berbeda dengan tahun tahun sebelumnya dimana harga minyak akan cenderung turun setelah liburan musim panas berakhir, ini ternyata tidak terjadi untuk tahun 2007. Melihat perkembangan harga minyak, PIW edisi September menurunkan kembali update forecast harga minyak dari para analyst tersebut, untuk kuartal 4, 2007, yang berkisar antara 67 – 77 $ per barrel, tidak satupun analis beken memperkirakan harga minyak akan tembus ke level 80 $ per barrel. Ada joke diantara para analis, “pekerjaan apa yang paling sia sia?”, jawabnya: “mem-forecast harga minyak”.

Semua analisa harga minyak tentunya berangkat dari faktor faktor fundamental, seperti: pertumbuhan ekonomi, supply vs demand, level persediaan (stocks) di negara konsumen, spare capacity OPEC, weather (musim), tentunya juga ditambah kemungkinan terjadinya gangguan pasokan baik karena masalah geopolitik maupun badai dan bencana alam lainnya.

Apa yang terjadi tahun 2006, ketika supply vs. demand dianggap cukup, namun terjadi masalah pasokan untuk produk produk hasil kilang akibat adanya bottleneck. Selain masalah kapasitas, juga ada masalah kompleksitas kilang karena terjadi ketidakseimbangan permintaan produk minyak. Secara global, permintaan untuk light products (gasoline, naphtha) meningkat sebaliknya permintaan heavy products relatif turun. Konfigurasi kilang yang jenis simpel tidak bisa meng-upgrade crude residue menjadi light products. Maka terjadilah “rebutan” minyak mentah jenis ringan, sementara tambahan pasokan minyak mentah yang tersedia sebagian besar jenisnya heavy crude, yang terjadi akhirnya: surplus heavy crude sementara defisit light crude.

Perkiraan pertumbuhan permintaan dan pasokan minyak global biasanya dilakukan oleh banyak institusi, seperti: OPEC, DOE, IEA, CERA, PFC, Barclay Capital, Argus dan lain lain. Data tersebut ada yang bisa diakses langsung, ada juga yang harus membayar dulu sebagai anggota. Perkiraan pertumbuhan permintaan untuk tahun 2008 dari rata rata institusi tersebut sekitar 1.3 juta barrel per hari. China, India dan Timur Tengah mengambil porsi sekitar 850 ribu barrel per hari (65%) dari tambahan permintaan global tersebut.

Bagaimana dari sisi pasokan? tambahan sekitar 800 - 900 ribu barrel per hari dipasok dari negara Non-OPEC (Utamanya: Brazil, Canada, Russia dan Azerbaijan). Sementara kekurangannya akan diisi oleh OPEC, dengan spare capacity OPEC sekitar 2 - 3 juta barrel per hari, fundamental tentunya cukup aman.

Salah satu faktor non-fundamental yang tidak boleh dilupakan adalah persepsi, persepsi yang timbul adalah bahwa posisi fundamental sangat ketat, yang pada gilirannya menimbulkan kecemasan konsumen terhadap keyakinan akan ketersediaan pasokan. Faktor faktor ini (kecemasan macetnya pasokan karena meningkatnya ketegangan geopolitik, ketidakyakinan kinerja pasokan Non-OPEC, dan kenyataan menurunnya level persediaan minyak mentah US) tentu mempunyai andil terhadap meningkatnya harga minyak. Faktor lain adalah melemahnya nilai tukar dollar dan turunnya tingkat suku bunga di US yang membuat investor melakukan hedging terhadap posisi dollar yang melemah, kondisi ini mendorong meningkatnya harga komoditas termasuk minyak.

Peran dan pengaruh spekulan di oil futures market.

Pada umumnya yang dimaksud spekulan dalam crude oil papers itu adalah kelompok yang tidak ada hubungannya dengan transaksi minyak yang sesungguhnya (physical crude). Misalnya: hedge, pension fund, dan lain lain. Transaksinya dicatat sebagai non-commercial oleh CFTC (commodity futures trading commission). Oleh karena itu transaksi non-commercial ini dijadikan pendekatan untuk melihat aktivitas spekulan. Analis berusaha mencari hubungan antara aktivitas spekulan dengan kecenderungan harga minyak, misalkan dengan membuat plot: harga minyak (WTI) vs. transaksi non-commercial, harga minyak vs. volume open interest (total jumlah futures contracts long atau short yang belum di likuidasi oleh offsetting transaction atau delivery).

Mengapa spekulasi kena getahnya dan dituding ikut mendorong melonjaknya harga minyak? Beberapa tahun belakangan transaksi di futures markets ini meningkat sekitar empat kali lipat dibanding 10 tahun yang lalu, begitu pula transaksi untuk kontrak non-commercial. Beberapa studi menyebutkan bahwa hanya melihat fundamental supply vs. demand di physical market tidak memberikan gambaran yang utuh tanpa membahas pengaruh paper market. Oleh karena itu, sebagian analis percaya bahwa meningkatnya transaksi spekulan ini berpengaruh terhadap peningkatan harga, walaupun susah dihitung secara kuantitatif berapa besar pengaruh kenaikan harga akibat aksi spekulan ini.

Namun banyak juga studi yang menyimpulkan sebaliknya, bahwa tindakan spekulasi tidak banyak berpengaruh terhadap harga minyak, tetapi yang terjadi adalah harga minyak yang mempengaruhi aksi spekulasi.

Analis yang mem-plot harga minyak dengan transaksi non-commercial maupun volume open interest, bisa menunjukkan hubungan bahwa pada periode tertentu ada korelasi positif, namun pada periode lain tidak ada korelasinya.

Menurut publikasi konsultan terkenal Cambridge Energy Research Associates (CERA) bulan Januari 2008, volume open interest di NYMEX mencapai 1.5 juta kontrak (standar NYMEX dan ICE Future, 1 kontrak = 1000 barrel). Apabila digabungkan dengan options, maka total volume open interest mencapai 2.4 juta kontrak. Untuk transaksi non-commercial, net long position sebesar 83 ribu kontrak, atau sebesar 83 juta barrel yang hampir setara dengan total permintaan dunia sebesar 86 juta barrel per hari. Posisi long futures menjadi menguntungkan apabila harga naik, net long position umumnya merefleksikan ekpekstasi harga akan naik. Spekulan memang tidak menentukan kecenderungan harga, tetapi tindakan spekulan mempunyai kemampuan untuk “mengarahkan” kecenderungan harga tersebut.

Mengingat begitu banyak faktor yang berpengaruh, fundamental dan non-fundamental, memperkirakan harga minyak memang luar biasa sulit kalau tidak mau menyebutnya pekerjaan sia sia, kecenderungan harga yang masih naik, tentu akan sampai batasnya dimana dia harus turun (what goes up, must go down). Ketika harga minyak sempat menembus level “tiga digit”, mungkin analis perlu kembali ke teorinya Arjun, dengan satu pertanyaan sesuai judul presentasinya dahulu: “how high is too high?”.