Thursday, June 19, 2008

Oilfield Project Economics

Saya dapat beberapa email (Meli, Icha, Malia dan Iwan PS) yang pertanyaan hampir mirip, menanyakan cara menghitung keekonomian proyek migas (IRR, NPV, etc), kaitannya dengan jenis kontrak migas. Ada juga yang tanya apa itu full cycle economics dan point forward economics dan bagaimana cara menghitungnya.

Pertama, seperti biasa maaf baru sempat respon, Kedua, jawabannya borongan, biar nggak ada pengulangan dari pertanyaan yang hampir sama..

Ketiga, saya bikin beberapa gambar dibawah:






Figure 1.
Kita mulai dulu dengan dua model kontrak yang utama, yaitu konsesi atau Royalty Tax (R/T) dan Production Sharing Contract. (Walaupun tidak ada contoh untuk model Service Contract, prinsip perhitungannya pada dasarnya sama, bahkan cenderung lebih sederhana).

Beda utama antara sistem R/T dan PSC seperti diperlihatkan pada Figure 1 adalah bahwa pada model R/T, tidak ada mekanisme cost recovery, jadi umumnya tidak dikenal istilah cost recovery ceiling (limit), tidak juga dikenal istilah profit oil split. Jadi, sebenarnya perhitungan untuk model konsesi atau R/T, lebih sederhana dibanding PSC yang banyak batasan batasannya.

Gambar ini menunjukkan alur secara umum, ada hal hal yang tidak terlihat, seperti: bonus, metoda yang dipakai untuk depresiasi kapital, DMO (bila ada), etc.


Figure 2
Karena PSC biasanya sedikit lebih kompleks, maka saya buatkan gambar ini. Pada umumnya dalam PSC ada royalty (tentu tidak semua PSC ada komponen royalty-nya). Umumnya Cost recovery setiap periode (tahun) dibatasi sampai ceiling (limit) tertentu, berkisar antara 30% - 80%.

Apabila ada ceiling, perlakuan terhadap Excess Cost Oil (ECO) bisa beda beda, aturan yang menjelaskan bagaimana membagi ECO ini disebutkan dalam kontrak (detail tentang ECO dan bagaimana treatment-nya, dapat dilihat pada posting saya sebelumnya disini).

Profit oil bisa dibagi dengan berbagai macam cara, ada yang fixed saja (kaya PSC standard RI), ada yang sliding scale berdasarkan parameter tertentu. Parameter tersebut bisa berupa: Production Rate, ROR, “R” Factor atau bisa juga langsung dikaitkan dengan harga minyak.

Untuk menghitung indikator keekonomian proyek, seperti IRR, NPV, etc, maka kita harus buat perhitungan duit keluar masuk (cash flow calculation). Figure 3 untuk model Royalty Tax, Figure 4 untuk model PSC.

Figure 5 Menunjukkan tahapan mulai dari Eksplorasi, Development dan Production. Untuk versi lengkap, biasanya sebelum Development, ada tahapan yang disebut tahap Appraisal atau Delineation. Setelah Production, ada juga tahap “bersih bersih”, istilah kerennya Decommissioning stage.

-------------
Dari data produksi pada Figure 5, di kombinasi dengan data cost dan tentunya harga minyak, kemudian dibuat perhitungan excelnya. Kemahiran excel disini cukup penting, apalagi untuk model yang ada cost recovery limit dan profit oil-nya terkait dengan banyak parameter. Tahap selanjutnya tinggal suruh fungsi excel menghitung berapa: IRR dan NPV dan Profit to investment, discounted payback, etc.

Pertanyaan yang penting (dari mbak Meli), apa yang dimaksud dengan full cycle economics dan point forward economics? Ceritanya begini, untuk yang full cycle, kita melihat investasi secara keseluruhan, mulai dari tahap eksplorasi sampai akhir proyek. Dalam kasus ini, titik tolak kita (tahun ke 0) adalah mulai pada saat eksplorasi dilakukan (lihat Figure 5). Jadi pada saat perhitungan parameter keeekonomian, kita tarik mundur (discounting) ke nilai pada saat tahun nol tersebut.

Sedangkan untuk yang point forward economics, melihat apakah discovery dari hasil eksplorasi mempunyai nilai komersial untuk ditindaklanjuti. Investasi (biaya) untuk eksplorasi sudah terjadi, dalam istilah akuntansi manajemen, masuk kategori “sunk cost”, tidak relevan untuk diperhitungkan lagi. Titik tolaknya (tahun ke 0) adalah pada saat tahap development (lihat Figure 5). Jadi kira kira begitu deh, lebih kurangnya mohon maaf, kalau masih nggak jelas, boleh tanya lagi kok he he. Untuk para praktisi, kalau penjelasan diatas ada yang kurang2 mohon di koreksi.

Wednesday, June 18, 2008

The two sides of cost recovery mechanism

Cost recovery kembali jadi sorotan, pemberitaan di Jakarta Post minggu ini yang memuat temuan BPK terhadap beberapa biaya aneh aneh dan hura hura dibebankan ke cost recovery. Saya kira untuk hal ini, pemerintah perlu tegas saja menyebut mana komponen biaya yang boleh di klaim melalui mekanisme cost recovery. Ini bukan pekerjaan sulit karena gampang mengidentifikasinya, karena biaya biaya tersebut bukan bagian dari aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan inti (Eksplorasi & Produksi).

Namun perlu juga dipikirkan bagaimana dengan beban biaya yang bukan untuk hura hura, seperti Community Development (CD) yang bentuknya macem macem, saya khawatir kalau itu semua dihapuskan dari mekanisme cost recovery, implikasi bisa ke produksi juga. CD kan urusan sensitif, kalau nggak ada program CD, akibatnya bisa pemblokiran akses ke lahan dan lain lain, yang pada gilirannya berpengaruh ke gangguan produksi. Menurut saya sich, CD memang termasuk tanggung jawab perusahaan (bagian dari Corporate Social Responsibility). Dalam konteks yang lebih luas, kalau nantinya 100% dihapuskan dari mekanisme cost recovery, bisa jadi alokasi untuk CD dari perusahaan akan turun. Kalau sebelumnya suatu program CD, Kontraktor migas bisa bangun 100 sekolah, 100 beasiswa, 100 program lainnya. Karena nggak masuk cost recovery, nggak bisa disalahkan kalau nantinya perusahaan akan bangun: 15 sekolah, 15 beasiswa, 15 program lainnya. Ini sesuai kontribusi KKKS dari split PSC 85 : 15 tersebut. Kalau ada yang protes, kok kurang?, apa sisanya yang 85 mau ditanggung pemerintah atau pemda?. Mungkin perlu dipikirkan untuk sedikit selektif: artinya untuk yang hura hura jelas tidak boleh dibebankan ke cost recovery, untuk yang program terkait CD, masih bisa dibebankan ke cost recovery tapi tidak 100%, kecuali untuk tahap eksplorasi, boleh 100% dibebankan ke cost recovery. Menurut saya sich, ngasih program beasiswa untuk penduduk sekitar, nggak perlulah diributkan biayanya, toh untuk pendidikan masyarakat juga.

