Monday, November 26, 2012

Buku: Ekonomi MIGAS


Insha'Allah mulai beredar di toko buku tanggal 17 Desember 2012, Harga Rp. 70,000,-

Thursday, November 22, 2012

Kegagalan mengurai akar masalah industri migas

Kalau kita cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi (regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi tersebut.

Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford (2011) mengkaji sejauh mana pengaruh pengaturan fungsi tersebut terhadap kinerja sektor hulu migas. Ada negara yang secara tegas memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan. Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara yang tidak secara tegas memisahkan fungsi fungsi tersebut.

Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan atau tidak, fungsi  komersial selalu dilakukan oleh Perusahaan migas milik negara (state-owned NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA, Australia, Kanada dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi karena sebelumnya sudah di privatisasi, maka fungsi komersial dilakukan oleh pihak swasta atau perusahaan minyak internasional (IOC).

Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan IOC.

Di Indonesia, fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas jelas hanya dapat dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC di negara lain.

Kecilnya bagian produksi Pertamina kemudian memberikan kesan bahwa NOC kita inferior di negeri sendiri, dalam bahasa pengamat “kedaulatan migas jatuh ke tangan asing”. Kenapa hal ini dapat terjadi?, bisa jadi selama beberapa dekade industri migas, Pemerintah sudah merasa nyaman menikmati posisi sebagai “juragan” yang hanya menerima bagi hasil dari kontraktor (IOC) tanpa mau terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar besaran di sektor migas melalui NOC (Pertamina).  

Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di semua negara produsen migas di dunia, sehingga bagian produksi NOC mereka menjadi sangat besar. Jadi disini kata kuncinya adalah investasi atau terlibat langsung, bukan dengan mengutak atik pilihan untuk memisahkan atau menggabungkan fungsi tersebut. Sejak UU 8/1971, Pertamina pernah merangkap peran komersial dan regulasi/supervisi, kenyataan menunjukkan bagian produksinya sangat kecil terhadap produksi nasional. Kenapa? karena pemerintah kelihatannya tidak berniat untuk ”investasi langsung” di sektor hulu (penerimaan hasil migas tidak di investasikan kembali  secara signifikan ke sektor hulu migas melalui Pertamina atau dikenal dengan istilah plough back). Sejak UU migas 22/2001 sebenarnya ada peningkatan bagian produksi Pertamina terhadap total produksi migas nasional, namun masih belum cukup besar.

Sejarah menunjukkan, Pertamina sudah pernah memainkan kedua peran tersebut (yang sering disebut wasit merangkap pemain melalui UU 8/1971) dan peran pemisahan (UU 22/2001). Sekarang kita akan membuat UU Migas baru (merevisi UU lama?). Percayalah permasalahan akan terulang kalau hanya bertujuan agar NOC sebagai pihak yang berkontrak langsung dengan IOC tanpa ada niat Pemerintah untuk meningkatkan investasi sektor hulu. Tentu kurang fair membandingkan dengan Petronas yang didukung penuh oleh Pemerintah untuk melakukan ekspansi di sektor hulu migas. Apabila selama ini, investasi hulu migas Pertamina didukung penuh khususnya dari aspek finansial oleh Pemerintah, saya kira kesan awam bahwa industri migas nasional “dijajah asing” tidak akan terjadi.

Terkait ribut ribut apakah kontrak Business to Business (B2B) atau Business to Government (B2G). Pada dasarnya dua hal tersebut bisa saja dilakukan. PSC di India, Oman, Yaman dan  Jordania  yang berkontrak adalah Pemerintah (Kementrian) dengan perusahaan migas internasional (B2G), di Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC (B2B), di Brazil  yang berkontrak Pemerintah (diwakili ANP yang berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G). Kontrak kesepakatan LNG Papua Nugini berlangsung antara Pemerintah dengan Perusahaan migas Esso (B2G) dan lain lain. Apakah betul negara tersebut merasa posisinya jatuh karena berkontrak langsung dengan Perusahaan asing? Apakah betul IOC tidak mau berkontrak dengan Badan pemerintah yang tidak punya aset? Apakah kalau B2B menjamin bahwa Pemerintah “kebal” dari tuntutan investor asing?.

Investor asing itu tentu saja tidak bodoh, mereka punya proteksi berlapis, tidak hanya melalui dokumen kontrak (concession agremeent maupun production sharing agreement). Katakanlah kontraknya adalah B2B, ketika ada sengketa diantara pihak yang berkontrak, disamping menuntut BUMN yang berkontrak dengan mereka, investor asing juga bisa menyeret Pemerintah yang bersangkutan ke arbitrase internasional melalui jalur lain, dalam ini Bilateral Investment Treaty (BIT). Hal ini terjadi dalam kasus ExxonMobil vs. PDVSA (NOC milik Pemerintah Venezuela), mereka berdua yang berkontrak (B2B),  namun ketika terjadi sengketa, oleh ExxonMobil, Pemerintah Venezuela pun diseret ke arbitrase internasional (ICSID, International Centre for Settlement of Investment Disputes) melalui mekanisme BIT tersebut.

Dengan demikian, tidak tepat saat ini kalau ada yang mengatakan bahwa Pemerintah akan bebas dari tuntutan ke arbitrase internasional dengan pilihan B2B. Apapun pilihannya, selama itu melibatkan investor asing, resiko ini tetap terbuka. Jangan sampai nanti masyarakat awam kecewa dan terheran heran ketika suatu saat Pemerintah dituntut oleh investor asing ke arbitrase internasional sementara bisnisnya menggunakan B2B.

Mari kita kawal agar UU Migas baru ini merupakan bagian dari solusi terhadap akar permasalahan (bukan produk trial & error), dan bukan pula hanya mendengarkan opini segelintir pengamat yang senang membungkusnya dengan embel embel “kemakmuran rakyat”.

Sunday, November 18, 2012

Kisruh Migas dan Keberpihakan Pemerintah


Industri hulu migas tidak pernah lepas dari headline media nasional belakangan ini, mulai dari isu cost recovery, pengaturan blok migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan puncaknya pembubaran BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai pelopor penggunaan Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai pada awal tahun 60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen minyak juga sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak migas yang lebih berimbang bagi negara sebagai pemilik sumber daya alam, termasuk sebagian diantaranya melakukan nasionalisasi.

