Wednesday, December 31, 2008

Revisi Pelaporan Cadangan SEC

Tanggal 29 Desember, the Securities and Exchange Commission (SEC) mengumumkan bahwa mereka secara aklamasi menyetujui revisi dalam rangka mordenisasi persyaratan pelaporan perusahaan migas untuk membantu investor mengevaluasi "value" dari investasi mereka di perusahaan migas.

Revisi yang cukup penting antara lain:

The new disclosure requirements approved by the Commission include provisions that permit the use of new technologies to determine proved reserves if those technologies have been demonstrated empirically to lead to reliable conclusions about reserves volumes. The new requirements also will allow companies to disclose their probable and possible reserves to investors. Currently, the Commission’s rules limit disclosure to only proved reserves.

The new disclosure requirements also require companies to report the independence and qualifications of a reserves preparer or auditor; file reports when a third party is relied upon to prepare reserves estimates or conducts a reserves audit; and report oil and gas reserves using an average price based upon the prior 12-month period rather than year-end prices. The use of the average price will maximize the comparability of reserves estimates among companies and mitigate the distortion of the estimates that arises when using a single pricing date.

Teks lengkap dari Press Release tsb dapat dilihat disini.
-------------

Aturan mengenai harga rata rata selama periode 12 bulan menjadi sangat relevan saat ini, untuk tahun 2008 ini saja, bayangkan kalau menggunakan harga year- end price yang berkisar $ 40 per barrel.

HAPPY NEW YEAR,
Wishing everyone a peaceful, healthy and joyful New Year.

Tuesday, December 23, 2008

Penundaan Proyek

Jangan heran kalau baca berita belakangan ini mulai terdengar berita penundaan proyek proyek besar di sektor migas. Proyek proyek seperti Oil Sand di Kanada, Heavy Oil dan Deepwater tertentu, memerlukan minimal harga minyak diatas US $ 60 per barrel. Ketika sekarang harga minyak memble, di mass media kita baca sebagian dari proyek tersebut akan ditunda dan atau dibatalkan (lihat Petroleum Argus, 22 Dec 2008).

Untuk menerangkan semua itu, kita harus kembali ke laptop, kembali ke teori dasar yang disebut teori Economic Rent. Teori ini dikembangkan oleh para ekonom (Ricardo diantaranya) untuk melihat bagaimana keuntungan dari tuan tanah bervariasi terhadap kualitas dari tanah tersebut. Penjelasan klasiknya sebagai berikut.

Pada gambar diatas diasumsikan bahwa tuan tanah secara logik akan mulai bercocok tanam terlebih dahulu pada area tanah yang paling subur (L1), area yang kurang subur L2, L3, dan seterusnya, baru akan ditanami kemudian kalau dianggap cukup menguntungkan. Apa yang dimaksud dengan economic rent disini adalah ”surplus” (area warna biru). Menurut Ricardo, Rent timbul karena adanya perbedaan produktivitas, rent untuk area L1, lebih besar dari L2 karena perbedaan kualitas dari area L1 dan L2. Area yang paling tidak subur (lowest quality) dalam hal ini L7, sama sekali tidak akan di produksikan.

Pertanyaanya: bagamana kalau harga komoditas turun? Seperti kita lihat pada gambar dibawah ini, L4 s/d L7 sama sekali tidak menghasilkan rent. Apa yang bisa dilakukan? tingkatkan kuliatas tanah dengan memberi pupuk.

Konsep economic rent dalam industri migas

Aplikasi konsep ini dalam industri migas dapat disederhanakan dengan membuat perhitungan ”supply cost”, yang terdiri dari komponen biaya biaya (exploration, development dan operating), pajak, royalty dan minimum rate of return. Katakanlah di suatu negara ada 8 lapangan (A – H), maka kita hitung masing masing ”supply cost” ini, kemudian kita plot dari yang paling rendah ke paling tinggi. Analogi dengan konsep Rent, diatas, maka economic rent dalam kasus migas ini adalah area yang berwarna biru.

Ketika harga minyak rendah, tentu kemudian tidak menarik untuk mengembangkan lapangan E s/d H. Kondisi inilah yang saat ini terjadi saat.

Bagaimana biar menarik?, dikasih insentif, misalnya keringanan tax, royalty dan lain lain. Hal ini akan menurunkan supply cost (penurunannya warna putih untuk Lapagan F, G, H). Insentif ini cukup baik bagi lapangan E & F tapi tidak cukup menarik untuk lapangan G & H. jadi untuk lapangan G & H, ya apa boleh buat, tetap ditunda dulu...

Sunday, December 21, 2008

Renegosiasi vs harga minyak

Harga minyak ibaratnya seperti main “roaler coaster”, turun naik kenceng, jadi bikin pusing banyak orang. Ketika harga minyak tinggi kemaren kemaren, banyak negara produsen “protes” dan menutut bagian yang lebih besar dari hasil pendapatan migas. Banyak negara minta renegosiasi kontrak, jangan lupa kasus kontrak LNG Tangguh yang sempat rame di mass media tanah air, yang pada saat itu cap batas atasnya cuma dipatok sebesar $ 25 per barrel (yang kalau nggak salah kemudian berhasil nego jadi $ 35 per barrel). Ketika harga minyak tinggi sekali waktu itu ($ 140 per barrel), banyak yang kembali protes dan kemudian dibentuk team renegosiasi lagi.

Dengan harga minyak yang sekarang sudah jatuh dibawah $ 35 - $ 40 per barrel, apa team ini masih perlu berunding lagi. Kalau harga minyak terus turun dibawah $ 20 per barrel (sesuatu yang kelihatannya mustahil, sama halnya ketika harga minyak $ 140 per barrel, pada saat itu, orang mikir mustahil akan turun dibawah $ 40 per barrel dalam beberapa bulan kedepan). Mungkin gantian pihak China yang minta renegosiasi, karena harga LNG-nya sudah kemahalan he he. Bisa jadi setiap negara akan terus sibuk bikin dan bubarin team renegosiasi.

Pada saat harga minyak tinggi, negara yang protes untuk minta bagian “Govenment Take“ lebih tinggi, sebaliknya, pada saat harga minyak rendah, gantian, perusahaan migas yang protes, supaya negara berkenan mengurangi bagian “Government Take” nya. Pertanyaannya: seberapa cepat perubahan kebijakan itu dilakukan. Untuk negara tertentu, seperti Russia, mereka bergerak cepat, pada saat harga minyak anjlok drastis belakangan ini, export taxes-nya diturunkan sebesar 32%. Saya kira negara lain sudah mulai menyiapkan ”program insentif“ nya, supaya proyek tetap jalan.

Kelompok pemikiran yang menyatakan bahwa kontrak migas itu harus cukup fleksibel untuk menangkap perubahan yang sudah menjadi ciri industri migas tampaknya valid. Dari awal, kontrak migas seyogyanya dikaitkan dengan harga minyak dan tingkat keuntungan (profitability). Supaya mereka secara otomatis bekerja pada saat harga minyak seperti roaler coaster ini, dan supaya tidak perlu sibuk membentuk team renegoasiasi, yang takutnya belum sempat kerja harga minyak sudah berubah drastis. Baru menghitung formula untuk windfall profit taxes, eh.. harga udah anjlok, ketinggalan kereta terus nanti..

Thursday, December 18, 2008

Dari Seminar Analisis Kontrak Bagi Hasil Migas

Kompas.com
Kontrak Bagi Hasil Migas Perlu Ditinjau Ulang
Sabtu, 6 Desember 2008 20:52 WIB

BANDUNG, SABTU - Pemerintah perlu meninjau ulang kontrak bagi hasil atas eksplorasi minyak dan gas. Peninjauan ulang ini terutama mengenai pembebanan recovery cost yang dibebankan pemerintah atas operasional pengeboran minyak dan gas oleh kontraktor.

Sekretaris Jendral Minyak dan Gas Bumi Indonesia Rudi Rubiandini mengatakan, recovery cost ke depan sebaiknya menjadi beban langsung kontraktor. Tidak lagi perlu lewat penggantian dari pemerintah seperti yang dilakukan selama ini. Perubahan teknis perhitungan bagi hasil perlu diubah. Hal ini disampaikannya di dalam Seminar Analisis Kontrak Bagi Hasil Industri Migas di Indonesia dan Alternatifnya, Sabtu (6/12) di K ampus Institut Teknologi Bandung.

Caranya, yaitu tidak lagi menggunakan penghitungan bagi hasil 85:15. Atau, 85 persen keuntungan bagi hasil plus recovery cost untuk pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor. Penghitungan idealnya menjadi seperti ini : keuntungan pemerintah adalah X, sementara kontraktor (100 x) % plus recovery cost. Sehingga, pembagian itu nantinya bisa 60 : 40. Tapi, pemerintah tidak perlu menanggung recovery cost yang jumlahnya itu kerap menggelembung dan rentang penyimpangan.

Keuntungannya, mendorong efesiensi pada kontraktor. Demi efisiensi ini dengan sendirinya, kontraktor akan cenderung memanfaatkan sumber daya lokal yang tentu lebih murah. Fungsi kontrol dari pemerintah pun akan berkurang, tuturnya. Sistem bagi hasil ini mirip dengan Malaysia. Dimana, sharing yang diterima bisa fleksibel, naik turun.
------------------------------


Saya kepingin sekali hadir di seminar ini, sayang nggak bisa. Isu ini sudah banyak dibahas di milis Teknik Perminyakan ITB, dimana mas Rudi termasuk pendukung konsep ini (dan saya yang kontra). Selama ini diskusi kami di milis lebih tajam, penuh argumen dan ilustrasi. Alasan kenapa saya kontra, bisa dilihat di posting posting sebelumnya.


Alinea terakhir juga agak mengganggu saya, bahwa sistem ini mirip dengan Malaysia, sistem Malaysia yang mana?. Setahu saya tidak ada sistem beginian di Malaysia, memang benar model Malaysia fleksibel, tetapi tetap ikut pakem PSC normal, dimana ada mekanismen cost recovery. Jadi, sistem PSC-nya yang fleksibel, bukan mematok pembagian di gross revenue, dengan angan angan kontraktor akan lebih effisien.

Tuesday, December 09, 2008

Bagaimana kalau harga minyak cuma jigo tahun depan?

Beberapa temen di milis yang kerja di sektor migas, sudah mulai mengantisipasi apa yang akan terjadi seandainya tahun depan harga minyak tambah anjlog. Harga minyak ini responnya sangat sensitf terhadap supply demand tenaga kerja. Saya dulu inget, anak perminyakan kalau lulus pas harga minyak bagus, begitu wisuda sudah mengantongi minimal dua atau tiga surat tawaran kerja, ini untuk kasus yang IP nya sedang sedang saja (kaya saya he he). Kalau yang cum-laude, wah bisa banyak sekali surat tawaran kerjanya, “untungnya” yang lulus cum-laude, paling satu orang, jadi ada azas “keadilan” he he. Tapi kalau Anda lulus “timingnya nggak tepat”, maka Anda harus lebih sabar, nunggu harga bagus lagi, kalaupun ada tawaran, persaingan akan sangat ketat.

