Thursday, August 23, 2012

Migas Non-Konvensional dan Geopolitik Energi di Masa Depan


Di industri migas, adanya migas non-konvensional, seperti: shale oil, oil sand, shale gas, tight sand dan coal-bed methane (gas metana batubara), sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Potensi migas  non-konvensional yang kaya organik di beberapa perusahaan migas selama ini sudah teridentifikasi namun relatif diabaikan karena sangat rendahnya permeabilitas  yang mencerminkan kesulitan untuk mengalirkan migas tersebut.

Sumber daya migas non-konvensional ini sangat besar, berbeda dengan migas konvensional, dimana keberhasilan eksplorasi menjadi salah satu kunci sukses utama. Pada migas non-konvensional karena lokasi sumber daya sudah teridentifikasi, isu utamanya adalah apakah cukup ekonomis memproduksikan akumulasi lapisan tersebut. Aplikasi teknologi perekahan (fracturing) dan pemboran horizontal yang umum digunakan pada sumur migas konvensional, merupakan terobosan dalam rangka memproduksikan akumulasi migas non-konvensional.

Di Amerika Serikat (AS), sejak tahun 2006 produksi shale gas meningkat luar biasa. Hal ini berakibat turunnya harga gas secara dramatis disana. Harga gas spot Henry-Hub, tahun 2006 mencapai 13 $ per mmbtu, saat ini “hanya”  berharga antara  2 - 3  $ per mmbtu.

Adanya “revolusi” gas non-konvensional ini sedikit banyak akan mempengaruhi geopolitik energi. Tambahan produksi gas non-konvensional pada masa yang akan datang akan berpengaruh terhadap rute perdagangan LNG global. Majalah Petroleum Economist (edisi April 2012) menulis ancaman serius shale gas dari AS akan dirasakan oleh LNG Australia yang sedang melakukan investasi besar besaran. Impor LNG dari shale gas di AS diperkirakan akan  lebih murah karena harganya mengacu kepada Henry- Hub yang merupakan harga patokan gas di Amerika Serikat. Sementara harga LNG tradisional umumnya mengacu kepada harga minyak.

Sementara untuk minyak non-konvensional, tambahan pasokan berasal dari shale/tight oil di AS dan oil sand/tar sand  di Kanada. Akibatnya, sebagaimana diperkirakan oleh pakar migas Leonardo Maugeri, produksi minyak AS dalam satu dekade kedepan akan mendekati 12 juta barel per hari, nomor dua di dunia setelah Saudi Arabia. Begitu pula dengan  Kanada,  tambahan produksi minyak akibat  kegiatan migas non-konvensional akan meningkat signifikan, mereka akan menjadi salah satu dari 5 besar produsen minyak dunia. Sementara Brazil pada dekade kedepan, melalui produksi dari wilayah Laut Dalam, produksi minyak (konvensional) mereka akan sedikit diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari produksi saat ini.

Tambahan produksi minyak dunia kedepan akan di dominasi oleh empat negara, tiga dari wilayah Amerika (AS, Kanada dan Brazil), ditambah Irak yang mewakili wilayah klasik Timur Tengah melalui tambahan produksi dari sumur sumur minyak yang di rehabilitasi akibat kerusakan pada masa perang. Meningkatnya aktivitas minyak non-konvensional di AS ini akan secara dramatis mengurangi kebutuhan impor minyak negara tersebut.

Dari beberapa seminar internasional yang dihadiri penulis satu tahun terakhir, tidak sedikit pengamat minyak internasional terkenal berpendapat bahwa implikasi dari tambahan produksi minyak non-konvensional dapat menekan harga minyak. Namun demikian, keekonomian pengembangan migas non-konvensional secara global, pada saat ini memerlukan harga minyak paling tidak sekitar 70 $ per barel. Dibawah harga ini, sebagian proyek migas non-konvensional khususnya diluar AS menjadi kurang menarik.

