Wednesday, August 24, 2011

Pajak Perusahaan Migas dan Traktat Pajak – Kenapa Ribut?

Beberapa bulan yang lalu, kita melihat di mass media isu mengenai masalah pembayaran pajak perusahaan minyak. Karena masalah pajak sendiri mungkin bermacam macam, maka dalam tulisan ini, kita fokuskan saja tinjauan yang ada kaitannya dengan ketidaksepahaman (dispute) mengenai “Branch Profit Tax” atau “pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR)” akibat adanya Tax treaty (Traktat pajak).

Berita di mass media, saya kira tidak saja membingungkan bagi orang awam, buat orang migas dan pajak pun kelihatan sama sama bingung. Mari kita kutip berita yang simpang siur:

Harian Kontan (3 Agustus 2011) – “Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, mengatakan,porsi bagi hasil yang benar-benar diterima pemerintah hanya sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah pemerintah berkurang karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) yang mengatur pajak bunga dividen dan royalti (PBDR) yang diteken Pemerintah Indonesia dengan negara asal perusahaan migas asing. Di dalam perjanjian tersebut, tarif PBDR lebih kecil dari yang berlaku di Indonesia yakni sebesar 20%. Perjanjian dengan negara-negara yang menganut hukum Inggris, misalnya, tarifnya cuma sebesar 10% dan Malaysia 12,5%”.

Harian Kontan ( 22 Agustus 2011) - Menurut IPA (Indonesian Petroleum Association), bagi hasil sebesar 85%:15% tidak pernah ada di dalam kontrak yang disebut production sharing contract (PSC) antara pemerintah dan kontraktor migas.

"Selama ini persepsi 85%:15% salah, bagi basil itu sudah tidak ada lagi. Pembagian tersebut berlaku pada tahun 1978. Sedangkan sekarang, kontrak yang berlaku adalah yang mencantumkan split gross sebelum pajak," kata Vice President IPA Sammy Hamzah, Jumat (19/8). Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil antara penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP Migas mewakili pemerintah dan 28, 8462% untuk kontraktor migas.

IPA menyatakan, tidak ada aturan yang dilanggar oleh kontraktor, dari sisi perundangan-undangan pajak maupun ketentuan kontrak kerjasama"Seharusnya penerapan tarif pajak di dalam treaty oleh kontraktor juga dihormati," ajar Hamzah

Wajar saja bapak bapak diatas membela institusi dan organisasi masing masing, sekarang mari kita lihat bagaimana cerita ini, dari mana (dan apa benar?) angka angka yang dirilis diatas.

Latar belakang PSC Indonesia.

Prinsip PSC generasi pertama (1966 – 1975) adalah :

1. Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun.

2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% bagian Pemerintah sudah termasuk pajak Kontraktor).

3. Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel.

Pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas pengaturannya, bagian Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Perubahan PSC term menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan tersebut adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia oleh kantor pajak negara asal, dengan demikian “tax credit” Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh karena itu PSC term perlu dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam rangka memanfaatkan fasilitas “tax credit” di negara asalnya.

Perubahan yang dilakukan pada PSC generasi kedua (1976 – 1988) ini adalah sebagai berikut :

1. Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).

2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas).

3. Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).

4. Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).

5. Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi.

6. Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double Declining Balance (DDB).

Anjloknya harga minyak menjadi masalah bagi Pemerintah mengingat minyak menyumbang kontribusi besar bagi APBN. Untuk lapangan lapangan yang sudah mulai menurun produksinya, minyak yang akan dibagi sudah tinggal sedikit, dengan tidak dibatasinya Cost Recovery, bisa jadi sudah tidak ada lagi minyak yang dibagi, hal ini bertentangan dengan semangat berbagi produksi (production sharing) itu sendiri.

Perlunya jaminan pendapatan bagi Pemerintah melandasi lahirnya PSC generasi 3 (PSC generasi 3 dimulai sejak 1988). Untuk itulah pada PSC generasi 3 diperkenalkan istilah First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor.