Bagaimana kondisi tenaga kerja migas saat ini, apakah sudah mulai seret iklan lowongan di kompas & headhunter?. Kuncinya saya pikir tahun depan. Tahun 2009 memang harus dicermati, diperkirakan proses market adjusment mulai berjalan. Seberapa cepat impact dari penundaan proyek migas terhadap penurunan biaya biaya sektor jasa penunjang (service compay). 100 proyek besar migas tahun 2006 di mancanegara, rata rata menggunakan asumsi harga minyak 40 $/bbl, dengan IRR rata rata 15 - 20%. Sebagian kemudian di adjust lagi karena biaya capex naik tajam. Walaupun pada saat itu harga minyak tinggi, karena masih belum on-line, ya nggak bisa menikmati.

Faktor lain yang harus dilihat adalah strategi dan kondisi keuangan perusahaan migas, semua sadar kalau krisis kali ini lebih parah dari krisis 1998. Penundaan proyek yang selama ini sudah terjadi karena ketidaksepahaman antara IOC dengan negara tuan rumah dalam hal hal seperti: cost recovery, bagi hasil (share split), lingkungan, masalah lokal dan politik lainnya, sekarang menjadi lebih kongkrit dengan adanya krisis finansial.

Permasalahan lain yang akan timbul adalah; di satu pihak IOC sudah membuat komitmen untuk investasi dalam kontraknya, yang tentunya sangat diharapkan oleh negara (host goverments). Penundaan ini tidak saja menyangkut urusan tertundanya pendapatan langsung dari hasil minyak bagi negara (dan kontraktor), tetapi juga masalah pendapatan “tidak langsung” bagi rakyat dalam bentuk: barang & jasa penunjang lokal (local goods and service content).

Didalam tatanan strategi, saya kira semua perusahaan migas akan melihat ulang kembali rencana program eksplorasi mereka, komitmen rencana kerja yang sudah “firm” (menyangkut komitmen kontrak) kemungkinan akan tetap di prioritaskan. Proyek yang mahal dan beresiko dalam wilayah kerja akan masuk rencana penundaan. Beberapa perusahaan mungkin akan fokus ke perawatan sumur, ngerjain workover, stimulasi, dan pekerjaan yang cost effective lainnya.

Namun demikian, kita juga harus mencatat, bahwa akan ada perusahaan minyak yang melihat dari perspektif lain (melihat jangka menengah dan panjang). Mungkin bisa disebut melawan arus, kalau yang lain mengurangi aktivitas, perusahaan ini akan melakukan tindakan sebaliknya, memanfaatkan momentum turunnya biaya barang dan jasa penunjang yang signifikan. Tentu saja perusahaan yang masuk kategori ini harus mempunyai “posisi laporan keuangan” yang relatif baik (Lihat ilustrasi). Kalau Anda kerja di perusahaan yang masuk kategori ini, ya Anda aman dan tetap sibuk.

Jadi ya kita tunggu aja tahun depan, nikmati saja hidup mumpung load kerjaan menurun. Tidak cuma harga minyak yang siklusnya naik turun, hidup kita pun demikian, kata guru ngaji saya: pas lagi dibawah, ya nggak usah terlalu sedih, pas lagi diatas, ya nggak usah terlalu senang….!.

Wednesday, November 05, 2008

Harga minyak?- obrolan warung kopi

Pertanyaan yang sering dilontarkan oleh kolega awam adalah: “karena resesi ekonomi melanda dunia, berapa kira kira harga minyak tahun depan?”. Hasil ngobrol ala warung kopi dengan beberapa kolega, gambarannya kira kira begini: permintaan minyak di beberapa negara konsumen besar akan turun, tetapi di negara berkembang lainnya, permintaaan mungkin relatif tidak turun secara signifikan, ada yang malah sedikit naik. Secara global, kalaupun ada peningkatan permintaan, paling di level sekitar 400 – 500 ribu barrel per hari. Tebakan harga minyak rata rata untuk tahun depan sekitar 70 sampai 80 $/bbl, walaupun tetap ada kemungkinan akan turun ke level dibawah itu (50 – 60 $/bbl). Apakah bisa lebih rendah lagi? Rasanya tidak, pertama karena (khususnya) negara pengekspor minyak dan juga perusahaan minyak multinasional pasti akan berusaha agar harga tidak turun ke level tersebut. Dalam jangka menengah dan panjang (dibarengi dengan perbaikan ekonomi global), untuk mendorong agar kegiatan eksplorasi di wilayah laut dalam dan wilayah frontier lainnya menarik secara ekonomis, maka perlu supply cost (harga ekonomis dalam perspektif perusahaan minyak international) yang lebih baik, yang selanjutnya akan mendorong harga naik lagi, kapan? Ya tunggu ajalah he he..

Thursday, October 16, 2008

Harga Minyak & Main Yo-Yo

Harga minyak bulan ini cenderung terus merosot tajam, setelah sempat ke level 140 - 150 $/Bbl bulan Juli, ternyata dalam waktu 2 bulan (sempat) jatuh ke level dibawah 80 $/bbl.

Saya masih ingat ketika harga minyak terus meningkat dari 100 $/bbl pada awal tahun 2008, semua orang sibuk memperkirakan harga minyak akan segera menjadi 200 $/bbl, bahkan ada sebuah majalah di amrik sana yang menulis, harga minyak akan mencapai 500 $/bbl tahun depan!!

Saya dari dulu tidak pernah tertarik meramal harga minyak, karena semakin ditebak, semakin bingung kita. Kalau kita (kebetulan) benar, kita akan bilang: “dari dulu gua bilang apa”.., ketika tebakan salah?, kita akan sibuk ngeles he he.

Ada dua hal disini yang cukup penting untuk kita pahami, pertama urusan “supply vs. demand”, kedua urusan “harga minyak”. Dari buku textbook, kita tahu kalau keduanya akan saling mempengaruhi. Apa yang bisa dilakukan oleh para pengamat perminyakan sebenarnya terbatas pada perkiraan supply vs demand, untuk urusan ini, tidak diragukan lagi kemampuan para analis tersebut, level ilmunya relatif samalah, paling paling hasilnya ada perbedaan sedikit diantara para analis/pengamat tersebut. Namun demikian, supply vs. demand assessment tidak langsung merefleksikan harga minyak, karena kita tahu ternyata banyak sekali faktor lain yang berpengaruh diluar itu, sebut saja: “supply vs. demand” untuk minyak bohong2 an alias minyak kertas alias paper market, persediaan minyak di tangki penyimpan, spare capacity, bencana alam/badai, musim (summer/winter), geopolitik, nilai tukar dan persepsi. Bagaimana dengan economic growth? Sebenarnya faktor ini sudah diperhitungkan pada saat melakukan “supply vs. demand” assessment.

Dengan adanya krisis ekonomi dan resesi dunia didepan mata, semua orang sibuk merevisi kembali perkiraan “supply vs. demand” ini, Goldman Sachs baru saja bilang, harga minyak bisa ke level 50 – 75 $/bbl, padahal seinget saya baru kemaren2, analis-nya bilang, harga minyak akan segera ke 200 $/bbl.

Apa yang harus kita petik dari fenomena harga minyak ini adalah bahwa kita harus punya longterm strategi untuk pengelolaan energi yang baik, saya percaya Prof Widjajono Partowidagdo yang berhasil terpilih menjadi anggota DEN (Dewan Energi Nasional), mudah2 an dapat memberi sumbang saran yang dapat didengar oleh pucuk pimpinan bangsa ini.

Harga minyak yang terus turun ini harus kita waspadai, bukan berarti kesempatan untuk menjadi boros energi, kalau ini yang terjadi, musibah lebih besar akan terjadi bagi bangsa kita. Sahabat saya, seorang analis yang malang melintang di dunia perminyakan mengibaratkan, harga minyak ini seperti halnya main yo-yo, semakin kencang anda lempar kebawah, semakin kencang dia akan mantul keatas. Tinggal masalah waktu saja kapan dia mantulnya, dan mudah2 an kita tidak terkaget kaget lagi, ibarat yo-yo tadi, kalau mantulnya kenceng, kena muka lagi, waduh..bakalan berabe..!


Monday, September 22, 2008

PSC standard (masih) yang paling "win-win"?

Ada saatnya kita males nulis, seperti bulan September ini, rasanya mood nulis nggak ada. Bisa jadi karena jam kerja berubah, pulang lebih cepat (15:30), disini buka puasa jam 19:00 lewat. Karena temperatur sudah mulai dingiin, pas pulang kantor, sambil nungguin buka, bawaannya pingin tidur melulu..

Tapi saya masih rajin nimbrung di beberapa milis, khususnya kalau ada topik yang menarik. Salah satu topik yang saya selalu tergerak untuk nimbrung itu adalah topik mengenai kontrak migas.

Diskusi kontrak migas di milis masih tetap hangat. Usaha teman teman untuk mencari model yang lebih baik patut diberikan apresiasi. Tetapi setelah beberapa alternatif diajukan, kemudian diuji, ternyata model yang maunya dibikin simpel ini (menurut saya) masih tidak lebih baik dari PSC yang kita pakai. Ada kolega bertanya, apakah memang model PSC kita sekarang ini ada yang salah? atau jangan jangan nggak ada yang salah, tetapi kita sendiri yang mempunyai persepsi bahwa ada yang salah.

Cost recovery

Tak bisa dipungkiri, pemicu dari keinginan untuk segera memperoleh model baru adalah kekecewaan terhadap apa yang namanya cost recovery. Dari awal saya mulai menulis di blog mengenai cost recovery, saya katakan bahwa istilah ini yang sering memicu awam untuk salah kaprah. Jadi jangan heran, ketika orang kemudian berbondong mencari suatu sistem yang tidak ada cost recovery-nya.

Dalam salah satu tulisannya, guru saya (Prof Widjajono Partowidagdo) menulis: …Pendapat yang mengatakan bahwa Konsesi atau Kontrak Karya adalah Non Cost Recovery adalah keliru. Selama ada pajak, maka ada cost recovery. Karena pajak dihitung dari Revenue dikurangi recoverable cost.......

Saya kira disini Mas Wid ingin mengatakan bahwa semua kontrak itu ada "cost recovery" nya. Mau pindah model apapun (selama ada pajak), ya tetap ada "cost recovery". Memang namanya mungkin tidak secara spesifik disebut cost recovery.

Metoda Alternatif

Beberapa alternatif telah diajukan teman teman dalam upaya “menghapus” cost recovery dengan berbagai macam nama dan istilah. Sejauh ini usulan usulan itu belum memuaskan karena teman teman tidak dapat membuktikan bahwa model usulan tersebut lebih baik dari PSC standard kita, kecuali dengan janji bahwa model tersebut jauh lebih simpel dan jauh dari fitnah.

Saya ikut aturan yang berlaku international sajalah, baik buruknya model ukurannya Government Take (GT) dan parameter ekonomi lainnya. Saya juga tidak melihat hubungan kalau model simpel menjamin tidak ada fitnah. Kalau sekarang yang jadi biang keributan cost recovery, bisa jadi model simpel nanti yang jadi biang keributan adalah pembagian split. Wallahualam!

Dari hasil simulasi yang dilakukan teman milis membuktikan bahwa model ”non cost recovery” usulan mereka hanya baik pada saat harga minyak rendah dan akan lebih jelek dari model PSC standard pada saat harga minyak tinggi. Lihat gambar?