Sumber daya (resources) migas non-konvensional di dunia sangat melimpah, pertanyaannya: apakah kesuksesan pengembangannya di AS dan Kanada dapat dengan mudah di “copy paste” oleh negara lain? Jawabannya:  tidak, khususnya dalam jangka pendek. Kesuksesan industri migas non-konvensional di kedua negara tersebut disamping tersedianya sumber daya migas non-konvensional yang sangat besar, juga didukung oleh adanya akses terhadap sistem pipanisasi lokal, faktor jarak yang relatif dekat antara lokasi proyek dengan konsumen, ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan penyedia jasa untuk kegiatan hulu migas dan ketersediaan infrastruktur. Adanya kompetisi sesama perusahaan yang terlibat dalam pengembangan gas non-konvensional mendorong terjadinya penurunan biaya. Disamping itu di AS agak unik, berbeda dengan negara lain dimana migas merupakan kekayaan yang dikuasai negara, di AS, migas merupakan kepemilikan privat  (private ownerhip of mineral rights).  Tentu saja faktor harga gas domestik yang tinggi selama periode 2005 - 2008 juga menjadi pendorong sehingga proyek  menjadi ekonomis.

Isu lingkungan

Sejauh ini, tantangan yang dihadapi pada saat pengembangan migas non-konvensional adalah isu lingkungan. Penggunaan teknologi fracturing yang sangat intensif melalui injeksi air dan zat kimia tambahan ke dasar sumur dengan volume yang besar besaran diyakini beberapa pihak akan menyebabkan kerusakan dan kontaminasi air tanah serta masalah lingkungan lainnya. Beberapa negara khususnya di daratan Eropa sangat serius menangani isu lingkungan ini. Perancis mengeluarkan larangan kegiatan fracturing untuk eksploitasi shale gas sampai ada teknologi yang dianggap lebih akrab lingkungan. Eksploitasi minyak non-konvensional, seperti: oil sand juga menghadapi tantangan serupa, mengingat emisi karbon relatif lebih besar dihasilkan oleh minyak non-konvensional. Pada saat ini, isu lingkungan sedang dicarikan solusinya, termasuk kajian seberapa jauh kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan fracturing.

Pembelajaran

Dalam satu dekade kedepan, diperkirakan peta geopolitik energi akan berubah, salah satu faktor penyebabnya tak lain adalah revolusi pada industri migas non-konvensional. Pembelajaran apa sekiranya dapat kita petik dari negara yang diperkirakan akan memberikan tambahan pasokan minyak secara signifikan pada masa datang, seperti: Brazil dan AS.

Dari pengalaman negara tersebut, tampaknya diperlukan suatu pemicu agar suatu kebijakan energi secara umum dan terobosan peningkatan produksi migas secara khusus akan berhasil pada masa depan. Sebagai ilustrasi: kisah sukses industri migas di Brazil berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di darat tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan minyak disana. Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan secara lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak. Dalam rangka mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa yang akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan meluncurkan program bahan bakar ethanol. Pajak bahan bakar minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan menghindari pemborosan bahan bakar minyak.

Pemerintah pada saat yang sama mendorong perusahaan minyak nasional (Petrobras) untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan minyak domestik. Tahun 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas. Petrobras di privatisasi, hak monopolinya kemudian dicabut. Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan mengatur kegiatan baik hulu maupun hilir. Deregulasi ini bertujuan agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam.
 
Prinsip “bersakit sakit dahulu” ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak pada saat itu mencapai 1.2 juta barel per hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan berproduksinya lapangan lapangan baru dari lokasi laut dalam tersebut.
 
Terobosan shale gas di AS tidak terlepas dari pemicu yang membuat mereka menderita, yaitu: tingginya harga gas pada tahun 2005 serta kekhawatiran impor LNG akan terus meningkat pada saat itu. Padahal dari sisi insentif pajak, sejak tahun 1990-an sudah ada insentif untuk pengembangan migas non-konnvensional. Insentif saja rupanya tidak cukup, perlu pemicu yang membuat orang menjadi was – was sehingga “terpaksa” menjadi kreatif dengan terobosan aplikasi teknologi dan lain lain.

Belajar dari pengalaman diatas, untuk kasus di tanah air, kelihatannya sekedar himbauan penghematan dan lain lain, rasanya  akan kurang effektif. Untuk urusan kebijakan energi, bangsa ini perlu pemicu yang mungkin pada awalnya tidak terlalu nyaman. Dalam posisi yang kepepet, dorongan kreativitas dan optimalisasi sumber daya dan usulan kebijakan seharusnya bukan lagi pada tatanan wacana tetapi sudah menjadi kewajiban yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Sehingga kita tidak hanya menjadi penonton dan semakin sangat tergantung terhadap impor energi di masa depan.