Kartun dibawah sekedar ilustrasi, kartun pertama mengenai biaya biaya yang tidak terkait langsung dengan aktivitas E&P, termasuk yang hura hura tersebut. Kartun kedua, menunjukkan secara kasar bahwa biaya biaya yang tidak terkait langsung ini relatif sangat kecil dibanding dengan biaya kegiatan hulu secara keseluruhan.


Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa sebenarnya ada tugas yang lebih sulit dan lebih besar, yaitu: bagaimana pemerintah mengevaluasi apakah usulan kegiatan yang ada hubungannya dengan E&P dari KKKS sudah cost effective dan efficient. Bukan berarti proyeknya harus paling murah, untuk apa cost murah, kalau tiap tahun peralatan harus diganti, shut down, bocor dan lain lain. Bagaimana mencegah cost overruns (due to negligence and poor planning)?, bagaimana supaya proyek nggak molor?, bagaimana mengidentifikasi kemungkinan adanya "goldplating"? bagaimana supaya disain kapasitas produksi optimal?, bagaimana memilih alternatif yang pas buat optimasi lapangan?, etc.. Memang bukan pekerjaan gampang (makanya pemerintah dalam hali ini Migas dan BP Migas perlu (hire) para pakar Indonesia yang punya jam terbang dan pengalaman lapangan yang tinggi), fokuskan ke sektor sini, ibaratnya jangan overlook untuk yang receh receh, kerahkan resources dan energi untuk aktivitas hulu yang value-nya gede. Jangan sampai semua orang sibuk ngurusin yang saving satu cent, tapi yang jutaan dollar kurang diawasi.

Apakah obyektif akhir menurunkan jumlah cost recovery?

Saya khawatir, kalau kita terlalu negative thinking dengan cost recovery, melihat tingkat keberhasilan dengan hanya melototin apakah cost recovery turun. Kemudian menyimpulkan kalau cost recovery turun dianggap berhasil, ini yang bisa bahaya…

Kenapa? semua orang tahu biaya pada naik, makan mie ayam GM 2 tahun lalu dengan sekarang pasti beda harganya. Untuk sektor migas, berikut sekedar ilustrasi kenaikan harga dibanding dua tahun lalu: Biaya eksplorasi (naik 100%), infrastruktur (40%), pemboran (80%), personnel (20%), baja (100%), fasilitas produksi (70%).

Jadi: tidak mungkin biaya turun. Kenapa saya sebut bahaya? Karena cara paling gampang untuk menurunkan cost recovery secara signifikan adalah: menunda pengembangan lapangan, mengurangi aktivitas pemeliharaan sumur, membatalkan rencana eksplorasi, etc. Apa yang terjadi dalam jangka pendek dan panjang? cost recovery akan turun, produksi anjlog alias terjun bebas, at the end, pendapatan pemerintah menurun. Cadangan minyak? Ya, jelas tambah turun, nggak ada eksplorasi gimana mau ketemu minyak…

Salah satu cara untuk peningkatan produksi itu adalah dengan metoda Enhanced Oil Recovery (EOR), proyek ini perlu biaya yang tidak sedikit, kalau semuanya takut biaya naik, lha siapa yang mau ngerjain proyek EOR?, padahal di mancanegara, dengan harga minyak sekarang yang tinggi, banyak proyek sejenis mulai di eksekusi.

Ini yang saya maksud dua sisi dari cost recovery, cost recovery naik, tidak saja pemerintah yang rugi, namun demikian juga kontraktor. Cost recovery turun akibat penurunan aktivitas, akibatnya akan lebih parah lagi.

Jadi, silahkan ditindaklanjuti temuan yang receh receh tersebut, proses lebih lanjut sesuai aturan dan hukum kalau ada oknum2 yang enak enakan buang duit buat hura hura. Tetapi urusan cost recovery, jangan melulu dilihat negatif. Patut disayangkan kalau perusahaan kemudian jadi takut investasi. Industri migas memang rada unik, high risk – high return, apa yang dikerjakan hari ini, kalaupun sukses, hasilnya baru beberapa tahun lagi.. Bagaimana kalau semua takut mengeluarkan biaya investasi sekarang? Well, you all know lah... what will happen..

Dari Tag Board

bimo: Pak Benny yth. mohon advicenya pak,begini apakah masih ada model kontrak kerja sama antara KKS dengan Pemerintah selain model kontrak PSC ? kalau KSO mekanismenya bagaimana ya pak ? dan kalau kontrak kerja sama antara Exxon dng pemerintah yang di Blok Cepu saat ini mekanismenya bagaimana..? apakah menganut prinsip kontrak sekarang..atau ada mekanisme lain ? maaf pak banyak nanya. Terima kasih atas pencerahan dari bapak. Jun.13.08 11:36 AM

Setahu saya selain model PSC, saat ini lagi dipikirin sama teman2 di migas sana, model apa yang cocok (maksudnya selain memodifikasi model PSC yang ada), apakah: royalty tax, service contract atau ada lagi yang katanya lagi dikaji (saya juga kurang paham), yaitu: “PSC tanpa cost recovery”.
Kontrak Exxon (joint dengan Pertamina) dengan Pemerintah di Blok Cepu berupa PSC, ada modifikasi dikit karena profit oil splitnya berdasarkan harga minyak..
----------