Ilustrasi mirip2 seperti ini sebenarnya sudah pernah saya posting sebelumnya. Logik nya begini: Model non cost recovery, yang mengambil pembagian langsung dari gross revenue dan model alternatif lain yang mirip mirip. Pada kondisi harga minyak kurang bagus, akan bagus buat Gov RI tapi jelek buat kontraktor. Kenapa? karena: Gross Revenue kecil, share yang didapat IOC jadi "nggak nendang" untuk me recover cost, karena model alternatif tersebut secara tidak langsung mempunyai "cost recovery limit" yang sangat besar buat Kontraktor (IOC). Konsekuensinya: IOC harus bersabar meng carry over cost mereka ke tahun2 berikutnya, implikasi selanjutnya jelas urusannya dengan "time value of money" yang dicerminkan oleh rendahnya parameter ekonomi spt ROR dan teman2 nya. Kalau ROR dibawah MARR, pilihannya tinggal dua: batal atau negosiasi ulang.

Sebaliknya kalau harga minyak bagus (atau sangat bagus), gross revenue tinggi, share contractor juga tinggi, cost yang dikeluarkan kontraktor menjadi tidak signifikan dibanding revenue share mereka, akibatnya: terjadi "excessive profit" buat kontraktor, makanya dari simulasi diperoleh bahwa Gov Take akan jelek (dibanding PSC standard) pada saat harga minyak bagus.

Saya pernah mengatakan bahwa sebenarnya PSC sekarang lebih "win win", artinya pada saat kondisi harga minyak kurang bagus, kontraktor masih bisa jalan karena proyek masih ekonomis (ROR >= MARR). Hal ini karena cost recovery limit mereka hanya dibatasi FTP, sementara pada saat harga minyak tinggi, Gov Take akan lebih baik dibanding model2 alternatif tersebut. Tentu saja ROR kontraktor naik juga, tapi ya nggak berlebihan sepertt model alternatif diatas.

Kalau boleh membuat analogi kira kira begini: misalkan Anda seorang pemuda yang sudah cukup lama pacaran, belakangan ada masalah sedikit, namanya juga orang pacaran. Kemudian Anda mencoba melirik beberapa pemudi lain siapa tahu lebih OK, tapi setelah dijajaki, kok nggak lebih baik dari pacar yang sekarang. Apa perlu Anda pindah ke lain hati? Tentu analogi ini hanya untuk Anda masih bujangan lo ha ha....!!

Wednesday, August 20, 2008

Bagaimana Mendisain Kontrak Migas yang Menguntungkan Negara?

Diskusi dalam rangka mencari model kontrak migas baru dalam setahun belakangan ini cukup marak, baik di forum, seminar dan milis yang terkait dengan industri migas. Dalam pertemuannya dengan Presiden OPEC Chekib Khelil, Wapres JK mengatakan bahwa Pemerintah akan mengubah kontrak migas yang selama ini diterapkan, tidak akan lagi menghitung komponen biaya pemulihan atau cost recovery yang diajukan perusahaan migas. Sebaliknya, pemerintah akan membuka tender untuk biaya pemulihan tersebut.

Di mancanegara, hal semacam ini bukanlah praktek yang baru, dalam kasus penawaran blok yang menggunakan metoda competitive bidding, parameter apapun bisa saja menjadi bagian yang ditenderkan, termasuk: royalty, cost recovery limit, profit oil split, ROR, dan lain lain.

Perlu dipahami disini bahwa cost recovery limit adalah pembatasan biaya yang dapat dibebankan dalam satu periode (1 tahun), artinya, biaya yang belum bisa di recover akan dibebankan pada tahun berikutnya (carry over). Pada akhirnya nanti, semua biaya akan di recovery. Cost recovery limit sangat penting pada saat awal pengembangan lapangan migas, karena menjamin adanya profit oil yang akan dibagi antara negara dan investor.

Idealnya, suatu model kontrak migas dari awal sudah mengantisipasi perubahan parameter, seperti: cadangan yang direfleksikan oleh tingkat produksi, harga minyak dan biaya. Dengan kata lain, diharapkan model kontrak migas tersebut cukup fleksibel terhadap perubahan dari berbagai parameter tersebut selama kontrak berjalan. Perubahan parameter disini terkait dengan tingkat keuntungan. Sistem yang kaku dan tidak fleksible bisa berakibat terjadinya ketidakseimbangan proporsi pembagian keuntungan. Sekedar mengingatkan parameter yang umum digunakan untuk mengukur porsi pemerintah adalah Government Take (GT), yang didefinisikan sebagai seluruh bagian penerimaan pemerintah, baik berupa: royalti, pajak dan profit oil share dibagi dengan total profit.

Mencari model yang pas & menguntungkan?

Upaya mencari model kontrak yang pas untuk diterapkan seyogyanya terus didorong dan dikaji, namun tetap perlu diingat bahwa setiap proyek mempunyai resiko yang unik, sehingga model kontrak yang diusulkan harus mencerminkan resiko proyek. Apakah ada model kontrak yang paling baik? OPEC secara rutin melakukan workshop untuk bertukar informasi sesama negara anggota mengenai pengalaman pelaksanaan model kontrak di negara masing masing. Berdasarkan 2 workshop yang telah diadakan sebelumnya, kesepakatan yang dicapai adalah bahwa: one size fits all model does not exist!. Tidak ada model yang cocok untuk semua kondisi. Kenapa? Karena resiko yang dihadapi berbeda untuk setiap proyek di masing masing negara, bahkan dalam satu negarapun, resikonya juga bervariasi. Model kontrak yang dipilih seyogyanya mencerminkan resiko dari proyek tersebut. Sebagai ilustrasi: tentu tidak menarik bagi investor apabila ditawarkan model service contract untuk proyek yang beresiko tinggi seperti: eksplorasi migas di laut dalam.

----

Diskusi di miling list komunitas migas, blog dan lainnya (dimana para pakar senior, praktisi PSC dan birokrat terlibat dalam diskusi ini); banyak perdebatan, usulan dan kritik mengenai kemungkinan diusulkan model kontrak migas baru yang menguntungkan negara. Menurut pengamatan saya, sejauh ini terbagi menjadi dua kelompok pemikiran.

1. Kelompok yang meng-anggap lebih baik memodifikasi atau mengimprove terms & conditions dari PSC yang saat ini berlaku (modifikasi dapat berupa: cost recovery limit, sliding scale profit oil split, profitabilty based dan lain lain).

2. Kelompok yang alergi terhadap cost recovery dan mengusulkan supaya kontrak migas langsung dibagi berdasarkan Gross Revenue (lihat posting saya sebelum2 nya).

Dalam posting ini saya tidak akan membandingkan mana yang lebih baik dari keduanya, pada dasarnya pandangan pribadi saya sudah dituangkan pada banyak posting2 di blog ini sebelumnya, termasuk juga di beberapa blog diskusi PSC disini.

Berita mass media di tanah air yang menyebutkan bahwa RI akan belajar dari model negara lain seperti: Algeria dan Libya (mengacu dari pernyataan Pak Wapres JK seusai bertemu Presiden OPEC Dr. Chekib Khelil). Kita sendiri tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Sekedar info, Dr. Khelil ini punya pengalaman yang panjang dalam urusan model kontrak migas. Beliau pernah menjadi salah satu VP untuk Industri & Energi di Worldbank. Salah satu papernya zaman dulu (1995) yang pernah saya baca, judulnya: “Fiscal Systems for Oil - The government “take” and competition for exploration investment”. Paper lama tersebut masih bisa di akses disini. Sudah luar kepala kalau ngomongin istilah2 cost recovery limit, government take, sliding scale, etc. Tentu tidak heran kalau beliau memberi banyak masukkan tentang kontrak migas ke Pak JK.

Belajar pengalaman negara2 lain tentu diperlukan, walaupun sebenarnya kedua negara tersebut “jam terbang” nya untuk urusan PSC relatif “junior” dibanding kita. Tetapi tidak berarti bahwa yang senior selalu lebih baik dari junior, apalagi kalau yang senior ternyata kurang improvisasi.

Kalau kita sedikit mendalami model kontrak di Algeria dan Libya, membandingkan secara langsung PSC terms & conditions-nya bisa misleading. Kenapa? Pertama, khususnya Libya, secara umum level prospectivity-nya diatas kita, jadi tentu wajar kalau Terms & Conditions nya lebih berat buat IOC (dalam bahasa yang lebih umum, Government Take nya lebih tinggi). Disini hukum pasar berlaku, “demand” untuk block di Libya tinggi. Jadi kita tidak bisa serta merta memasang level Government Take setinggi Libya, kalau “demand” kurang, ya “price” akan turun juga. Kedua, ada keterlibatan (partisipasi) dari NOC pada saat tahap pengembangan. Hal ini bisa berupa share NOC sebesar 50% untuk kasus Libya, atau 51% share dipegang oleh Sonatrach (NOC Algeria). Dengan demikian pada tahap eksplorasi IOC membiayai 100% biaya eksplorasi, pada saat tahap development, NOC turut membiayai sesuai share-nya.

Seorang teman milis kemudian terkagum dengan PSC Algeria yang membatasi cost <= 49% total production. Tentu kita tidak bisa nyontek gitu aja, mereka membatasi recovery biaya sebesar itu, karena Sonatrach ikut membiayai yang 51%, masuk akal kalau limitnya kemudian sebesar 49%.

Sebenarnya disinilah kuncinya, selama ini pikiran kita terlalu terkotak kepada bagaimana menaikkan bagian pemerintah dengan mengutak ngatik formulanya. Pengalaman saya membuktikan hal ini bukan pekerjaan mudah, karena pada saat yang sama kita harus berpikir dalam dua perspektif, negara dan kontraktor (IOC). Secara serampangan membuat formula yang menguntungkan negara, bisa jadi tidak ada manfaatnya ketika formula tersebut membuat proyek menjadi tidak ekonomis dalam perspektif kontraktor. Sebaliknya terlalu royal juga, akan merugikan negara. Tentu pada akhirnya akan terjadi kompromi dari kedua pihak, makanya disebut kontrak. Kedua pihak sepakat mencapai posisi optimum dari perspektif masing masing.

Menurut saya, cara yang lebih elegan untuk menaikkan bagian pemerintah itu adalah dengan ikut berpartisipasi (seperti kasus partisipasi NOC Libya dan Algeria, kalaupun ada yang mau dicontek dari negara2 ini, inilah satu2nya menurut saya yang layak dicontek. Kalau formulasi PSC nya malah terlalu kompleks, kurang bermanfaat untuk dicontek). Ini cara gampang menaikkan “Government Take”, sengaja saya kasih tanda kutip disini, karena tambahan “Take” ini diperoleh dari NOC Take. Logikanya seperti ini; kalau Anda mau dapat lebih banyak bagian profit, ya Anda ikut investasi dong (dalam hal ini, ikut membiayai pengembangan lapangannya). Sekali lagi ini cara elegan untuk dapat bagian “kue” lebih banyak. Lihat ilustrasi berikut:



Ikut partisipasi otomatis akan meningkatkan “total” government take, pada gambar tersebut gov take termasuk “kue” yang menjadi bagian NOC. Untuk penyederhanaan dalam ilustrasi ini dianggap NOC bayar pajak dengan rate yang sama dengan IOC. Partisipasi 50% misalnya bisa saja pada prakteknya di bagi antara NOC dan Perusahaan lokal (Pemda). Mis: 40% NOC, 10% Pemda. Konsekuensinya NOC dan Pemda akan ikut menyetor pembiayaan untuk pengembangan dan pengeluaran operasional (opex) sesuai share mereka.

