Industri
hulu migas tidak pernah lepas dari headline
media nasional belakangan ini, mulai dari isu cost recovery, pengaturan blok
migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan puncaknya pembubaran
BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai pelopor
penggunaan Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai pada awal tahun
60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen minyak juga
sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak migas yang lebih berimbang
bagi negara sebagai pemilik sumber daya alam, termasuk sebagian diantaranya
melakukan nasionalisasi.
PSC di Indonesia di adopsi dari
sistem paron yang biasa dilakukan dalam penggarapan sawah, yang intinya berbagi
hasil antara pemilik dan penggarap
dengan porsi tertentu (misal: 50% - 50%).
Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan mekanisme
konsesi, namun ditambahkan hak partisipasi progresif dimana porsi bagian
pemerintah (diwakili perusahaan minyak milik negara/ National oil Company/NOC)
terus meningkat dengan berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai
100% seperti Saudi Aramco.
Peran NOC
Sekedar perbandingan, bagian NOC terhadap
total produksi nasional untuk NOC dari negara negara anggota OPEC, seperti:
Aramco (Saudi Arabia), NIOC (Iran), KOC
(Kuwait), PDVSA (Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi
domestik. Sedangkan NOC dari negara non-OPEC yang menguasai 90% produksi
nasional, antara lain: Pemex (Meksiko) dan Petrobras (Brazil). LNOC (Libya) dan
Sonatrach (Aljazair) menguasai 80% produksi domestik. Petronas (Malaysia), NNPC
(Nigeria), ADNOC (UAE) dan CNPC (China)
menguasai lebih dari separuh produksi nasional. Bahkan Sonangol (Angola) yang
masih terhitung NOC yang muncul belakangan, bagiannya dari total produksi
nasionalnya sudah mencapai sekitar 40%. Sementara Pertamina tidak lebih dari
25% produksi nasional.
Kalau kita melihat perspekstif
sejarah, tampaknya visi dan keberpihakan negara terhadap NOC dapat
dikatakan masih minimal. Partisipasi
pemerintah melalui NOC pada PSC Indonesia hanya berupa pilihan opsi untuk
berpartisipasi sebesar 10%, dimana besaran tersebut tetap (tidak progresif).
PSC secara konsep adalah ide yang
brilian karena mengatur bagaimana negara dan investor berbagi imbal hasil yang
proporsional, sementara resiko sepenuhnya ditanggung investor. Namun demikian,
dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya sejauh ini belum di optimalkan.
Rupanya kita masih terpaku pada sistem paron, yang secara tegas membedakan mana
pemilik dan mana penggarap, jangan jangan memang tidak pernah terpikirkan bahwa
kelak suatu saat (seharusnya) NOC sendirilah yang akan menjadi penggarap utama.
Jadi kalau saat ini kontribusi Pertamina masih dibawah 25%, tentu bukan suatu
yang mengherankan.
Tata Kelola Migas
Terkait dengan hubungan antara
tata kelola industri migas dan kinerja sektor hulu migas, Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford
melakukan studi (2011) sejauh mana pengaruh pemisahan tiga fungsi (kebijakan,
regulasi dan komersial) terhadap kinerja produksi migas di beberapa negara
eksportir minyak. Negara yang dipilih sebagai sampel adalah: Aljazair, Brazil,
Meksiko, Nigeria dan Norwegia yang
mewakili negara yang memisahkan ketiga fungsi tersebut. Sementara:
Angola, Malaysia, Russia, Saudi Arabia dan Venezuela, mewakili negara yang
tidak melakukan pemisahan. Kesimpulan studi menunjukkan sedikit korelasi,
dimana hanya dua negara, yaitu: Norwegia dan Brazil yang secara meyakinkan
menunjukkan bahwa pemisahan tiga fungsi tersebut berkorelasi positif terhadap
kinerja sektor hulu migas. Sebaliknya, Saudi Arabia dan Malaysia, yang tidak
memisahkan ketiga fungsi diatas, ternyata juga mempunyai kinerja sektor hulu
migas yang baik. Negara negara yang juga melakukan pemisahan ketiga fungsi
tersebut, seperti: Nigeria dan Aljazair sejauh ini dianggap kurang berhasil
karena pemisahan tersebut hanya formalitas dan banyak menghadapi tantangan
internal. Sementara Meksiko berpotensi untuk melakukan perbaikan kinerja sektor
hulu, namun efektivitas pemisahan fungsi
masih harus diuji mengingat fungsi regulasi (Komisi Hidrokarbon Nasional) baru
dibentuk pada tahun 2008. Perlu dicatat bahwa dari sepuluh negara yang
dijadikan sampel pada studi ini, semua NOC nya mempunyai bagian yang sangat besar terhadap produksi minyak
domestik mereka.