Nashir: Halo Mas Benny...saya Nashir. Saat ini saya tengah menyelesaikan tugas akhir tentang evaluasi kontrak CBM di Indonesia. Mas Benny punya bahan lengkap tentang model kontrak CBM d Australia dan atau usulan2 utk kontrak CBM d Indonesia agar lebih baik kedepannya, kira2 apa saja yg perlu di perbaiki? sebelumnya sy sampaikan terima kasih.... Jun.12.08 09:02 PM

Saya coba chek mas nashir, nanti kalau ada publikasi tentang itu, kita share lah. Usulan Kontrak CBM?, ya belajar dari pengalaman kontrak PSC (khususnya gas yang lebih mirip). Idealnya parameter dalam kontrak mengakomodasi risk and reward, balance between front- end dan back end loaded paarmeter, etc.
----------

Aul: halo.. mas Benny, salam kenal.. saya junior mas Benny nih di TM, sekarang sedang berjuang menyelesaikan TA tentang PSC non cost recovery.. Mas Benny bisa bantu saya tidak mencari referensi yang lengkap mengenai model kontrak (bagannya) PSC non cost recovery di Libya.. atau model kontrak PSC kalo tanpa cost recovery.. terimakasih ya mas.. Jun.12.08 07:07 PM

Dik Aul, kontak saya japri aja ya di (
aratnaibul@yahoo.com), biar bisa diskusi panjang lebar. PC non cost recovery? apaan tuh he he..
----------

Christofel: Mas Saat ini pemerintah mau mengkaji model naskah kontrak antara PSC dan Servis Contract, ISunya basih sih mas katanya sebagai salah satu upaya buat menggenjot produktifitas MIGAS dalam Negeri Jun.11.08 11:56 AM

Semuanya kalau dihubung-hubungkan, ya ada aja hubungannya he he. Serba susah deh, maunya yang enak enak, kaya cost harus turun tapi produksi naek… gimana caranya tuh?
----------

Panca Wahyudi: Menanyakan Langkah-langkah kebijakan peningkatan peran nasional dalam kegiatan usaha hulu migas Jun.10.08 06:42 AM

Peran nasional dari sektor apa ya? Perusahaaan minyak, jasa pendukung, SDM?. Kayanya sudah ada semua tuh aturannya, bahwa local harus lebih berperan dan di prioritaskan. Tinggal gimana impelementasinya aja, ini yang biasanya nggak jalan..
----------

hello: tolong dond dimuat berita tentang komponen-komponen dalam pembuatan minyak bumi.... bisa,, tidak..??? Jun.09.08 02:11 AM

Tidak paham tuh.. maap.. (maaf).
----------

ajeng: pak benny, sy lg bingung mengenai kedudukan perusahaan minyak di ind, apakah mereka bisa dijerat dengan UU selain yg tertulis di psc??? lalu gimana caranya dapetin bukunya pak madjedi juga?? hehehe..regards. Jun.07.08 11:00 AM

Bisa kali ya.. tanya sama lawyer nih kalau urusan jerat menjerat… Buku Pak Madjedi?, email ke beliau aja, tanya: “pak mau beli buku bapak dimana ya?.”. bagus lho bukunya, apa lagi buat orang hukum.
----------

debby: mas, saya ambil master in petroleum law and policy, abis baca blog ini jadi keinget kuliah2 kemaren, hahaha.. bagus banget blog-nya! Jun.05.08 10:56 AM

wah saya harus belajar banyak sama Debby nih.. kerja dimana sekarang?
----------

tamrin: Mas, udah aq salamin ke farid - tm'06 Jun.04.08 02:04 AM

Tengkiu, bilangin dia rajin belajar ya.. he
---------

Hasbi A Lubis: Pak Benny, blog-nya bagus. Lebih bagus lagi kalau ada fungsi RSS-nya, saya jadi bisa ikuti topik baru dengan lebih mudah. Salam. Jun.03.08 07:38 PM

Mas Hasbi, terus terang saya agak gatek nih, ajarin dong? Bikin2 blog aja diajarin bini..
----------

catur: Pak Benny profesi orang yang berkecimpung di ekonomi migas apa namanya yach..kan ada yng Petroleum Engineer (PE); DE; Reservoir engineer etc. Jun.03.08 05:41 AM

PE (Petroleum Economist), tapi bisa juga disebut PE (Provocation Engineer), ini profesi saya dulu.. he he.
----------

satrio: mas benny, punya literatur ttg generasi psc di indonesia dr 60-an? term apa saya yg berubah? thanks, Jun.03.08 05:04 AM

Punya, kayanya saya pernah posting deh sebelumnya.
----------

Yosef Parlindungan: Salam kenal Mas Benny.. Saya Yosef, Perminyakan Trisakti 04.. Saya sudah sering buka blog ini, saya terkesan sekali sebenarnya dengan tulisan2 mas Benny.. Ko bisa mahir banget dalam bidang ekonomi migas Mas?? Kalo kebetulan di Jakarta, boleh mampir untuk buat seminar di Trisakti ya Mas.. Hehehe.. Jun.02.08 08:40 PM

Boleh deh nanti mampir ke Trisakti, saya kalau kasih seminar buat mahasiswa disamping gratis, biasanya bawa snack dan souvenir gratis juga he he, kalau pesertanya dikit, kita adakan di warteg aja, sambil ngopi, lagi2 gratis..
----------

andrew: hi mas beni..saya andrew sekolah di cepmlp dundee university UK..saya sangat tertarik dengan tulisan mas beni..mudah2an kapan bisa main dan ketemu mas beni..thx May.30.08 03:42 AM

Andrew, kamu buruan maen ke Vienna mumpung saya masih disini, atau nanti saya mampir ke dundee, takutnya pas saya kesana, kamu udah keburu lulus.. sukses ya!
----------

jarot kristiono: halo beni, apa kabar ?aku kenal anda di MMUI AS 95,dengan arda, averus, darnil dll, dapat alamat blog mu dari milist itb 82, bagus bagus tulisannya, selamat nulis. May.28.08 03:43 PM

Halo Boss Jarot, dimana sekarang pak? Saya jadi inget dulu zaman tugas makalah dan presentasi, perasaan group pak jarot yang paling rajin nih. Salam buat teman2..

Friday, June 13, 2008

Sharing the Pain?

Berbagi kesusahan?, kalau di lingkungan RT ada yang kena musibah, saya kira tanpa perlu instruksi, para tetangga akan “sharing the pain”, dengan memberikan bantuan sukarela, tanpa perlu Pak RT turun tangan.

