Wednesday, August 29, 2007

Cost recovery - salah kaprah?

Kamis, 02/08/2007 10:50 WIB
Perusahaan Migas Berang Dituding Nikmati Cost Recovery
Alih Istik Wahyuni - detikfinance

Jakarta - Perusahaan migas protes dituding sebagai pihak yang menikmati besarnya cost recovery yang dibebankan pada negara. Presdir Star Energy, Supramu Santosa menjelaskan, bahwa perusahaan kontraktor juga ikut membayar cost recovery. "Kita juga ikut bayar, nggak hanya pemerintah. Jadi kalau dibilang kita yang menghambur-hamburkan cost recovery, salah itu," katanya dalam seminar cost recovery di gedung Departemen ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (2/8/2007).

Besaran cost recovery yang dibayarkan perusahaan kontraktor disesuaikan dengan bagi hasil (split) yang tercantum dalam kontrak. Untuk pengembangan minyak misalnya, bagi hasilnya adalah 85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor. Jadi cost recovery yang dibebankan pada pemerintah adalah 85 persen dan pada kontraktor adalah 15 persen.

Aturan yang sama juga berlaku pada proyek pengembangan gas yang bagi hasilnya bekisar antara 70-65 persen untuk pemerintah dan 30-35 persen untuk kontraktor. Ia juga menjelaskan terkait masuknya gaji ekspatriat yang masuk kedalam cost recovery. "Kita sebelumnya sudah ajukan ke BP Migas, dan kalau disetujui, artinya memang diperlukan," katanya.

Baginya yang harus dilakukan adalah segera melatih pekerja dalam negeri untuk menggantikan ekspatriat itu.

"Kalau mau kita bayar 50 persen ya bagi hasilnya juga jadi 50:50 juga dong. Jadi beban negara berkurang, kita yang naik," kata Supramu.

------------------------------------------------

Berita diatas saya copy - paste dari Detikcom, statement yang menarik, mudah2 an wartawati-nya nggak salah kutip...

Saya kira persepsi angka keramat 85: 15 atau 70:30 dan seterusnya ini harus diluruskan, bahwa ada statement, 85:15 itu berarti pemerintah menanggung 85% biaya dan kontraktor 15% sebenarnya tidak tepat (karena kalau logikanya seperti ini, maka munculah kesimpulan ngawur seperti alinea terakhir yang saya bold diatas).

Lebih tepat kalau dikatakan: kenaikan cost recovery akan mengurangi profit oil baik kontraktor maupun pemerintah masing masing sebesar 15% dan 85%. Bagaimana dengan cost yang telah dikeluarkan? ya tetap saja 100% dikembalikan ke kontraktor.

Adanya kesalahan logika ini, kemudian menimbulkan usulan aneh, bagi hasil diubah menjadi 50:50 supaya beban negara berkurang. Lha yang berkurang beban apa?, selama kontraknya tetap PSC, tetap saja 100% cost yang dikeluarkan akan dikembalikan.

Seperti biasa kita pakai ilustrasi (biar simpel, kita asumsi tidak ada FTP)
Untuk bagi hasil 85 - 15, sebagai berikut:
Gross Revenue = 100
Cost = 30
Profit Oil = 70 (100 - 30)
POCAT* = 10.5 (15% x 70),
*) POCAT = Profit Oil Contractor After Tax

Sekarang, katakanlah cost naik menjadi 40

Gross Revenue = 100
Cost = 40
Profit Oil = 60
POCAT = 9

Ada 2 interpretasi yang timbul:

Interpretasi Pertama:
POCAT akan turun sebesar 1.5 (9 – 10.5), akibat kenaikan cost sebesar 10, atau secara umum dapat kita katakan POCAT turun sebesar 15% setiap terjadi kenaikan cost.

Interpretasi Kedua:
Kontraktor menanggung 15% dari kenaikan cost tersebut atau secara umum menyatakan kontraktor menanggung 15% biaya.

Interpretasi yang benar jelas interpretasi pertama, interpretasi kedua tidak tepat, karena kontraktor tidak menanggung 15% biaya, melainkan 100% biaya dan akan dikembalikan melalui cost recovery juga sebesar 100%. Namun demikian, (sayangnya) banyak yang senang interpretasi yang kedua, syah syah saja selama tidak membuat logika menjadi terbolak balik.

