Sunday, March 23, 2008

Decline rate

Topik decline rate menarik ketika kita bicara forecast produksi. Secara alamiah, sumur sumur minyak akan turun produksinya karena energi yang mendorong minyak keluar tersebut perlahan lahan menurun. Cerita bisa panjang lebar, apabila dikaitkan dengan mekanisme pendorong di reservoir (water drive, gas cap, etc). Water drive juga bisa macem macem lagi (bottom, edge..).. Selanjutnya untuk urusan ini kita serahkan saja pada para reservoir engineers..

Disamping urusan yang alamiah tadi, ada juga masalah produksi. Sumur ternyata juga punya banyak masalah sehingga mengganggu produksi, ini juga macem macem bentuknya, bisa scale di reservoir atau di pipa produksi, bisa pasir yang ikut terproduksi dan lain lain. Belum lagi masalah di permukaan (surface facilities). Ini semua tentu perlu tindakan tertentu untuk mempertahankan supaya minyak ngalirnya lancar..

Nah, jadi kita tidak perlu heran kalau produksi itu terus turun, tentu kerjaan teman teman kita semua di industri migas yang berupaya sedapat mungkin supaya “decline” - nya nggak terlalu besar.

Para analis yang membuat forecast produksi, umumnya akan mem-breakdown, antara lapangan lapangan yang saat ini telah dan sedang berproduksi (on production), lapangan yang saat ini sedang dalam proses pengembangan (under development), lapangan yang sedang di test seberapa besar (appraisal) dan “yang masih di angan angan” (resources). Kategori pembagiannya tentu tidak persis seperti itu, paling beda beda istilah dikit aja.

Kita lihat gambar dibawah sebagai ilustrasi. Gambar dibawah ini datanya saya karang karang aja, yang penting idenya dipahami. Data detail dari masing masing negara, saya sich punya, tapi itu hasil studi team yang sifatnya confidential, jadi nggak etis kalau saya posting disini he he..



Ada yang tanya sama saya: “Apa maksudnya menahan decline rate?” ya itu tadi mas, temen temen di industri yang kerja keras melakukan segala sesuatu supaya sumur sumurnya nggak tambah anjlok. Kalau lihat digambar diatas, kita bisa melihat bahwa produksi akan “terjun bebas” (garis putus putus) kalau tidak ada upaya menahan penurunan lebih lanjut.

Terus si mas ini tanya lagi: “Kalau berhasil menahan decline rate, apa itu bisa dianggap prestasi?”. Lha iya lah mas, sebagai orang yang pernah merasakan jadi production engineer, dulu rasanya senang sekali kalau ada sumur yang anjlog produksinya, di “treatment” terus jadi meningkat lagi (walaupun nantinya juga turun lagi sich.. ya namanya alamiah itu tadi bung he he). Lagian jangan pelit pelit memberi penghargaan pada orang lain mas… jadi bingung saya, apa hubungannya menahan decline rate dengan prestasi..he he..

Tuesday, March 18, 2008

One size fit all models?

Belakangan banyak didengungkan kalau model PSC profitability based (maksudnya pembagian keuntungan berdasarkan pada indikator, seperti: ROR, Revenue/Cost atau faktor “R” lainnya) sebagai model yang lebih fair. Komentar tersebut walaupun datangnya dari konsultan, akademisi dan lain lain, cenderung “IOC minded”, dalam arti kok kelihatannya menyuarakan kepentingan IOC he he.

Kalau saya sich, kembali ke prinsip: “one size fit all models does not exist”. Intinya gini, model X bagus tapi untuk kondisi Y, dan seterusnya. Kalau hanya bilang, model X bagus dan fair (titik), tentu berbahaya.

Sekarang kita pakai contoh nyata, saya ambil model 5 negara (terms & conditions sesuai dengan model negara tersebut). Saya ambil beberapa contoh untuk perbandingan, supaya nggak ada yang protes, negaranya kita sebut saja: A, B, C, D, E.

“A” (PSC without Royalty, production based POS*)
“B” (PSC with Royalty, ROR based POS)
“C” (PSC with Royalty, production based POS)
“D” (Royalty Tax System)
“E” (PSC without Royalty, ECO** to Gov and production based POS)

*) POS = Profit Oil Split
**) ECO = Excess Cost Oil

Sekarang kita lihat bagaimana pengaruh sensitivitas harga minyak (lihat gambar).


