Thursday, November 26, 2009

Apakah NOC harus 100% milik negara?

Istilah NOC (National Oil Company) umum dipakai yang di definisikan sebagai perusahaan migas milik negara (atau paling tidak pemerintah punya mayoritas saham pada perusahaan tersebut), ini untuk membedakan dengan IOC (International Oil Companies), yang umumnya sahamnya milik publik. Namun kadang ada yang bingung juga, kalau ada perusahaan yang namanya berbau nasional (padahal tidak ada saham pemerintah disana), dikirain NOC juga, tentu ini tidak benar. Definisi SOC (State Oil Company) sebenarnya lebih tepat, tetapi karena istilah NOC dan IOC ini sudah terlanjur umum digunakan, dan supaya nggak bingung kebanyakan definisi, ya kita pakai istilah yang sudah terlanjur sering dipakai saja, yaitu: NOC.

Gambar dibawah ini menunjukkan peringkat perusahaan migas di mancanegara berdasarkan besarnya cadangan minyak, tidak terlalu mengherankan kalau 8 dari 10 NOC dengan cadangan minyak terbesar berasal dari Negara Negara OPEC. Kecuali Petrobras (Brazil) dan beberapa NOC dari Russia, hampir semua NOC dari negara produsen, sahamnya 100% dimiliki oleh Negara. Ada beberapa NOC dengan cadangan diluar 20 besar, seperti India (ONGC), Oman (PDO), Eni (Italy), CNOOC (China), StatoilHydro (Norway), Ecopetrol (Colombia) sahamnya tidak 100% dimiliki pemerintah.

Peringkat cadangan pada gambar tersebut jelas menunjukkan bahwa NOC dari Negara OPEC mendominasi, namun demikian apabila dilihat dari net income, kita tidak tahu persis berapa yang diperoleh oleh NOC tersebut, karena sebagian besar revenue akan masuk ke kas pemerintah. Berdasarkan laporan PIW, peringkat berdasarkan net income di dominasi oleh IOC besar, yaitu: ExxonMobil, Shell, Gazprom, BP, Petronas, Chevron dan Total. Sedangkan untuk NOC besar, umumnya mereka memperoleh persentase dari keuntungan (biasanya nggak lebih dari 10%), bisa juga memperoleh revenue (lebih tepat disebut fee) dari penjulan minyak, atau bisa juga dari penjualan produk hasil minyak

Dukungan Finansial

Pada umumnya negara produsen migas memberikan hak istimewa (privilege) kepada NOC nya, kebijakan yang memberikan privilege terhadap NOC oleh pemerintah harus diikuti dengan dukungan finansial. Apabila NOC memutuskan untuk mengambil hak partisipasi atau mengambil alih operatorship IOC ketika kontraknya berakhir, tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit. Menurut PFC energy, konsultan energi kondang, dalam salah satu presentasinya tentang perbandingan investasi biaya kapital (Capex Investment) NOC untuk sektor hulu; sebagai perbandingan untuk tahun 2009, pengeluaran biaya kapital (Capex) Pertamina untuk sektor hulu, jauh tertinggal dari NOC lain, seperti Petrochina, Petrobras dan Petronas, bahkan apabila dibandingkan dengan PTTEP (Thailand) pun, pengeluaran Capex Pertamina masih tertinggal.

Di mancanegara, NOC selalu dihadapkan pada pilihan: melakukan privatisasi atau meningkatan share pemerintah. Sebagian pemerintah memilih jalur “go public” dalam rangka transparansi dan meningkatkan citra (image) NOC, beberapa contoh NOC yang mana saham pemerintahnya dibawah 100%, antara lain: Ecopetrol, Colombia (89.9%), Petro China (86%), Sinopec (76%), Rosneft, Russia (75%), CNOOC, China (64%), KMG EP, Kazakhstan (63%), PTT, Thailand (52%), Petrobras, Brazil (55.6%), Gazprom (50.002%)., PDO, Oman (60%), ONGC, India (74%). Untuk semua kasus, pemerintah tetap memegang kendali perusahaan.

Pemerintah mempunyai berbagai alasan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan atau sebaliknya, menurunkan share-nya pada NOC tersebut. Sebagai contoh:

Pemerintah Russia, setelah melalui periode konsolidasi, saat ini mempertimbangkan untuk menjual share nya di Rosneft (namun tetap mempertahankan minimal 51%). Hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan citra dimata investor barat dan sebagai kontribusi terhadap kebutuhan keuangan pemerintah. Pemerintah Kolombia, karena didesak oleh masalah anggaran negara, menjual 10% share-nya di NOC (Ecopetrol). Sebaliknya, pemerintah Brazil, sebagai bagian dari reformasi UU energi, saat ini mempertimbangkan untuk meningkatkan share permerintah di Petrobras, sekaligus untuk meningkatkan kendali terhadap potensi temuan cadangan minyak yang sangat besar disana.

