Monday, November 26, 2012

Buku: Ekonomi MIGAS


Insha'Allah mulai beredar di toko buku tanggal 17 Desember 2012, Harga Rp. 70,000,-

Thursday, November 22, 2012

Kegagalan mengurai akar masalah industri migas

Kalau kita cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi (regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi tersebut.

Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford (2011) mengkaji sejauh mana pengaruh pengaturan fungsi tersebut terhadap kinerja sektor hulu migas. Ada negara yang secara tegas memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan. Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara yang tidak secara tegas memisahkan fungsi fungsi tersebut.

Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan atau tidak, fungsi  komersial selalu dilakukan oleh Perusahaan migas milik negara (state-owned NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA, Australia, Kanada dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi karena sebelumnya sudah di privatisasi, maka fungsi komersial dilakukan oleh pihak swasta atau perusahaan minyak internasional (IOC).

Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan IOC.

Di Indonesia, fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas jelas hanya dapat dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC di negara lain.

Kecilnya bagian produksi Pertamina kemudian memberikan kesan bahwa NOC kita inferior di negeri sendiri, dalam bahasa pengamat “kedaulatan migas jatuh ke tangan asing”. Kenapa hal ini dapat terjadi?, bisa jadi selama beberapa dekade industri migas, Pemerintah sudah merasa nyaman menikmati posisi sebagai “juragan” yang hanya menerima bagi hasil dari kontraktor (IOC) tanpa mau terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar besaran di sektor migas melalui NOC (Pertamina).  

Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di semua negara produsen migas di dunia, sehingga bagian produksi NOC mereka menjadi sangat besar. Jadi disini kata kuncinya adalah investasi atau terlibat langsung, bukan dengan mengutak atik pilihan untuk memisahkan atau menggabungkan fungsi tersebut. Sejak UU 8/1971, Pertamina pernah merangkap peran komersial dan regulasi/supervisi, kenyataan menunjukkan bagian produksinya sangat kecil terhadap produksi nasional. Kenapa? karena pemerintah kelihatannya tidak berniat untuk ”investasi langsung” di sektor hulu (penerimaan hasil migas tidak di investasikan kembali  secara signifikan ke sektor hulu migas melalui Pertamina atau dikenal dengan istilah plough back). Sejak UU migas 22/2001 sebenarnya ada peningkatan bagian produksi Pertamina terhadap total produksi migas nasional, namun masih belum cukup besar.

Sejarah menunjukkan, Pertamina sudah pernah memainkan kedua peran tersebut (yang sering disebut wasit merangkap pemain melalui UU 8/1971) dan peran pemisahan (UU 22/2001). Sekarang kita akan membuat UU Migas baru (merevisi UU lama?). Percayalah permasalahan akan terulang kalau hanya bertujuan agar NOC sebagai pihak yang berkontrak langsung dengan IOC tanpa ada niat Pemerintah untuk meningkatkan investasi sektor hulu. Tentu kurang fair membandingkan dengan Petronas yang didukung penuh oleh Pemerintah untuk melakukan ekspansi di sektor hulu migas. Apabila selama ini, investasi hulu migas Pertamina didukung penuh khususnya dari aspek finansial oleh Pemerintah, saya kira kesan awam bahwa industri migas nasional “dijajah asing” tidak akan terjadi.

Terkait ribut ribut apakah kontrak Business to Business (B2B) atau Business to Government (B2G). Pada dasarnya dua hal tersebut bisa saja dilakukan. PSC di India, Oman, Yaman dan  Jordania  yang berkontrak adalah Pemerintah (Kementrian) dengan perusahaan migas internasional (B2G), di Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC (B2B), di Brazil  yang berkontrak Pemerintah (diwakili ANP yang berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G). Kontrak kesepakatan LNG Papua Nugini berlangsung antara Pemerintah dengan Perusahaan migas Esso (B2G) dan lain lain. Apakah betul negara tersebut merasa posisinya jatuh karena berkontrak langsung dengan Perusahaan asing? Apakah betul IOC tidak mau berkontrak dengan Badan pemerintah yang tidak punya aset? Apakah kalau B2B menjamin bahwa Pemerintah “kebal” dari tuntutan investor asing?.

Investor asing itu tentu saja tidak bodoh, mereka punya proteksi berlapis, tidak hanya melalui dokumen kontrak (concession agremeent maupun production sharing agreement). Katakanlah kontraknya adalah B2B, ketika ada sengketa diantara pihak yang berkontrak, disamping menuntut BUMN yang berkontrak dengan mereka, investor asing juga bisa menyeret Pemerintah yang bersangkutan ke arbitrase internasional melalui jalur lain, dalam ini Bilateral Investment Treaty (BIT). Hal ini terjadi dalam kasus ExxonMobil vs. PDVSA (NOC milik Pemerintah Venezuela), mereka berdua yang berkontrak (B2B),  namun ketika terjadi sengketa, oleh ExxonMobil, Pemerintah Venezuela pun diseret ke arbitrase internasional (ICSID, International Centre for Settlement of Investment Disputes) melalui mekanisme BIT tersebut.