Coba kita analisa lebih jauh implikasi dari interpretasi ini, sekarang mari kita berandai andai persentasi bagi hasil diubah menjadi 50:50, maka analog seperti diatas.

Gross Revenue = 100
Cost = 30
Profit Oil = 70
POCAT= 35 (50% x 70)

Seperti diatas, katakanlah cost naik jadi 40

Gross Revenue = 100
Cost = 40
Profit Oil = 60
POCAT = 30

Jadi POCAT akan turun sebesar 50% (30-35)/10 setiap kali terjadi kenaikan cost.

Kalau kita bandingkan kedua porsi bagi hasil diatas, tentu saja kontraktor akan mengalami penurunan POCAT yang lebih besar untuk porsi bagi hasil yang lebih besar, yaitu: dari 15% menjadi 50%. Namun demikian, tentu naif kalau kita berhenti sampai disini saja, dengan mengubah porsi bagi hasil menjadi lebih besar (50:50), maka POCAT melonjak 233%!!! (dari 10.5 menjadi 35 atau dari 9 menjadi 30). Weleh weleh..

Dari ilustrasi diatas, saya tidak tahu bagaimana menerangkan logika: “beban negara berkurang?”, bagaimana kok bisa sampai kesimpulan seperti itu. Saya menduga kesimpulan ini muncul karena salah kaprah menggunakan interpretasi yang kedua tersebut.

---------------------------
Kalau mau (ini kalau mau lho.. keukeuh dengan angka 50:50), ubah aja jadi model PSC JV, artinya okelah 50:50, pemerintah ikut membiayai 50%, nanti hasilnya dibagi seperti ini: setelah gross revenue dipotong royalty, maka untuk cost recovery masing masing pihak dapet 50%. Sisanya (setelah royalty dan cost recovery) berupa profit oil, 50% dari profit oil langsung masuk ke kantong pemerintah, sementara 50% dibagi antara pemerintah dengan kontraktor sesuai dengan PSC terms & conditions yang disepakati, beginilah model kontrak PSC JV yang di adopsi di beberapa negara. Beban cost contractor jadi turun, tapi profit oil ya turun juga dong, kira2 mau nggak yang seperti ini?

Friday, August 17, 2007

Dirgahayu Indonesia

Seperti tahun lalu, tidak ada panjat pinang, gerak jalan atau lomba bidar di Wina.., tentu ada upacara di KBRI dan acara pesta rakyat tanggal 26 nanti… sempat terharu ketika ngantri makan siang di kantin UN, bertemu dengan koki yang kebetulan orang Indonesia (yang kalau ngomong logatnya Malaysia..), “Merdeka Pak” saya bilang, dia nggak kalah kencengnya menjawab “Merdeka”, yang ngantri di belakang pada bingung…..

Banyak harapan setiap kali merayakan 17-an, banyak berita sedih (bencana, korupsi, dll), tapi terhibur juga mendengar siswa kita berprestasi di berbagai macam olimpiade fisika, biologi, matematika dan lain lain. Olahraga masih belum menggembirakan, jadi inget waktu piala Asia, sebelum pertandingan Saudi Vs Indonesia, di Lift saya ketemu kolega Saudi, “bagaimana peluang nanti?” – saya jawab: “Fifty fifty”, saya berdoa kalaupun kalah jangan skor telak seperti biasanya, malu awak ini. Untunglah begitu lihat detik.com, cuma kalah tipis. Pas Irak juara, saya samperin kolega orang Irak, “Selamat ya, Anda negara lagi babak belur aja bisa juara Asia….”

Diantara pesimis dan optimis, saya termasuk yang (agak) optimis, masih banyak adik2 kita yang belajar keras siang malem, teman2 yang kerja dengan kinerja yang baik & nggak ikut2 an korupsi (padahal ada peluang kalau mau!), untuk menjadi lebih baik, tidak semudah membalik telapak tangan tentunya, tetapi kerja keras cepat atau lambat pasti akan membuahkan hasil.

Dirgahayu Indonesia..!


