Istilah goldplating, yaitu kecenderungan Contractor untuk melakukan unnecesarry investment menjadi topik yang hangat, khususnya bagi HC (negara), jalan pikirannya seperti ini, dengan adanya mekanisme cost recovery, maka semua biaya toh akan dikembalikan juga, so pasti negara akan mengalami kerugian, sampai disini saya kira jelas, bahwa makin tinggi cost recovery makin berkuranglah bagian yang akan masuk ke pundi pundi negara, no doubt!. Hal yang perlu di analisa lebih lanjut adalah benarkah kalau cost recovery naik, si Contractor jadi untung?
Untuk menjawab hal ini, perlu dilakukan project (field) economics exercise atau semacam simulasi, dengan membuat hipotetik model, diperlukan input seperti: besarnya cadangan, profil produksi, asumsi harga minyak, fiscal term (disini masuk FTP, DMO, Tax, Split, etc), Capex, Opex dan lain lain. Sebelum masuk ke Cash Flow Analysis, perlu dipahami apa saja yang masuk ke Cash Inflow Contractor: arus kas yang masuk (yearly) ke Contractor terdiri dari: profit oil contractor plus cost recovered (cost yang di recover pada tahun yang berjalan), disini kita lihat bahwa cost recovered akan menjadi bagian dari cash inflow Contractor, kalau hanya melihat dari sini, kita bisa membuat hipotesa bahwa, makin tinggi cost recovery makin besar cash yang masuk ke Contractor. Well, it looks ok.., jadi sebaiknya Contractor gede gedein aja cost nya biar arus kas yang masuk jadi gede? well wait wait.. not so easy, we have to analyze further!.
Mari kita analisa sedikit, dengan naiknya cost recovery, otomatis profit oil akan menurun, konsekuensinya baik negara maupun IOC akan berkurang profit oilnya, karena share split negara lebih besar, maka otomatis secara persentase negara lebih “rugi” dengan berkurangnya profit oil ini. Is Contractor in better position? Kalau hanya melihat cash inflow, jawabnya: Ya, apalagi diawal dimana gross revenue setelah dipotong FTP terbatas, cash inflow Contractor akan naik (naik di cost recovery tapi turun di profit oil, secara umum bolehlah dianggap naik). Namun harus diingat, kita baru bicara Cash Inflow, bagaimana dengan Cash Outflow Contractor, dalam perhitungan keekonomian proyek, yang penting itu Net Cash Flow (NCF) yaitu selisih dari Cash Inflow minus Cash Outflow. Gede gedein cost membuat Cash Outflow Contractor juga naik, dengan demikian, Net Cash Flow malah jadi turun.
Apa Contractor jadi untung?.
Saya melakukan beberapa simulasi dan sensitivitas dengan berbagai macam skenario, small reserves, big reserves, beberapa profil produksi, beberapa skenario cost, harga minyak. Kesimpulannya: gede gedein cost recovery tidak bermanfaat buat Contractor, siapa yang rugi? dua duanya, Contractor secara keekonomian proyeknya akan mengalami penurunan, negara apalagi, bagian pendapatannya akan drop! Lha kok bisa, yang untung sopo?. yang untung oknumnya !.
Ilustrasinya gini, anggep aja Anda sebagai Contractor (salah satu owner-nya lah), terus Anda naikin cost buat maksain hire temen temen Anda padahal kerjaannya nggak ada, Anda ada-adain lah kerjaanya, namanya juga bantu bantu temen (anggep aja temen temen Anda ini expat karena kalau hire temen local, nggak ada efeknya, gajinya kecil, benefit-nya apalagi.. he he). Atau gini, Anda borong peralatan macem macem yang nggak penting penting amat sehingga cost jadi naik. Secara keekonomian proyek (ROR, NPV, etc), Anda sebagai salah satu yang punya Contractor akan tekor juga, karena naiknya cost tersebut akan membuat ROR, NPV jadi turun. Lha sing untung sopo? Ya, misters expat temen temen Anda itu, yang modal petantang petenteng di gaji gede (easy money man!), sama Meneer yang peralatannya dibeli tapi nggak perlu perlu amat itu (unnecessary investment). Makanya cost recovery itu harus dijaga benar, karena kalau sengaja dinaik-naikin dengan hal hal yang nggak perlu, yang kecipratan untungnya ya oknum itu. Negara sama Contractor ya rugi.