Perpajakan PSC Indonesia

Besarnya tingkat pajak perusahaan (Corporate tax) terus mengalami perubahan (lihat Tabel-1 dibawah). Branch profit tax atau PDBR besarnya 20%, untuk menghitung PDBR = 20% x (1-corporate tax). Total Tax = Corporate tax + PDBR (Tabel -1)

Tabel -1

Sejak PSC generasi kedua, supaya tidak menimbulkan masalah pajak bagi kontraktor, maka bagian pemerintah yang 85% sudah termasuk pajak (after tax). Untuk mengetahui berapa besar keuntungan sebelum pajak (before tax) bagi kontraktor, maka dilakukan perhitungan “gross up”, yang mana: before tax = after tax/ (1 – total tax). Angka angka (before tax) inilah yang kemudian muncul didalam kontrak PSC.

Tabel 2
 
Apa yang terjadi dengan adanya Tax treaty yang ternyata lebih rendah dari 20%, misalnya UK = 10%, maka tentu saja PDBR akan turun, begitu pula total tax-nya (Tabel 3)
Tabel 3
 
Sekarang mari kita lihat komentar bapak bapak diatas:


Dirjen Pajak: “..hasil yang benar-benar diterima pemerintah hanya sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah pemerintah berkurang karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty..)”

Disini kelihatannya beliau mengacu ke PSC (1985-1994), yang mana PDBR turun sebesar 6.5% (Tabel 3). Namun yang membingungkan adalah ketika beliau menyimpulkan bahwa bagian yang benar benar diterima pemerintah “hanya” sebesar 79% (kelihatannya ini pengurangan: 85% - 6.5% = 78.5%).

Menurut saya ini tidak benar: angka 85% diperoleh dari: share government before tax + (total tax x contractor before tax).

Jadi untuk PSC (1985 – 1994) : 71.1538% + (48% x 28.8462%) = 85%

Perhitungan yang sama apabila PDBR = 10%, dimana total tax = 41.5% (lihat Tabel 3)

Jadi: 71.1538% + (41.5% x 28.8462%) = 83.1%

Dengan demikian, total “bagi hasil” pemerintah turun dari dari 85% menjadi 83.1%, bukan 78.5%

Bagaimana pula komentar IPA

IPA: “…Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil antara penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP Migas mewakili pemerintah dan 28,8462% untuk kontraktor migas..”.

Sama dengan Dirjen pajak, disini IPA mengacu ke PSC (1985 – 1994), memang betul bahwa di kontrak hanya disebutkan “before tax split” yang angkanya sebesar diatas (hal ini berlaku sejak PSC generasi kedua untuk mengakomodasi masalah perpajakan kontraktor). Tapi anehnya, IPA terkesan mengangap bahwa angka angka aneh tersebut (71.1538%) dan (28.8462%) seolah olah berasal dari langit. Padahal angka angka itu ada asal muasalnya, yaitu: perhitungan “Gross-up” dengan asumsi corporate tax 35% dan PDBR 20% (lihat Tabel 2).

Kalau seandainya ada tax treaty yang mengatakan PDBR kurang dari 20% (misal seperti dengan UK = 10%), konsekuensinya, perhitungan “gross up” mesti diubah seperti Tabel 4, berikut:

Tabel 4

Silahkan saja menggunakan Tax treaty lebih rendah dari 20%, tapi bagian kontraktor sebelum pajak pun harus di-“adjust” untuk mempertahankan angka keramat 85% : 15%. Dalam hal ini, untuk KKKS tersebut (kasus PSC 1985- 1994), seharusnya bagiannya bukan 28.8462% tetapi diturunkan menjadi 25.6410%. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka “kontrak bagi hasil” nya selama ini bukanlah 85:15, melainkan 83:17.