Tentu saja bahwa semakin besar harga minyak, IRR Investor (sumbu X) untuk semua model akan meningkat.

Country A dan Country C, mempunyai besaran dan trend yang hampir sama, hal ini wajar mengingat yang membedakan hanya: Country A tanpa Royalty, sementara Country “B” pakai Royalty.

Country D, Government Take nya malah turun, ini juga tidak mengherankan untuk negara yang menganut pola Royalty Tax murni.

Kenapa Gov. Take Country E naik signifikan?, karena model mereka pakai ECO to Gov. Artinya cost yang melebihi (cost recovery) limit, semua masuk ke government (tidak dibagi dengan Investor/Kontraktor).

Nah, bagaimana Country “B” yang menggunakan profitability based? Terlihat sangat sensitif thd keuntungan, tapi juga sangat rendah Gov Take pada saat harga minyak rendah (dengan kata lain pada saat profitability rendah). Bisa juga kita membacanya begini: untuk full cycle dari suatu blok atau lapangan, pada saat awal karena harus merecover cost, profitability (tentu) sangat rendah atau malah tidak ada, dengan model ini, konsekuensinya Government harus “berkorban” dapat porsi yang sangat rendah pada saat awal sampai mencapai suatu “profitabilty tranche” tertentu. Ini termasuk disadvantage dari model profitability based ini. Model ini sangat menguntungkan buat investor (sebagaimana dapat dilihat pada gambar, in any case IRR investor lebih besar dari model negara lainnya). Disamping itu ada (lagi) kelemahan model ini, yaitu: rentan terhadap praktek “goldplating” (masih inget? kalau lupa lihat posting sebelumnya).

So? Menurut saya model ini bagus untuk yang agak agak high risk, artinya: wajar kalau government mengalah untuk dapet porsi yang lebih rendah pada saat awal, sebagai kompensasi “keberanian” investor berinvestasi di wilayah atau proyek tersebut.

Monday, March 17, 2008

Rp. 500 milyar?


Dudi Rahman: Mas Ben, terima kasih atas penejlasan Anda tempor hari. Oh, ya, ada satu hal lagi yang membuat saya perlu bertanyalagi kepada Anda. Saat ini harga minyak kini sedang membubung tinggi. Mestinya, pemerintah dapat windfall profit yang besar. Benarkah setiap kenaikan US$ 1, kita (RI) dapat keuntungan Rp 500 miliar? Bagaimana formulanya? Terima kasih. Mar.17.08 02:29 PM
--------------

Mas Dudi, Keuntungan Rp. 500 milyar untuk berapa lama itu ya?, per hari, per bulan, per kuartal..

Ini tebakan saya mas:

Misal: total cost recovery = 30% dari pendapatan kotor. Karena profit oil split (85:15), maka bagian profit kontraktor = 15% * (100 - 30%) = 10.5%. Sisanya berupa Share Pemerintah = 100% - 30% -10.5% = 59.5%.

Misal: produksi harian = 910,000 barrel. 1 USD = Rp. 9,250
Jadi : 59.5% x 910,000 x 9,250 = +/- Rp. 5 Milyar (ini "gain" per hari akibat kenaikan 1 USD).

Walaupun asumsi: produksi (lifting), % cost recovery dan kurs diubah dikit dikit, angka nya nggak jauh jauh dari sekitar situ.
Mungkin Rp. 500 milyar itu per kuartal kali. (wallahualam…).

