Belakangan banyak didengungkan kalau model PSC profitability based (maksudnya pembagian keuntungan berdasarkan pada indikator, seperti: ROR, Revenue/Cost atau faktor “R” lainnya) sebagai model yang lebih fair. Komentar tersebut walaupun datangnya dari konsultan, akademisi dan lain lain, cenderung “IOC minded”, dalam arti kok kelihatannya menyuarakan kepentingan IOC he he.
Kalau saya sich, kembali ke prinsip: “one size fit all models does not exist”. Intinya gini, model X bagus tapi untuk kondisi Y, dan seterusnya. Kalau hanya bilang, model X bagus dan fair (titik), tentu berbahaya.
Sekarang kita pakai contoh nyata, saya ambil model 5 negara (terms & conditions sesuai dengan model negara tersebut). Saya ambil beberapa contoh untuk perbandingan, supaya nggak ada yang protes, negaranya kita sebut saja: A, B, C, D, E.
“A” (PSC without Royalty, production based POS*)
“B” (PSC with Royalty, ROR based POS)
“C” (PSC with Royalty, production based POS)
“D” (Royalty Tax System)
“E” (PSC without Royalty, ECO** to Gov and production based POS)
*) POS = Profit Oil Split
**) ECO = Excess Cost Oil
Sekarang kita lihat bagaimana pengaruh sensitivitas harga minyak (lihat gambar).
Kalau saya sich, kembali ke prinsip: “one size fit all models does not exist”. Intinya gini, model X bagus tapi untuk kondisi Y, dan seterusnya. Kalau hanya bilang, model X bagus dan fair (titik), tentu berbahaya.
Sekarang kita pakai contoh nyata, saya ambil model 5 negara (terms & conditions sesuai dengan model negara tersebut). Saya ambil beberapa contoh untuk perbandingan, supaya nggak ada yang protes, negaranya kita sebut saja: A, B, C, D, E.
“A” (PSC without Royalty, production based POS*)
“B” (PSC with Royalty, ROR based POS)
“C” (PSC with Royalty, production based POS)
“D” (Royalty Tax System)
“E” (PSC without Royalty, ECO** to Gov and production based POS)
*) POS = Profit Oil Split
**) ECO = Excess Cost Oil
Sekarang kita lihat bagaimana pengaruh sensitivitas harga minyak (lihat gambar).
Tentu saja bahwa semakin besar harga minyak, IRR Investor (sumbu X) untuk semua model akan meningkat.
Country A dan Country C, mempunyai besaran dan trend yang hampir sama, hal ini wajar mengingat yang membedakan hanya: Country A tanpa Royalty, sementara Country “B” pakai Royalty.
Country D, Government Take nya malah turun, ini juga tidak mengherankan untuk negara yang menganut pola Royalty Tax murni.
Kenapa Gov. Take Country E naik signifikan?, karena model mereka pakai ECO to Gov. Artinya cost yang melebihi (cost recovery) limit, semua masuk ke government (tidak dibagi dengan Investor/Kontraktor).
Nah, bagaimana Country “B” yang menggunakan profitability based? Terlihat sangat sensitif thd keuntungan, tapi juga sangat rendah Gov Take pada saat harga minyak rendah (dengan kata lain pada saat profitability rendah). Bisa juga kita membacanya begini: untuk full cycle dari suatu blok atau lapangan, pada saat awal karena harus merecover cost, profitability (tentu) sangat rendah atau malah tidak ada, dengan model ini, konsekuensinya Government harus “berkorban” dapat porsi yang sangat rendah pada saat awal sampai mencapai suatu “profitabilty tranche” tertentu. Ini termasuk disadvantage dari model profitability based ini. Model ini sangat menguntungkan buat investor (sebagaimana dapat dilihat pada gambar, in any case IRR investor lebih besar dari model negara lainnya). Disamping itu ada (lagi) kelemahan model ini, yaitu: rentan terhadap praktek “goldplating” (masih inget? kalau lupa lihat posting sebelumnya).
So? Menurut saya model ini bagus untuk yang agak agak high risk, artinya: wajar kalau government mengalah untuk dapet porsi yang lebih rendah pada saat awal, sebagai kompensasi “keberanian” investor berinvestasi di wilayah atau proyek tersebut.
No comments:
Post a Comment