Tuesday, February 26, 2008

Komentar dari Tag Board

Well: Selamat sore mas Benny. Mas privatisasi di Venezuela ternyata meninggalkan masalah, seperti kemenangan Exxon untuk membekukan 12 milliar dolar asset Venezuela di seluruh dunia. Kalau sudah seperti itu apakah masih bisa di-settle di luar sidang atau karena sudah keputusan arbitrase/pengadilan harus dilaksanakan? Dan bagaimana nasib privatisasi Venezuela selanjutnya? gagalkah? Feb.08.08 09:56 AM

Ceritanya masih akan panjang ini Mas well, kita monitor aja dulu..

adek: mas saya tertarik dengan ekonomi migas akibat tulisan mas saya mahasiswa Fisip dan teknik Industri saya tertarik dengan angka-angka mas bisa nggak mas kirimkan contoh perhitungan dan simulasi cost recovery,dan hubungan dengan lifting perhitungan fiskalnya dan gross revenuenya lalu pakai IRR dan probability tentang resikonya dan berkaitan dengan resiko di investasi migas mas...mohon mas untuk saya pelajari saya tertarik gara-gara tulisan mas ...,mas harus bertanggung jawab membuat saya jadi penasaran alamat e-mail di adektiusu@yahoo.com Feb.12.08 04:21 AM

adek: please dong mas simulasinya pakai excell sekalian neraca akutansi cost recoverynya....saya penasaran banget kepingin belajar otodidak, please......dong via e-mail ku...adektiusu@yahoo.com Feb.13.08 03:33 AM

adek, pengalaman saya kalau baca excel bikinan orang, bisa mabok sendiri, apalagi saya kalau bikin hitungan di excel, nggak user friendly, biasanya kalau file-nya dibuka lagi, lupa ini cell ngitung apaan sich, perlu waktu untuk di cek ulang lagi. Dari pengalaman ngajar kursus, yang paling safe adalah bikin sendiri…., saya bisa kasih flow chart-nya.

toni: Mas benny trims ya atas jawabannya yang soal KSO. Memang sih tidak ada transfer of interest di model KSO. Lalu landasan hukum nya ada ga ya kok di model KSO, kontraktor tidak bisa mem-book reserve tersebut? So, untuk company yang sudah public listing, jika company memang tidak bisa meng-claim reservenya maka model KSO sebenarnya kurang feasible donk ya untuk mereka yang public listing? Feb.12.08 08:56 AM

Kalau tujuannya untuk booking reserves mungkin ada benarnya, tapi bagaimanapun service contract khan ada value added nya juga.

ayub asyifudin: bung benny.. ada persolan dasar yg sering mengganngu saya.. Dengan sistem migas di indoensia, sepertinya kok negara tidak elegan dgn melakukan penjualan minyak (share GT) walaupun itu diwakilkan BP Migas skrg ini. Kalau konteksnya dulu, Pertamina yg jualan mungkin msh oke. Klo dari sdt pandang ekonomi rasanya tdk pas,penyelenggaran negara (apbn) dr berjualan minyak, apakah tidak lebih elegan dgn pengenaan pajaknya. sehingga jikaditarik ke fisosofi dasarnya dr pengusahaan migas, harusnya negara mendapatkan hasil dr tax nya bukan dari jualan migasnya.. gmn pendapat mas benny ? thanks ya mas. Feb.13.08 04:55 AM

Ada beberapa istilah, spt: lifting, fiscal elements (tax dan non tax), “petroleum valuation” dan siapa yang bertanggung jawab “dagang minyak”. Pada prakteknya, lifting pemerintah itu udah campur aduk antara komponen tax dan non tax. Perdagangan minyak itu juga amat sangat kompleks, tentu nggak bisa dilepas begitu saja, perlu “pihak” yang menjaga kepentingan pemerintah supaya bagian minyak yang dijual tidak “under pricing”.