Ini foto karyanya rekan: Athmam Mufti, teman seperjuangan di lepas pantai Maxus dulu, saya baru tahu kalau beliau ini mempunyai bakat menjadi fotographer handal.

Monday, August 13, 2007

Kontrak yang Effektif & Effisien?

Tadi pagi dapet email dari Mas Tatang R Jiwapraja (TRJ), sebenarnya agak sungkan juga manggil “mas” mengingat beliau ini jauuuuh lebih senior dari saya, bisa jadi angkatannya malah lebih senior dari pak Menteri Purnomo. Sedikit cerita ihwal pemanggilan dengan “mas” ini, dulu ada tradisi di TM (teknik perminyakan) ITB kalau manggil dosen itu dengan sebutan “mas” (kalau perempuannya tentunya “mbak”) , tujuannya supaya akrab antara mahasiswa dengan dosen. Agak risinya juga, mengingat banyak dosen yang sudah sangat senior, seperti almarhum Dr. Iman Soengkowo, dulu kalau ngajar, kita mau tanya manggilnya cuma: “mas mas..”. Kebiasaan ini berlanjut setelah kerja, di kantor manggil senior yang dari TM juga dengan sebutan Mas, buat yang dari non TM kedengeran kurang ajar juga, masak ada fresh graduate manggil VP cuma “mas mas” he he..

Pak eh.. .Mas TRJ kirim bahan presentasi beliau waktu forum ikatan ahli teknik perminyakan indonesia (IATMI) 2007 kemaren, seperti biasa saya sangat seneng kalau terima makalah makalah dari seminar di tanah air, jadi temen2 tolong kirimlah soft copy bahan bahan seminar, conference atau apalah kalau kebenaran menghadiri seminar dimana saja he he.

Sebenarnya bahan presentasi ini pernah jadi diskusi panjang antara saya dengan beliau di milis, karena beliau cs ini pendukung model PSC baru dengan pembagian berdasarkan Gross Revenue, sementara saya sendiri termasuk yang kontra. Diskusi panjang lebar ini pernah saya posting sebelumnya.

Adanya usulan Mas TRJ ini dilatar belakangi oleh susahnya urusan manajemen “cost recovery”, dua poin yang jadi latar belakangnya, yaitu:

1. Pengawasan & urusan adminitrasi rumit, mahal dan menyita waktu, tetap berpotensi untuk terjadinya penyinpangan

2. Imbalan untuk effisiensi tidak seimbang (kecil)

Berikut saya tampilkan slide usulan beliau:



Dengan adanya metoda pembagian berdasarkan Gross Revenue ini, maka pemerintah tidak perlu repot repot mengurusi cost recovery, pokoknya terima bersih setiap tahun sebesar (1-X)%. Pendukung model ini beranggapan bahwa dengan adanya pembagian berdasarkan GR ini, maka kontraktor akan berusaha effisien, karena berapapun mereka melakukan effisensi, semuanya akan masuk ke Kontraktor (kalau inget teori Saving Index yang pernah saya posting, maka SI untuk model ini = 1, artinya kalau ada cost saving, $1, maka $1 tersebut semuanya menjadi milik Kontraktor).

Kenapa saya kontra model ini?

Pertama, model seperti ini sangat sensitif terhadap harga minyak, tanpa perlu repot repot melakukan efisiensi, rasio cost recovery thd gross revenue akan turun sendirinya dengan kenaikan harga minyak. Saya plot data dari Bulletin BP Migas.


Kedua, semakin turun percentase cost recovery thd gross revenue karena naiknya harga minyak, maka semakin turun pula ”kue” pemerintah atau GT (ingat GT ini adalah rasio dari profit, artinya semakin meningkat profit, semakin turun GT, wajar saja karena semua ”penurunan” cost masuk ke Kontraktor), padahal kenaikan profit ini akibat kenaikan harga minyak, bukan akibat efisiensi kontraktor!. Supaya jelas lihat plot dibawah.

Gambar diatas adalah simulasi perbandingan antara PSC standard dengan seandainya mau digunakan metoda pembagian berdasarkan GR, sebagai ilustrasi, dibuat pembagian berdasarkan GR sebesar 70% - 30%, atau 60 – 40%. Dapat kita lihat bahwa untuk model berdasarkan pembagian GR, semakin kecil cost thd GR (baca: semakin profit), maka GT malah semakin turun, apabila cost thd GR antara 10- 20%, model ini malah lebih jelek (bagi pemerintah) dibandingkan PSC standard.