Ada yang bisa bantuin? Memperjelas atau memperkeruh... he he

Saturday, March 15, 2008

Drilling, oil trading, fiscal opec, razavi

aacor: mas benny, bisa kasih informasi buku tentang jasa drilling gak, atau mas benny bisa bahas disini tentang seluk beluk jasa drilling, makasih.. Mar.10.08 02:56 AM

Mas aacor, coba nanti saya cari2 dulu, mungkin temen2 di drilling bisa bantu mas accor?
---------------

Dudi Rahman: Mas Benny, saya mau info soal trading minyak mentah dan BBM. 1). Apakah di pasar spot hanya harga minyak mentah yang selalu berubah? Bagaimana dengan harga BBM? 2. Apakah Indonesia mengimpor minyak mentah dan BBM tiap hari di pasar spot? Bukannya pasokan impor itu dihitung dalam kuartalan? 3. Bagaimana menentukan harga minyak mentah dan BBM ketika harga di pasar spot flukutatif? 4. Apakah impor kuartalan itu harganya dihitung harian atau bagaimana? Terimakasih. Mar.12.08 09:22 AM

Mas Dudi,saya mulai dengan sedikit latar belakang ya.

Struktur pasar:
Pada dasarnya struktur pasar dapat dibagi menjadi: spot, term contract dan future. Spot market penting karena dia yang men drive yang lainnya. Supply spot di definisikan sebagai pembelian satu cargo atau kurang, walapun pasar spot ini penting, tapi berapa besarnya transaksinya relatif sukar diperkirakan. Kenapa? Salah satu sebab: banyak perusahaan yang terlibat jual beli cargo yang sama sebelum cargo ini tiba di tujuan akhirnya. Jadi dapat dibayangkan bahwa pas cargo berlayar, yang punya minyak atau “products” bisa ganti2 terus. Term contract secara volume diperkirakan 2/3 dari transaksi minyak mentah global.

Mekanisme penetapan harga:
1. Fixed and Flat – negotiated
Penjual dan pembeli negosiasi dan sepakat harganya berapa

2. Escalation
Variasi berdasarkan kandungan sulfur atau derajat API

3. Floating (berdasarkan publikasi tertentu)
Harga dihubungkan dengan assessment atau publikasi, bisa juga rata rata berapa hari dari publikasi tersebut.

4. Formula (berdasarkan publikasi tertentu)
Hampir sama dengan floating, biasanya produsen yang menentukan formula berdasarkan harga dari publikasi tertentu dan dikaitkan dengan “benchmark” yang relevan. Formula bisa simpel bisa juga kompleks, ada juga faktor diskon dan premium

5. Panel (contoh: APPI, lihat posting saya sebelum mengenai ICP)

6. Lainnya (seperti: Tender, Exchange Future Physical dan Trigger)

Kembali ke pertanyaan, karena pertanyaan saling berhubungan, pointnya kira2 begini: tidak hanya harga minyak mentah (crude) tapi juga refined products (temasuk diantaranya BBM) yang berubah di pasar spot. Mengimpor minyak mentah tentu tidak perlu setiap hari, caranya bisa dengan spot atau term contract.

Untuk penentuan harga, kembali ke metoda diatas, umumnya yang digunakan adalah “floating” atau “formula” dan juga bergantung bagaimana purchase terms nya. Purchase terms termasuk didalamnya: Price, FOB/CIF/CF, Grade/Quality, Quantity, Location, Payment, Demurrage, etc. Dengan demikian faktor fluktuasi harga sudah masuk di purchase terms.
----------------

Santi: Mas Ben, cerita in mengenai fiscal sistem di negara negara angggota opec dong. Mar.13.08 07:58 AM

Mbak Santi, biar update nanti aja ya ceritanya, karena awal bulan April, kami disini akan mengadakan Workshop dan mengundang semua pakar dari negara anggota untuk mempresentasikan perkembangan terakhir model fiscal system dan petroleum contract di negara masing2. Sekalian slaturahmi dan sharing pengalaman serta kendala2 nya. Ini Workshop yang kedua, sebelumnya pernah diadakan tahun 2004, waktu itu saya belum kerja disini. Jadi ceritanya ditunda dulu setelah workshop aja ya, he he.
-----------------------

Permana: Ben, ma'af sok akrab tak apalah kan pernah sama2 di unocal. Punya pandangan mengenai Hossein Razavi? Belum banyak baca karya tulisannya sih, but muatannya saya pikir bagus mengenai financing energy project utk negara yg baru berkembang maupun yg sdh. Banyak muatan ekonomi politiknya. Punya pendapat? Thanks Mar.14.08 07:03 AM

Hai Mas, apa khabar?. Kebetulan saya pernah ketemu Hossein Razavi bulan September 2006 pas dia datang dan presentasi di kantor. (Salah satu advantage disini, banyak sekali presentasi, entah dari praktisi, pakar, akademisi, international organization, IOC etc. Umumnya mereka yang menawarkan mau presentasi, semua biaya mereka tanggung sendiri..).