Menurut peringkat PIW tersebut, saat ini peringkat cadangan Pertamina berada pada ranking 44. Apabila Pertamina ingin naik kelas menjadi pemain kelas dunia maka Pertamina perlu meningkatkan cadangan minyaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperoleh akses ke cadangan (access to reserves) baik di dalam negeri maupun luar negeri. Usaha ini tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Petronas (yang 100% milik Negara) dalam rangka mendanai ekspansi, disamping mereka mempunyai neraca yang kuat (strong balance sheet) dengan cadangan kas yang memadai, Petronas juga melakukan penggalangan dana melalui penerbitkan obligasi. Sementara Petrobras (Brazil) yang juga sangat ekspansif (sebagaimana diketahui, saham pemerintah di Petrobras hanya mencapai 56%) mempunyai banyak sumber dana untuk mendukung aktivitas ekspansi mereka di sektor hulu.

Apakah Pertamina perlu go public dengan melepas sebagian share pemerintah? Tentu saja hal ini pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Pilihan go public atau tidak sebagaimana laiknya suatu pilihan tentu mempunyai keuntungan dan kerugian. Seperti dibahas sebelumnya, tujuan go public beberapa NOC disamping perlunya dana segar untuk ekspansi, juga bertujuan untuk perbaikan citra dan transparansi. Go public dengan melepas sebagian share memang bukan satu satunya cara untuk memperoleh dana, pilihan dan pengalaman beberapa NOC mancanegara yang melepas sebagian share pemerintah perlu dikaji lebih jauh, apakah memungkinkan bagi Pertamina kelak untuk melakukan hal seperti itu. Petrobras yang sahamnya hanya 56% milik negara mungkin bisa dijadikan pembelajaran, paling tidak saat ini Petrobras termasuk “champion” untuk teknologi laut dalam (deepwater).

Walaupun IOC dan NOC mempunyai bisnis yang sama, namun keduanya mempunyai ‘concern’ yang berbeda. Salah satu concern utama IOC adalah tingkat keuntungan (profitability), sementara hal ini bukan menjadi concern utama bagi NOC. Kita tidak perlu heran ketika melihat bahwa walaupun produksi dan cadangan NOC besar, namun tidak demikian dengan tingkat keuntungannya. Dikaitkan dengan Pertamina, saya kira sebagai NOC tentu akan menghadapi concern serupa. Apabila Pertamina ingin menjadi perusahaan kelas dunia, tantangan utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan masing masing concerns ini menjadi suatu peluang. Karena concern yang paling utama sebagaimana ditunjukkan oleh gambar diatas adalah ”government strategy”, tentu ini harus di clear kan terlebih dahulu. Keinginan Pertamina sebagai NOC tidak mungkin bertentangan dengan keinginan pemerintah, timbul pertanyaan apakah pemerintah punya strategi terhadap NOC miliknya?

Tuesday, November 24, 2009

Pertamina beli BP ONWJ

Ada kebanggaan ketika membaca di media bahwa Pertamina berhasil memenangkan tender kepemilikan (46%) BP di Offshore North West Java (ONWJ), walaupun kemudian timbul pertanyaan, kenapa suatu NOC harus berjuang keras di negara sendiri untuk mengais-ngais sisa ladang migas yang akan ditinggalkan IOC (BP). Menyimak proses pelepasan interest BP di blok ONWJ , terlihat sama sekali tidak ada “intervensi” dari pemerintah. Di mancanegara, intervensi pemerintah untuk mendahulukan kepentingan nasional merupakan praktek yang lazim, kita bisa menyaksikan bagaimana pemerintah AS campur tangan ketika Chevron (AS) dan CNOOC (China) berebut asset Unocal (AS) yang akan di jual. Dan kita tahu akhirnya perusahaaan China tersebut harus gigit jari..

Menurut info kolega yang bekerja di sektor migas, kontrak perpanjangan BP ONWJ adalah 18.01.1996 selama 20 tahun, dengan demikian akan berakhir 17.01.2016. Terlepas dari jumlah yang dibayar merupakan hasil tender, namun dengan harga transaksi sekitar 280 MM$ tersebut merupakan biaya yang sangat mahal yang harus dikeluarkan Pertamina.