Model
tata kelola dari negara lain ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran. Keinginan
untuk ´´mensterilkan´´ Pemerintah dari kemungkinan tuntutan di arbitrase
internasional ketika terjadi sengketa bisnis dengan tidak terlibat langsung sebagai
pihak yang berkontrak perlu dikaji dengan seksama. Perkembangan belakangan
menunjukkan bahwa model Business to
Business (B 2 B) tidak selalu menjamin bahwa Pemerintah bisa sama sekali
steril. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi sengketa antara ExxonMobil vs.
PDVSA untuk salah satu blok di Venezuela dimana Pemerintah Venezuela juga
dituntut oleh Exxon Mobil, padahal Pemerintah bukan pihak yang berkontrak.
Perkembangan sengketa migas internasional belakangan sebaiknya di observasi
sebagai bahan pertimbangan nantinya.
Gejala dan akar masalah
Salah
satu penyebab maraknya berbagai isu migas ditanah air adalah kegagalan memahami
perbedaan antara gejala dan akar permasalahan. Ketika isu cost recovery muncul,
banyak yang serta merta menuding bahwa PSC adalah akar masalahnya sehingga
harus dicari sistem atau mekanisme baru. Padahal
masalah cost recovery ini tidak terjadi di industri migas di negara lain.
Seandainya ada masalah mark-up dan
semacamnya, yang tentu saja dapat terjadi pada model kontrak migas selain PSC
(konsesi dan service contract), bukankah oknumnya yang harus ditindak?.
Kenapa memaksakan penggunaan mekanisme lain yang bisa jadi malah mengakibatkan penurunan
penerimaan bagian negara (Government Take)?.
Dalam satu kesempatan workshop
dalam rangka pertukaran informasi dan pengalaman dengan negara produsen migas
terkait pelaksanaan kontrak migas di masing masing negara. Penulis sempat
mengangkat ramainya isu cost recovery di tanah air. Para pakar ekonomi migas
dari negara lain tersebut cukup heran, mereka mengatakan: ´´kami tidak ada
masalah dengan cost recovery, kalau ada indikasi penggelembungan biaya dan
terbukti, tentu kami kirim ke penjara´´. Sementara di tanah air, permasalahan
ini dijawab dengan mencari cari model kontrak migas lain. Siapa yang menjamin
tidak akan terjadi masalah yang sama?. Rupanya kita lebih memilih membakar
lumbungnya ketimbang membunuh oknum tikusnya.
Kisruh migas nasional ini
sebenarnya dapat dicegah seandainya keberpihakan pemerintah terhadap NOC (dalam
hal ini Pertamina) terus di prioritaskan dalam rangka meningkatkan bagian
produksi Pertamina terhadap produksi nasional. Ada beberapa keuntungan apabila Pertamina
mempunyai partisipasi signifkan dalam suatu blok migas, antara lain: adanya
jaminan pasokan energi untuk keperluan domestik dan isu cost recovery akan dapat
diminimalkan. Disamping itu, meningkatnya produksi dan cadangan Pertamina akan
berpengaruh terhadap posisi tawar menawar mereka di kancah bisnis hulu migas internasional.
Adapun tantangan opsi ini yang paling utama adalah masalah keperluan pendanaan
yang tentunya tidak sedikit.
Selama ini kisruh cost recovery
antara pihak pemerintah dan perusahaan migas internasional lebih disebabkan
oleh adanya informasi yang tidak berimbang (asymetric
information) antara “orang dalam” (perusahaan migas internasional) dan
pemerintah sebagai “orang luar”. Dengan terlibatnya NOC pada suatu blok sebagai
mitra perusahaan asing, maka isu cost recovery otomatis akan berkurang karena Pertamina
sebagai kepanjangan tangan Pemerintah seyogyanya ikut mengawasi penggunaan biaya
dari dalam (internal) sehingga diharapkan tidak ada lagi masalah “informasi
yang tidak berimbang” tersebut. Mungkin hal ini pulalah yang menyebabkan kenapa
isu cost recovery hampir tidak terdengar di negara produsen minyak lain di
mancanegara yang juga menggunakan mekanisme PSC.
Semoga kisruh hulu migas nasional
ini menjadi pembelajaran bersama dan sebagai bahan intropeksi bagi semua pihak
dalam rangka menuju pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik pada masa yang
akan datang.