Keuntungan lain: NOC (walaupun bukan sebagai operator), bisa ikut terlibat langsung pada proyek tersebut, mestinya disini isu cost recovery bisa di minimalkan, karena semakin banyak “pengawas”. Sesama pemegang share, tentu mereka akan saling mengawasi (IOC, NOC, Local Company). Di beberapa negara produsen (Misal: Norway), ada aturan bahwa IOC tidak boleh punya 100% interest dari suatu block, minimal mereka harus menggandeng 2 – 3 patner. Tujuannya adalah supaya sesama patner punya interest dan saling mengawasi, hal ini minimal bisa mengurangi beban pemerintah. (Nanti ada yang protes, bisa saja sesama mereka kolusi Mas, he eh.. di dunia ini anything is possible, tapi kita lihat hal positifnya saja dulu, jangan curiga terus he he.)

Hal lain yang juga perlu dicatat bahwa cara ini lebih elegan, bisa saja Pemerintah menggunakan cara lain, menaikkan langsung profit oil split after tax menjadi 90% : 10% (dari 85% ; 15%). Semua biaya tetap dibebankan ke investor atau IOC. Hasilnya Gov Take akan naik sekitar 90%, tapi cara ini kurang elegan karena kontraktor tentu berhitung juga (IRR nya akan drop signifikan). Seperti saya bahas sebelumnya, “hukum pasar” akan berlaku lagi. Untuk memperoleh “total” Gov Take yang sama (90%), dapat dilakukan melalui partisipasi sekitar 30%. Teorinya, IRR kontraktor akan sedikit turun (tergantung bagaimana mekanisme pengembalian biaya eksplorasi, namun tidak separah melalui mekanisme menaikkan profit split diatas).

Kontrak Blok Cepu termasuk yang mengikuti cara ini (bisa jadi karena pada saat itu sudah menjadi isu nasional, sehingga mau tidak mau IOC nya entah terpaksa atau rela beneran melakukan joint development dengan NOC). Kontrak Blok Cepu, terdiri dari ExxonMobil (45%), Pertamina (45%) dan Pemda (10%). Secara “Gov Take” tentu jauh lebih baik dibanding dengan ExxonMobil yang pegang 100%?.

Nah, dari pada pening mikiran formula yang pas yang belum ketemu juga, bagaimana kalau nyonteknya di partisipasi NOC ini, bagaimana kalau disetiap perpanjangan kontrak ikut pola ini? Ada yang bilang, “darimana duitnya?”, saya pernah ketemu dengan kolega yang kerja di investment banking, dia kerjaannya cari proyek pengembangan lapangan migas di mancanegara yang perlu pembiayaan (hanya untuk tahap development, kalau eksplorasi ogah dia). Mestinya nggak perlu pusing mikirin dari mana duitnya, yang penting mikirin bagaimana niatnya he he..!

Judul posting ini mungkin lebih cocok diubah dari Bagaimana Mendisain Kontrak Migas yang Mengutungkan Negara? Menjadi Bagaimana Meningkatkan Bagian Negara dengan Cara yang Elegan?

Thursday, August 14, 2008

Participation Contract & Joint Operating Agreement (JOA)

Ada yang tanya via email: Mas benny, apa beda Participation Contract & JOA dengan PSC , konsesi dan service contract.
-------------

Terkadang memang agak membingungkan juga ketika kita mendengar istilah participation contract, apakah ini bentuk lain dari tiga petroleum arrangement yang kita kenal tersebut (PSC, konsesi dan service contract)? Jawabnya tidak, sebenarnya bentuk kerjasamanya masih dalam kerangka salah satu dari 3 diatas.

Participation Contract atau Participation Agreement (PA) bermula di wilayah Timur Tengah (yang menggunakan model konsesi). Munculnya PA pada saat itu disebabkan oleh dorongan agar pemerintah terlibat lebih banyak dalam pengusahaan minyak. PA merupakan bagian dari upaya itu, dimana pemerintah (biasanya diwakili oleh NOC) ikut mempunyai kempemilikan dalam bentuk government atau state participation, kepemilikan tidak berubah (fixed) bisa juga terus meningkat setiap periode tertentu, dalam kasus beberapa negara Timur Tengah, tingkat kepemilikan Pemerintah terus meningkat, sampai akhirnya menjadi 100% milik negara.

Participation agreement sebenarnya untuk memberikan penekanan yang terkait dengan keterlibatan pemerintah dan perusahaan minyak dalam pola kerjasama migas, jadi bentuknya kontraknya bisa jadi salah satu dari model yang telah dibahas sebelumnya. Misalnya: pada model konsesi (royalty tax) ada satu klausul yang mewajibkan partisipasi negara. Didalam model standar PSC RI pun ada klausul Government participation, biasanya dalam bentuk opsi pemerintah untuk memperoleh kepemilikan mencapai persentase tertentu (umumnya 10 - 15%) apabila Kontraktor menemukan cadangan yang komersial. Opsi ini biasanya diberikan kepada NOC atau perusahaan lokal.

Pada Participation contract, opsi pemerintah umumnya cukup besar (katakanlah 50%), karena pemerintah tidak berbisnis, maka NOC yang ditunjuk mewakili pemerintah. Diantara IOC dan NOC tersebut kemudian dibuatlah kontrak berbentuk Joint Venture, sementara hitungan pembagian minyaknya, ya tetap saja ikut salah satu model PSC atau konsesi tersebut. Makanya tidak heran sering juga kita dengar istilah model hydbrid atau JV contract. Tetapi ini bukan model baru, tetap mengacu ke salah satu dari 3 arrangement yang saya sebut diatas.

Sedangkan mengenai istilah Joint Operating Agreement (JOA), penjelasan singkatnya kira kira begini: Dalam banyak kasus, interest dalam satu wilayah kerja (block) dimiliki oleh lebih dari satu pihak. Misalnya block X, interestnya yang punya: company A, B dan C. Diantara mereka kemudian membuat kesepakatan yang disebut JOA itu. Salah satu ditunjuk jadi operator (biasanya yang punya share paling besar), yang untuk selanjutnya si operator ini yang berurusan dengan pemerintah. Kemudian dibuat juga komite bersama yang akan me-review rencana kerja mereka, istilah kerennya Joint (Operating) Committee. Hubungannya dengan PSC? Kontrak mereka dengan negara itu berupa PSC, kesepakatan antara mereka disebut JOA. Kira2 gitu deh.

Sunday, August 03, 2008

Presentasi Mas Wid di PII


Berikut saya postingkan, makalah Mas Wid yag di presentasikan di PII, 31 Juli 2008 di Jakarta. Mas Wid men-share materi ini di milis TM ITB.

---------------

PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia
Cost Recovery versus Peningkatan Produksi Migas di Indonesia

Oleh: Widjajono Partowidagdo


PSC di Indonesia
Dasar pemikiran pengelolaan migas di Indonesia sebenarnya sudah dirancang dengan ide Kontrak Production Sharing (Bagi Hasil). Pencetus ide Kontrak Bagi Hasil adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada ditangan pemiliknya.(6)

Pak Ibnu Sutowo dalam bukunya “Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara” (1970)9 menyatakan yang dibagi adalah minyak (hasilnya) dan bukan uangnya. Pak Ibnu menyatakan, “Dan mengenai minyak ini, terserah pada kita sendiri, apakah kita mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkannya, untuk kita”. Intinya adalah kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam Kontrak Production Sharing manajemen ada di tangan pemerintah.

Perbedaan Kontrak Karya (konsesi) dan Kontrak Production Sharing (bagi hasil) adalah pada manajemennya. Pada Kontrak Karya, manajemen ada di tangan kontraktor, yang penting adalah dia membayar pajak. Sistem audit disini adalah post audit saja. Pada Kontrak Production Sharing (KPS), manajemen ada di tangan pemerintah. Setiap kali kontraktor mau mengembangkan lapangan dia harus menyerahkan POD (Plan of Development) atau perencanaan pengembangan, WP&B (Work Program and Budget) atau program kerja dan pendanaan serta AFE (Authorization fo Expenditure) atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol. Sistem audit di sini adalah pre, current, dan post audit.(7)


Tujuan jangka panjang KPS sebenarnya adalah mengusahakan minyak kita sedapat mungkin oleh kita sendiri. Dengan mengelola KPS bangsa Indonesia dapat belajar cepat tentang bagaimana mengelola perusahaan minyak serta belajar cepat untuk menguasai teknologi di bidang perminyakan. Pak Ibnu menyatakan “Tapi telah menjadi tugas kita dan telah kita sanggupi untuk mengusahakan minyak kita oleh kita sendiri. Dan ini telah memikulkan suatu kewajiban atas pundak kita semua, supaya setiap detik dan setiap ada kesempatan, kita berusaha mengejar know, how dan skill ini dalam tempo yang sependek mungkin”. Indonesia memang diakui sebagai pelopor Production Sharing di dunia. Sayangnya ide Pak Ibnu dan ide berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dari Bung Karno justru lebih berhasil dilaksanakan oleh Petronas Malaysia. Walaupun demikian, kita cukup berbangga hati mempunyai Medco dan perusahaan-perusahaan swasta nasional lainnya yang dapat menyaingi perusahaan multi nasional. Pertaminapun diharapkan dengan statusnya yang baru segera bisa menjadi perusahaan migas multi nasional yang unggul.(7)

Perlu disadari bahwa ide Swadesi Mahatma Gandhi maupun ide Berdikarinya Bung Karno tidak berarti kita anti asing. Swadesi dan Berdikari menginginkan kerjasama dengan pihak asing, tetapi dalam kesetaraan. Terus terang saja, kita memerlukan perusahaan multinasional untuk melakukan eksplorasi (apalagi di laut dalam). Kita harus menghormati mereka sebagai tamu seperti yang dianjurkan Nabi: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamu”.Gandhi bahkan menyatakan bahwa: All men are brothers atau semua manusia bersaudara.(4)

Untuk kepentingan nasional, sebaiknya bagi kontrak yang sudah selesai diprioritaskan untuk dikerjakan perusahaan-perusahaan Nasional (Pertamina, Swasta Nasional, Perusahaan Daerah) atau paling tidak saham Nasional lebih besar. Mohon diingat bahwa visi pengusahaan migas di Indonesia adalah untuk memanfaatkan migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945).

Pengusahaan Migas di Dunia
Pengusahaan (hulu) migas sebagian besar dilakukan oleh perusahaan multinasional di banyak Negara berkembang, termasuk Indonesia berdasarkan suatu kontrak. Dalam perjanjian tersebut tentunya Pemerintah dan Kontraktor mempunyai misi (prioritas) berbeda yang menurut Seba dalam bukunya “Economics of Worldwide Petroleum Production (2003)” (8) adalah sebagai berikut :


Pada dasarnya kontrak-kontrak migas di dunia dibagi atas konsesi, PSC dan kontrak-kontrak lain (Babusiaux, D., 2004) yang akan dibahas satu per satu:(1)
1. KONSESI

Dalam konsesi negara menjamin kontraktor hak eksplorasi eksklusif, dan hak pengembangan dan produksi eksklusif untuk setiap penemuan komersial. Hal-hal yang membedakan konsesi dan PSC adalah kepemilikan hidrokarbon yang diproduksikan, kepemilikan instalasi produksi dan hal-hal apa yang merupakan bagian dari negara.

