Dari tagboard, zaki : Mas Benny, selamat online kembali Kemaren di suatu acara acara di Four Seasons, Pak Luluk mengatakan pemerintah sdg mengkaji jenis kontrak yg non cost recovery, dan nanti akan ditenderkan juga split-nya. Terus terang saya merasa agak bingung dg perkataan beliau, karena menurut saya, split itu thd revenue minus cost. Apakah memang ada contoh di negara lain yg seperti ini? Rasanya di Libya pun besaran split yg dibagi adalah besaran setelah cost recovery, pls confirm. Thx a lot. Jan.24.08 08:34 AM
---------------
Detail model yang dimaksud saya belum tahu, banyak memang praktisi migas di tanah air sibuk mencari cari model tanpa cost recovery. Model yang paling “pure” nggak ada cost recovery itu adalah model yang pembagiannya split nya berdasarkan gross revenue. (lihat posting saya sebelumnya disini)
Nah, mungkin yang mau ditenderkan itu, split gross revenue-nya. Jadi nantinya bagian gov sudah termasuk royalty, tax dan lain lain, sedangkan bagian KKKS sudah termasuk cost. Contoh di negara lain? rasanya hampir nggak ada, saya pernah kontak Daniel Johnston via email, dia bilang dia sedang evaluasi buat Turkmekistan karena pertimbangan khusus. Mungkin ada yang bisa update kalau pernah dengar aplikasi model ini ditempat lain.
Memang pada akhirnya yang paling sulit untuk model ini adalah menentukan berapa split yang pas (maksudnya yang bisa diterima investor tapi nggak lebih jelek buat Gov). Jadi kalau pada akhirnya ditenderkan saja mungkin ada benernya juga, daripada bingung menentukan berapa yang pas, ya sudah suruh investor yang minat compete aja beraninya berapa.
Kalau iseng, bisa juga dikira kira berapa kisaran split yang bakalan diajukan investor, coba lihat gambar diposting sebelumnya disini.
Model ini cuma berdasarkan perhitungan Gov. Take, untuk yang lebih komplit bisa dengan detail cash model (DCF anaysis), tapi lebih njelimet, (lihat posting sebelumnya mengenai kelemahan dan kelebihan metoda komparasi disini). Pada dasarnya perhitungan simple Gov Take ini kaya “quick count” aja, simpel tapi hasil akhirnya umumnya nggak beda banyak dengan metoda yang lebih kompleks lainnya.
Investor akan nge-bid dengan asumsi kira kira berapa persentase cost thd expected gross revenue. Kalau misalkan berdasarkan perkiraan besarnya kira kira 20%, maka untuk memperoleh Contraktor take yang sama (Cont take = 1 – Gov take) dengan PSC standard, split Gross revenue yang diperlukan sekitar 32% : 68% (Cont : Gov), kalau persentase cost thd gross revenue nantinya lebih besar, katakanlah 30%, maka investor akan “rugi”, kalau sebaliknya lebih rendah (mis: 10%), investor akan “untung”, kalau cost nya = 20% maka “indifference”. Terminologi: untung, rugi ini maksudnya relatif thd PSC standard.
Kalau katakanlah asumsi cost thd Gross revenue sekitar 30%, maka perlu split sekitar 40% : 60% untuk memperoleh take yang sama dengan PSC standard. Persepsi Investor tentu beda dengan Gov, investor akan lebih cari save dengan asumsi cost yang lebih besar (karena berbagai pertimbangan spt reserves risk, inflasi, etc), sebaliknya persepsi Gov, persentase cost akan lebih kecil karena trend harga minyak yang terus meningkat. Kemungkinan kisaran Bid investor sekitar 30% – 45%. Makin berani investor (ngebid dibawah 30%) makin besar peluangnya.
Seperti pernah saya posting, disadvantage model ini adalah seperti “pisau bermata dua”, gambarannya gini: katakanlah investor yang jadi pemenang nge bid dengan 33% - 67%. Dari persepsi gov, bisa jadi ini lebih jelek ketika profitnya melonjak (karena reserve yang ternyata sangat gede dan harga migas ternyata terus meningkat). Sebaliknya bisa jadi lebih bagus, ketika ternyata prospeknya memble, dan harga migas nggak naik. Jadi model ini melindungi Gov thd “potential loss”, tapi tidak lebih baik ketika terjadi “excessive profit”.
Namun demikian, coba sejenak kita bayangkan apa yang akan terjadi, ketika terjadi kondisi “potential loss”, apa investor akan terus jalan dengan proyeknya? Sudah tahu bakalan rugi apa iya terus ??, bisa jadi investor akan “cut loss” alias mundur. Paling mungkin, yang akan terjadi adalah re-negosiasi, investor akan minta perubahan terms. Sebaliknya kalau terjadi excessive profit, apa rela investor bagi bagi rezeki tambahan tsb?. Akhirnya, “kelebihan” dari model ini (karena tidak ada mekanisme cost recovery) kelihatannya pada prakteknya tidak akan terjadi.
Secara “time value of money”, model seperti ini, tidak terlalu menarik buat investor, karena adanya karakteristik “cost recovery ceilling” (dalam contoh ini, cost hanya bisa direcover sebesar max 33% setiap tahunnya), padahal investasi awal nilainya sangat besar. Tentu akan berpengaruh ke perhitungan IRR, NPV, pay out etc.