Eri : Oom Ben, bahas sedikit dong mengenai mekanisme perhitungan bagi hasil utk LNG business, yg digabungkan dengan PSC calculation. tenkyu Feb.22.08 07:24 AM

Tanya sama yang ngurusin Tangguh tuh he he.. ntar deh tak cari bahannya dulu.

Danny: Bung Benny, Saya pernah ikut kursusnya David Johnston tahun lalu. Dia titip salam buat Anda. Feb.24.08 07:14 AM

Salam kembali, ikut course David yang dimana? Perth, Dubai, Dundee, Singapore, KL, Café Town.? Waduh enak juga ngajar kursus, keliling dunia..

Narindra: Pak, blog anda pas sekali dengan bidang saya... Sesekali boleh numpang ngisi artikel ya... Salam Feb.26.08 11:56 AM

Monggo, silahkan mas Narindra, kirim email aja, nanti saya posting khan..

Iwan PS: Sibuk ya mas?, saya denger sekarang lanjut kuliah lagi. Semoga sukses deh.. Feb.26.08 08:12 PM

Lumayan mas, yang penting diusahain bagi2 waktu yang pas lah: kantor, kampus, rekreasi

Monday, February 25, 2008

CD dan Cost Recovery

Berita mengenai (akan) dihapuskan (dikeluarkan) biaya Community Development (CD) dari mekanisme cost recovery menarik untuk disimak. Usulan pemerintah (dan beberapa pihak) tersebut memancing pro dan kontra. Kontra tentu datang dari perusahaan migas, logikanya: kalau dihapuskan, akan membebani (mengurangi) profit perusahaan.


Perusahaan migas juga complaint karena dengan adanya mekanisme cost recovery, seolah olah perusahaan tidak berpartisipasi untuk CD. Saya kira keluhan ini wajar, karena memang ada salah penafsiran. “Secara tidak langsung”, tentu perusahaan migas berkontribusi juga terhadap biaya CD, yaitu melalui “kerelaan” untuk berkurang bagian profitnya sebesar 15% dari biaya CD yang dikeluarkan.

Kemudian timbul pertanyaan: apa urusannya perusahaan migas (repot repot ngurusin) CD? apa “pantas” hanya berkontribusi 15% dari biaya CD?, kenapa pula 85% harus ditanggung negara?

Perdebatan bisa panjang kalau kita melulu melihat CD itu semata mata cost. CD merupakan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR), yang kalau kita lihat definisi World bank kira kira begini: CSR as the commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life, inways that are both good for business and good for development.

Ada baiknya kita melihat juga bahwa CSR itu adalah “investasi”, karena investasi tentu diharapkan ada “return”. Dalam bahasa lain, implementasi CSR tentu sedikit akan meningkatkan biaya perusahaan, tapi “benefits” yang akan diperoleh dalam jangka panjang akan melampaui “costs” yang telah dikeluarkan. Investasi CSR tentu bersifat jangka panjang. Sebagai contoh: kalau kita keluar biaya untuk training, tentu benefitnya nggak langsung terasa dalam jangka pendek. Dalam konteks CD, contoh benefit yang akan dirasakan adalah reputasi perusahaan, jadi membangun reputasi itu bukan sesuatu yang gratis.

Tentu tidak bisa dipaksa (diharapkan) bahwa semua perusahaan harus berpartisipasi dalam semua aspek CD, setiap perusahaan punya strategi implementasi untuk memperoleh "CSR premium" tersebut. Karena ada CSR premium, timbul pertanyaan: “kenapa pula CD masuk cost recovery?”. Saya kira kalau perusahaan mengutamakan reputasi, nggak perlu repot repot berdebat (ini bisa masuk) cost recovery atau nggak, (bisa jadi zaman "bahuela" dulu kondisi ini "bisa diterima" karena isu CSR belum relevan). Kalau selama ini bisa masuk cost recovery, ya anggep saja lagi dapet diskon. “Kalau nggak masuk cost recovery, apa mau berhenti implementasi CD?” Saya yakin mestinya tidak, perusahaan migas ini kalibernya internasional, seyogyanya mereka mementingkan reputasi. Maka berlomba lombalah para perusaahan migas melakukan CSR, banyak studi menyebutkan, perusahaan yang punya CSR program yang baik, relatif akan lebih “sustain”. Kalau nggak percaya ya nggak apa apa, coba aja nggak usah perduli sama CD, bukankah (dalam jangka yang tidak terlalu panjang), costs-nya akan lebih muahal…??