Terkait rencana “Sharing the Pain”, kenapa ya pakai istilah seperti ini?, coba lihat aja komentar petinggi KKS di detik.com dibawah, yang belum apa apa sudah ngeles, “Selama ini kita sudah sharing. Bukan hanya sharing the pain, tapi sharing success and risk, karena kontraknya kan PSC”. Wajar aja beliau ngomong seperti itu, nanti bisa bisa dipelesetkan bukan lagi PSC (Production Sharing Contract) tapi PSP (Production Sharing Pain…).

Saya kira implikasi kenaikan harga minyak bumi saat ini menimbulkan trend yang jelas di manca negara, yaitu: tuntutan negara si empunya minyak untuk memperoleh “rent” atau bagian dari produksi secara poroporsional lebih besar. Ada yang menempuh cara cara yang agak keras (“unfriendly”), yaitu langsung nasionalisasi. Namun lebih banyak yang menempuh cara yang lebih bersahabat, yaitu dengan menaikkan bagian fiscal pemerintah yang bentuknya bisa macam macam, sebagai contoh: Russia (pajak ekspor), Algeria (windfall profit tax untuk harga minyak diatas 30), negara negara di Caspian menuntut pembagian profit oil lebih besar, Canada menaikan royalty, UK malah sering naikin tax untuk perusahaan minyak yang beroperasi disana.

Pada awalnya tentu banyak protes dari IOC yang beroperasi di negara tersebut, hal yang wajar, selama pemerintah bisa meyakinkan para kontraktor. Apa yang diterangkan Dr. Chekib Khelil (Menteri Perminyak Algeria) cukup gamblang, ketika itu beliau berkata: It is a tax which has been imposed given the exceptional profits made by the companies which led to the disequilibrium between the interests of the companies and the state. When the companies signed the contracts the price of oil was $15”.

Seperti saya pernah posting sebelumnya, sebagian besar kontrak perminyakan di dunia tidak sensitif terhadap kenaikan harga minyak, artinya "kue" bagian negara tidak meningkat dengan naiknya harga minyak. Hal ini juga terjadi dengan PSC RI, yang mana tidak sensitif thd kenaikan harga minyak (maksudnya bagian pemerintah dari profit segitu aja terus berapapun harga minyak tingginya). Jadi kalau harga minyak naik, terus pemerintah meminta bagian proporsi yang lebih besar, itu bukan hak yang aneh. Saya kira kontraktor akan dapat menerima, kasarnya, kalaupun kontraktor tidak mau terima, dia lari ke negara lain, urusan bagi bagi “excessive profit” ini juga akan terjadi. Kita mungkin lebih suka memilih kata yang halus, sharing the pain, akibatnya ya itu tadi, dipelintir dan (bisa) dipelesetkan sama KKKS.

------------------------

Jumat, 13/06/2008 11:27 WIB
Skenario 'Sharing The Pain' Usulan BP Migas
Alih Istik Wahyuni - detikFinance

BP Migas dan Departemen ESDM menyiapkan beberapa skenario untuk 'sharing the pain' dampak kenaikan harga minyak dunia. Skenario itu antara lain bisa melalui pengenaan pajak tambahan, manajemen cost recovery dan perubahan bagi hasil.

"Kalau pemerintah kesulitan, nantinya mungkin bisa makin sulit. Harusnya mereka ikut kontribusi bagaimana menyelesaikan masalah keekonomian. Misalkan dengan pajak tambahan dan manajemen cost recovery," kata Kepala BP Migas R Priyono di Gedung Patra Jasa, Jakarta, Jumat (13/6/2008).

Alternatif pengenaan pajak tambahan antara lain berupa pajak ekspor. Sementara manajemen cost recovery yang disiapkan antara lain dengan mekanisme batas atas.

Untuk alternatif hasil hasil atau split, menurut Priyono karena terkait dengan kontrak, maka ini adalah pilihan terakhir pemerintah.

"Kalau yang berhubungan dengan kontrak, itu pilihan terakhir," katanya.

Namun Priyono menegaskan, pihaknya hanya menyediakan alternatif-alternatif skenario. Skenario tersebut kemudian akan di bahas bersama Departemen Keuangan, dan keputusan akan diambil di tingkatan menteri.

"Ada beberapa alternatif, tapi nanti itu keputusan menteri. Kita bicarakan juga ke perusahaan minyak, mana yang bisa diterima. Menkeu yang lihat skenario secara keekonomiannya," katanya.

Sementara Presiden Direktur Chevron Pasific Indonesia Suwito Anggoro menyatakan sebenarnya saat ini para kontraktor sudah 'sharing the pain' karena sistem kontrak yang berupa Production Sharing Contract.

"Selama ini kita sudah sharing. Bukan hanya sharing the pain, tapi sharing success and risk, karena kontraknya kan PSC," jelas Suwito seraya menambahkan akan menyerahkan keputusan pada pemerintah.

Thursday, June 05, 2008

Pro Kontra Keanggotaan Indonesia di OPEC

Bersama ini saya postingkan 2 tulisan, pertama tulisan Mas Wid (Prof. Widjajono), dan yang kedua tulisan Bapak Dirgo D. Purbo.

Tulisan Mas Wid berjudul: Pentingkah Menjadi Anggota OPEC, sedangkan tulisan Pak Dirgo berjudul: Indonesia keluar dari OPEC atas pertimbangan Geopolitik  “Energy Security”.

Kedua tulisan ini menarik, Tulisan Mas Wid isinya cenderung mengusulkan RI tetap di OPEC. Sementara tulisan Pak Dirgo sebaliknya.
----------------------------------------------

Pentingkah Menjadi Anggota OPEC?
Oleh: Widjajono Partowidagdo
(Guru Besar ITB)

Menjadi anggota perkumpulan apapun, tentunya mempertimbangkan apakah manfaatnya lebih besar dari biayanya. Demikian pula apabila suatu negara menjadi anggota OPEC ( Organization of Petroleum Exporting Countries ) seyogyanya bisa memanfaatkan sebaik-baiknya keberadaanya di OPEC sehingga nilai manfaatnya lebih besar dari iurannya.