Ketiga, buat Kontraktor pun belum tentu model ini menarik, khususnya apabila kita menawarkan blok baru, apa Kontraktor berminat dengan pembagian berdasarkan GR ini? Kalau untuk yang sudah tahap pengembangan atau yang sudah extension, pokoknya ”existing blocks” lah, keliatannya kontraktor oke karena mereka sudah tahu benar cost structure-nya (tentu lihat lihat dulu berapa ”X” nya).

Apakah saya anti model seperti ini?, tentu tidak! dalam hidup ini nggak ada yang perfect, saya cuma ingin memberikan gambaran bahwa kita harus hati hati, karena saya percaya, kita semua (saya, Mas TRJ dan rekan2 lain) berusaha memikirkan model baru yang lebih baik buat negara dan cukup menarik bagi investor, jangan sampai malah yang terjadi kita tidak sadar membuat model yang lebih buruk.

Apakah model pembagian berdasarkan GR bisa di implementasikan? Kalau memang ingin dicoba, saya hanya menyarankan supaya dimodifikasi sedemikian rupa.

Bagaimana caranya? Pembagian GR tersebut jangan dibuat fixed, tetapi sliding scale terhadap harga minyak.

Misalnya:

70 : 30 untuk harga minyak dibawah 40
75 : 25 untuk harga minyak 40 s/d 60
80 : 20 untuk harga minyak diatas 60

Tentu angka angka diatas hanya sekedar ilustrasi.

Kalau mau sedikit lebih akurat, dibuat suatu faktor misalnya F = cost / gross revenue, selanjutnya dibuat sliding scale berdasarkan F tersebut seperti diatas, berapa besar X dan F tentu bisa dihitung hitung dulu, berapa sich idealnya.

Demikian deh, sekali lagi saya terima kasih sama Mas TRJ, beliau ini “sparing partner” saya di milis.

Thursday, August 02, 2007

Lagi2 Cost Recovery!

Sebenarnya males ngebahas cost recovery, udah terlalu sering, kemaren dapet email dari kolega, dia bilang: “masalah cost recovery, rame lagi tuh..”, weleh .. never ending story..

Kadang kadang kalau baca statement para pengamat, agak aneh juga, padahal beliau beliau itu paham benar bisnis migas, misalnya ada yang bilang: “kalau cost recovery naik, harusnya dibarengi dengan kenaikan produksi...”. Sebenarnya kalau yang ngomong orang awam, dapat dimengertilah. Tapi kalau pengamat migas, seharusnya tidak sepotong2 gitu melihatnya, emang kalau biaya naik karena investasi sekarang, terus produksi langsung naik?.

Padahal mereka juga tahu persis, kenaikan biaya upstream ini terjadi dimana mana, seberapa siginifikan kenaikannya?, saya lampirkan plot “upstream capital cost index” dari kajian CERA.


Sebagai ilustrasi: biaya 3D seismic naik dua kali lipat untuk 2 tahun terakhir, begitu juga biaya ngebor, biaya tenaga kerja juga naik, dimana mana sekarang terjadi kelangkaan tenaga ahli perminyakan, belum lagi yang standard kaya harga baja, dll. Jadi buntut dari kenaikan harga minyak ini (seperti biasa) diikutin kenaikan biaya biaya untuk kegiatan hulu, itulah hukum pasar, supply vs demand.

Cost recovery naik dan produksi turun dibanding tahun lalu apakah itu berarti jelek?

Kita bahas satu per satu.

Pertama, kalau harga minyak nggak naik, itu jelas lebih jelek, tapi kalau harga minyak naik, bukankah penerimaan negara juga meningkat, data menunjukkan kalau penerimaan negara lebih baik dari periode sebelumnya (rata rata harga minyak RI tahun 2005 sekitar 53 USD per barrel, tahun 2006 sekitar USD 64 per barrel). Bukankah kenaikan penerimaan negara lebih penting?, kurang fair kalau cuma melototin kenaikan cost recovery (karena dimana mana di belahan dunia ini, biaya memang naik).