Singkat cerita, kalau hanya pembagian split berdasarkan gross revenue saja, saya kira akan terlalu sederhana dan memungkinkan terjadi kondisi “pisau bermata dua“ tsb. Perlu dipikirkan untuk membuat terms & conditions lain untuk mengantisipasi kedua kondisi ekstrim diatas.
Detail model yang dimaksud saya belum tahu, banyak memang praktisi migas di tanah air sibuk mencari cari model tanpa cost recovery. Model yang paling “pure” nggak ada cost recovery itu adalah model yang pembagiannya split nya berdasarkan gross revenue. (lihat posting saya sebelumnya disini)
Nah, mungkin yang mau ditenderkan itu, split gross revenue-nya. Jadi nantinya bagian gov sudah termasuk royalty, tax dan lain lain, sedangkan bagian KKKS sudah termasuk cost. Contoh di negara lain? rasanya hampir nggak ada, saya pernah kontak Daniel Johnston via email, dia bilang dia sedang evaluasi buat Turkmekistan karena pertimbangan khusus. Mungkin ada yang bisa update kalau pernah dengar aplikasi model ini ditempat lain.
Memang pada akhirnya yang paling sulit untuk model ini adalah menentukan berapa split yang pas (maksudnya yang bisa diterima investor tapi nggak lebih jelek buat Gov). Jadi kalau pada akhirnya ditenderkan saja mungkin ada benernya juga, daripada bingung menentukan berapa yang pas, ya sudah suruh investor yang minat compete aja beraninya berapa.
Kalau iseng, bisa juga dikira kira berapa kisaran split yang bakalan diajukan investor, coba lihat gambar diposting sebelumnya disini.
Model ini cuma berdasarkan perhitungan Gov. Take, untuk yang lebih komplit bisa dengan detail cash model (DCF anaysis), tapi lebih njelimet, (lihat posting sebelumnya mengenai kelemahan dan kelebihan metoda komparasi disini). Pada dasarnya perhitungan simple Gov Take ini kaya “quick count” aja, simpel tapi hasil akhirnya umumnya nggak beda banyak dengan metoda yang lebih kompleks lainnya.
Investor akan nge-bid dengan asumsi kira kira berapa persentase cost thd expected gross revenue. Kalau misalkan berdasarkan perkiraan besarnya kira kira 20%, maka untuk memperoleh Contraktor take yang sama (Cont take = 1 – Gov take) dengan PSC standard, split Gross revenue yang diperlukan sekitar 32% : 68% (Cont : Gov), kalau persentase cost thd gross revenue nantinya lebih besar, katakanlah 30%, maka investor akan “rugi”, kalau sebaliknya lebih rendah (mis: 10%), investor akan “untung”, kalau cost nya = 20% maka “indifference”. Terminologi: untung, rugi ini maksudnya relatif thd PSC standard.
Kalau katakanlah asumsi cost thd Gross revenue sekitar 30%, maka perlu split sekitar 40% : 60% untuk memperoleh take yang sama dengan PSC standard. Persepsi Investor tentu beda dengan Gov, investor akan lebih cari save dengan asumsi cost yang lebih besar (karena berbagai pertimbangan spt reserves risk, inflasi, etc), sebaliknya persepsi Gov, persentase cost akan lebih kecil karena trend harga minyak yang terus meningkat. Kemungkinan kisaran Bid investor sekitar 30% – 45%. Makin berani investor (ngebid dibawah 30%) makin besar peluangnya.
Seperti pernah saya posting, disadvantage model ini adalah seperti “pisau bermata dua”, gambarannya gini: katakanlah investor yang jadi pemenang nge bid dengan 33% - 67%. Dari persepsi gov, bisa jadi ini lebih jelek ketika profitnya melonjak (karena reserve yang ternyata sangat gede dan harga migas ternyata terus meningkat). Sebaliknya bisa jadi lebih bagus, ketika ternyata prospeknya memble, dan harga migas nggak naik. Jadi model ini melindungi Gov thd “potential loss”, tapi tidak lebih baik ketika terjadi “excessive profit”.
Namun demikian, coba sejenak kita bayangkan apa yang akan terjadi, ketika terjadi kondisi “potential loss”, apa investor akan terus jalan dengan proyeknya? Sudah tahu bakalan rugi apa iya terus ??, bisa jadi investor akan “cut loss” alias mundur. Paling mungkin, yang akan terjadi adalah re-negosiasi, investor akan minta perubahan terms. Sebaliknya kalau terjadi excessive profit, apa rela investor bagi bagi rezeki tambahan tsb?. Akhirnya, “kelebihan” dari model ini (karena tidak ada mekanisme cost recovery) kelihatannya pada prakteknya tidak akan terjadi.
Secara “time value of money”, model seperti ini, tidak terlalu menarik buat investor, karena adanya karakteristik “cost recovery ceilling” (dalam contoh ini, cost hanya bisa direcover sebesar max 33% setiap tahunnya), padahal investasi awal nilainya sangat besar. Tentu akan berpengaruh ke perhitungan IRR, NPV, pay out etc.
Singkat cerita, kalau hanya pembagian split berdasarkan gross revenue saja, saya kira akan terlalu sederhana dan memungkinkan terjadi kondisi “pisau bermata dua“ tsb. Perlu dipikirkan untuk membuat terms & conditions lain untuk mengantisipasi kedua kondisi ekstrim diatas.
No comments:
Post a Comment