Maka pertanyaannya adalah apakah kita sudah memanfaatkan sebaik-baiknya keanggotaan kita di OPEC. Salah satu keuntungan jadi anggota suatu perkumpulan adalah kedekatan dengan anggota-anggota lainnya. Kebanyakan negara anggota OPEC adalah negara yang kaya migas dan kaya uang.

Banyak orang yang tidak kaya ingin masuk sekolah saya di Amerika Serikat, University of Southern California, karena sekolah tersebut dikenal sebagai sekolah anak orang kaya, dengan harapan ingin menjadi kaya. Kalau orang yang tidak kaya ingin dihargai oleh mereka yang kaya sehingga kemudian mereka bekerjasama, tentunya yang tidak kaya harus mempunyai kelebihan, misal lebih pintar, disamping dapat dipercaya.

Sebagai anggota OPEC kita punya kesempatan lebih baik dalam membujuk negara-negara OPEC untuk membangun kilang BBM, petrokimia, LNG, LPG baik di Indonesia maupun di negara-negara OPEC tersebut untuk dimanfaatkan Indonesia dengan dana dari mereka dan bahan baku yang lebih murah dari mereka. Kita dapat pula membujuk negara-negara OPEC untuk menanamkan modal pada Pertamina dan Swasta Nasional untuk mengelola lapangan migas baik di Indonesia maupun di negara-negara OPEC tersebut.

Perlu dicatat bahwa banyak ahli perminyakan Indonesia bekerja di Malaysia dan negara-negara OPEC dan non OPEC. Petronas banyak mendapat dana dari negara-negara anggota OPEC untuk mengoperasikan lapangan di luar negeri dengan mengerjakan ahli perminyakan Indonesia. Kenapa kita tidak menggunakan ahli kita tersebut untuk bekerja di Perusahaan-Perusahaan Migas kita baik di dalam maupun di luar negeri?.

Memanfaatkan semaksimal mungkin keanggotaan kita di OPEC, bukan hanya tugas orang-orang Indonesia yang bekerja di Sekretariat OPEC tetapi juga tugas kedutaan Republik Indonesia di negara-negara OPEC tersebut dan juga tugas Institusi-Institusi terkait seperti Departemen-Departemen ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Keuangan, Perdagangan, Perindustrian, Tenaga Kerja serta Kadin, BKPM, Badan Usaha dan lain-lain disamping diperlukan kebijakan serta iklim investasi yang mendukung.

Seorang rekan, yang pernah menjadi staf di Sekretariat OPEC mengeluh sesudah bersusah payah melakukan lobby di suatu negara anggota OPEC dan berhasil, usaha tersebut tidak berlanjut karena kurangnya koordinasi antar institusi. Ada kelakar bahwa pejabat negeri kita sering tindak-tindak (jalan-jalan) tetapi tindak lanjutnya tidak ada.

Penulis tidak tahu apakah keputusan keluar dari OPEC tersebut sudah final atau belum. Andaikata belum, apakah tidak dipertimbangkan tetap menjadi anggota OPEC tetapi dengan penghematan, misalnya dengan mengurangi pejabat yang mondar-mandir ke Wina.

Hal yang sama, perlu dievaluasi apakah kinerja KBRI di luar negeri sudah optimal atau belum. Penulis pernah mendengar bahwa kedutaan Malaysia di luar negeri lebih sedikit dari KBRI karena suatu kedutaan bisa melayani beberapa negara. Kinerja Malaysia lebih baik bukan hanya karena diplomat-diplomatnya bekerja lebih efektif, tetapi juga karena koordinasi antar instansi pemerintah Malaysia lebih baik karena mempunyai visi yang sama dan birokrasi disana lebih bersahabat bagi investor asing yang mengakibatkan peringkat iklim investasi di Malaysia jauh lebih baik. Menurut Goldman Sachs, 2007 peringkat Malaysia adalah medium risk sedangkan Indonesia adalah very high risk. Ibarat jualan, akan lebih mudah kalau jualan barang bagus.

Indonesia memiliki bung Karno yang mempunyai ide-ide besar seperti Pancasila, Berdikari (Mandiri), Gotong-Royong (Masyarakat Peduli) dan pelopor Production Sharing Contract, tetapi kita lemah dalam implementasi. Pak Jusuf Kalla pernah menyatakan di kediamannya bahwa kita harus Think Big (Berpikir Besar).

Perlu dicatat bahwa Indonesia adalah satu-satunya anggota OPEC di Asia, diluar Timur Tengah. Apabila Indonesia keluar dari OPEC, bukan tidak mungkin Malaysia akan masuk OPEC. Menurut CERA (Cambridge Energy Research Associates), 2007, produksi minyak domestik Malaysia pada tahun 2007 adalah 0,77 juta barel per hari dan diperkirakan akan memproduksi minyak 1,32 juta barel per hari pada 2017. Perlu dicatat Petronas juga mempunyai banyak lapangan di luar negeri, termasuk di negara-negara OPEC dan Malaysia bukan negara pengimpor minyak. Padahal luas Malaysia jauh lebih kecil dari Indonesia, mahasiswa Malaysia dulu belajar perminyakan di ITB, Malaysia meniru Production Sharing Contract Indonesia dan Petronas banyak mempekerjakan ahli perminyakan Indonesia.

Perlu dicatat bahwa Ecuador yang keluar dari OPEC Desember 1992 masuk OPEC kembali Oktober 2007. Produksi Ecuador pada 1995 adalah 395 ribu barel per hari dan pada 2007 adalah 510 ribu barel per hari.

Mohon dipertimbangkan jangan sampai hanya karena menghemat biaya iuran OPEC kita kehilangan potensi manfaat yang lebih besar sebagai anggota OPEC. Hal yang sama, jangan karena kita menghemat cost recovery kita tidak melakukan IOR (Improved Oil Recovery) termasuk EOR (Enhanced Oil Recovery) sehingga produksi di lapangan-lapangan yang sudah ada tidak dapat dipertahankan, apalagi ditingkatkan. Walaupun cost recovery meningkat dari 5,0 milyar dolar pada 2003 ke 5,9 milyar dolar pada 2006 dengan menurunnya produksi minyak dari 1,146 juta barel per hari ke 1 juta barel per hari dan produkasi gas relative tetap 8,3 BSCFPD, tetapi pendapatan meningkat dari 18,2 milyar dolar ke 32,1 milyar dolar serta Penerimaan Negara meningkat dari 10,8 milyar dolar ke 23,1 milyar dolar Perlu dicatat kalau pada Primary Recovery biaya produksi mungkin $5-10 /barel, tetapi dengan EOR biaya produksi bisa diatas $20 /barel. Perlu disadari bahwa apabila harga minyak diatas $100 /barel, EOR pun masih sangat menguntungkan.