PSC di Indonesia di adopsi dari sistem paron yang biasa dilakukan dalam penggarapan sawah, yang intinya berbagi hasil antara  pemilik dan penggarap dengan porsi tertentu (misal: 50% - 50%).  Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan mekanisme konsesi, namun ditambahkan hak partisipasi progresif dimana porsi bagian pemerintah (diwakili perusahaan minyak milik negara/ National oil Company/NOC) terus meningkat dengan berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai 100% seperti Saudi Aramco.

Peran NOC
Sekedar perbandingan, bagian NOC terhadap total produksi nasional untuk NOC dari negara negara anggota OPEC, seperti: Aramco (Saudi Arabia),  NIOC (Iran), KOC (Kuwait), PDVSA (Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi domestik. Sedangkan NOC dari negara non-OPEC yang menguasai 90% produksi nasional, antara lain: Pemex (Meksiko) dan Petrobras (Brazil). LNOC (Libya) dan Sonatrach (Aljazair) menguasai 80% produksi domestik. Petronas (Malaysia), NNPC (Nigeria),  ADNOC (UAE) dan CNPC (China) menguasai lebih dari separuh produksi nasional. Bahkan Sonangol (Angola) yang masih terhitung NOC yang muncul belakangan, bagiannya dari total produksi nasionalnya sudah mencapai sekitar 40%. Sementara Pertamina tidak lebih dari 25% produksi nasional.

Kalau kita melihat perspekstif sejarah, tampaknya visi dan keberpihakan negara terhadap NOC dapat dikatakan  masih minimal. Partisipasi pemerintah melalui NOC pada PSC Indonesia hanya berupa pilihan opsi untuk berpartisipasi sebesar 10%, dimana besaran tersebut tetap (tidak progresif).

PSC secara konsep adalah ide yang brilian karena mengatur bagaimana negara dan investor berbagi imbal hasil yang proporsional, sementara resiko sepenuhnya ditanggung investor. Namun demikian, dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya sejauh ini belum di optimalkan. Rupanya kita masih terpaku pada sistem paron, yang secara tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan jangan memang tidak pernah terpikirkan bahwa kelak suatu saat (seharusnya) NOC sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi kalau saat ini kontribusi Pertamina masih dibawah 25%, tentu bukan suatu yang mengherankan.

Tata Kelola Migas
Terkait dengan hubungan antara tata kelola industri migas dan kinerja sektor hulu migas, Mark Thurber  dan kawan kawan dari Universitas Stanford melakukan studi (2011) sejauh mana pengaruh pemisahan tiga fungsi (kebijakan, regulasi dan komersial) terhadap kinerja produksi migas di beberapa negara eksportir minyak. Negara yang dipilih sebagai sampel adalah: Aljazair, Brazil, Meksiko, Nigeria dan Norwegia yang  mewakili negara yang memisahkan ketiga fungsi tersebut. Sementara: Angola, Malaysia, Russia, Saudi Arabia dan Venezuela, mewakili negara yang tidak melakukan pemisahan. Kesimpulan studi menunjukkan sedikit korelasi, dimana hanya dua negara, yaitu: Norwegia dan Brazil yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa pemisahan tiga fungsi tersebut berkorelasi positif terhadap kinerja sektor hulu migas. Sebaliknya, Saudi Arabia dan Malaysia, yang tidak memisahkan ketiga fungsi diatas, ternyata juga mempunyai kinerja sektor hulu migas yang baik. Negara negara yang juga melakukan pemisahan ketiga fungsi tersebut, seperti: Nigeria dan Aljazair sejauh ini dianggap kurang berhasil karena pemisahan tersebut hanya formalitas dan banyak menghadapi tantangan internal. Sementara Meksiko berpotensi untuk melakukan perbaikan kinerja sektor hulu,  namun efektivitas pemisahan fungsi masih harus diuji mengingat fungsi regulasi (Komisi Hidrokarbon Nasional) baru dibentuk pada tahun 2008. Perlu dicatat bahwa dari sepuluh negara yang dijadikan sampel pada studi ini, semua NOC nya mempunyai  bagian yang sangat besar terhadap produksi minyak domestik mereka.

Model tata kelola dari negara lain ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran. Keinginan untuk ´´mensterilkan´´ Pemerintah dari kemungkinan tuntutan di arbitrase internasional ketika terjadi sengketa bisnis dengan tidak terlibat langsung sebagai pihak yang berkontrak perlu dikaji dengan seksama. Perkembangan belakangan menunjukkan bahwa model Business to Business (B 2 B) tidak selalu menjamin bahwa Pemerintah bisa sama sekali steril. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi sengketa antara ExxonMobil vs. PDVSA untuk salah satu blok di Venezuela dimana Pemerintah Venezuela juga dituntut oleh Exxon Mobil, padahal Pemerintah bukan pihak yang berkontrak. Perkembangan sengketa migas internasional belakangan sebaiknya di observasi sebagai bahan pertimbangan nantinya.

Gejala dan akar masalah
Salah satu penyebab maraknya berbagai isu migas ditanah air adalah kegagalan memahami perbedaan antara gejala dan akar permasalahan. Ketika isu cost recovery muncul, banyak yang serta merta menuding bahwa PSC adalah akar masalahnya sehingga harus dicari sistem atau mekanisme baru. Padahal masalah cost recovery ini tidak terjadi di industri migas di negara lain. Seandainya ada masalah mark-up dan semacamnya, yang tentu saja dapat terjadi pada model kontrak migas selain PSC (konsesi dan service contract),  bukankah oknumnya yang harus ditindak?. Kenapa memaksakan penggunaan mekanisme lain yang bisa jadi malah mengakibatkan penurunan penerimaan bagian negara (Government Take)?.

Dalam satu kesempatan workshop dalam rangka pertukaran informasi dan pengalaman dengan negara produsen migas terkait pelaksanaan kontrak migas di masing masing negara. Penulis sempat mengangkat ramainya isu cost recovery di tanah air. Para pakar ekonomi migas dari negara lain tersebut cukup heran, mereka mengatakan: ´´kami tidak ada masalah dengan cost recovery, kalau ada indikasi penggelembungan biaya dan terbukti, tentu kami kirim ke penjara´´. Sementara di tanah air, permasalahan ini dijawab dengan mencari cari model kontrak migas lain. Siapa yang menjamin tidak akan terjadi masalah yang sama?. Rupanya kita lebih memilih membakar lumbungnya ketimbang membunuh oknum tikusnya.