Kepemilikan produksi
Sebelum dikeluarkan dari dalam tanah secara umum hidrokarbon adalah milik negara apapun jenis kontraknya. Walaupun demikian dalam konsesi kontraktor menjadi pemilik dari hidrokarbon yang diproduksikan dengan kewajiban membayar royalty dalam bentuk fisik (minyak atau gas) atau dalam bentuk tunai, pada waktu mereka dikeluarkan dari dalam tanah dan mencapai kepala sumur.

Kepemilikan instalasi hidrokaron
Dalam konsesi kontraktor memiliki instalasi sampai kontraknya habis. Ketika kontraknya habis instalasi diserahkan kepada negara tanpa kompensasi oleh kontraktor. Negara bebas menggunakan sesukanya jika masih berguna secara ekonomi dan sebagai alternatif negara dapat meminta kontraktor untuk membuang sebagian atau seluruh instalasi dengan biaya kontraktor jika tidak ingin menggunakannya. Kontraktor dapat menggunakan instalasi lagi untuk produksi dari penemuan lain di negara yang sama.

Sumber pendapatan untuk negara
Pada konsesi negara memperoleh pendapatan melalui sumber-sumber berikut :
- Bonus (penandatanganan atau produksi)
- Fee permukaan
- Royalty atas produksi
- Pajak atas pendapatan
- Dalam beberapa kasus, pajak kelebihan keuntungan (excess profit tax).

Pada kebanyakan negara walaupun dimana tidak benar-benar ada kontrak, beberapa term ditetapkan pada hari ijin diberikan (royalty excess profit tax) tetapi pajak dan keuntungan berdasarkan hukum pajak umum, sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu. Sebagai contoh telah terjadi penurunan pajak secara berturut-turut di Inggris, Norwegia dan Belanda akhir-akhir ini dan industri perminyakan diuntungkan karenanya.

2. PRODUCTION SHARING CONTRACT

Kerangka kerja umum
PSC dimulai di Indonesia 1966 antara Pertamina dan IIAPCO, dan kontrak sejenis di buat di Peru 1971. Kemudian banyak negara yang memberlakukannya diantaranya negara pengekspor minyak : Indonesia, Mesir, Malaysia, Siria, Oman, Angola, Gabon, Libia, Qatar, Cina, Aljazair dan Tumisu. Negara yang sedikit mengekspor minyak: Tanzania, Pantai Gading, Mauritania, Kenya, Eihiopia, Zaire & Jamaika. Juga negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet.

Sukses dari formula ini di negara-negara berkembang dan dalam ekonomi transisi adalah disebabkan beberapa kepentingan diantaranya hubungan kontraktual (perusahaan minyak bukan pemegang langsung kuasa pertambangan) dan konsep dari sharing (membagi) produksi, disamping kekuasaan negara yang lebih besar terhadap aktivitas perusahaan minyak, yang berlaku sebagai pemberi jasa atau kontraktor.

Komponen Utama
- Prinsip
Secara hukum peranan negara pada kontrak bagi hasil mengikuti dua prinsip berikut:
- Negara memiliki hak pertambangan sehingga mereka memiliki produksi, hal ini secara hukum mengakibatkan monopoli negara pada eksplorasi dan produksi hidrokarbon. Perusahaan minyak bertindak sebagai pemberi jasa atau kontraktor.
- Walaupun negara atau perusahaan negara mengandalkan kemampuan teknis dan sumber dana dari perusahaan minyak (yang meminjamkan atau mendanai kapital yang dibutuhkan) dia tetap memiliki bagian terbesar dan produksi. Bagi hasil ini adalah dari produksi yang terlihat pada laporan tahunan dan bukan pada cadangan total. Kontraktor bertanggung jawab atas pembiayaan dan menjalankan operasi dan hanya memperoleh pengembalian biaya dan keuntungan jika terdapat penemuan komersial yang dikembangkan.

Pengembalian biaya
Pengembalian biaya berbeda antar negara bahkan dalam suatu negara tergantung kepada perjanjian waktu ditandatangani kontrak. Pada kontrak bagi hasil kontraktor berhak menerima pengembalian biaya selama tidak melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak. Proporsi ini dikenal sebagai cost oil. Kekurangan yang belum diperoleh di carried forward (bawa ke depan) untuk recovery pada tahun. Tahun berikutnya dengan prinsip yang sama cost oil diberi nilai dengan menggunakan harga pasar dari minyak mentah sebelum dibandingkan dengan recoverable cost.

Batas maksimum dari cost oil di kenal sebagai cost stop (cost recovery ceiling), bervariasi tergantung kepada negara dan kontraknya, tapi biasanya berkisar antara 30 dan 60%, walaupun dapat 100%. Harga cost stop mempengaruhi keekonomian, makin besar makin bagus return on investment (pengembalian investasi) nya.

Formula pengembalian biaya menjadi semakin kompleks, karena aturan-aturan lain yang diterapkan pada kontrak sebagai berikut:
- Investment credit (17% in Indonesia, antara 33,3 dan 40% di Angola). Di Indonesia kontraktor menerima 117% dari biaya kapitalnya. Hal ini dirancang untuk mengkompensasi efek dari inflasi (recovery didasarkan pada harga nominal, tanpa indeksasi).

- Menyebarkan recovery dari biaya kapital terhadap waktu: depresiasi straight line (garis lurus) 4 sampai 5 tahun (Angola) atau double declining balance (Indonesia).

- Definisi yang lebih rinci dari biaya perminyakan yang di recover :
* Apakah bonus, bunga dan biaya finansial termasuk atau tidak?
* Prioritas untuk recovery dari kategori biaya yang berbeda (eksplorasi, pengembangan, produksi dan lainnya).
* Recovery dari biaya bersama (joint costs) yang dibagi antar anggota konsorsium dan biaya yang dikeluarkan dari tiap anggota.
* Metoda bagaimana biaya dibagi antar daerah-daerah pengembang jika penemuan-penemuan beruntun dikembangkan.

PSC biasanya tidak membayar royalty dari produksi, tetapi jika royalty dibayar, costs oil dihitung pada produksi sesudah dipotong royalty.

Bagi hasil dari produksi (profit oil split)
Proporsi minyak sesudah dipotong oleh costs oil disebut profit oil. Pada awalnya produksi dibagi atas dasar yang tetap. Di Indonesia 65 – 35 % split antara pemerintah dan kontraktor diubah menjadi 85 – 15 % untuk minyak dan 70 – 30 % untuk gas. Kemudian pada 1979 split tergantung pada produksi, 50-50% untuk produksi rendah dan 85 – 15 % untuk produksi tinggi. Di Angola pada 1979 skala progresif diberlakukan untuk komulatif produksi dari suatu lapangan minyak – skalanya tergantung dari geografi (onshore, offshore, dangkal atau dalam).

Beberapa negara memberlakukan mekanisme penyesuaian untuk harga minyak tertentu (price capping). Dengan bagian pemerintah untuk bagian harga diatas price cap dapat mencapai 100 % (sebagai contoh Angola, Malaysia, Peru dan Indonesia sebelum 1978).

Pada tahun 1983 sejumlah negara memperkenalkan mekanisme production sharing tidak pada produksi harian atau komulatif tetapi berdasarkan rate of return (atas indikator lain dari keuntungan) kepada kontraktor pada waktu tertentu. Negara-negara ini adalah : Equatorial Guniea, Leberia (sharing berdasarkan rate of return), India, Libiya, Tunisia, Pantai Gading dan Azarbaijan (bagi hasil menurut R-ratio, yang kelihatannya lebih mudah di terima).

Terdapat variasi yang cukup besar pada the profit oil split (bagi hasil keuntungan minyak) antar negara-negara dan kontrak-kontrak yang berhak. Hal ini memperlihatkan perbedaan pada potensi dan biaya perminyakan yang dikeluarkan dimana biaya tergantung pada karakteristik dan lokasi dari penemuan. Kesuksesan PSC dibandingkan konsesi adalah karena lebih fleksibel untuk di negosiasikan.

Pajak Keuntungan
Pada kontrak bagi hasil di Indonesia sampai 1976 bagi hasil keuntungan minyak (profit oil split) dihitung sesudah pajak sehigga kontraktor tidak dikenakan pajak keuntungan secara eksplisit. Bagi hasilnya adalah bersih dari pajak dimana pajaknya sudah termasuk pada governmnet’s share. Walaupun demikan, kontraktor menerima bukti pembayaran pajak, sehingga dia memperhitungkan jumlahnya terhadap kewajiban pajak di negaranya, untuk menghindari pajak ganda.

Pada tahun 1976, the U.S. Internal Revenue Service (IRS) berhenti mengijinkan pajak national sebagai kredit pajak. Akibatnya atas permohonan perusahaan-perusahaan Amerika, terjadi perubahan formula pada PSC. Hal ini mengakibatkan diperkenalkannya prosedur terpisah untuk menentukan pajak pendapatan dengan menggunakan peraturan umum perpajakan untuk perusahaan komersial dan industri di neagara tuan rumah. Prosedur ini tidak berlaku untuk perusahaan-perusahaan Eropa.

Sebagai contoh, apabila bagi hasilnya antar Negara dan kontraktor adalah 70 – 30 % dan pajaknya 50 %, maka bagi hasil sebelum pajak 60 % (atau 30 % / (1 – 50 %))sehingga pendapatan pemerintah di luar pajak adalah 40 % (atau 1 – 60 %) dan pajaknya sendiri adalah 30 % (atau 50 % dari 60 %) sehingga pendapatan total pemerintah adalah 70 %.

Pembagian Produksi
Berlainan dengan pada konsesi, kontraktor hanya berhak atas bagian dari produksi sama dengan the costs oil (recoverable costs) ditambah share nya pada profit oil dan memasarkannya.


3. BENTUK KONTRAK YANG LAIN

Service Contracts (Kontrak Jasa)
Kontrak-kontrak ini dibuat oleh perusahaan-perusahaan di negara-negara produsen yang menginginkan perusahaan-perusahaan minyak untuk melakukan eksplorasi, pengembangan dan atau produksi atas nama mereka.

Service Contracts digunakan terutama di Timur Tengah dan Amerika Latin, tetapi peggunaannya tidak meluas. Terdapat dua kategori service contracts, tergantung dari derajat resiko yang di tanggung perusahaan minyak.

- Risk service contracts atau agency contracts, dimana kontraktor hanya memperoleh pengembalian biaya jika proyek menghasilkan produksi.
- Technical assistance atau cooperation contracts, dimana resiko tidak ditanggung, dengan melakukan pekerjaan atas dasar remunerasi (penggantian) yang disetujui.

Risk service contracts
Kontrak ini berlaku di negara-negara dimana minyak dinasionalisasi atau perusahaan nasional mendapatkan monopoli, seperti Argentina, Brasil, Indonesia, Irak dan Iran.

Risk service contract adalah kontrak dimana kontraktor melakukan eksplorasi hidrokarbon dengan resiko dan pengeluaran sendiri atas nama perusahaan nasinal dan mendapat pengembalain biaya yang dikeluarkan dan diremunerasi dalam bentuk tunai tergantung kepada keberhasilan eksplorasinya. Semua produksi adalah milik perusahaan nasional, walaupun kontraktor mungkin dapat membeli sebagian dari produksi tersebut atas kondisi-kondisi yang disetujui. Perbedaan utama antara risk services contract dengan production sharing contract adalah kontraktor dibayar tunai dan bukan dengan produksi hidrokarbon, sehingga dia tidak dapat memasarkannya.