Apabila Indonesia sudah memutuskan keluar dari OPEC, kita perlu bekerja lebih baik supaya produksi minyak kita meningkat dengan meningkatnya eksplorasi dan IOR serta program diversifikasi (memakai lebih banyak batubara, panasbumi, Coal Bed Methane, biofuels dan lain-lain) dan konservasi kita berhasil, sehingga kita bisa menjadi net oil exporter dan menjadi anggota OPEC kembali. Untuk itu kita memerlukan kebijakan, peningkatan kemampuan nasional dan kerjasama antar stakeholders di bidang energi yang lebih baik.
-----------
Riwayat Hidup
Widjajono Partowidagdo adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Sekretaris Komisi Permasalahan Bangsa Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) serta anggota Tim P3 (Pengawasan Peningkatan Produksi) Migas ESDM. Pernah menjadi Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pemboran, Produksi dan Manajemen Migas pada Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, 2005-2007, Ketua Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB, 1993-2004, Pembantu Dekan Urusan Akademis, Fakultas Teknologi Mineral serta Anggota Senat ITB, 1994-1997 dan Koordinator Penelitian Pembangunan Berkelanjutan pada Pusat Antar Universitas untuk Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 1989-1992.

Mendapat Sarjana Teknik Perminyakan ITB, MSc in Petroleum Engineering, MSc in Operations Research, MA in Economics dan PhD dengan disertasi An Oil and Gas Supply and Economics Model for Indonesia dari University of Southern California, Los Angeles, USA. Menulis dua buku yaitu “Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi”, 2002 serta “Memahami Pembangunan dan Analisis Kebijakan”, 2004.

--------------------

Indonesia Keluar dari OPEC atas Pertimbangan Geopolitik “Energy Security”

Oleh: Dirgo D. Purbo

"Indonesia, the only South East Asian member of the Organization of Petroleum Exporting Countries, became a net crude-oil importer early this year after domestic production fell sharply following several years with little fresh investment in exploration and production."

President Republic of Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono said on Wall Street Journal ( October 5, 2005 ).

Setelah tertunda tunda sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga minyak yang untuk kedua kalinya pada tanggal 1 oktober 2005, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan untuk segera keluar dari OPEC begitu pengumuman kenaikan harga BBM bulan Mei 2008. Langkah yang diambil ini, meskipun agak terlambat,merupakan keputusan yang strategis dan dinilai sangat tepat. Terkecuali perpanjangan kontrak ladang minyak Cepu untuk dikelola oleh Pertamina,Untuk kesekian kalinya bahwa Presiden SBY telah mengambil keputusan yang berkaitan langsung dalam konteks prespektif geopolitik energi Indonesia, diantaranya:

1. Tidak menghendaki kerjasama Indonesia dengan Malayasia dalam hal blok migas , Ambalat. Blok Ambalat merupakan bagian dari wilayah Indonesia.

2. Tidak menyetujui Defence Cooperation Agreement. (DCA) antara Republik Indonesia dengan Singapura. Wilayah yang dikehendaki oleh Singapura merupakan kandungan migas dan jalur transportasi migas (SLOC).
3. Tidak memperpanjang kontrak ladang migas antara Pertamina dan, Exxonmobil di Laut Natuna. Kandungan gas alam dikawasan ini sebesar 46,7 tcf.

4. Tidak lagi menyebutkan cadangan minyak Indonesia akan habis 18 tahun lagi, setelah bertahun tahun dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sejak tahun 1988.
5. Menegaskan kembali untuk keluar dari OPEC.

Seluruh keputusan strategis ini tidak lain untuk mengutamakan kepentingan nasional Indonesia dalam menghadapi era globalisasi dan juga menghadapi konstelasi tatanan dunia baru pada abad 21. Hal ini juga sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Deep Stoat dalam kajian strategisnya untuk negara negara maju yang selalu menempatkan aspek minyak sebagai agenda kepentingan nasional dengan mengatakan : “If you would understand world geopolitics today, follow the OIL”. Untuk memperkuat pernyataan tersebut dan mendapat gambaran bagaimana faktor geopolitik energi yang menentukan kebijakan suatu Negara,kiranya dapat dilihat juga pada diagram yang dikeluarkan oleh National Petroleum Council, Amerika Serikat.



Sumber: NPC

Terlihat pada diagram tersebut, ada tiga komponen utama untuk menetapkan suatu kebijakan politik yang berkaitan dengan energi antara lain: Supply,Demand dan Technology. Ketiga komponen ini saling keterkaitan satu sama lain (interchange) dengan landasannya kondisi geopolitik yang mempunyai peran sangat sentral dan strategis. Untuk mendapatkan penjelasan teori teori dasar geopolitik, kiranya dapat dikutip dari pencetusnya yaitu: Professor Friedrich Ratzel (1844-1904) German Professor, Rudolf Kjellen (1864-1922) Swedish, Sir. Halford Mackinder (1861-1946) British. Dari ketiga tokoh geopolitik tersebut dimana masing2 mempunyai penekanan teorinya, namun pada intinya terdapat persamaan esensi yang dapat diringkas sebagai berikut :

It must be regarded as a science bordering on geography, history,political science and international relations. The politician,the military planner and the diplomat can use geopolitics as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning.Geopolitics as the destiny

Kondisi geografis Indonesia, diantaranya sumber minyak mentah, sejak memasuki tahun 2004 sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negri sendiri. Meskipun masih tersedia potensi cadangan energi fosil yang begitu besar, namun dalam hal liquid energi, termasuk gas alam mengalami deficit.

OPEC
Alasan yang mendasar dibentuknya OPEC itu untuk menstabilkan permintaan dunia atas minyak mentah dan kemudian pada tahun 1971 menyatukan penggunaan mata uang dollar untuk transaksi minyak. Seiring dengan permintaan dunia yang terus meningkat,OPEC sudah tidak dapat lagi berperan sebagai stabilisator. Seluruh dunia hanya tergantung kepada perannya Arab Saudi yang mempunyai kapasitas produksi 9,5 juta bph dan itupun masih memiliki kapasitas tambahan produksi sampai 2 juta bph.