Kisruh migas nasional ini sebenarnya dapat dicegah seandainya keberpihakan pemerintah terhadap NOC (dalam hal ini Pertamina) terus di prioritaskan dalam rangka meningkatkan bagian produksi Pertamina terhadap produksi nasional. Ada beberapa keuntungan apabila Pertamina mempunyai partisipasi signifkan dalam suatu blok migas, antara lain: adanya jaminan pasokan energi untuk keperluan domestik dan isu cost recovery akan dapat diminimalkan. Disamping itu, meningkatnya produksi dan cadangan Pertamina akan berpengaruh terhadap posisi tawar menawar mereka di kancah bisnis hulu migas internasional. Adapun tantangan opsi ini yang paling utama adalah masalah keperluan pendanaan yang tentunya tidak sedikit.

Selama ini kisruh cost recovery antara pihak pemerintah dan perusahaan migas internasional lebih disebabkan oleh adanya informasi yang tidak berimbang (asymetric information) antara “orang dalam” (perusahaan migas internasional) dan pemerintah sebagai “orang luar”. Dengan terlibatnya NOC pada suatu blok sebagai mitra perusahaan asing, maka isu cost recovery otomatis akan berkurang karena Pertamina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah seyogyanya ikut mengawasi penggunaan biaya dari dalam (internal) sehingga diharapkan tidak ada lagi masalah “informasi yang tidak berimbang” tersebut. Mungkin hal ini pulalah yang menyebabkan kenapa isu cost recovery hampir tidak terdengar di negara produsen minyak lain di mancanegara yang juga menggunakan mekanisme PSC.

Semoga kisruh hulu migas nasional ini menjadi pembelajaran bersama dan sebagai bahan intropeksi bagi semua pihak dalam rangka menuju pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Thursday, August 23, 2012

Migas Non-Konvensional dan Geopolitik Energi di Masa Depan


Di industri migas, adanya migas non-konvensional, seperti: shale oil, oil sand, shale gas, tight sand dan coal-bed methane (gas metana batubara), sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Potensi migas  non-konvensional yang kaya organik di beberapa perusahaan migas selama ini sudah teridentifikasi namun relatif diabaikan karena sangat rendahnya permeabilitas  yang mencerminkan kesulitan untuk mengalirkan migas tersebut.

Sumber daya migas non-konvensional ini sangat besar, berbeda dengan migas konvensional, dimana keberhasilan eksplorasi menjadi salah satu kunci sukses utama. Pada migas non-konvensional karena lokasi sumber daya sudah teridentifikasi, isu utamanya adalah apakah cukup ekonomis memproduksikan akumulasi lapisan tersebut. Aplikasi teknologi perekahan (fracturing) dan pemboran horizontal yang umum digunakan pada sumur migas konvensional, merupakan terobosan dalam rangka memproduksikan akumulasi migas non-konvensional.

Di Amerika Serikat (AS), sejak tahun 2006 produksi shale gas meningkat luar biasa. Hal ini berakibat turunnya harga gas secara dramatis disana. Harga gas spot Henry-Hub, tahun 2006 mencapai 13 $ per mmbtu, saat ini “hanya”  berharga antara  2 - 3  $ per mmbtu.

Adanya “revolusi” gas non-konvensional ini sedikit banyak akan mempengaruhi geopolitik energi. Tambahan produksi gas non-konvensional pada masa yang akan datang akan berpengaruh terhadap rute perdagangan LNG global. Majalah Petroleum Economist (edisi April 2012) menulis ancaman serius shale gas dari AS akan dirasakan oleh LNG Australia yang sedang melakukan investasi besar besaran. Impor LNG dari shale gas di AS diperkirakan akan  lebih murah karena harganya mengacu kepada Henry- Hub yang merupakan harga patokan gas di Amerika Serikat. Sementara harga LNG tradisional umumnya mengacu kepada harga minyak.

Sementara untuk minyak non-konvensional, tambahan pasokan berasal dari shale/tight oil di AS dan oil sand/tar sand  di Kanada. Akibatnya, sebagaimana diperkirakan oleh pakar migas Leonardo Maugeri, produksi minyak AS dalam satu dekade kedepan akan mendekati 12 juta barel per hari, nomor dua di dunia setelah Saudi Arabia. Begitu pula dengan  Kanada,  tambahan produksi minyak akibat  kegiatan migas non-konvensional akan meningkat signifikan, mereka akan menjadi salah satu dari 5 besar produsen minyak dunia. Sementara Brazil pada dekade kedepan, melalui produksi dari wilayah Laut Dalam, produksi minyak (konvensional) mereka akan sedikit diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari produksi saat ini.

Tambahan produksi minyak dunia kedepan akan di dominasi oleh empat negara, tiga dari wilayah Amerika (AS, Kanada dan Brazil), ditambah Irak yang mewakili wilayah klasik Timur Tengah melalui tambahan produksi dari sumur sumur minyak yang di rehabilitasi akibat kerusakan pada masa perang. Meningkatnya aktivitas minyak non-konvensional di AS ini akan secara dramatis mengurangi kebutuhan impor minyak negara tersebut.

Dari beberapa seminar internasional yang dihadiri penulis satu tahun terakhir, tidak sedikit pengamat minyak internasional terkenal berpendapat bahwa implikasi dari tambahan produksi minyak non-konvensional dapat menekan harga minyak. Namun demikian, keekonomian pengembangan migas non-konvensional secara global, pada saat ini memerlukan harga minyak paling tidak sekitar 70 $ per barel. Dibawah harga ini, sebagian proyek migas non-konvensional khususnya diluar AS menjadi kurang menarik.

Sumber daya (resources) migas non-konvensional di dunia sangat melimpah, pertanyaannya: apakah kesuksesan pengembangannya di AS dan Kanada dapat dengan mudah di “copy paste” oleh negara lain? Jawabannya:  tidak, khususnya dalam jangka pendek. Kesuksesan industri migas non-konvensional di kedua negara tersebut disamping tersedianya sumber daya migas non-konvensional yang sangat besar, juga didukung oleh adanya akses terhadap sistem pipanisasi lokal, faktor jarak yang relatif dekat antara lokasi proyek dengan konsumen, ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan penyedia jasa untuk kegiatan hulu migas dan ketersediaan infrastruktur. Adanya kompetisi sesama perusahaan yang terlibat dalam pengembangan gas non-konvensional mendorong terjadinya penurunan biaya. Disamping itu di AS agak unik, berbeda dengan negara lain dimana migas merupakan kekayaan yang dikuasai negara, di AS, migas merupakan kepemilikan privat  (private ownerhip of mineral rights).  Tentu saja faktor harga gas domestik yang tinggi selama periode 2005 - 2008 juga menjadi pendorong sehingga proyek  menjadi ekonomis.

