Ketika harga minyak menjulang tinggi seperti saat ini, timbul pertanyaan, siapa yang (paling) meraup untung?, IOC (international oil companies) atau Host Countries (negara dimana IOC tersebut beroperasi)?. Secara intuitif, dengan hitung hitungan project economics biasa, ya dua dua nya nambah untunglah, mungkin ada yang protes, "khan cost juga meningkat, sewa rig mahal, baja naik, services lain lain naik, semua biaya naik kok..", (gaji nggak naik tapi khan he he), oke bolehlah.. tapi impact dari kenaikan harga minyak jauh lebih signifikan dibanding kenaikan cost!, setelah dipotong potong biaya biaya, siapa yang bagian "kue"nya meningkat secara persentase?. jawabnya simpel, tergantung fiscal term di kontraknya.
Salah satu indikator pembagian hasil produksi migas adalah Government Take (GT), yaitu persentase semua pendapatan pemerintah, entah dari royalty, FTP, pajak, DMO, profit split dan lain lain, dibagi dengan profit (gross revenue - cost recovered), beberapa makalah saya lihat masih suka "membuat definisi sendiri" dimana pembaginya hanya gross revenue, saya kira ini bisa membingungkan, karena hasilnya bisa beda sekali, kalau dibagi dengan gross revenue, istilah yang lebih tepat harusnya Government Share bukan GT. Contractor Take (CT) = 1 - GT.
Sistem yang neutral atau regressive cenderung tidak sensitif terhadap profitability (dalam hal ini kenaikan harga minyak), artinya pada saat harga minyak naik, GT nggak ikut naik malah cenderung turun, sementara sistem yang progressive, cenderung responsif terhadap kenaikan harga minyak, artinya kalau harga minyak naik, GT juga ikut naik. Sebagian besar fiscal terms around the world adalah regressive, jadi dengan naiknya harga minyak, sebenarnya GT Host countries malah cenderung turun.
Apakah dengan demikian kita harus mengadopsi sistem progressive, "well probably yes, probably not, not so easy he..", biasanya sistem yang progressive memberikan GT yang lebih rendah dengan harga minyak yang rendah dan naik seiring dengan naiknya harga minyak, tidak demikian dengan sistem yang regressive, yang biasanya cenderung tinggi GT-nya dengan harga minyak yang rendah, (kasarnya kalau kita ngomong harga minyak rendah, sebutlah US$ 25 per barrel, sekali lagi ini kasarnya biar nggak ada yang protes, kenapa nggak 20 atau 15 atau malah 30?), dan cenderung sedikit menurun dengan kenaikan harga minyak. So ?, iya begitulah hidup ini nggak pernah selalu tersedia one simple answer, selalu ada tapinya, makanya diperlukan analyst supaya menganalisa he he. Menurut saya tentu melulu progressive nggak terlalu baik dari sisi HC, karena gimanapun, HC yang kaya resource hydrocarbon, maunya GT yang gede (minimal 70% - 80% lah), beberapa negara di Middle East dan Africa malah sekitar 90%, dan ini nggak bisa dicapai dengan simple progressive system, harus ada komponen regressivenya, seperti royalty yang gede, cost recovery limit, dan lain lain. Supaya bisa menikmati juga kenaikan harga minyak secara otomatis (tanpa harus merubah isi kontrak, yang biasanya malah jadi rame karena dianggap tidak menghargai kontrak), division of profitnya dibikin sliding scale (makin naik untungnya, makin besar split untuk government), istilah kerennya -profitability based- jangan fixed aja, nggak nambah persentase Government Take.
Beberapa sistem fiscal dibelahan dunia ini menggunakan laju produksi (production based) sebagai proxy profitability, artinya profit oil split government naik dengan naiknya produksi dalam interval tertentu, ada juga yang langsung berdasarkan harga minyak, ada juga dengan faktor tertentu R faktor, which is oke.. sebagai pendekatan, ROR based dianggap lebih konsisten mencerminkan profitability. Namun pelaksanaan sedikit lebih complicated.
No comments:
Post a Comment