7 comments:
“A leader in well testing and early production facilities for the oil & gas industry”
As a group company with world-class capabilities in well testing and fluid, our top priority is to offer the best service for business-based energy and resources in Indonesia. Dwipa Group was established as a company providing Non Destructive Testing for the oil and gas industry. We believe that through commitment, determination and passion for growth, opportunities are endless.
visit us @ www.dwipagroup.co.id
dan saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH KARMOJO atas bantuannya saya bisa menang togel 4D nya..saya ingin berbagi cerita kepada semuanya bahwa saya ini cuma seorang TKI dari malaysia dan saya cuma bekerja sebagai pembantu,tentunya anda tau kalau pembantu itu gajinya tidak seberapa dan saya kepengen pulang kampung tapi gaji saya tidak cukup akhirnya saya coba pinjam keteman saya,dia pun juga tidak punya uang dan saya pindah lagi keteman yang lain dia pun juga tidak punya,,akhirnya teman saya memberikan nomor telpon MBAH KARMEN dan katanya ini paranormal sangat terkenal yang banyak membantu orang dalam mengatasi masalah,dengan penuh semangat saya langsun menghubungi MBAH KARMOJO dan ALHAMDULILLAH saya diberikan anka yang benar-benar tembus dan berkat bantuan MBAH KARMOJO saya sudah bisa berkumpul kembali dengan keluarga saya dikampung,,jika anda sangat membutuhkan bantuan..jangan anda ragu silahkan hubungi saja MBAH KARMOJO di 0823~2825~4444 karna beliau meman benar-benar paranormal yang bisa dipercaya dan yang punya room terimah kasih banyak atas tumpangannya.
halo pak benny,saya kiki mahasiswi perminyakan. mohon maaf,saya ingin menanyakan alamat email bapak? karna saya ingin share tentang ekonomi migas. saya gak nemu email bapak di bio. terimakasih pak atas perhatiannya.
-best regards
Ade Rizky
pak benny saya adhianto mau tanya soal ukuran obyektif "Point of delivery".
Dalam PSC dijabarkan point of delivery adalah point pf export atau point of sales atau titik-titik yg disepakati para pihak.
Point of delivery adalah titik yg menentukan scope dari kegiatan hulu migas artinya kegiatan setelah point of delivery bukanlah kegiatan hulu migas dan biaya-biaya yg terjadi dititik tsb tidak dapat di recovery.
Nah karena penentuan point of delivery itu sangat penting krn terkait pertanggung jawaban keuangan negara, apakah ada SKK Migas mengeluarkan ketetapan/keputusan dimana point of delivery itu berada ?
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan ingin seperti saya.. Perkenalkan nama saya abdul rochman junaidy umur 38 tahun Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa Tumbal yaitu uang gaib karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar 785 juta saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa melunasi hutang saya. Secara tidak sengajah sewaktu saya buka-buka internet saya menemukan salah satu situs abah duihantoro saya baca semua isi situs beliau akhirnya saya tertarik untuk meminta bantuan kepada abah duihantoro. Awalnya sih memang saya ragu dan tidak percaya tapi selama beberapa hari saya berpikir, akhirnya saya memberanikan diri menghubungi abah duihantoro di nomer 085298463149 singkat cerita alhamdulillah beliau sanggup membantu saya melalui pesugihan uang gaib sebesar 2 milyard dan pada saat itulah saya sangat pusing memikirkan bagaimana cara saya berusaha agar bisa memenuhi persyaratan yg abah sampaikan sedangkan saya tidak punya uang sama sekali. Akhirnya saya keliling mencari pinjaman alhamdulillah ada salah satu teman saya yg mau meminjamkan uangnya akhirnya saya bisa memenuhi
syarat yg abah duihantoro sampaikan.. singkat cerita selama 3 hari saya sudah memenuhi syaratnya saya dapat telpon dari abah untuk cek saldo rekening saya,, saya hampir pingsan melihat saldo rekening saya sebesar 2M 150 ribu rupiah. Singkat cerita bagi saudara(i) dimanapun anda berada jika anda menemukan pesan saya ini dan anda sudah berhasil mohon untuk di sebarkan agar saudara(i) kita yg diluar sana yg sedang dalam himpitan hutang atau ekonomi semua bisa bebas.. Jika saudara(i) ingin seperti saya silahkan konsultasi atau hubungi abah duihantoro di 085298463149 / whatsapp +6285298463149 sosok beliau sagat baik dan peramah dan sagat antusias membantu orang susah. Demi allah demi tuhan inilah kisah nyata saya abdul rochman junaidy semoga dengan adanya pesan singkat ini bisa bermanfaat sekian dan terima kasih...
sektor migas makin hari makin menjanjikan. cek blog ane https://muarakaranggas1.blogspot.com/
Post a Comment