Isu lingkungan

Sejauh ini, tantangan yang dihadapi pada saat pengembangan migas non-konvensional adalah isu lingkungan. Penggunaan teknologi fracturing yang sangat intensif melalui injeksi air dan zat kimia tambahan ke dasar sumur dengan volume yang besar besaran diyakini beberapa pihak akan menyebabkan kerusakan dan kontaminasi air tanah serta masalah lingkungan lainnya. Beberapa negara khususnya di daratan Eropa sangat serius menangani isu lingkungan ini. Perancis mengeluarkan larangan kegiatan fracturing untuk eksploitasi shale gas sampai ada teknologi yang dianggap lebih akrab lingkungan. Eksploitasi minyak non-konvensional, seperti: oil sand juga menghadapi tantangan serupa, mengingat emisi karbon relatif lebih besar dihasilkan oleh minyak non-konvensional. Pada saat ini, isu lingkungan sedang dicarikan solusinya, termasuk kajian seberapa jauh kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan fracturing.

Pembelajaran

Dalam satu dekade kedepan, diperkirakan peta geopolitik energi akan berubah, salah satu faktor penyebabnya tak lain adalah revolusi pada industri migas non-konvensional. Pembelajaran apa sekiranya dapat kita petik dari negara yang diperkirakan akan memberikan tambahan pasokan minyak secara signifikan pada masa datang, seperti: Brazil dan AS.

Dari pengalaman negara tersebut, tampaknya diperlukan suatu pemicu agar suatu kebijakan energi secara umum dan terobosan peningkatan produksi migas secara khusus akan berhasil pada masa depan. Sebagai ilustrasi: kisah sukses industri migas di Brazil berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di darat tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan minyak disana. Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan secara lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak. Dalam rangka mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa yang akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan meluncurkan program bahan bakar ethanol. Pajak bahan bakar minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan menghindari pemborosan bahan bakar minyak.

Pemerintah pada saat yang sama mendorong perusahaan minyak nasional (Petrobras) untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan minyak domestik. Tahun 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas. Petrobras di privatisasi, hak monopolinya kemudian dicabut. Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan mengatur kegiatan baik hulu maupun hilir. Deregulasi ini bertujuan agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam.
 
Prinsip “bersakit sakit dahulu” ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak pada saat itu mencapai 1.2 juta barel per hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan berproduksinya lapangan lapangan baru dari lokasi laut dalam tersebut.
 
Terobosan shale gas di AS tidak terlepas dari pemicu yang membuat mereka menderita, yaitu: tingginya harga gas pada tahun 2005 serta kekhawatiran impor LNG akan terus meningkat pada saat itu. Padahal dari sisi insentif pajak, sejak tahun 1990-an sudah ada insentif untuk pengembangan migas non-konnvensional. Insentif saja rupanya tidak cukup, perlu pemicu yang membuat orang menjadi was – was sehingga “terpaksa” menjadi kreatif dengan terobosan aplikasi teknologi dan lain lain.

Belajar dari pengalaman diatas, untuk kasus di tanah air, kelihatannya sekedar himbauan penghematan dan lain lain, rasanya  akan kurang effektif. Untuk urusan kebijakan energi, bangsa ini perlu pemicu yang mungkin pada awalnya tidak terlalu nyaman. Dalam posisi yang kepepet, dorongan kreativitas dan optimalisasi sumber daya dan usulan kebijakan seharusnya bukan lagi pada tatanan wacana tetapi sudah menjadi kewajiban yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Sehingga kita tidak hanya menjadi penonton dan semakin sangat tergantung terhadap impor energi di masa depan.
 
 

Wednesday, April 11, 2012

Buku: Ekonomi Migas

Insya Allah segera terbit, sedang finalisasi sambil mencari penerbit.

Thursday, March 15, 2012

Domestic Market Obligation

Lihat rekaman Metro TV : "sarasehan anak negeri - menyelamatkan negeri auto pilot"

Bingung juga lihat pengamat kawakan migas, ternyata masih kurang paham tentang Domestic Market Obligation (DMO) di Kontrak Migas (PSC) Indonesia. Siapa tahu tulisan ini bisa memberi sedikit pencerahan...

"salam_anak_negeri"


Link tulisan saya tentang DMO di Scribd:
http://www.scribd.com/doc/85448198/DMO


Monday, January 09, 2012

Worldwide Petroleum Fiscal Regimes Development: Observations and Trends

Disela sela liburan "home leave" (7 Dec 2011 - 6 Jan 2012) kemaren, saya sempat diminta presentasi di beberapa tempat, antara lain: BPMIGAS, IATMI/ATM ITB, Pertamina Upstream dan pagi sebelum kembali ke Wina, masih sempat presentasi di Pertamina Pusat.

Ada beberapa permintaan terpaksa tidak dipenuhi karena harus berada diluar Jakarta bertemu dengan kerabat dan handai taulan.

Senang bisa bertemu dengan kolega lama, sebagian sudah jadi Boss tentunya, Lumayanlah bisa sharing informasi sekaligus silaturahmi;

Bahan presentasinya dapat dilihat disini:

Thursday, October 06, 2011

Comment on Opinion by Prasodjo et. al:Turning petro dollars back on: a game theory approach

Comment on Opinion by Prasodjo et. al:



“Turning petro dollars back on: a game theory approach


http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/04/turning-petro-dollars-back-a-game-theory-approach.html

I appreciate the opinion written by Prasodjo et. al on October 4, 2011 (link above), in general, the opinion is interesting, however, I would like to share some critical comments.

My understanding from your opinion is that the royalty (and tax) system is better than the Production Sharing Contract (PSC), in the view of game theory. It seems that it is mainly caused by the cost recovery issue.

It is not true to divide the component of PSC simply into two categories: cost oil and profit oil. In most PSC (Including Indonesian PSC), there are three categories, First Tranche Petroleum or FTP (which is similar to royalty in other PSC model, please note that many PSC systems also apply royalty), profit oil and tax. While, in the Royalty tax system, the government only receive two types of payment, namely: Royalty and tax. Therefore, it is obvious that in the royalty and tax system, the government will not get a share of profit (profit oil).

In my opinion the conclusion of the opinion is vague simply due to misunderstanding in seeing what is cost recovery. This simple illustration below hopefully clarify:

Let’s assume that I and a friend open a business venture, let say “fried banana” with fifty : fifty scheme, if the cost of fried banana is 100, while the selling price is 150, then we will make a profit of 50. Each of us will get 25. How about 100?. This will also return to us (in the language of the PSC, we conducted a "cost recovery"). Of course, it is not make any sense if we are each investing 50, in the end, we only have the right to claim 25. This is not business, but community service.