Wednesday, February 20, 2008

Model progressive, apa itu?

Mas Dadang, tanya lewat email: Mas Ben, saya jadi bingung, makin lama model PSC makin banyak, ada yang pembagiannya pakai ROR, R/C dan lain lain, ada yang pakai production rate, harga minyak. Apakah dibanding dengan Service contract model seperti ini lebih bagus?. Terima kasih sebelumnya mas, mohon maaf terus digangguin nih.”

-----------------------

Jangan bingung2 Om Dadang, jadi gini: memang PSC itu berkembang pesat, khususnya bagaimana membagi “kue” antara investor dan negara. Jadi nggak heran kalau dalam perkembangannya, keluarlah model pembagian (split) minyaknya berdasarkan macam macam parameter: Production rate, Cumulative Production, Oil Price, Depth, API gravity, ROR, R factor, dan banyak lagi lainnya....

Tentu ada plus minusnya model tersebut, seperti saya pernah posting dulu dulu, kalau modelnya sensitif terhadap tingkat keuntungan, maka model semacam itu disebut “Progressive”, artinya semakin besar tingkat keuntungan, semakin besar pula bagian negaranya. Model ini umumnya terjadi kalau split-nya berdasarkan ROR dan “R” Factor. Kalau split-nya berdasarkan tingkat produksi, umumnya tidak progressive.

Apakah “progressive” baik buat tuan rumah?, Dalam hal tertentu iya, tapi tentu tidak untuk semua kasus. Ilustrasinya gini: Model yang “progressive” ini karena berdasarkan ROR dan R factor, maka konsekuensinya tuan rumah harus “mengalah” dapat split yang lebih kecil dibanding Investor pada saat awal (karena pada periode tersebut terjadi pengembalian kapital investasi). Dimana parameter keuntungan ROR, “R” factor atau apapun namanya, masih relatif kecil. Lihat gambar berikut:


Menurut saya, model progressive ini cocok untuk daerah atau proyek yang “susah susah”, karena untuk proyek yang susah susah, ada justifikasi bagi tuan rumah untuk sedikit bersabar memerima share yang lebih kecil. Bagi Investor, model ini merupakan insentif untuk memperoleh investasi “high risk” mereka lebih awal. Kalau yang “gampang gampang” tentu kurang pas buat tuan rumah menggunakan model seperti ini, mungkin lebih cocok model yang nggak progressive.

Supaya ada guideline, saya coba bikin gambar dibawah (yang warna Hijau, Kuning, Merah adalah probabilitas ketemu prospek hidrokarbon). Ini buat acuan saja dimana kira kira model “progressive” ini cocok, dimana pula kira kira kalau seandainya mau pakai model “Service Contract”. Demikian Om Dadang, semoga tidak tambah kabur....

Sunday, February 17, 2008

Kenapa (masih) perlu IOC?

Pas lagi buka2 bahan kursus Daniel Johnston, saya ketemu gambar dibawah yang cukup menarik.

Alasan utama si host country ngundang investor adalah bahwa Gov Take (bagian dari profit minyak yang masuk ke pundi negara), mestinya lebih besar dibanding dikerjain sendiri sama negara. Kenapa? karena unit cost nya lebih gede kalau dikerjain sendiri. lha kok bisa? ya karena jam terbang alias "learning curve" IOC, kemampuan manajerial dan penguasaan teknologi.