Buyback contracts
Kontrak ini diberlakukan berdasarkan pada konteks khusus di Iran dimana konstitusi Iran tidak mengijinkan hak perminyakan diberikan dalam bentuk konsesi. Walaupun demikian dengan peraturan perminyakan 1987 dimana kontrak dapat dilakukan antara menteri perminyakan, perusahaan negara dari perusahaan lokal atau asing atau pribadi. Conoco melakukan perjanjian pertama Maret 1995 untuk pengembangan lapangan-lapangan Sirri A dan Sirri B, tetapi karena dibatalkan oleh pemerintah Amerika, maka proyek tersebut diambil Total pada Juli 1995.

Pada kontrak ini kontraktor mengeluarkan semua biaya kapital, mendapatkan biaya selama produksi dan memperoleh pembayaran tetap, yang dinegosiasikan sebelum kontrak ditandatangani yang tidak tergantung kepada fluktuasi harga.
Waktu kontrak dibatasi oleh dua perioda kegiatan yang singkat : perioda pengembangan yang diikuti oleh perioda cost recovery dan remunerasi (penggantian). Waktu total dari kontrak adalah 4-6 tahun. Jadwal waktu, program dan nilai pekerjaan ditetapkan pada perencanaan pengembangan yang dilampirkan pada kontrak. Operasi diawasi oleh komite pengelolaan bersama (a joint management committee) yang terdiri dari tiga wakil dari pihak terkait dan the National Iranian Oil Company (NIOC) menjadi operator jika operasi dimulai. Sebagian dari pengeluaran harus dialokasikan ke sub kontraktor lokal.

Technical Assistance Tanpa Resiko
Untuk kontrak ini kontraktor tidak menanggung resiko dan tidak mendanai proyek langsung. Dia memperoleh fee untuk jasa yang dia berikan. Fee ini dihubungkan lebih kurang kepada hasilnya. Kontrak ini biasanya untuk lapangan yang sudah produksi dan kadang-kadang untuk aktivitas pengembangan. Dana yang disediakan sepenuhnya oleh negara atau perusahaan negara dan tidak oleh kontraktor.

Contoh assistance contract diantaranya :
- Kontrak memberikan bantuan untuk memproduksi minyak yang diberikan negara-negara yang menasionalisasi industri perminyakan mereka pada tahun 70 an diantaranya Saudi Arabia, Kuwait, Qatar dan Venezuela.
- Kontrak dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan Eropa Timur kepada negara-negara berkembang sampai akhir 80 an seperti Kuba, India, Pakistan, Yunani dan Ethiopia.
- Perjanjian kerjasama untuk mengembangkan lapangan-lapangan baru atas nama perusahaan nasional, seperti di Abu Dhabi, India dan Benin.

Beberapa technical assistance contracts memberikan hak kepada kontraktor untuk membeli sebagian minyak yang diproduksikan. Kontraktor biasanya dikenai pajak (profit tax) yang berlaku di negara tersebut.

PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia
Indonesia adalah pelopor PSC. Maksud PSC adalah supaya kita bisa belajar cepat (transfer of technology) dari perusahaan asing karena mereka harus lapor kepada kita (pemerintah) setiap saat (manajemen ada di tangan pemerintah). PSC dibuat untuk kepentingan pemerintah.

Pertanyaannya apakah kontrak konsesi (Royalty and Tax) tidak berpihak kepada kepentingan pemerintah? Di Brunei, walaupun diberlakukan konsesi, 50 persen saham dimiliki oleh pemerintah (dibeli). Di Rusia diberlakukan 55 persen saham dimiliki oleh BUMN Rusia berdasarkan Undang-Undang. Sebagai contoh pada proyek Sakhalin, Shell yang tadinya memiliki saham 60 persen, sahamnya tinggal 0,6x(1-0,55) = 27 persen. Dengan demikian, maka negara tetap mengontrol kegiatan minyak dari kepemilikan sahamnya.3 Apabila kontrak konsesi mau diberlakukan di Indonesia, sebaiknya di daerah-daerah yang kontraknya habis, lalu ditawarkan kontrak baru dengan konsesi dengan catatan minimal 55% saham dimiliki nasional dan diberlakukan cost ceiling (misal 60%) karena pada konsesi control negara lebih lunak dari PSC.

PSC di Indonesia dikritik karena ketidakluwesannya. Andaikata di kontrak ditentukan bagi hasil dan FTP (First Tranche Petroleum) tertentu, maka hal tersebut berlaku dalam keadaan apapun. Di Cina bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan produksi. Makin besar produksinya maka makin besar bagian pemerintah dan cost ceiling nya. Di Malaysia bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan R/C (Revenue/Cost). Akibatnya, di Indonesia apabila ditemukan prospek yang kurang ekonomis maka sibuk menegoisasikan insentif dan kalau harga minyak tinggi orang berpikir mengenai windfall profit tax. Di Malaysia apabila cadangan (produksi), harga dan biaya berubah maka orang tidak usah pusing lagi.(3),(10)

Di Petronas disebutkan pentingnya partnership (kemitraan) dalam pengelolaan PSC. Di Petronas terdapat PMU (Petroleum Management Unit) dan Tim Studi yang memberikan saran kepada PMU. Disana apabila kontraktor butuh bantuan dibantu, tetapi apabila kontraktor tidak melakukan tugasnya secara optimal ditegur. Birokrasi dan birokrat di Petronas mendukung iklim investasi di Malaysia. (3),(10)

Cost Recovery pada Usaha Biasa / Kontrak Karya dan PSC
Keuntungan perusahaan migas baik pada Usaha Biasa atau Kontrak Karya (Konsesi) maupun PSC (Production Sharing Contract) dapat dinyatakan dengan Net Present Value (NPV):(6)


r = MARR : Minimum Attractive Rate of Return
r = biaya modal + profit margin + risks premium
t = waktu, tahun ke
n = jumlah tahun
Dimana Cash Flow (CF) dihitung dari:

Pada Usaha Biasa:
CF = R – C – GT

Pada PSC:
CF = NCS+REC-C
NCS = R – REC – GT, sehingga CF = R – REC – GT + REC – C = R – C - GT
akibatnya, apabila tidak ada Investment Credit dan DDMO (Different Price of Domestic Market Obligation) maka PSC dapat dihitung dengan rumus usaha biasa.

R = P.Q
GT = g . ES dimana: g : Government Take Rate = 0,85 untuk minyak dan 0,7 untuk gas

R : Revenue Q : Produksi
P : Harga C : Biaya
GT : Bagian Pemerintah = Penerimaan negara bukan Pajak + Pajak
: Government Take = Government Share + Tax

Mohon dibedakan antara cost (C), cost recovery (CR), recovery atau recoverable cost (REC). Biaya (C) adalah yang dikeluarkan, CR adalah yang ditagihkan, sedangkan REC adalah yang dibayarkan dengan analogi sebagai berikut:Catatan : Pendapatan bersih pada usaha biasa disebut taxable income dan pada PSC disebut Equity to be Split (ES).

C = I + OC = NC + CP
CR = NC + D + OC + UR
Apabila CR > R maka REC = R dan UR+1 = CR-REC serta ES = 0
Apabila CR < rec =" CR" 1 =" 0" es =" R-REC">

UR+1 = NC0

I = Investasi, CP = Capital, OC = Biaya Operasi, UR = Unrecovered, NC = Non Capital. D = Depresiasi

Pada PSC dan usaha biasa terdapat Cost Recovery dan Recovery. Bedanya, pada PSC karena penerimaan migas diterima dulu oleh pemerintah maka kontraktor menagih Cost Recovery pada pemerintah dan memperoleh Recovery serta Net Contractor Share. Pada usaha biasa pendapatan diterima pengusaha, sehingga dia menghitung Cost Recovery dan Recovery sendiri untuk pembayaran bagian pemerintah. Pada PSC manajemen ditangan pemerintah dan pada usaha biasa pada pengusaha.

Recoverable cost pada suatu tahun tidak mencerminkan apakah usaha tersebut hemat biaya atau tidak. Pada awal produksi, sesudah investasi yang besar, recoverable cost selalu tinggi. Apabila tidak ada royalty atau FTP (First Tranche Petroleum), bisa saja recoverable cost sama dengan pendapatan. Pada lapangan yang tidak mengeluarkan investasi lagi, dimana produksinya pasti turun, justru recoverable cost rendah karena dia hanya mengeluarkan biaya operasi. Royalty (awalnya berasal dari upeti kepada royal family atau keluarga kerajaan) adalah presentase dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemerintah. Sedangkan FTP adalah royalty yang di share (bagi) antara pemerintah dan kontraktor. Dengan royalty dan FTP pemerintah mendapat jaminan pendapatan sejak awal produksi. Untuk mengetahui suatu pengelolaan suatu daerah kontrak migas efisen atau tidak, tidak bisa diketahui dari recoverable cost tahunan. Untuk itu diperlukan POD (Plan of Development) atau paling tidak recoverable cost jangka panjang. Kondisi geografi dan geologi serta komposisi fluida reservoir yang berbeda menyebabkan lapangan yang satu bisa lebih mahal biayanya dari yang lain. Optimasi pengembangan, yaitu memaksimalkan pendapatan atau meminimumkan biaya, berdasarkan kondisi yang ada dilakukan dengan pengelolaan reservoir, teknologi dan perusahaan yang terbaik. Pengelolaan lapangan tua, lapangan marginal dan harga minyak yang tinggi menyebabkan biaya per barel lebih tinggi. Biaya produksi migas jangan hanya diperhitungkan terhadap produksi minyak saja, tetapi terhadap produksi minyak dan gas. Indikator yang perlu dilihat secara lebih komprehenship adalah R/C (Revenue to recoverable cost ratio) karena disitu diperhitungkan revenue (harga kali produksi) dan recoverable cost. Tabel 1 memperlihatkan produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas. Dari Tabel tersebut diperlihatkan bahwa produksi turun akibat penemuan cadangan yang turun. Walaupun demikian Gross Revenue dan Penerimaan Negara meningkat karena naiknya harga minyak Biaya biasanya meningkat dengan naiknya harga migas, yang penting Rasio Revenue terhadap Costs (R/C) meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 1 Produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas

Masalah cost recovery seharusnya diselesaikan antara kontraktor (yang mengusulkan) dan BP Migas (yang mengevalusi usulan). Untuk memperbaiki kualitas evaluasi diperlukan perbaikan kualitas personel kontraktor dan BP Migas baik dari profesionalitas maupun moral dan didukung dengan peraturan serta sistem komunikasi dan informasi yang baik pula.

