Menarik membaca interview International Oil Daily (Feb 6, 2008) dengan menteri perminyakan Algeria, Dr. Chekib Khelil sehubungan dengan rencana bid round beberapa blok disana.
Saya kutip: …The key is not the investment the firms bring, but the expertise: “We have the money,” Khelil reiterated. “We could do it ourselves but probably we are not going to do it as well as they could, so that’s what they bring.”….
Kalau dulu paradigma investasi migas di negara berkembang, selalu bilang nggak ada duit dan tentu saja nggak ada keahlian.. Tapi tampaknya itu cerita lama, paling nggak sekarang di beberapa negara, duit bukan motivasi utama, artinya duit mah gampang dicari, yang diharapkan dibawa itu adalah expertise, keahlian si multinational oil company..
Untuk negara kita, transfer ilmu di level technical sudah berjalan cukup baik, namun di level manajerial yang belum tuntas. Kita bisa lihat sekarang, di level technical sudah pada “mumpuni”. Tetapi untuk level mimpin proyek migas gede (mimpin perusahaan), kayanya belum banyak yang punya pengalaman, makanya nggak heran kalau masih belum pede ketika ditawarin kerjain sendiri… (nggak usah pake contohlah, tebak sendiri he he..). Mungkin sekarang perlu dipikirin untuk nyiapin “co-pilot” di proyek proyek besar yang kerjasama dengan IOC, nah si “co-pilot” ini dilatih juga untuk nanti jadi pilot beneran, jangan cuma dikasih kerjaan receh receh, akhirnya nanti sama pilotnya selalu dibilang belum siap, padahal emang nggak niat ntransfer ilmu. Sebaiknya si co-pilot ini dipilih dari tenaga yang masih muda (kalau tua nanti keburu pensiun..) dan punya tipikal rada “ndableg”, jangan yang model pasif aja, namanya ilmu nggak ada yang ngasih gratis, nyolong2 dikitlah he he..
Kalau diibaratkan sepakbola, kita punya pemain sich, skill oke semualah, tapi tentu perlu pelatih untuk meramu strategi, nah pelatih ini yang kita belum punya… makanya (untuk case case tertentu) masih perlu IOC seperti pak Menteri Algeria bilang.
Saya kutip: …The key is not the investment the firms bring, but the expertise: “We have the money,” Khelil reiterated. “We could do it ourselves but probably we are not going to do it as well as they could, so that’s what they bring.”….
Kalau dulu paradigma investasi migas di negara berkembang, selalu bilang nggak ada duit dan tentu saja nggak ada keahlian.. Tapi tampaknya itu cerita lama, paling nggak sekarang di beberapa negara, duit bukan motivasi utama, artinya duit mah gampang dicari, yang diharapkan dibawa itu adalah expertise, keahlian si multinational oil company..
Untuk negara kita, transfer ilmu di level technical sudah berjalan cukup baik, namun di level manajerial yang belum tuntas. Kita bisa lihat sekarang, di level technical sudah pada “mumpuni”. Tetapi untuk level mimpin proyek migas gede (mimpin perusahaan), kayanya belum banyak yang punya pengalaman, makanya nggak heran kalau masih belum pede ketika ditawarin kerjain sendiri… (nggak usah pake contohlah, tebak sendiri he he..). Mungkin sekarang perlu dipikirin untuk nyiapin “co-pilot” di proyek proyek besar yang kerjasama dengan IOC, nah si “co-pilot” ini dilatih juga untuk nanti jadi pilot beneran, jangan cuma dikasih kerjaan receh receh, akhirnya nanti sama pilotnya selalu dibilang belum siap, padahal emang nggak niat ntransfer ilmu. Sebaiknya si co-pilot ini dipilih dari tenaga yang masih muda (kalau tua nanti keburu pensiun..) dan punya tipikal rada “ndableg”, jangan yang model pasif aja, namanya ilmu nggak ada yang ngasih gratis, nyolong2 dikitlah he he..
Kalau diibaratkan sepakbola, kita punya pemain sich, skill oke semualah, tapi tentu perlu pelatih untuk meramu strategi, nah pelatih ini yang kita belum punya… makanya (untuk case case tertentu) masih perlu IOC seperti pak Menteri Algeria bilang.
1 comment:
setuju mas!
untuk keahlian teknis, orang indonesia sudah tidak diragukan lagi. banyak yang sudah go international dan kinerjanya juga baik disana.
yang perlu dicermati adalah alasan mereka go international. sebagian pergi keluar negri karena tidak puas dengan perlakuan manajemen di indonesia yang masih dipegang oleh bule-bule dan cenderung membayar murah tenaga indonesia.
jika semua tenaga terampil kita pergi keluar negri, nanti kekosongan di dalam negri siapa yang mengisi? bule lagi? duh! sudah terasa loh susahnya mencari tenaga kerja terampil meskipun di indonesia banyak pengangguran.
Post a Comment