Lha kok kalau dikerjain sendiri bukankah biaya murah (nggak pakai bayar expat, nggak pakai bayar2 studi ke LN segala macem)?. Asumsi digambar itu mungkin seperti ini: emang secara nominal cost yang akan dikeluarkan oleh IOC lebih gede, tapi kemungkinan mereka untuk sukses menemukan lapangan yang gede (lebih besar). Atau bahasa sederhananya: outputnya lebih gede, sehingga cost per unit nya jatuhnya lebih kecil.

Tentu ini bisa diperdebatkan...

Tuesday, February 12, 2008

Buku baru yang gratis

Silvana Tordo (kelihatannya tidak ada hubungan dengan Silvana Herman..), Senior Energy Economist, World Bank, baru ngeluarin buku (2007), judulnya: Fiscal System for Hydrocarbons - Design Issues. Bukunya tipis cuma 72 halaman (sebetulnya ini paper yang dikemas jadi buku). Begitu tahu ada buku ini, saya langsung pesan ke Amazon, relatif nggak mahal karena tipis dan paperback, sama ongkos kirim sekitar 15 Euro.


Belakangan saya baru tahu kalau versi pdf-nya bisa di download gratis disini. Begitu saya mau cancel ke Amazon, ternyata udah dikirim, ya apa boleh buat. Ditengah langkanya publikasi baru mengenai aspek aspek petroleum fiscal, buku mbak Tordo patut disambut hangat, disamping tentu saja (menurut saya) isinya sendiri sangat bagus, pembahasan lengkap dan cukup advanced. Artinya buat yang sudah expert-pun, buku ini sangat bermanfaat, monggo silahkan dibaca. Kalau kesulitan download, nanti saya kirim via email deh.

Wednesday, February 06, 2008

Expertise, not money...

Menarik membaca interview International Oil Daily (Feb 6, 2008) dengan menteri perminyakan Algeria, Dr. Chekib Khelil sehubungan dengan rencana bid round beberapa blok disana.

Saya kutip: …The key is not the investment the firms bring, but the expertise: “We have the money,” Khelil reiterated. “We could do it ourselves but probably we are not going to do it as well as they could, so that’s what they bring.”….

Kalau dulu paradigma investasi migas di negara berkembang, selalu bilang nggak ada duit dan tentu saja nggak ada keahlian.. Tapi tampaknya itu cerita lama, paling nggak sekarang di beberapa negara, duit bukan motivasi utama, artinya duit mah gampang dicari, yang diharapkan dibawa itu adalah expertise, keahlian si multinational oil company..

Untuk negara kita, transfer ilmu di level technical sudah berjalan cukup baik, namun di level manajerial yang belum tuntas. Kita bisa lihat sekarang, di level technical sudah pada “mumpuni”. Tetapi untuk level mimpin proyek migas gede (mimpin perusahaan), kayanya belum banyak yang punya pengalaman, makanya nggak heran kalau masih belum pede ketika ditawarin kerjain sendiri… (nggak usah pake contohlah, tebak sendiri he he..). Mungkin sekarang perlu dipikirin untuk nyiapin “co-pilot” di proyek proyek besar yang kerjasama dengan IOC, nah si “co-pilot” ini dilatih juga untuk nanti jadi pilot beneran, jangan cuma dikasih kerjaan receh receh, akhirnya nanti sama pilotnya selalu dibilang belum siap, padahal emang nggak niat ntransfer ilmu. Sebaiknya si co-pilot ini dipilih dari tenaga yang masih muda (kalau tua nanti keburu pensiun..) dan punya tipikal rada “ndableg”, jangan yang model pasif aja, namanya ilmu nggak ada yang ngasih gratis, nyolong2 dikitlah he he..

Kalau diibaratkan sepakbola, kita punya pemain sich, skill oke semualah, tapi tentu perlu pelatih untuk meramu strategi, nah pelatih ini yang kita belum punya… makanya (untuk case case tertentu) masih perlu IOC seperti pak Menteri Algeria bilang.