Waktu itu dengan kapasitasnya sebagai Director Infrastructure Department, World Bank. Membawakan presentasi yang berjudul: Natural Gas Pricing in the Countries of Middle East & North Africa (MENA). Walaupun dengan data yang terbatas dan studi ini difokuskan ke negara negara MENA, ada beberapa point yang bisa dicatat: Pertama, bahwa domestik harus diprioritaskan ketimbang export, Kedua, kebanyakan proyek ekspor gas menghasilkan manfaat ekonomi yang rendah berdasarkan kontrak yang sekarang, sehingga perlu di adjust “contract price”- nya. Buat saya presentasinya menarik (saya punya file nya kalau tertarik). Bukunya mengenai project financing, saya belum pernah baca.

Monday, March 03, 2008

Buku Referensi Petroleum Contract

Dari Tagboard, Agus Salim: Mas Benny, saya sedang menyusun disertasi (S3)dengan judul: "Pengusahaan Migas di Indonesia: Tinjauan Kritis Atas Bentuk-Bentuk Kontrak di Bidang Kegiatan Usaha Hulu Migas dalam Konteks Pasal 33 UUD 1945. Mohon informasi mengenai literatur yang membahas bentuk-bentuk kontrak di dunia industri migas, selain bukunya Daniel Johnston. Mar.03.08 04:30 AM
-------

Selain buku best seller-nya Daniel Johnston ”International Petroleum Fiscal System and PSC" (1994), ada beberapa buku yang membahas bentuk kontrak migas. Kebanyakan terbitan lama, tapi isinya sebenarnya malah lebih detail. Kalau bukunya Daniel, sangat bagus sebagai introduction, tapi ketika perlu detail, nggak banyak info tersedia disana.

Coba aja dicari beberapa buku dibawah ini, mudah mudahan masih ada yang jual..
--------

Michael Bunter, “The Promotion & Licensing of Petroleum Perspective Acreage”, Kluwer Law International, 2002

Raymond F Mikesell, “Petroleum Company Operations & Agreements in the Developing Countries”, Resources for the Future, 1984

Nicky Beredjick and Thomas Walde (editors), “Petroleum Investment Policies in Developing Countries”, Graham Trotman Limited, 1988

Alexander Kemp, “Petroleum Rent Collection around the World”, The Institute of Research and Public Policy, 1987

Kamal Hossain, “Law and Policy in Petroleum Development; Changing Relations between Transnational and Governments”, Nichols Publishing Company, 1979

Martyn R. David, “Upstream Oil and Gas Agreements”, Sweet & Maxwell, 1996

Anthony Jennings, “Oil and Gas Exploration Contract”, Sweet & Maxwell, 2002

Daniel Johnston, “International Exploration Economics, Risk, and Contract Analysis”, PennWell, Tulsa, 2003

Amr Rezk, “Economic Modeling for Upstream Petroleum Projects”, Trafford Publishing, 2006

Bernard Taverne, “Petroleum, Industry and Governments: An Introduction to Petroleum Regulation, Economics and Government Policies”, Kluwer Law International Ltd, 1999

Zhiguo Gao, “International Petroleum Contracts: Current Trends and New Directions”, Kluwer Academic Publisher, 1994
---------

Kalau untuk yang paling update, bisa juga Pak Agus berlangganan OGEL (Oil, Gas and Energy Law), disana banyak paper yang tersedia, bisa diintip dulu judul judul papernya, dengan meng klik nama author-nya disini.