The simple illustration above shows that in any type of business, there must be a "cost recovery". The difference is that, for non-PSC business, we can immediately claim such costs from revenue (such as illustration of "fried banana" above). Meanwhile for PSC business, we can not directly claim cost that we have spent, because it first must go through government for approval.

In general, the main goals of business are seeking a profit, not only recover the cost. If this is the case (only recover the cost), it is clearly better to put the money in the bank and earn interest. In oil industry, there is a time lag between expenditure and resulting revenue (could be 5-7 years from the money that we spent at the exploration stage, until the first production, of course if there is discovery). In addition, there is no interest earned from cost recovery. Therefore, it is misguided (and a bit funny) if anyone thinks that the oil companies aim is only looking for cost recovery.

If the oil company use the royalty tax system, they can simply deduct their cost from their revenue. It is worthy to note that the main idea behind the birth of PSC is the “government control”. In the royalty tax system, the government control’s will be minimized, it is difficult to understand the hypothesis mention that the oil company will be more cost efficient if they operate using royalty tax than PSC. To the best of my knowledge, there is no single paper/study support that hypothesis.

Let’s have another illustration: as we know, BP has many upstream operations around the world, with many types of contract: some are PSCs, other Royalty/taxes or may be service contract. I doubt if BP management treat their cost policy differently simply because one use PSC and other use Royalty/tax. In other words, it is ridiculous if BP instruct not to aware about cost with the PSC system since it has cost recovery mechanism. Because they know, the higher the cost the lower their share of profit oil.

In Indonesia, the concept of royalty/taxes is nearly similar to what we have used in the mining sector, how do we know that the companies in this sector conduct better cost efficiency?. In fact, since there is less supervision in the royalty/tax system than PSC, the possibility to do “unnecessary investment” may be higher, this will have an impact to lower taxable income, in the end, government will receive lower taxes.

Although, mathematically, it is always possible to design the same level of government take for both PSC and royalty/tax, in the case that the objective is to have higher government take, then it can achieved easier using PSC.

Any model has shortcoming, PSC is not an exclusion; it is not necessary means that replacing PSC with the new models automatically solves the problem. I am a bit concerned with the statement made by some observers that we are unable to manage the cost recovery so that we have to find other models without dealing with this (cost recovery) mechanism. The fact that there are unique risks and rewards in oil and gas industry, the end result of the new model that is introduced may produce less government share compare to the existing PSC model.

The issue of adopting a new model is also a hot issue in Brazil. Differ from Indonesia, the Brazilian government proposes to switch to production sharing contract (PSC) instead of its current system (royalty/tax) for potentially world-class discoveries in Santos pre-salt basin. Santos pre-salt basin is very important for Brazil oil industry, these projects will bring Brazil from net oil importing to a net oil exporting country.

Worldwide trends for the last decade show that terms and conditions in oil gas contracts are becoming more sophisticated, in the context of project economics, whatever the model selected, it may be the best from the perspective of the country (of course, one country may adopt some type of models depending upon the geological and other factors). For example, in Russia, majority of their contract models are royalty taxes with greater state participation for their national oil companies, surely this will provide the bigger share of profit to the country as a whole. My observation shows that the royalty taxes is only effective if the National Oil Company (NOC) involved in the block with significant share. If there no involvement of NOC or NOC has only minor share, The PSC is more effective as a tool to capture the economic rent.

Let me conclude my comment, the selection of model contract should be considered on case by base basis since there is a diversity of project risks (deepwater, mature field, marginal field, EOR project, new blocks offered, etc), therefore: a one-size-fits-all model does not exist.



*) Disclaimer: The views presented in this comment represent my personal views

Wednesday, August 24, 2011

Pajak Perusahaan Migas dan Traktat Pajak – Kenapa Ribut?

Beberapa bulan yang lalu, kita melihat di mass media isu mengenai masalah pembayaran pajak perusahaan minyak. Karena masalah pajak sendiri mungkin bermacam macam, maka dalam tulisan ini, kita fokuskan saja tinjauan yang ada kaitannya dengan ketidaksepahaman (dispute) mengenai “Branch Profit Tax” atau “pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR)” akibat adanya Tax treaty (Traktat pajak).

Berita di mass media, saya kira tidak saja membingungkan bagi orang awam, buat orang migas dan pajak pun kelihatan sama sama bingung. Mari kita kutip berita yang simpang siur:

Harian Kontan (3 Agustus 2011) – “Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, mengatakan,porsi bagi hasil yang benar-benar diterima pemerintah hanya sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah pemerintah berkurang karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) yang mengatur pajak bunga dividen dan royalti (PBDR) yang diteken Pemerintah Indonesia dengan negara asal perusahaan migas asing. Di dalam perjanjian tersebut, tarif PBDR lebih kecil dari yang berlaku di Indonesia yakni sebesar 20%. Perjanjian dengan negara-negara yang menganut hukum Inggris, misalnya, tarifnya cuma sebesar 10% dan Malaysia 12,5%”.

Harian Kontan ( 22 Agustus 2011) - Menurut IPA (Indonesian Petroleum Association), bagi hasil sebesar 85%:15% tidak pernah ada di dalam kontrak yang disebut production sharing contract (PSC) antara pemerintah dan kontraktor migas.

"Selama ini persepsi 85%:15% salah, bagi basil itu sudah tidak ada lagi. Pembagian tersebut berlaku pada tahun 1978. Sedangkan sekarang, kontrak yang berlaku adalah yang mencantumkan split gross sebelum pajak," kata Vice President IPA Sammy Hamzah, Jumat (19/8). Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil antara penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP Migas mewakili pemerintah dan 28, 8462% untuk kontraktor migas.

IPA menyatakan, tidak ada aturan yang dilanggar oleh kontraktor, dari sisi perundangan-undangan pajak maupun ketentuan kontrak kerjasama"Seharusnya penerapan tarif pajak di dalam treaty oleh kontraktor juga dihormati," ajar Hamzah

Wajar saja bapak bapak diatas membela institusi dan organisasi masing masing, sekarang mari kita lihat bagaimana cerita ini, dari mana (dan apa benar?) angka angka yang dirilis diatas.

Latar belakang PSC Indonesia.

Prinsip PSC generasi pertama (1966 – 1975) adalah :

1. Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun.

2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% bagian Pemerintah sudah termasuk pajak Kontraktor).

3. Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel.

Pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas pengaturannya, bagian Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Perubahan PSC term menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan tersebut adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia oleh kantor pajak negara asal, dengan demikian “tax credit” Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh karena itu PSC term perlu dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam rangka memanfaatkan fasilitas “tax credit” di negara asalnya.

Perubahan yang dilakukan pada PSC generasi kedua (1976 – 1988) ini adalah sebagai berikut :

1. Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).

2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas).

3. Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).

4. Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).

5. Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi.

6. Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double Declining Balance (DDB).

Anjloknya harga minyak menjadi masalah bagi Pemerintah mengingat minyak menyumbang kontribusi besar bagi APBN. Untuk lapangan lapangan yang sudah mulai menurun produksinya, minyak yang akan dibagi sudah tinggal sedikit, dengan tidak dibatasinya Cost Recovery, bisa jadi sudah tidak ada lagi minyak yang dibagi, hal ini bertentangan dengan semangat berbagi produksi (production sharing) itu sendiri.

Perlunya jaminan pendapatan bagi Pemerintah melandasi lahirnya PSC generasi 3 (PSC generasi 3 dimulai sejak 1988). Untuk itulah pada PSC generasi 3 diperkenalkan istilah First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor.

Perpajakan PSC Indonesia

Besarnya tingkat pajak perusahaan (Corporate tax) terus mengalami perubahan (lihat Tabel-1 dibawah). Branch profit tax atau PDBR besarnya 20%, untuk menghitung PDBR = 20% x (1-corporate tax). Total Tax = Corporate tax + PDBR (Tabel -1)

Tabel -1

Sejak PSC generasi kedua, supaya tidak menimbulkan masalah pajak bagi kontraktor, maka bagian pemerintah yang 85% sudah termasuk pajak (after tax). Untuk mengetahui berapa besar keuntungan sebelum pajak (before tax) bagi kontraktor, maka dilakukan perhitungan “gross up”, yang mana: before tax = after tax/ (1 – total tax). Angka angka (before tax) inilah yang kemudian muncul didalam kontrak PSC.

Tabel 2
 
Apa yang terjadi dengan adanya Tax treaty yang ternyata lebih rendah dari 20%, misalnya UK = 10%, maka tentu saja PDBR akan turun, begitu pula total tax-nya (Tabel 3)
Tabel 3
 
Sekarang mari kita lihat komentar bapak bapak diatas:


Dirjen Pajak: “..hasil yang benar-benar diterima pemerintah hanya sekitar 79%. Sekitar 6% hingga 6,5% jatah pemerintah berkurang karena ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty..)”

Disini kelihatannya beliau mengacu ke PSC (1985-1994), yang mana PDBR turun sebesar 6.5% (Tabel 3). Namun yang membingungkan adalah ketika beliau menyimpulkan bahwa bagian yang benar benar diterima pemerintah “hanya” sebesar 79% (kelihatannya ini pengurangan: 85% - 6.5% = 78.5%).

Menurut saya ini tidak benar: angka 85% diperoleh dari: share government before tax + (total tax x contractor before tax).

Jadi untuk PSC (1985 – 1994) : 71.1538% + (48% x 28.8462%) = 85%

Perhitungan yang sama apabila PDBR = 10%, dimana total tax = 41.5% (lihat Tabel 3)

Jadi: 71.1538% + (41.5% x 28.8462%) = 83.1%

Dengan demikian, total “bagi hasil” pemerintah turun dari dari 85% menjadi 83.1%, bukan 78.5%

Bagaimana pula komentar IPA

IPA: “…Berdasarkan perjanjian yang tertera di PSC, bagi basil antara penterintah dan kontraktor migas ialah 71,1538 % untuk BP Migas mewakili pemerintah dan 28,8462% untuk kontraktor migas..”.

Sama dengan Dirjen pajak, disini IPA mengacu ke PSC (1985 – 1994), memang betul bahwa di kontrak hanya disebutkan “before tax split” yang angkanya sebesar diatas (hal ini berlaku sejak PSC generasi kedua untuk mengakomodasi masalah perpajakan kontraktor). Tapi anehnya, IPA terkesan mengangap bahwa angka angka aneh tersebut (71.1538%) dan (28.8462%) seolah olah berasal dari langit. Padahal angka angka itu ada asal muasalnya, yaitu: perhitungan “Gross-up” dengan asumsi corporate tax 35% dan PDBR 20% (lihat Tabel 2).

Kalau seandainya ada tax treaty yang mengatakan PDBR kurang dari 20% (misal seperti dengan UK = 10%), konsekuensinya, perhitungan “gross up” mesti diubah seperti Tabel 4, berikut:

Tabel 4

Silahkan saja menggunakan Tax treaty lebih rendah dari 20%, tapi bagian kontraktor sebelum pajak pun harus di-“adjust” untuk mempertahankan angka keramat 85% : 15%. Dalam hal ini, untuk KKKS tersebut (kasus PSC 1985- 1994), seharusnya bagiannya bukan 28.8462% tetapi diturunkan menjadi 25.6410%. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka “kontrak bagi hasil” nya selama ini bukanlah 85:15, melainkan 83:17.

Friday, June 17, 2011

Iran - Buy Back Contract


Didalam model kontrak perminyakan dunia, salah satu contoh model service contract yang cukup terkenal adalah apa yang dikenal dengan Iran Buyback Contract. Saat ini model buyback adalah satu satunya model yang tersedia bagi perusahaan minyak yang mau investasi di Iran. Untuk model PSC, sementara ini belum akan digunakan, kalaupun ada wacana kesana, hanya akan diberlakukan untuk daerah daerah di perbatasan Iran.

Bagaimana mekanisme model buyback?
Buyback itu sebenarnya tidak lain adalah mekanisme cost plus, dimana biaya biaya aktual ditambah dengan fee akan dibayarkan ke Kontraktor dari produksi yang dihasilkan. Kewajiban Kontraktor adalah mempersiapkan dan membiayai rencana pengembangan lapangan termasuk eksekusinya. Apabila tahapan pengembangan tersebut telah selesai dan siap dioperasikan, maka selanjutnya diserahkan ke perusahaan nasional Iran (NIOC).