Dengan demikian, tidak tepat saat ini kalau ada yang mengatakan bahwa Pemerintah akan bebas dari tuntutan ke arbitrase internasional dengan pilihan B2B. Apapun pilihannya, selama itu melibatkan investor asing, resiko ini tetap terbuka. Jangan sampai nanti masyarakat awam kecewa dan terheran heran ketika suatu saat Pemerintah dituntut oleh investor asing ke arbitrase internasional sementara bisnisnya menggunakan B2B.

Mari kita kawal agar UU Migas baru ini merupakan bagian dari solusi terhadap akar permasalahan (bukan produk trial & error), dan bukan pula hanya mendengarkan opini segelintir pengamat yang senang membungkusnya dengan embel embel “kemakmuran rakyat”.

Sunday, November 18, 2012

Kisruh Migas dan Keberpihakan Pemerintah


Industri hulu migas tidak pernah lepas dari headline media nasional belakangan ini, mulai dari isu cost recovery, pengaturan blok migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan puncaknya pembubaran BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai pelopor penggunaan Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai pada awal tahun 60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen minyak juga sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak migas yang lebih berimbang bagi negara sebagai pemilik sumber daya alam, termasuk sebagian diantaranya melakukan nasionalisasi.

PSC di Indonesia di adopsi dari sistem paron yang biasa dilakukan dalam penggarapan sawah, yang intinya berbagi hasil antara  pemilik dan penggarap dengan porsi tertentu (misal: 50% - 50%).  Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan mekanisme konsesi, namun ditambahkan hak partisipasi progresif dimana porsi bagian pemerintah (diwakili perusahaan minyak milik negara/ National oil Company/NOC) terus meningkat dengan berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai 100% seperti Saudi Aramco.

Peran NOC
Sekedar perbandingan, bagian NOC terhadap total produksi nasional untuk NOC dari negara negara anggota OPEC, seperti: Aramco (Saudi Arabia),  NIOC (Iran), KOC (Kuwait), PDVSA (Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi domestik. Sedangkan NOC dari negara non-OPEC yang menguasai 90% produksi nasional, antara lain: Pemex (Meksiko) dan Petrobras (Brazil). LNOC (Libya) dan Sonatrach (Aljazair) menguasai 80% produksi domestik. Petronas (Malaysia), NNPC (Nigeria),  ADNOC (UAE) dan CNPC (China) menguasai lebih dari separuh produksi nasional. Bahkan Sonangol (Angola) yang masih terhitung NOC yang muncul belakangan, bagiannya dari total produksi nasionalnya sudah mencapai sekitar 40%. Sementara Pertamina tidak lebih dari 25% produksi nasional.

Kalau kita melihat perspekstif sejarah, tampaknya visi dan keberpihakan negara terhadap NOC dapat dikatakan  masih minimal. Partisipasi pemerintah melalui NOC pada PSC Indonesia hanya berupa pilihan opsi untuk berpartisipasi sebesar 10%, dimana besaran tersebut tetap (tidak progresif).

PSC secara konsep adalah ide yang brilian karena mengatur bagaimana negara dan investor berbagi imbal hasil yang proporsional, sementara resiko sepenuhnya ditanggung investor. Namun demikian, dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya sejauh ini belum di optimalkan. Rupanya kita masih terpaku pada sistem paron, yang secara tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan jangan memang tidak pernah terpikirkan bahwa kelak suatu saat (seharusnya) NOC sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi kalau saat ini kontribusi Pertamina masih dibawah 25%, tentu bukan suatu yang mengherankan.

Tata Kelola Migas
Terkait dengan hubungan antara tata kelola industri migas dan kinerja sektor hulu migas, Mark Thurber  dan kawan kawan dari Universitas Stanford melakukan studi (2011) sejauh mana pengaruh pemisahan tiga fungsi (kebijakan, regulasi dan komersial) terhadap kinerja produksi migas di beberapa negara eksportir minyak. Negara yang dipilih sebagai sampel adalah: Aljazair, Brazil, Meksiko, Nigeria dan Norwegia yang  mewakili negara yang memisahkan ketiga fungsi tersebut. Sementara: Angola, Malaysia, Russia, Saudi Arabia dan Venezuela, mewakili negara yang tidak melakukan pemisahan. Kesimpulan studi menunjukkan sedikit korelasi, dimana hanya dua negara, yaitu: Norwegia dan Brazil yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa pemisahan tiga fungsi tersebut berkorelasi positif terhadap kinerja sektor hulu migas. Sebaliknya, Saudi Arabia dan Malaysia, yang tidak memisahkan ketiga fungsi diatas, ternyata juga mempunyai kinerja sektor hulu migas yang baik. Negara negara yang juga melakukan pemisahan ketiga fungsi tersebut, seperti: Nigeria dan Aljazair sejauh ini dianggap kurang berhasil karena pemisahan tersebut hanya formalitas dan banyak menghadapi tantangan internal. Sementara Meksiko berpotensi untuk melakukan perbaikan kinerja sektor hulu,  namun efektivitas pemisahan fungsi masih harus diuji mengingat fungsi regulasi (Komisi Hidrokarbon Nasional) baru dibentuk pada tahun 2008. Perlu dicatat bahwa dari sepuluh negara yang dijadikan sampel pada studi ini, semua NOC nya mempunyai  bagian yang sangat besar terhadap produksi minyak domestik mereka.