Banyak yang menanyakan kenapa cost recovery naik sedangkan produksi minyak turun. Perlu dicatat bahwa produksi gas kita naik dan harga minyak naik. Perlu disadari peningkatan produksi dan investasi migas adalah masalah yang lebih kompleks, yang memerlukan kerjasama yang baik antara stakeholders yaitu kontraktor, BP Migas, BPH Migas, Departemen ESDM, Departemen Keuangan dan Departemen-departemen terkait lainnya, Pemerintah daerah dan Masyarakat. Selain itu juga tergantung faktor politik, ekonomi, keamanan, hukum, KKN, dll.5

Peningkatan Produksi Migas di Indonesia
Seperti usaha lain, untuk mempertahankan produksinya usaha migas perlu mempertahankan stock nya. Stock atau proven reserves (cadangan terbukti) pada migas turun dengan produksi dan naik dengan penemuan serta Improved Oil Recovery (IOR). IOR terdiri dari Enhanced Oil Recovery (EOR) maupun usaha peningkatan produksi lain. Gambar 1 memperlihatkan dinamika pengusahaan hulu migas.6 Tanda positif atau negatif diujung panah menyatakan hubungan antara dua besaran yang dihubungkan oleh panah tersebut. Sebagai contoh, jika produksi bertambah maka cadangan terbukti berkurang (hubungan negatif) dan jika terjadi penemuan, maka cadangan terbukti bertambah (hubungan positif). Cadangan yang belum ditemukan berkurang dengan adanya penemuan karena cadangan tersebut menjadi terbukti. Investasi meningkat jika potensi mendapat keuntungan meningkat. Keuntungan adalah fungsi dari produksi, harga, biaya dan pedapatan pemerintah. Teknologi berpotensi menurunkan biaya, sedangkan memelihara lingkungan baik fisik maupun sosial membutuhkan biaya.

Gambar 1 Dinamika Pengusahaan Hulu Migas

Penurunan produksi migas di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya penemuan akibat lesunya eksplorasi. Disamping diakibatkan oleh tingginya country’s risk Indonesia, lesunya eksplorasi tersebut disebabkan oleh diterapkannya bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN) impor dan pajak penghasilan (PPh) impor sejak diberlakukannya UU No. 22 / 2001. Menurut Goldman Sachs Research Institute (GSRI) 2007, Indonesia termasuk Negara yang berkatagori very high risk.10 Resiko tersebut ditentukan berdasarkan korupsi, aturan hukum, stabilitas politik, kualitas regulasi, dan indeks pembangunan manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 177/PMK.011/2007 diputuskan bahwa bea masuk ditetapkan 0% dari sebelumnya 15% dan PPN impor 10% dan PPh impor 2,5% ditanggung pemerintah, berlaku untuk migas dan panas bumi. Walaupun demikian, menurut beberapa pihak keputusan tersebut tidak permanen, sehingga seyogyanya dicantumkan dalam amandemen UU Migas. Perlu dicatat bahwa penemuan menurun tajam dari 2300 MMBOE pada 2001 dan 2002 ke sekitar 1050 MMBOE pada 2003 dan 2004 serta dibawah 500 MMBOE pada 2005 dan 2006.

Usaha peningkatan produksi dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan memproduksikan lapangan-lapangan yang terlantar dengan meminta kontraktor untuk melepaskannya (carved out) dan kemudian dioperasikan oleh perusahaan terpilih yang bersedia memproduksikannya. Hal ini sudah diakomodasi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2008. Walupun demikian keputusan tersebut akan lebih kuat apabila dicantumkan dalam amandemen UU Migas yang menyatakan bahwa apabila lapangan yang sudah ditemukan tetapi tidak dikembangakan dalam waktu tertentu (misal 5 tahun) harus dikembalikan kepada pemerintah.

Disamping itu banyak kontraktor yang kurang melakukan eksplorasi di wilayah kerjanya yang sudah produksi, akibatnya cadangan dan produksinya cepat menurun. Pemerintah perlu memberitahu kontraktor bahwa kriteria utama untuk perpanjangan kontrak adalah memproduksikan lapangan yang sudah ditemukan dan melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kerja yang sudah produksi.

Usaha lain adalah meminta kontraktor melakukan IOR, termasuk Enhanced Oil Recovery (EOR), seoptimal mungkin. Apabila dia tidak bisa melakukannya sendiri, maka dengan persetujuan pemerintah, dapat melakukan performance based contract dengan perusahaan jasa yang berniat melakukan IOR tersebut, dengan memberikan fee atau sebagian produksi hanya apabila terjadi penambahan produksi.

Produksi dapat ditingkatkan pula dengan dipercepatnya pembebasan tanah, ijin penggunaan lahan, diperbaikinya sistem birokrasi dan informasi serta kemitraan (partnership) dengan investor baik di Ditjen Migas maupun BP Migas, koordinasi yang baik antara instansi (ESDM, Keuangan, Dalam Negeri, Lingkungan Hidup, dan lain-lain) terkait, termasuk pusat dan daerah.

Permasalahan gas adalah iming-iming harga ekspor yang cukup tinggi dan belum jelasnya insentif apabila gas tersebut digunakan untuk domestik dengan harga lebih rendah. Gas lain yang bisa digunakan adalah Coal Bed Methane (CBM) yaitu gas methana yang ada dalam lapisan-lapisan batubara dimana cadangannya cukup besar. Indonesia perlu memberlakukan penerimaan pemerintah yang lebih rendah untuk CBM dibandingkan gas, karena biaya produksi CBM lebih mahal dibanding gas. Untuk pengembangan gas dan CBM perlu dipertimbangkan harga gas domestik yang menarik, misal $ 6/MSCF. Perlu disadari bahwa $ 6/MSCF gas hanya setara dengan $ 36 /BOE minyak. Lapangan gas medium dan kecil serta CBM memerlukan media transportasi berupa pipa. Pembangunan infrastruktur gas tersebut perlu ditingkatkan.

Cost Recovery versus Peningkatan Produksi Migas di Indonesia
Perlu diketahui bahwa biaya eksplorasi dan produksi migas per barel akan makin tinggi dengan:
- Penemuan di daerah yang sudah lama dikembangkan yang biasanya lapangannya makin kecil.
- Biaya produksi yang lebih mahal dengan berkurangnya produksi migas serta meningkatnya produksi air di lapangan-lapangan yang sudah lama produksi.
- Eksplorasi yang lebih mahal karena dilakukan di daerah-daerah terpencil serta laut dalam yang bisa mencapai $ 20-30 /barel.
- Biaya EOR (Enhanced Oil Recovery) yang bisa mencapai $ 20-30 /barel.

Perlu juga diketahui bahwa di tahun-tahun awal produksi dimana sunk cost mulai di-recover (peroleh kembali) maka recovery selalu besar.

Jangan sampai ketidaktahuan atas hal-hal diatas menyebabkan prasangka ketidakefisienan pengusahaan migas atau penggelembungan biaya. Walaupun, kewaspadaan terhadap penggelembungan biaya penting.

Hal lain yang perlu diketahui adalah bahwa cost recovery ada baik pada konsesi maupun PSC. Banyak orang berpikir pada PSC negara dirugikan karena ada cost recovery, sedang pada konsesi tidak ada. Pada PSC dan usaha biasa terdapat Cost Recovery dan Recovery. Bedanya, pada PSC pembagian revenue menjadi recovery, pendapatan pemerintah (government take) dan net contractor share dibicarakan dengan pemerintah. Pada konsesi pendapatan diterima pengusaha, sehingga dia menghitung Cost Recovery dan Recovery sendiri untuk pembayaran pendapatan pemerintah. Pada PSC manajemen ditangan pemerintah dan pada konsesi pada pengusaha. Malah sebetulnya pengontrolan cost recovery pada PSC adalah lebih berlapis-lapis daripada konsesi, karena pada PSC diberlakukan pre, current dan post audit sedangkan pada konsesi hanya post audit. Adalah tidak adil apabila pada Freeport diperbolehkan acara golf sebagai pengurang pajak (tax deductable) tetapi pada PSC tidak boleh di-recover.

Yang menyebabkan PSC tidak efisien adalah kalau birokrasinya berbelit-belit dan birokratnya tidak professional. Birokrasi bisa diusahakan sesederhana mungkin. Pemanfaatan computer untuk persetujuan & data base yang baik sangat membantu. Kita bisa mencontoh Malaysia atau Norwegia. Birokratnya diusahakan seprofesional mungkin (misal pernah magang di perusahaan migas multinasional dan sekolah di luar negeri). Selain itu diberlakukan bagi hasil dan cost recovery ceiling (sehingga kontraktor mau tidak mau akan berhemat) yang berbeda berdasarkan R/C sehingga kalau harga, produksi dan biaya berubah tidak perlu negosiasi (insentif atau pajak tambahan) lagi.

Peningkatan produksi migas di Indonesia dapat dilakukan dengan dimanfaatkannya lapangan-lapangan yang menganggur, diberlakukannya EOR di lapangan-lapangan yang sudah ada (Norwegia dan Cina saat ini saat ini mengenjot EOR nya) serta mengundang investor untuk eksplorasi yang di daerah-daerah yang lebih sulit (daerah terpencil dan laut dalam) sehingga mau tidak mau biayanya lebih mahal.

Manajemen yang benar adalah lebih mengutamakan peningkatan benefit, kalau perlu mengambil resiko yang diperhitungkan dan bukan hanya menghemat biaya. Manajemen di Indonesia saat ini, baik di pemerintah maupun dunia usaha, mengalami kegamangan karena banyak pengambil keputusan yang takut mengambil keputusan karena takut dikritik dan diperiksa. Napoleon Hill menyatakan untuk menghindari mengambil keputusan atau resiko atau kritik, hanya ada dua hal yang bisa dilakukan yaitu be nothing atau do nothing atau menjadi bukan siapa-siapa atau tidak melakukan apa-apa.2 Permasalahannya adalah bahwa pejabat diangkat untuk mengambil keputusan, kalau tidak kasihan stakeholder-nya. Ibarat kapal yang kaptennya tidak berbuat apa-apa, sehingga terombang-ambing. Pejabat disamping harus tahu mana yang benar dan salah, juga wajib tahu bagaimana memaksimumkan rasio manfaat-biaya dari keputusannya. Menghemat biaya tidak ada gunanya kalau mengakibatkan manfaat berkurang lebih banyak dari penghematannya. Maunya ngirit malah jadi morat-marit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Babusiaux, D., Oil and Gas Exploration and Production - Reserves, Costs, Contracts, Institut Français du Pétrole, 2004
2. Hill, N., Law of Success, Crescent News, Kuala Lumpur, 1979
3. Johnston, D., International Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, Daniel Johnston & co. Inc., New Hampshire, 2005
4. Kripalani, K., All Men Are Brothers, Life and Thoughts of Mahatma Gandhi, Navajivan Publishing House, Ahmedabad, 1960
5. PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas Investment in Indonesia, Jakarta, September 2005
6. Partowidagdo, W., Peningkatan Produksi, Investasi dan Kemampuan Nasional Hulu Migas, Seminar Migas Nasional, Majalah E&M, Jakarta, 11 Maret 2008
7. Partowidagdo, W., Manajemen dan Ekonomi Migas, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2002
8. Seba, R.D., Economics of Worldwide Petroleum Production, Oil and Gas Consultants International Publications, Tulsa, Oklahoma, 2003
9. Sutowo, I., Peranan Minyak Dalam Ketahanan Negara, Pertamina, Jakarta, 1972
10. The Goldman Sachs Group, Inc., 125 Projects to Change The World, New York, 2006

Thursday, July 17, 2008

Perbandingan Kinerja Eksplorasi

Ini lanjutan dari posting sebelumnya (cadangan migas bertambah), sekarang coba kita lihat bagaimana performance kita dibandingkan tetangga yang rada selevel. Saya pilih negara pembanding adalah: Malaysia, Vietnam, China, India dan Australia. Data yang saya olah ini sumbernya dari IHS Energy, kebetulan disini kita anggota, sehingga punya akses ke database mereka (IHS Energy).