Saturday, March 01, 2008

Minas, ORB, DMO, CBM, etc..

reza: Salam kenal mas benny,bahas lagi dong mengenai kebijakan DMO bagi kontraktor. menurut hitung2ang saya jika 25% dari split bagi hasil minyak kontraktor dihargai dengan harga discount oleh pemerintah maka bukannya akan mempengaruhi hasil split akhirnya yah? apa ntarnya ada adjustment lagi supaya hasil split tetap sebesar 85:15? kebetulan saya sedang mengerjakan skripsi mengenai kebijakan DMO ini. Saya minta bahan2 tentang DMO ini sama kontrak2 PSC indonesia dari generasi 1s/d4 via email saya reza.adriawan@gmail.com.trims Mar.01.08 08:31 AM

Hai reza, nggak ada adjustment lagi after DMO (supaya balik lagi ke 85:15), emang efeknya akan membuat “gov take” bertambah, (misalnya, jadi 86: 14). Bahan kayanya nggak terlalu banyak yang berupa soft file, tapi ada beberapa, nanti saya kirim.

ade: Bung Benny,salam kenal... Saya mo tanya nich, boleh ya... Apa sich bedanya harga minyak mentah ICP, Minas dan Basket OPEC? Thx b4. Feb.28.08 04:49 AM

Ade, untuk ICP lihat sini, Minas karena produksi terbesar, ya anggap aja kaya “benchmark”nya minyak kita. OPEC Reference Basket (ORB) adalah rata rata tertimbang dari harga miyak negara anggota, bobotnya berdasarkan produksi. Patokan harga minyak yang dipakai, sbb: Saharan Blend (Algeria), Girassol (Angola), Minas (Indonesia), Iran Heavy (Iran), Basrah light (Iraq), Kuwait Export (Kuwait),Es Sider (Libya), Bonny Light (nigeria), Marine (Qatar), Arab Light (Saudi), Murban (UEA), BCF-17 (Venezuela). Karena ada anggota baru (Ekuador), maka nanti akan ditentukan minyaknya yang akan dijadikan patokan (untuk dimasukkan ke formula ORB).

Harga minyak masing masing negara tersebut ada yang dihitung berdasarkan formula tertentu, ada yang langsung diambil dari platt assesment, termasuk Minas. Harga Minas lebih besar dari ORB, Misalnya untuk Feb 28, Minas = 98.85 US $ pe barrel, ORB = 94.99 US$ per barrel.



Martinus: Mas Benny, very interesting coverage untuk CSR cost. CSR di beberapa negara lain adalah suatu isu yang lekat dengan bribery. Di beberapa aturan pasar modal di negara berkembang, perusahaan listing di bursa tidak boleh membayarkan bribe. So, supaya CSR ini tidak menjadi plesetan, sebaiknya pemerintah mensosialisasikan ke beberapa pasar modal luar negeri supaya program CSR ini dapat berjalan dengan lancar. Sekian and terima kasih. Feb.27.08 10:56 AM

Thanks bang Martinus, masalah bribery memang kadang kadang abu abu.. ada kolega yang cerita, beberapa expat pas baru datang, heran melihat “praktek” atau “kebiasaan” yang sudah dianggap hal yang rutin (contoh kecil kaya: kasih tip, uang jalan, etc..), dia tegas: “ itu masuk bribery.. jelas dilarang di company regulation!”. Tapi lama lama dia juga ikutan.. malah levelnya lebih parah & lebih kreatif..he he..


fifi: Mas Ben, mo tanya niy...kalo contractor bayar tax by inkind ke GOI, positif dan negatif impact-nya ke contractor dan GOI apa ya... Maturnuwun mas... Feb.27.08 03:47 AM

Dalam banyak praktek, kontraktor bayar inkind, ini untuk mempermudah dan kayanya “lebih fair”, jadi government (atau NOC) yang membayarkan pajak atas nama kontraktor, dengan demikian kontraktor terima net after tax. Karena konraktor perlu kepastian bahwa dia juga bayar pajak, supaya nggak dipajekin lagi di home country-nya. Eh bener nggak ya mbak fifi?, saya sich ngira2 aja.. nggak pernah bersentuhan langsung dengan urusan pajak... he he.


toni: Mas Benny, bahas donk ulasan tentang CBM dan contoh perhitungan keekonomian CBM. Maturnuwun. Feb.27.08 03:37 AM

Info tentang CBM masih limited, (katanya) mau ikutan model PSC, cuma split-nya jadi 50-50 (atau 55 -45?). Kalau split-nya doang berubah, maka hitungannya ya gampang aja sebenarnya…