Tuesday, January 05, 2010

Indonesia to scrap oil, gas cost recovery cap

Judul diatas adalah headline yang menghiasi media elektronik awal 2010, inilah contoh betapa suatu kebijakan dibuat tanpa kordinasi dan pemikiran yang matang, akhirnya bolak balik ganti kebijakan. Asal muasal kisruh dan debat becak “cost recovery” ini sudah banyak saya posting sebelumnya. Saya dulu mengistilahkan: “mau bunuh tikus, lumbung dibakar…” dan kejadian deh, masih untung sekarang mau diluruskan lagi, mumpung lumbungnya belum ludes he he..

Bahayanya menurunkan Cost Recovery (selanjutnya kita singkat CR) sudah lama saya bahas (belakangan malah males, karena isunya sudah keluar konteks). Kalau oil and gas companies disuruh nurunin CR, yang paling gampang dilakukan adalah mengurangi investasi (eksplorasi, drilling, production, EOR, etc), mana mungkin menurunkan CR dari pengurangan gaji karyawan he he.. Kalau kegiatan tersebut dikurangi, dari mana rumusnya mau meningkatkan produksi dan menaikkan cadangan?

Jadi harusnya dari dulu sudah paham, “menurunkan/membatasi CR” adalah identik dengan “menurunkan/membatasi investasi”, kalau sekarang baru ribut, ya telat, ketinggalan kereta. Kalau yang paham bisnis migas, sekarang mah cuma ngelus jenggot, sambil ngomong: "pan dari dulu udah gua bilang.. he he.."

Karena kita maunya mengurangi/membatasi investasi, lha ngapain sibuk melakukan penawaran blok, kalau saya investor (domestik/LN), saya akan bingung, akan timbul kesan, bikin aturan kok nggak sinkron.

Saya dari dulu udah bilang: jangan membatasi CR (maksudnya pembatasan CR ala Indonesia) karena ini pengaruhnya hanya shorterm dan kerugiannya longterm. Ribut masalah CR ini kan lebih banyak karena kurang paham saja, dan saya yakin bisa diselesaikan. Sudah berabad negara ngurusin migas, saya percaya paling tidak kita sudah tahulah cara me-manage cost (mungkin ini istilah yang lebih tepat). Tapi sayangnya isunya melebar, kemudian CR dianggap "public enemy number one" yang gimana caranya harus "dimusnahkan".

Sebenarnya, masalah pembatasan CR ini kan hal yang biasa saja dan lazim dipakai, tapi yang dilakukan adalah pembatasan dari gross revenue suatu block atau lapangan (tergantung kontraknya). Tujuannya mulia, yaitu: menjamin pendapatan pemerintah dari awal dan ini bekerja secara otomatis. Kalau ada suatu blok yang cost-nya tahun ini lagi besar dan revenue-nya kecil, konsekuensinya si kontraktor (oil and gas companies) harus rela menunda CR (karena ada pembatasan). Sebaliknya, dalam kasus tertentu, walaupun cost besar tapi revenue jauh lebih besar, meskipun ada limit (katakan: 80% dari gross revenue), maka mekanisme CR limit tidak bekerja, karena cost nya masih dibawah limit (kalau kurang jelas, lihat posting saya sebelumnya mengenai mekanisme cost recovery limit). Jadi pada dasarnya mekanisme CR limit ini cukup fair.

Yang jadi masalah ini ketika kita membuatnya secara agregat total anggaran untuk semua kontrator di tanah air, kemudian ditetapkan bahwa yang boleh di CR kan hanya (misal: tahun 2010, 12 juta $), sisanya di carry forward ke tahun berikutnya. Hal seperti ini tidak lazim, hanya mau ngambil gampangnya dari urusan APBN tapi nggak melihat secara bisnis dan investasi, main pukul rata semua kontrator dan berbeda dengan spirit CR limit yang umum dipakai pada kontrak migas di mancanegara.

Syukurlah kalau sekarang dikembalikan ke “khittah” nya, ibarat pepatah tadi: mumpung lumbungnya belum ludes dibakar. Btw, tikusnya (kalau ada), apa sudah ketangkap? he he..

Mari kita dorong perusahaan migas fokus mencari cadangan minyak yang besar (istilah kerennya: “big fish”), contohlah Brazil, mereka termasuk negara yang paling sukses ketemu “big fish” (dan dalam waktu dekat akan berubah dari negara importir menjadi negara eksportir minyak). Kita mah sibuk berdebat terus, boro boro ketemu “big fish”, “ikan teri” aja nggak dapet he he. Seandainya “big fish”-nya udah ketemu, baru deh kita banyak ngomong, ya spt Brazil itu, setelah tahu mereka banyak ketemu “big fish”, bargaining power meningkat, sekarang mereka sibuk mikirin bagaimana mengubah model kontrak yang paling menguntungkan negara, dari semua opsi yang mereka kaji, NOC (Petrobras) harus tetap jadi pemain dominan. Gitu aja deh, lebih kurangnya mohon maaf…