Kedua, kolega yang berkecimpung di migas semua tahu, bahwa ada “time lag” antara investasi dengan produksi, kalau keluar duit sekarang, manfaatnya baru dirasakan beberapa tahun lagi, jadi nggak bisa dilihat sepintas gitu aja, wah tahun ini cost naik, produksi harus naik.. ya nggak gitu lah!.

Ketiga, masalah lapangan di Indonesia yang sebagian besar udah tua, (sekali lagi) kolega yang berkecimpung di migas juga tahu kalau secara alamiah lapangan tersebut produksinya akan turun, yang bisa dilakukan hanya mempertahankan supaya tingkat penurunan produksinya tidak terlalu besar, itulah kerjaan teman teman GGE di perusahaan migas, gimana supaya produksi tidak anjlok. Perlu pekerjaan optimisasi sumur sumur tua tersebut yang (tentunya) memerlukan biaya, itupun (biasanya)hanya untuk "membantu" supaya tingkat produksinya nggak turun drastis, kalau nggak ada optimisasi, memang nggak diperlukan biaya, konsekuensinya: produksi sumur kalau di plot jadi "terjun bebas", malah lebih parah lagi situasinya!

Namanya lapangan tua, sama aja kaya ngurusin mobil tua, biaya perawatan malah naik, ini buah simalakama, dicuekin efeknya bisa gawat karena urusannya dengan safety & lingkungan, kalau diganti semua, nggak ekonomis dan lagi2 menaikkan cost recovery. Jadi harus bener bener "fit for purpose technology" yang di adopsi, cost effektif tanpa mengorbankan safety & environment. Gampang diomongin, not so easy di implementasi.

Mau produksi naik?, ya nggak ada cara lain selain: eksplorasi, mempercepat pengembangan lapangan yang sudah ditemukan, penggunaan aplikasi teknologi untuk peningkatan produksi termasuk EOR, memproduksikan lapangan lapangan kecil atau yang nganggur (idle fields), semua itu perlu investasi saat ini juga, manfaatnya ya nanti dong sabar.

Keempat, sebagaimana diketahui saat ini banyak sekali GGE kita eksodus ke LN, karena tawaran income yang lebih baik, nggak heran kalau banyak KKS sekarang kebingungan mempertahankan GGE mereka. Gimana mempertahankan mereka? Tentu salah satu nya dengan menaikkan kompensasi, ujung2 nya ya cost recovery akan naik juga.. begitulah siklusnya, mau produksi “terjun bebas” tapi cost recovery tidak naik, atau mau produksi di maintain tapi cost recovery sedikit naik?

Kelima, ada pemikiran untuk menghilangkan cost recovery dengan mengganti menjadi model kontrak yang nggak ada cost recovery (royalty). Saya termasuk yang kurang setuju dengan ide ini karena tidak menyelesaikan masalah, apa dengan mengganti model kontrak, penerimaan negara menjadi lebih baik?? I doubt it, sudah banyak dibahas advantages dan disavantages pada posting saya sebelumnya…

.....

Bahwa ada ide untuk memperjelas cost cost apa saja yang recoverable, saya kira itu hal yang positif, sebenarnya pepatah: “mencegah lebih baik dari mengobati”, itu yang harus dilakukan untuk urusan cost recovery ini. Maksudnya, semua proyek proyek itu harus dimatangkan dulu perlu atau tidaknya, harus diakui (khususnya pada masa lalu) banyak juga terjadi proyek proyek yang sebenarnya tidak begitu diperlukan (unnecessary projects), ini yang harus diminimalkan. Untuk menyatakan bahwa ini perlu atau tidak perlu, Anda harus cukup pintar dalam arti memahami lika liku operasional, teknis dan bisnis migas, tidak cukup hanya dengan semangat nasionalisme. Anda kalau mau menangkap “penjahat”, paling tidak ilmunya sama atau diatas penjahat tersebut, apalagi “penjahat” nya canggih semua, kalau ilmunya dibawah, ya ketipu aja Anda nggak merasa.. makanya belajar, biar nggak ketipu he he!! Udah ah bosen ngomongin cost recovery!