Berikut kita lihat dulu 3 chart berikut ini:





Tentu banyak paramenter lagi yang harus diplot untuk memberi gambaran utuh aktivitas eksplorasi dan kenerjanya, seperti: berapa banyak ngebor wildcat, ngebor sumur appraisal, berapa banyak discovery, berapa banyak 2D dan 3D seismic, pembagian aktivitas & kinerja untuk onshore dan offshore. For the sake of simplicity, saya ambil 3 plot diatas saja, yang saya anggap cukup mewakili kinerja untuk tujuan perbandingan.

Data dari IHS energy paling baru sampai tahun 2006, data 2007 belum masuk. Dengan demikian, kalau kita bicara 5 tahun terakhir, maka itu maksudnya periode (2002 - 2006), sementara kalau kita bicara 10 tahun terakhir, itu maksudnya periode (1997 - 2006).

Chart 1, untuk tambahan "cadangan" (saya pakai tanda kutip, karena istilah cadangan tidak tepat juga, harus memenuhi beberapa kriteria untuk layak disebut cadangan), istilah yang lebih pas adalah "tambahan volume" (volume added). Chart 1 ini untuk liquid (dalam hal ini maksudnya: minyak). Seperti dapat kita lihat bahwa untuk 10 tahun terakhir, kita masih lebih baik dari India dan Australia, tapi kalau kita fokus ke 5 tahun terakhir, kita urutan paling bontot.

Chart 2 untuk gas, tampaknya untuk gas, nasib kita lebih baik, khususnya 10 tahun terakhir. Namun kalau fokus ke 5 tahun terakhir, ternyata tidak terlalu menggembirakan juga.

Chart terakhir menunjukkan rata rata besarnya discovery dan Success Rate dari ngebor wildcat. Kita kalah jauh sama Vietnam dan Malaysia, nasibnya mirip mirip Australia, dalam arti rata rata discovery yang ditemukan ukurannya kecil kecil. kalau dilihat dari success rate ngebor, kita hanya lebih bagus dari India.

-----------------------

Saya kira kinerja ini bisa menjadi refleksi buat kita untuk memikirkan kedepannya bagaimana. Belakangan tampaknya euforia kita masih seputaran cost recovery, mikirin gimana bikin kontrak yang nggak ada cost recovery, "nasionalisasi" dan lain lain. Kita harus juga melihat kenyataan bahwa secara statistik tambahan cadangan, kita mulai kalah kompetitif. Mari kita bikin iklim investasi yang kondusif buat investor DN dan LN, tentu iklim investasi ini maksudnya luas, termasuk government regulation, law enforcement dan teman temannya.

Saya suka dikritik teman kalau ngomong iklim investasi kondusif, dia bilang: "iklim kaya apa Ben, lu baca tuh koran isinya: pejabat, jaksa, DPR ternyata sibuk dengan urusan suap menyuap, sogok menyogok semua, realistis ajalah, jangan ngomong yang diawang awang, calon investor yang baru lihat lihat aja sudah dipalakin...!!". Denger jawabannya, saya merenung, bener juga sich.. wah pusing dah.. !!

Wednesday, July 16, 2008

Cadangan Migas Bertambah

Saya kutip dari Media Indonesia, Lintas ekonomi, 09 Juli 2008

CADANGAN minyak Indonesia diperkirakan bertambah 35 juta barel. Angka itu berdasarkan hasil eksplorasi migas sepanjang 2007. "Hasil eksplorasi 2007, menghasilkan temuan tambahan cadangan sebesar 35 juta barel minyak. Juga ditemukan cadangan gas 40 TCF (triliun kaki kubik)," ujar Deputi Perencanaan BP Migas Achmad Lutfi, kemarin.

Ia menjelaskan, temuan tersebut belum termasuk 45 juta barel minyak yang masih menjadi discovery. Sehingga, diperkirakan total tambahan cadangan minyak nasional mencapai 80 juta barel. Dalam proses eksplorasi, sepanjang 2007, dilakukan pengeboran 73 sumur. Terdiri dari 54 sumur taruhan (wild cat) dan 17 sumur deliniasi (sumur lanjutan). "Dari 54 sumur taruhan tersebut, ada sekitar 35 sumur yang sudah put on production (PoP)," tutur Lutfi. PoP merupakan produksi yang langsung dilakukan begitu sumur dibor. Ia kemudian memaparkan, tambahan cadangan minyak Indonesia berasal dari lapangan Mengopeh Selatan (Pearl Oil), RDU-A (Randegan Utara Pertamina), Kaju-1 Sumatera (Medco), Sihangat-1 (Chevron Sumatera). "Kelima lapangan ini menambah cadangan minyak 35 juta barel. Sementara tambahan 40 juta barel tambahan cadangan minyak ditemukan dari 17 sumur deliniasi," paparnya.

-------------------------------------------------
Pertama, mari bersyukur dulu ada kenaikan, tapi tentu perlu kerja lebih keras lagi supaya naiknya jadi banyak gitu. Saya teringat wawancara Pak Hilmi Panigoro di salah satu media, dia bilang: “kita butuh satu cepu per tahun”. Idealnya sich seperti itu. Namun kalau melihat trend tambahan cadang per tahun, sepertinya kok agak berat ya, apalagi kalau nggak ada terobosan yang berarti.

Berikut saya plot tambahan cadangan dari hasil eksplorasi per tahun (data ini saya peroleh dari IHS Energy), saya tidak tahu apakah sama persis dengan data di Ditjen Migas dan BPMigas. Seyogyanya sich, nggak meleset2 amat, karena IHS Energy ini konsultan kaliber international
.

Apakah cita2 Pak Hilmi (dan maunya kita juga tentunya) bisa dicapai?. Karena maunya tambahan satu cepu per tahun, tentu tergantung berapa sich cadangan cepu itu?, kalau 350 MMBBL, kelihatanya berat. Kalau dibawah itu? Ya (tetap) berat juga. Perlu terobosan dalam banyak hal: regulasi, kepastian investor, law enforcement dan lain lain.

Sayang sekali sekarang hampir semua energi komunitas orang migas terkuras mengurusi kenaikan cost recovery, seperti sering saya bahas, me-manage cost recovery penting, menangkap oknum yang mark-up wajib hukumnya. Tapi iklim investasi kondusif tetap perlu dibangun, saya khawatir kalau terlalu overlooked dengan hal itu, urusan yang penting spt kinerja eksplorasi jadi kurang optimal.

Thursday, June 19, 2008

Oilfield Project Economics

Saya dapat beberapa email (Meli, Icha, Malia dan Iwan PS) yang pertanyaan hampir mirip, menanyakan cara menghitung keekonomian proyek migas (IRR, NPV, etc), kaitannya dengan jenis kontrak migas. Ada juga yang tanya apa itu full cycle economics dan point forward economics dan bagaimana cara menghitungnya.

Pertama, seperti biasa maaf baru sempat respon, Kedua, jawabannya borongan, biar nggak ada pengulangan dari pertanyaan yang hampir sama..

Ketiga, saya bikin beberapa gambar dibawah:






Figure 1.
Kita mulai dulu dengan dua model kontrak yang utama, yaitu konsesi atau Royalty Tax (R/T) dan Production Sharing Contract. (Walaupun tidak ada contoh untuk model Service Contract, prinsip perhitungannya pada dasarnya sama, bahkan cenderung lebih sederhana).

Beda utama antara sistem R/T dan PSC seperti diperlihatkan pada Figure 1 adalah bahwa pada model R/T, tidak ada mekanisme cost recovery, jadi umumnya tidak dikenal istilah cost recovery ceiling (limit), tidak juga dikenal istilah profit oil split. Jadi, sebenarnya perhitungan untuk model konsesi atau R/T, lebih sederhana dibanding PSC yang banyak batasan batasannya.

Gambar ini menunjukkan alur secara umum, ada hal hal yang tidak terlihat, seperti: bonus, metoda yang dipakai untuk depresiasi kapital, DMO (bila ada), etc.


Figure 2
Karena PSC biasanya sedikit lebih kompleks, maka saya buatkan gambar ini. Pada umumnya dalam PSC ada royalty (tentu tidak semua PSC ada komponen royalty-nya). Umumnya Cost recovery setiap periode (tahun) dibatasi sampai ceiling (limit) tertentu, berkisar antara 30% - 80%.

Apabila ada ceiling, perlakuan terhadap Excess Cost Oil (ECO) bisa beda beda, aturan yang menjelaskan bagaimana membagi ECO ini disebutkan dalam kontrak (detail tentang ECO dan bagaimana treatment-nya, dapat dilihat pada posting saya sebelumnya disini).

Profit oil bisa dibagi dengan berbagai macam cara, ada yang fixed saja (kaya PSC standard RI), ada yang sliding scale berdasarkan parameter tertentu. Parameter tersebut bisa berupa: Production Rate, ROR, “R” Factor atau bisa juga langsung dikaitkan dengan harga minyak.

Untuk menghitung indikator keekonomian proyek, seperti IRR, NPV, etc, maka kita harus buat perhitungan duit keluar masuk (cash flow calculation). Figure 3 untuk model Royalty Tax, Figure 4 untuk model PSC.

Figure 5 Menunjukkan tahapan mulai dari Eksplorasi, Development dan Production. Untuk versi lengkap, biasanya sebelum Development, ada tahapan yang disebut tahap Appraisal atau Delineation. Setelah Production, ada juga tahap “bersih bersih”, istilah kerennya Decommissioning stage.

-------------
Dari data produksi pada Figure 5, di kombinasi dengan data cost dan tentunya harga minyak, kemudian dibuat perhitungan excelnya. Kemahiran excel disini cukup penting, apalagi untuk model yang ada cost recovery limit dan profit oil-nya terkait dengan banyak parameter. Tahap selanjutnya tinggal suruh fungsi excel menghitung berapa: IRR dan NPV dan Profit to investment, discounted payback, etc.

Pertanyaan yang penting (dari mbak Meli), apa yang dimaksud dengan full cycle economics dan point forward economics? Ceritanya begini, untuk yang full cycle, kita melihat investasi secara keseluruhan, mulai dari tahap eksplorasi sampai akhir proyek. Dalam kasus ini, titik tolak kita (tahun ke 0) adalah mulai pada saat eksplorasi dilakukan (lihat Figure 5). Jadi pada saat perhitungan parameter keeekonomian, kita tarik mundur (discounting) ke nilai pada saat tahun nol tersebut.

Sedangkan untuk yang point forward economics, melihat apakah discovery dari hasil eksplorasi mempunyai nilai komersial untuk ditindaklanjuti. Investasi (biaya) untuk eksplorasi sudah terjadi, dalam istilah akuntansi manajemen, masuk kategori “sunk cost”, tidak relevan untuk diperhitungkan lagi. Titik tolaknya (tahun ke 0) adalah pada saat tahap development (lihat Figure 5). Jadi kira kira begitu deh, lebih kurangnya mohon maaf, kalau masih nggak jelas, boleh tanya lagi kok he he. Untuk para praktisi, kalau penjelasan diatas ada yang kurang2 mohon di koreksi.