Meskipun Indonesia sebagai anggota OPEC ,pada kenyataannya juga selalu tidak dapat mengantisipasi naiknya harga minyak yang sempat menyentuh US$ 138 per barel. Pemerintah selalu hanya bisa terkejut kejut seperti halnya negara negara pengimpor minyak lainnya. Dengan menggunakan data dari OPEC tahun 2005 dibawah ini,memperlihatkan posisi kapasitas produksi dari masing masing negara anggota. Berdasarkan pengamatan data dibawah ini,kiranya dapat disimpulkan bahwa anggota OPEC dapat dibagi menjadi empat katagori :

1. Negara yang memproduksi secara maksimal,bahkan sudah tidak peduli lagi dengan ketentuan kuota al;Libya,Algeria,Iran,Kuwait,Nigeria dan Qatar,
2. Negara dengan kapasitas dibawah kuota; Venezuela.

3. Negara yang masih mempunyai surplus kapasitas produksi diluar batas ketentuan kuota seperti United Arab Emirates dan Arab Saudi.

4. Negara dengan katagori special case seperti Irak dan Indonesia. Irak yang posisinya sudah tidak lagi masuk dalam kuota,sementara Indonesia merupakan negara satu satunya yang sudah menjadi net oil importer.

Salah satu media cetak terkemuka didunia dalam hal pemberitaan industri migas, Oil & Gas journal dalam E-news pada tanggal 31 Oktober 2006 memberikan suatu analisa produksi minyak dari anggota OPEC. Diberitakan bahwa, Arab Saudi, Iran, Aljazair dan United Arab Emirates (UAE) sepakat mulai tanggal 1 November 2006 untuk mengurangi produksi secara proposional sampai 1.2 juta barel per hari (bph) agar output produksi OPEC menjadi 26.3 juta bph. Pertimbangan pengurangan produksi ini dikarenakan adanya kecenderungan penurunan harga minyak yang sangat drastis dari US$75 per barel menjadi US$ 58 per barel. Dari sini terlihat jelas sekali bahwa negara OPEC,khususnya di kawasan Heartland memang menghendaki agar harga minyak kembali berada pada sekitar diatas US$ 60 per barel. Yang menarik dari laporan jurnal tersebut yakni adanya pernyataan yang mengatakan Indonesia tidak akan mengurangi produksinya. Sedangkan negara anggota lainnya seperti, Venezuela dan Nigeria memang mengakui mengalami penurunan produksi. Disebutkan juga bahwa, Dalam catatan OPEC, yang dianggap sudah out of date, Indonesia disebutkan masih mempunyai kapasitas produksi 1,45 juta barel per hari.Padahal kenyataannya Indonesia pada bulan September,2006 hanya mampu berproduksi 862,900 barel per hari.

Energy Reshape Policy
Keputusan Indonesia untu keluar dari OPEC secara phycsiologis memang agak berat, mengingat kebersamaan dan perannya sejak tahun 1962. namun sejalan dengan waktu dan dikarenakan tingkat produksi nasional mengalami penurunan secara alami,tentunya Indonesai harus mengambil sikap. Dan terlebih lagi dikarenakan sejak tahun 2004,Indonesia sudah merupakan bagian dari pemicu tingginya harga minyak internasional dimana ,kebutuhan impor Indonesia mewakili lebih dari 1 % dari tingkat konsumsi dunia sebesar 85 juta bph. Berikut dibawah ini merupakan daftar negara2 pengimpor minyak yang sangat signifikan.

Top World Oil Net Importers, 2004*
Country Net Oil Imports (million bbl per day)
1. United States America, 12.1 million bbl per day
2. Japan, 5.3 million bbl per day
3. China, 2.9 million bbl per day
4. Germany, 2.4 million bbl per day
5. South Korea, 2.2 million bbl per day
6. France, 1.9 million bbl per day
7. Italy, 1.7 million bbl per day
8. Spain, 1.6 million bbl per day
9. India, 1.5 million bbl per day
10. Taiwan, 1.0 million bbl per day

*Table includes all countries that imported more than 1 million bbl/d net in 2004. EIA

Terdapat beberapa agenda politik baru bagi Indonesia dengan keluarnya dari OPEC,diantaranya ;
1. Kebijakan politik Luar Negeri
2. Kebijakan politik Dalam Negeri.

Kebijakan politik luar negeri
Selama periode tahun 2004 sampai tahun 2008, Indonesia dengan mempertahankan diri sebagai anggota OPEC, posisinya seperti tersandera sendiri oleh Negara Negara penghasil minyak lainya yang masih berstatus sebagai net oil exporter.Tersandera dalam pengertian posisi Indonesia untuk melakukan upaya kerjasama jangka panjang dalam hal mendapatkan suplai minyak apakah untuk refinery yang sudah ada maupun dengan membangun refinery yang baru. Para Negara signifikan net oil exporter, mempunyai anggapan terhadap Indonesia,bahwasanya bagaimana mungkin sebagai Negara anggota OPEC,yang selalu disimbulkan dengan pesta Dollar dari windfall profit pada tingginya harga minyak, mengalami shortage untuk memenuhi kobutuhan kosumsi dalam negri. Padahal posisi Indonesia sejak memasuki tahun 2004, sangat membutuhkan impor yang begitu besar ,dengan harga yang relative murah dan tanpa ada mengalami gangguan .Posisi ambiguiti inilah yang membikin sulit bagi Indonesia dalam upaya menjalankan OIL diplomacy dengan negara2 di kawasan Heartland. Terobosan Oil diplomacy yang baru saja dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan melakukan kerjasama dengan Iran perlu dilanjutkan dengan Negara lainya seperti Arab Saudi,Kuwait,UAE,Venezuela,Sudan dan Rusia.