Mekanisme detilnya adalah sebagai berikut:
  • Kontraktor menyediakan biaya investasi kapital yang diperlukan untuk membiayai proyek pengembangan lapangan sesuai dengan Master Development Plan (MDP)
  • Setelah pekerjaan pembangunan sarana dan fasilitas produksi selesai (siap diproduksikan), maka terjadi serah terima (hand-over) dari Kontraktor ke NIOC, yang mana NIOC ini selanjutnya akan menjadi operator.
  • Biaya biaya yang telah dikeluarkan Kontraktor ditambah “bank charges” sebesar LIBOR plus akan dibayarkan dari bagian produksi.
  • Kontraktor akan memperoleh remuneration fee (yang telah disetujui pada awal kontrak), besarnya fee ini dihitung dari ROR yang diinginkan, umumnya ROR berkisar 15% – 20%. Fee ini  dibayarkan bersama dengan pengembalian biaya (cost recovery).
  • Cost recovery dan fee ini dibayarkan oleh NIOC selama periode tertentu, sekitar 5-7 tahun mulai dari awal produksi. Pembayaran biasanya dibatasi sampai 60-65% dari total produksi per tahun.

Model buy back ini pada awalnya hanya untuk proyek pengembangan (Development Phase), dalam hal ini tahap eksplorasi telah dilakukan sebelumnya oleh NIOC, dengan demikian, secara teoritis, resiko tidak ditemukan minyak (dry hole) hampir tidak ada. Dalam perjalanannya, diperkenalkan juga model buyback yang mulai dari tahap eksplorasi.

Untuk model yang mulai dari tahap eksplorasi, apabila terjadi “commercial discovery”, maka Kontraktor harus bernegosiasi lagi dengan NIOC mengenai term & kondisi untuk tahap berikutnya (development phase). Kontraktor yang menemukan ini akan diprioritaskan untuk pengembangan. Kalau seandainya tidak ada kecocokan term & kondisi dengan NIOC, maka Kontraktor akan memperoleh pengembalian biaya biaya eksplorasinya ditambah dengan  reward.

Bagaimana kalau dibandingkan dengan PSC?
Tentu banyak bedanya, pertama, dari periode produksi, pola PSC rata rata mencapai 15-20 tahun (biasanya ada opsi perpanjangan sebelum kontrak berakhir), sementara model Iran buyback – pengembalian cost recovery dan fee dibatasi selama 5-7 tahun.

Dari sisi resiko bagi Kontraktor, model buyback standard jelas lebih kecil resikonya, karena sudah ada commercial discovery. Dari sisi pembukuan cadangan (booking reserves), sebagaimana model service contract lainnya, maka Kontractor tidak bisa membukukan cadangan. Karena adanya keterbatasan tersebut (periode, fixed return, tidak ada insentif apabila ternyata kinerjanya melampaui perkiraan, tidak bika membukukan cadangan), maka buyback ini agak kurang populer bagi Kontraktor.

Awal bulan Februari 2007, NIOC mengadakan konferensi dan presentasi di Wina, Austria, mengenai modifikasi paling anyar dari model Iran buyback – sekaligus memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mempromosikan beberapa block yang akan ditawarkan. Perubahan penting itu adalah bahwa Kontraktor bisa terlibat dari eksplorasi sampai produksi (full-cycle), periode produksi diperpanjang jadi 20 tahun, ada mekanisme untuk perhitungan project costing supaya lebih akurat dan fleksibel, ada komite bersama antara kontraktor dan NIOC sehingga setelah "serah terima" - Kontraktor masih dilibatkan untuk urusan operasionalnya dan ada skema penalti & reward sebagai insentif untuk mengoptimalkan produksi. Buat Kontraktor, ternyata perubahan ini dirasakan masih kurang, menarik menyimak komentar Ali Ghezelbash, independent oil analyst, "It's a small step in the right direction, but companies will always want more," (“ini suatu langkah kecil yang tepat, namun demikian perusahaan minyak tentu selalu berharap lebih banyak”).  Dia menambahkan. "We weren't expecting a revolution. But at least they are modifying the contracts." (Kami tidak mengharapkan langkah yang revolusioner, tetapi paling tidak mereka mulai memodifikasi kontrak).

Tuesday, May 31, 2011

Bolivia - Asal Muasal Angka 82%

Ketika Evo Morales melakukan gebrakan “nasionalisasi”, banyak media massa baik asing maupun lokal menyoroti gebrakan ini, yang menarik adalah munculnya angka 82%, namun tidak dijelaskan secara rinci dari mana asal usul angka tersebut. Sehingga wajar kalau kemudian banyak yang membandingkan angka 82% dari total pendapatan untuk Bolivia ini dengan term dan kondisi PSC di tanah air.
 
Bolivia, melalui UU migas mereka yang baru (UU hidrokarbon, 2005), menetapkan bahwa royalti naik menjadi 18% dan Direct Tax on Hydrocarbon (DTH) sebesar 32%, dengan demikian totalnya menjadi 50% dari value of production hydrocarbon. Untuk lapangan yang besar, ditambah partisipasi pemerintah sebesar 32% sehingga total menjadi 82%. Dari sinilah angka tersebut diperoleh.

Membandingkan dengan kondisi PSC Indonesia, yang pembagiannya 85% : 15%, tentu tidak “apple to apple”. 85% PSC RI adalah Government Take (persentasi dari profit setelah pembayaran pajak). Karena 85% tersebut adalah dari keuntungan bersih, apabila dihitung dari pendapatan total (gross revenue), tentu persentasinya tidak sebesar itu, masih jauh dibawah Bolivia yang sebesar 82%.

Pembagian model Bolivia ini memang luar biasa tingginya buat negara. Pertanyaannya: kenapa perusahaan minyak disana terpaksa setuju juga dengan terms yang “luar biasa” tinggi ini?, jawabnya sederhana: karena mereka sudah tahu persis struktur biayanya, sehingga mereka hanya mengeluarkan untuk biaya produksi saja, tidak perlu melakukan investasi kapital lagi. Misalkan biaya produksi sebesar 10% dari pendapatan total, maka perusahaan masih memperoleh keuntungan sebesar 8.32%*) dari pendapatan total. Kalau mereka tahu biaya produksi lebih besar dari 18% pendapatan kotor, tanpa diusirpun, perusahaan minyak akan kabur sendiri, tidak mau mereka kerja bakti.

Perlu dipahami disini, model 82% ala Morales ini berlaku untuk lapangan besar yang sedang berproduksi, dengan demikian tidak ada sama sekali resiko eksplorasi, apabila Morales menawarkan konsep ini utuk blok baru yang belum pernah di eksplorasi, tentu tidak akan ada satupun investor yang berminat. Mana ada investor nekat, melakukan pemboran eksplorasi yang belum ketahuan hasilnya, kalaupun nanti kelak ditemukan cadangan komersial, akses ke pendapatan total dibatasi hanya maksimum 18% termasuk biaya. Investor akan berpikir ulang, kapan biaya investasi meraka akan kembali.