Gimana kalau Contractor merangkap jadi oknum? good question, tapi ngomong ngomong, ini nanya beneran apa nyindir he he.. wah berat itu mas, susah analisanya, serahkan ahlinya aja, KPK ha ha.
Gitu aja ya. Wassalam!
Untuk menjawab hal ini, perlu dilakukan project (field) economics exercise atau semacam simulasi, dengan membuat hipotetik model, diperlukan input seperti: besarnya cadangan, profil produksi, asumsi harga minyak, fiscal term (disini masuk FTP, DMO, Tax, Split, etc), Capex, Opex dan lain lain. Sebelum masuk ke Cash Flow Analysis, perlu dipahami apa saja yang masuk ke Cash Inflow Contractor: arus kas yang masuk (yearly) ke Contractor terdiri dari: profit oil contractor plus cost recovered (cost yang di recover pada tahun yang berjalan), disini kita lihat bahwa cost recovered akan menjadi bagian dari cash inflow Contractor, kalau hanya melihat dari sini, kita bisa membuat hipotesa bahwa, makin tinggi cost recovery makin besar cash yang masuk ke Contractor. Well, it looks ok.., jadi sebaiknya Contractor gede gedein aja cost nya biar arus kas yang masuk jadi gede? well wait wait.. not so easy, we have to analyze further!.
Mari kita analisa sedikit, dengan naiknya cost recovery, otomatis profit oil akan menurun, konsekuensinya baik negara maupun IOC akan berkurang profit oilnya, karena share split negara lebih besar, maka otomatis secara persentase negara lebih “rugi” dengan berkurangnya profit oil ini. Is Contractor in better position? Kalau hanya melihat cash inflow, jawabnya: Ya, apalagi diawal dimana gross revenue setelah dipotong FTP terbatas, cash inflow Contractor akan naik (naik di cost recovery tapi turun di profit oil, secara umum bolehlah dianggap naik). Namun harus diingat, kita baru bicara Cash Inflow, bagaimana dengan Cash Outflow Contractor, dalam perhitungan keekonomian proyek, yang penting itu Net Cash Flow (NCF) yaitu selisih dari Cash Inflow minus Cash Outflow. Gede gedein cost membuat Cash Outflow Contractor juga naik, dengan demikian, Net Cash Flow malah jadi turun.
Apa Contractor jadi untung?.
Saya melakukan beberapa simulasi dan sensitivitas dengan berbagai macam skenario, small reserves, big reserves, beberapa profil produksi, beberapa skenario cost, harga minyak. Kesimpulannya: gede gedein cost recovery tidak bermanfaat buat Contractor, siapa yang rugi? dua duanya, Contractor secara keekonomian proyeknya akan mengalami penurunan, negara apalagi, bagian pendapatannya akan drop! Lha kok bisa, yang untung sopo?. yang untung oknumnya !.
Ilustrasinya gini, anggep aja Anda sebagai Contractor (salah satu owner-nya lah), terus Anda naikin cost buat maksain hire temen temen Anda padahal kerjaannya nggak ada, Anda ada-adain lah kerjaanya, namanya juga bantu bantu temen (anggep aja temen temen Anda ini expat karena kalau hire temen local, nggak ada efeknya, gajinya kecil, benefit-nya apalagi.. he he). Atau gini, Anda borong peralatan macem macem yang nggak penting penting amat sehingga cost jadi naik. Secara keekonomian proyek (ROR, NPV, etc), Anda sebagai salah satu yang punya Contractor akan tekor juga, karena naiknya cost tersebut akan membuat ROR, NPV jadi turun. Lha sing untung sopo? Ya, misters expat temen temen Anda itu, yang modal petantang petenteng di gaji gede (easy money man!), sama Meneer yang peralatannya dibeli tapi nggak perlu perlu amat itu (unnecessary investment). Makanya cost recovery itu harus dijaga benar, karena kalau sengaja dinaik-naikin dengan hal hal yang nggak perlu, yang kecipratan untungnya ya oknum itu. Negara sama Contractor ya rugi.
Gimana kalau Contractor merangkap jadi oknum? good question, tapi ngomong ngomong, ini nanya beneran apa nyindir he he.. wah berat itu mas, susah analisanya, serahkan ahlinya aja, KPK ha ha.
Gitu aja ya. Wassalam!