Ada catatan menarik bahwa ketika Raja Arab Saudi,Abdullah melakukan kunjungan ke Cina untuk penandatanganan kerjasama suplai minyak, beliau tidak menyempatkan diri untuk berkunjung ke Indonesia. Ironisnya, beliau malahan berkunjung ke Malaysia, yang notabene bukan anggota OPEC. Mencermati kejadian ini, ada suatu rencana kedatangan beliau ke Indonesia pada akhir tahun 2007 yang dinyatakan oleh Duta Besar Arab Saudi untuk RI setelah melakukan sholat jumat bersama Presiden SBY di mesjid istana ke Presidenan tahun lalu. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada lagi berita kelanjutannya. Dengan keluarnya Indonesia dari OPEC tentunya memperlihatkan sikap yang sangat jelas kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah memasuki new emerging country, Haus akan minyak seperti Cina dan India. Hal ini artinya Indonesia akan menunjukan strategi berkompetisi dengan negara2 lainnya untuk mendapatkan akses ke sumber2 energi(baca:minyak mentah). Dalam kondisi ini tentunya Indonesia, sebagai mantan angggota OPEC, yang telah mempunyai hubungan baik selama 46 tahun, akan mendapatkan berbagai keistimewaan, Cina setiap hari impor 720 ribu barel dari Arab Saudi dan terus akan meningkat volumenya sejalan dengan rencana pembangunan dua refinery. Cina saat ini mempunyai produksi 3,5 juta barel per hari(bph) dan impor 3,5 juta bph, menjadikan total konsumsinya setiap hari sekitar 7 juta bph.

Kebijakan Politik Dalam Negeri
Keluarnya Indonesia dari OPEC, membuat berbagai kalangan terbuka matanya bahwa Indonesia sudah tidak lagi seperti eranya oil bonanza atau net oil exporter . Kedepannya, sudah pasti akan sedikit membantu pemerintah untuk mensosialisasikan kenaikan harga BBM kepada masryarakat luas ketika harga minyak internasional sangat tinggi.Disamping itu juga akan membuka jalan lebar bagi pemerintah untuk membangun tenaga nuklir.

Pada waktu Indonesia masih sebagai net oil exporter dizaman orde baru dan tetap melakukan untuk menaikkan harga BBM, hal itu disebabkan harga minyak dunia berada dibawah biaya produksinya. seperti yang terjadi pada tahun 1986. Harga minyak pada waktu itu berkisar antara US$6-8 per barel. Sementara biaya produksi minyak diberbagai Negara industri berkisar antara US$ 8-10 per barel,terkecuali dikawasan Heartland yang biayanya hanya dibawah US$ 1.50 per barel. Melihat situasi sekarang ini, Indonesia harus impor minyak sebesar satu juta barel per hari dan pada saat yang bersamaan juga perlu memberikan harga BBM yang bersubsidi untuk berbagai kelompok masyarakat.

Setelah Indonesia menjadi net oil importer sudah sangat tidak mungkin lagi untuk kembali menjadi net oil exporter, meskipun ladang minyak dari Cepu akan berproduksi atau ladang minyak lainnya. Profil kurva produksi dan konsumsi dibawah ini merupakan gambaran bagaimana Indonesai kedepan akan dihadapi dengan semakin lebarnya jarak antara tingkat produksi dan konsumsi.

Sumber :EIA

Jadi akan menjadi suatu pertanyaan ketika Presiden SBY sudah memutuskan untuk segera keluar dari OPEC, sementara Wakil Presiden JK mentargetkan untuk kembali masuk OPEC dalam jangka lima tahun mendatang pada tahun 2013 (Kompas 30/05/08). Pada tahun 2013 nanti, tingkat produksi Indonesia berkisar hanya 800 ribu bph, sementara tingkat konsumsinya sudah mencapai 1,6 juta bph. Salah satu indikator pemicu tingginya konsumsi di dalam negri yakni dinamika perkembangan demokrasi. Ada 51 partai politik yang akan meramaikan kehidupan demokrasi di Indonesia. Sudah menjadi tradisi kalau melakukan kegiatan kampanye iring irngan dengan menggunakan sepeda motor/mobil. Kegiatan ini tentunya akan memicu konsumsi BBM.



Untuk lebih jelasnya tingkat produksi nasional dapat dilihat pada chart produksi yang dikeluarkan oleh Indonesain Petroleum Association. (IPA). Organisasi inilah yang mengayomi seluruh perusahan minyak beroperasi di Indonesia dan secara periodik memberikan data yang diprojeksikan tingkat produksinya. Kompilasi keseluruhan data ini yang mencerminkan kondisi aktual produksi minyak Indonesia.

Dari titik sini terlihat sangat jelas sekali bahwa masih belum ada keseragaman pandangan dalam perspektif geopolitik energi di Indonesia. Seyogyanya begitu Indonesia mengambil sikap untuk keluar dari OPEC, semua elemen dan masyarakat menentukan langkah strategis berikutnya bagaimana Indonesia meningkatkan stock nasional dari hanya 21 hari menjadi 30 hari atau bahkan kalau perlu mencapai 60 hari dan membuat iklim investasi migas yang harus kondusif. Merancang strategi negosiasi untuk tidak memperpanjang kontrak ladang minyak atau gas yang masih berproduksi. Menggalakkan alternative BBM, seperti biofuel. Sekarang ini ada 22 perusahaan yang telah mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk mengembangan BBN,tapi ternyata hanya 3 perusahaan yang dapat berjalan.

-----------
Riwayat hidup
Dirgo D. Purbo,

Lulus dari New York Institute of Technology, Bsc, Industrial Engineering (1983). Bergabung dengan CONOCO INDONESIA (1984–1990) di berbabgi departemen, seperti: Reservoir Engineering, Petroleum Economic, Technical Training dan Production Engineering. Bergabung dengan PETROCORP State oil Comp. Exploration, Fletcher Challenge Group, New Zealand (1990–1996), Resonsible for Field Aquisition, Environmental and member of State Strategic Vision 2000. Managing Director Putraindo (1996–2005), Strategic Consultant for Newmont (2006-2009), Strategic Consultant ICR Antam (2009), Founder of PASKAL,Center of Strategic Studies for National Interests (2003), Strategic Advisor for CSICI-Center of Study Inteligence and Counter Intelligence (2005-2009). Visiting Lecturer of Geopolitic and Energy Security, Graduate Program, National Resillience, Univ Indonesia (2000-2010). Dosen Pembimbing Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Geopolitik Energi (2006-2007), Dosen tamu Geopolitik dan Energy Security di SESKOAD dan SESKOAU (2007). Dosen tamu Geopolitik dan Energy Security, Univ Pertahanan RI (2010).