Sementara model PSC RI dengan pembagian 8%:15% itu untuk aktivitas yang “full cycle”, mulai dari eksplorasi sampai produksi, kalau membandingkan model full-cycle ini dengan negara lain, menurut saya, bagian pemerintah dari keuntungan setelah pajak tersebut sudah cukup fair. Untuk kondisi tertentu, pembagian “split” - nya turun menjadi (80:20, 75:25, 70:30, etc) tergantung lokasi dan resikonya. Sebenarnya apa yang terjadi di Bolivia dan beberapa negara Amerika Latin lainnya tidak terlepas dari adanya kontrak yang tidak berimbang (unfair contract) yang dibuat pada masa lalu.

---
*)Ilustrasi: maksimum bagian perusahaan adalah 18%, dikurangi 10% biaya (dari total biaya tersebut diasumsikan ada kontribusi pemeritah sebesar 32%, sebagai akibat partisipasi pemerintah sebesar 32%).


Saturday, May 28, 2011

Venezuela - Migrasi Kontrak

Penulis pertama kali mendengar mengenai perkembangan kontrak migas di Venezuela ketika menghadiri Seminar Energi di St. Catherine College, Oxford, UK, September 2006. Seminar tersebut berlangsung intensif selama 2 minggu dengan undangan yang terbatas. Kebetulan salah satu sesi diisi oleh Dr. Juan Carlos Boue, staff ahli Menteri Venezuela, dia menggantikan pakar yang telah lama malang melintang di industri miigas, yang juga tangan kanan menteri perminyakan Venezuela, Dr. Bernard Mommer yang berhalangan hadir. Judul presentasinyanya "the role of private investment in Venezuela's upstream oil". Dr. Boue ini relatif masih muda, warga negara Meksiko, lulusan oxford. Presentasinya bagus, runtun, dia memulai dengan sejarah industri hulu di Venezuela, mulai masuknya kontraktor asing dalam bentuk service contract dan assosiasi sekitar tahun 1990.

Inti yang mau disampaikan dari presentasi ini adalah bahwa telah terjadi interpretasi yang kreatif oleh perusahaan minyak nasional mereka (PDVSA) yang telah menguntungkan PDVSA dan kontraktornya (perusahaan minyak asing) sehingga negara dirugikan. Bagaimana royalti dan pajak yang mestinya dibayar sekian persen menurut undang undang, di-interpretasikan lain, sehingga royalti dan pajak yang harus dibayar oleh kontraktor jauh lebih rendah. Setelah era Chavez, kondisi ini diperbaiki, kongkalikong di internal PDVSA dibongkar, tetapi saat itu PDVSA sudah terlanjur kuat, malah sempat mencoba melakukan kudeta dan pemogokan kerja sebanyak dua kali (Desember 2002 dan Januari 2003). Sulit membayangkan bagaimana perusahaan saking kuatnya berani melakukan pemogokan dalam upaya penggulingan presiden. Kudeta PDVSA yang gagal ini berakibat 40% dari pekerja PDVSA keluar, sebagian besar dari mereka adalah eksekutif dan pekerja di level yang cukup tinggi.

Diceritakan bahwa salah satu interpretasi “kreatif” ini adalah pembayaran pajak, tingkat pajak pada era dimana semua kebijakan ditangan PDVSA (1976-1998) diturunkan dari 67.7% (1967) menjadi 34% (1993), tingkat pajak 34% ini sebenarnya berlaku juga untuk industri non migas. Perusahaan minyak asing karena merasa hanya sebagai “kontraktor” PDVSA seolah olah menganggap bahwa mereka bukanlah perusahaan minyak sehingga berhak untuk membayar pajak yang lebih rendah (34%). Seorang pejabat Venezuela dalam satu Workshop sempat berkomentar mengenai hal ini: “Bagaimana mungkin pajak untuk suatu perusahaan minyak, disamakan dengan tingkat pajak untuk perusahaan roti?”

Setelah 1999, kebijakan kembali ketangan Pemerintah dibawah koordinasi “Ministry of the People’s Power for Energy and Petroleum, yang disana disebut “MENPET”. Di era MENPET, kebijkan industri hulu migas dikembalikan ke jalur yang semestinya, royalti dan pajak dibayar sesuai undang undang, disamping itu kontraktor harus ikut program migrasi, bentuknya perusahaan harus berubah menjadi "mix enterprises", kontraktor tentu banyak banyak yang memprotes keputusan ini. Namun demikian, sebagian besar menerima proses migrasi tersebut, kecuali dua perusahaan: ConocoPhillips dan ExxonMobil, yang membawa masalah ini ke ranah hukum dengan mengajukan arbitrase, ConocoPhillips belakangan cukup melunak dalam rangka negosiasi mencari penyelesaian, namun tidak demikian dengan ExxonMobil yang tetap memilih jalur arbitrase, dalam istilah Dr. Momer, ExxonMobil lebih memilih “Legal war” terhadap pemerintah Venezuela.

UU migas yang terbaru di Venezeula adalah UU hidrokarbon tahun 2002. Inti daripada UU ini adalah bahwa semua kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengumpulan (gathering), transportasi dan tangki penimbun (storage) hanya boleh dilakukan oleh perusahaan negara atau dalam bentuk “mixed company” dimana partisipasi negara harus lebih besar dari 50%. Disamping itu perusahaan dikenakan pajak pendapatan sebesar 50% (sebelumnya hanya 34%).
 
Untuk model asosiasi yang saat ini sedang berjalan, dikeluarkan aturan khusus (Migration Law/2005) mengenai kewajban untuk melakukan migrasi kontrak, semua kontrak harus berubah menjadi perusahaan baru dalam bentuk “mixed company” dimana PDVSA disyaratkan mempunyai share minimum sebesar 60%. Minimum share atau partisipasi negara ini lebih besar dari UU 2002 yang mensyaratkan 50% untuk semua kegiatan. Di dalam Migration law secara spesifik disebut angka minimum 60% untuk proyek proyek yang diwajiban melakukan migrasi.

Apakah gebrakan “nasionalisasi” di Venezuela memberi indikasi bahwa mereka anti perusahaan asing?. Menarik apa yang dikatakan salah seorang pejabat migas mereka; bahwa pada dasarnya kami tidak anti perusahaan atau kontraktor asing, “we are welcome to the foreign companies to invest, but not at any price!" bahwa investor juga harus menghormati kedaulatan terhadap cadangan minyak mereka.