Model tata kelola dari negara lain ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran. Keinginan untuk ´´mensterilkan´´ Pemerintah dari kemungkinan tuntutan di arbitrase internasional ketika terjadi sengketa bisnis dengan tidak terlibat langsung sebagai pihak yang berkontrak perlu dikaji dengan seksama. Perkembangan belakangan menunjukkan bahwa model Business to Business (B 2 B) tidak selalu menjamin bahwa Pemerintah bisa sama sekali steril. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi sengketa antara ExxonMobil vs. PDVSA untuk salah satu blok di Venezuela dimana Pemerintah Venezuela juga dituntut oleh Exxon Mobil, padahal Pemerintah bukan pihak yang berkontrak. Perkembangan sengketa migas internasional belakangan sebaiknya di observasi sebagai bahan pertimbangan nantinya.

Gejala dan akar masalah
Salah satu penyebab maraknya berbagai isu migas ditanah air adalah kegagalan memahami perbedaan antara gejala dan akar permasalahan. Ketika isu cost recovery muncul, banyak yang serta merta menuding bahwa PSC adalah akar masalahnya sehingga harus dicari sistem atau mekanisme baru. Padahal masalah cost recovery ini tidak terjadi di industri migas di negara lain. Seandainya ada masalah mark-up dan semacamnya, yang tentu saja dapat terjadi pada model kontrak migas selain PSC (konsesi dan service contract),  bukankah oknumnya yang harus ditindak?. Kenapa memaksakan penggunaan mekanisme lain yang bisa jadi malah mengakibatkan penurunan penerimaan bagian negara (Government Take)?.

Dalam satu kesempatan workshop dalam rangka pertukaran informasi dan pengalaman dengan negara produsen migas terkait pelaksanaan kontrak migas di masing masing negara. Penulis sempat mengangkat ramainya isu cost recovery di tanah air. Para pakar ekonomi migas dari negara lain tersebut cukup heran, mereka mengatakan: ´´kami tidak ada masalah dengan cost recovery, kalau ada indikasi penggelembungan biaya dan terbukti, tentu kami kirim ke penjara´´. Sementara di tanah air, permasalahan ini dijawab dengan mencari cari model kontrak migas lain. Siapa yang menjamin tidak akan terjadi masalah yang sama?. Rupanya kita lebih memilih membakar lumbungnya ketimbang membunuh oknum tikusnya.

Kisruh migas nasional ini sebenarnya dapat dicegah seandainya keberpihakan pemerintah terhadap NOC (dalam hal ini Pertamina) terus di prioritaskan dalam rangka meningkatkan bagian produksi Pertamina terhadap produksi nasional. Ada beberapa keuntungan apabila Pertamina mempunyai partisipasi signifkan dalam suatu blok migas, antara lain: adanya jaminan pasokan energi untuk keperluan domestik dan isu cost recovery akan dapat diminimalkan. Disamping itu, meningkatnya produksi dan cadangan Pertamina akan berpengaruh terhadap posisi tawar menawar mereka di kancah bisnis hulu migas internasional. Adapun tantangan opsi ini yang paling utama adalah masalah keperluan pendanaan yang tentunya tidak sedikit.

Selama ini kisruh cost recovery antara pihak pemerintah dan perusahaan migas internasional lebih disebabkan oleh adanya informasi yang tidak berimbang (asymetric information) antara “orang dalam” (perusahaan migas internasional) dan pemerintah sebagai “orang luar”. Dengan terlibatnya NOC pada suatu blok sebagai mitra perusahaan asing, maka isu cost recovery otomatis akan berkurang karena Pertamina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah seyogyanya ikut mengawasi penggunaan biaya dari dalam (internal) sehingga diharapkan tidak ada lagi masalah “informasi yang tidak berimbang” tersebut. Mungkin hal ini pulalah yang menyebabkan kenapa isu cost recovery hampir tidak terdengar di negara produsen minyak lain di mancanegara yang juga menggunakan mekanisme PSC.

Semoga kisruh hulu migas nasional ini menjadi pembelajaran bersama dan sebagai bahan intropeksi bagi semua pihak dalam rangka menuju pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik pada masa yang akan datang.