Dalam kasus ini kenapa Pemerintah tidak melakukan sedikit “intervensi“, mengingat kontrak blok ONWJ akan berakhir 6-7 tahun lagi, pemerintah bisa saja mengirimkan sinyal ke pasar bahwa kontrak ini kelak tidak akan diperpanjang. Dengan adanya sinyal ini, saya kira investor lain akan kurang berminat, konsekuensinya posisi tawar menawar BP akan turun, akibatnya Pertamina tidak perlu merasa harus mengalahkan pesaing (investor lain) dengan membayar harga yang terlalu mahal. Dalam kondisi paling buruk pun, seandainya BP memilih untuk bertahan sampai akhir kontrak, Pertamina dapat mengalokasikan dana tersebut untuk proyek lainnya sambil bersiap mengambil alih kontrak blok ONWJ yang tidak akan lama lagi berakhir..

Monday, November 16, 2009

Review Kontrak Migas (when and how?)

Wah sudah lama juga nggak posting tulisan nih, tulisan berikut adalah ringkasan dari apa yang saya tulis di salah satu milis, yang subjeknya mengenai keinginan merubah kontrak migas.

Setelah saya baca komentar dari berbagai pihak, yang saya tangkap bahwa pada dasarnya semuanya mempunyai tujuan yang sama (lebih tepatnya mungkin bisa disebut tujuan yang mulia he he). Intinya bahwa dalam kontrak migas, negara harus yang paling diuntungkan. Dilain pihak kita juga (harusnya paham) namanya bisnis migas resikonya beda, fiscal terms harus merefleksikan hal tersebut.

Untuk kasus di Indonesia, dari segi “timing”, model kontrak migas bisa kita kelompokkan sebagai berikut:

1. Model kontrak yang sedang berjalan/existing
2. Model kontrak untuk perpanjangan
3. Model kontrak untuk marginal, deepwater, EOR, dll.
4. Model kontrak untuk WKP baru
5. Model kontrak untuk CBM
6. etc

Kita lihat satu satu ya.

Point 1; untuk yang ini sebenarnya kita tidak banyak pilihan, (menurut saya) lebih baik nunggu kontrak berakhir, atau menawarkan kontrak model baru dengan catatan kontraktor setuju berubah Terms & Conditions (T&C). Dalam posisi ini, saya lihat kemungkinan akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya bagi negara, karena sebagai kontraktor yang mengoperasikan blok tersebut, jelas mereka lebih tahu sikon-nya. Logikanya: kalau kontraktor (operator) setuju berubah T&C , pasti mereka sudah bisa membaca bahwa hal itu akan lebih baik bagi mereka.

Point 2: untuk yang ini saya kira apa yang telah dan sedang dilakukan oleh teman di sektor migas dan kementerian ESDM (kalau benar info yang saya dengar) yang mana akan dikeluarkan peraturan untuk memprioritaskan Pertamina pada saat kontrak berakhir merupakan suatu terobosan. (Untuk sementara pembicaraan mengenai kemampuan finansial Pertamina kita kesampingkan dulu, anggap saja Pertamina punya cara untuk dapet duit, apakah go public, ngutang (ngeluarin bond), dibantu negara, etc. Ini kaya'nya perlu diskusi terpisah..).

Point 3: untuk yang ini sebenarnya di model PSC RI sudah di akomodir, yang mana split untuk proyek proyek tsb (karena relatif resiko tinggi) lebih baik bagi kontraktor. Namun demikian, melihat perkembangan fiscal terms yang pesat di mancanegara, tentu kita tidak boleh menutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan/modifikasi (misal dengan split based on profitability, sliding scale split, oil price split, etc).

Point 4 dan Point 5 Mirip, (menurut saya) hanya disini peluang untuk memperkenalkan model kontrak baru (termasuk sistem yang nggak cost recovery-nya) .

Ide teman teman yang beragam silahkan di godok disini, kita bebas mengusulkan apa saja, karena toh pada akhirnya yang akan menentukan adalah hukum permintaan dan penawaran. Kalau kemahalan (T&C) terlalu ketat, nggak ada yang minat dan sebaliknya.

Disini kita harus hati hati, jangan salah membandingkan dengan negara lain, misalnya ada yang bilang: lihat Kazakhtan, di T&C model kontrak migas mereka, pembayaran royalti ke pemerintah gede sekali. Dalam hal ini harus dilihat dulu detailnya bagaimana (biar apple to apple); jangan jangan wilayah kerja yang mereka tawarkan sudah tinggal dikembangkan (developed), jadi sebelumnya sudah ada discovery, otomatis resikonya kecil. Di Libya misalnya, mereka punya model eksploration contract, setelah ada discovery, nggak otomatis si investor yang berhak men-develop block/field tsb, harus berunding dulu T&C dengan pemerintah, kalau cocok go ahead, kalau nggak cocok, si investor silahkan mundur dengan dikasih uang remunerasi dan fee alakadarnya. Kenapa mereka bisa begitu? kalau kita ibaratkan cewek, ya mereka relatif cakep, wajar jual mahal; kalau tampang kita pas pasan, ya tentu bargaining power agak kurang he he....