Saturday, November 18, 2006

Guidelines for Comment

Dari website SPE (Society of Petroleum Engineers) – sebagaimana kita ketahui, SPE (bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya, seperti: WPC, AAPG dan SPEE) saat ini sedang membuat draft revisi untuk Reserves/Resources guideline, revisi ini dilakukan sehuhungan dengan perkembangan teknologi yang lebih canggih dan isu isu yang menyangkut aspek aspek komersial. Proposed 2007 draft –nya dapat dilihat disini.

Sekarang mereka minta masukkan sebelum di finalisasi jadi guideline. Kita tahu persis bahwa reserves/resources ini sesuatu yang vital bagi oil and gas company, jadi ada baiknya kita baca (paling nggak selintas-lah) draft tersebut. Saya tentunya tidak akan meng-cover aspek teknis metoda forecasting reservesnya – serahkan pada rekan rekan kita, geologist and petroleum engineers. Saya lebih focus ke masalah kaitan antara kontrak perminyakan dengan pengakuan cadangannya (reserves recognition).

Sekarang coba kita baca dan komentari - yang saya copy-paste dari website SPE (pake italic font):

PSC Reserves:
Production-Sharing Contracts (PSCs) of various types replace conventional royalty-based systems in many countries. Under the PSC terms, the producers have an entitlement to a portion of the production. This entitlement, often referred to as “net entitlement” or “net economic interest,” is estimated using a formula (based on contract terms) incorporating project costs (cost oil) and project profits (profit oil). Although ownership of the production invariably remains with the government authority, the producers may claim their share of the net entitlement as Reserves.

Jadi dapat kita lihat disini, dalam sistem PSC, ada juga yang namanya transfer of ownership, yang penting itu dimana terjadinya transfer of ownership itu (umumnya sich untuk PSC transfer of ownership terjadi di point of export – bedanya dengan sistem royalty tax dimana transfer of ownership terjadi di wellhead).

Risked-Service Contracts (RSCs) are similar to PSCs, but in this case, the producers are paid in cash rather than in production. As with PSCs, the Reserves claimed are based on the parties’ share of the net entitlement or net economic interest. Care needs to be taken to distinguish between an RSC and a “Pure Service Contract.”

Reserves can be claimed in an RSC on the basis that the producers are exposed to market risk, whereas no Reserves can be claimed for Pure Service Contracts because there are no market risks and the producers act as contractors
.

Jadi bedanya PSC dengan RSC cuma pembayarannya doang, RSC pake cash PSC pake production. RSC bisa juga klaim reserves. Ini masalahnya, service contract itu umumnya emang “pure” service contract bukan RSC - jadi nggak boleh booking reserves, kalau service contract bisa booking reserves, maka dia masuk golongan RSC (tapi RSC ini relatif jarang – banyakan yang pure).

".. the cost recovery system in production-sharing, risk service, and other related contracts typically reduce the production share, and, hence, Reserves obtained by a contactor in periods of high price and increase volumes in periods of low price”

 

Cukup jelas nggak maksudnya?, jadi gini: cost yang dikeluarkan itu berupa uang (dolar), sementara produksi itu khan dalam volume (barrel), jadi pada saat mau bayar cost recovery, harus di konversi dulu cost tadi kedalam volume (barrel), caranya ? bagi aja dengan harga minyaknya – jadi kalau pas harga minyak tinggi, cost recovery (dalam barrel) lebih kecil, sebaliknya kalau harga minyak rendah, cost recovery dalam barel jadi naik. Cost recovery ini khan masuk bagian dari entitlement kontraktor – ya reserves kalau di report-nya contractor.

Sekarang kita lihat sub bab mengenai contract extensions:

As production-sharing or other types of agreements approach maturity, they can be extended by negotiation for contract extensions, by the exercise of options to extend, or by other means. Reserves should not be claimed for those volumes that will be produced beyond the end date of the current agreement unless there is reasonable certainty that an extension will be granted.

Such reasonable certainty may be based on the historical treatment of similar agreements by the license-issuing jurisdiction. Where doubt exists regarding a renewal being granted, forecast production beyond the contact term should be categorized as Contingent Resources with an associated reduced chance of commercialization. Moreover, it may not be reasonable to assume that the fiscal terms in a negotiated extension will be similar to existing terms.

Jadi kontraktor nggak boleh klaim reserves melewati masa kontraknya, kecuali kontraknya udah diperpanjang (resmi) sama government. Yang menarik, kalau masih nggak jelas diperpanjang atau nggak – “remaining reserves” itu masuk kategori “contingent resources”. Lihat kalimat terakhir: umumnya fiscal terms berubah pada saat extention – in favour of host country, kalau sama aja? Itu artinya gov. negotiatornya kurang canggih…


Masih banyak lagi yang di cover sama draft guideline ini, silahkan baca sendiri – dan kalau bisa kasih masukkan, siapa tahu Anda pernah ada case tertentu – justru yang diharapkan tuh masukkan praktisi, yang sehari harinya bergelut dengan hal hal terkait reserves/resources, kontrak dan ujung2 komersial – Guideline SPE (dan WPC, AAPG, SPEE) seperti biasa (nantinya) jadi semacam “pegangan” pelaku migas – very credible!.

Friday, November 17, 2006

Akuntansi Perminyakan

Sekarang kita singgung dikit mengenai aspek akuntansi perminyakan, perlu buat orang yang non-akuntan kerja di sektor migas atau yang akuntan tapi pingin tahu migas. Paling nggak tahulah kalau denger2 istilah akuntansi tanpa harus menjadi expert.

Karena karakter bisnisnya yang unik, Industri perminyakan mempunyai aturan tersendiri dalam penanganan prosedur akuntansinya. Salah satu karakter industri migas adalah adanya jangka waktu yang lama antara investasi awal yang dikeluarkan dengan manfaat yang akan diperoleh.

Ada dua metoda akuntansi yang dikenal dalam industri migas dan diakui oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dan Financial Accounting Standard Board (FASB), yaitu: Full Cost (FC) dan Successful Efforts (SE). Sebelum membahas perbedaan antara kedua metoda tersebut, terlebih dahulu akan dijelaskan komponen komponen biaya utama yang umum terjadi pada perusahaan yang bergerak dalam bidang hulu migas.

Lease Acquisition Costs
Biaya biaya yang berhubungan dengan usaha untuk memperoleh blok, wilayah kerja atau konsesi.

Exploration Cost
Biaya biaya yang berhubungan dengan aktivitas eksplorasi, seperti: seismic, exploration drilling, etc.

Development Cost
Biaya biaya yang berhubungan dengan pengembangan lapangan yang terbukti mengandung cadangan yang komersial, biaya biaya ini termasuk: development wells, wells completion, production facilities, etc.

Operating Cost
Biaya yang berhubungan dengan aktivitas pengangkatan migas mulai dari sumur, sampai ke pemukaan termasuk aktivitas proses pemisahan minyak dan transportasinya, biaya operasi ini akan langsung dibebankan pada tahun berjalan.

Sekarang kita masuk ke metoda akuntansinya, pertama:

Metoda Successful Effort (S.E)

Sebelum tahun 1950 hampir semua perusahaan minyak menggunakan metoda akuntansi Successful Effort (SE), inti dari metoda S.E ini adalah bahwa semua pengeluaran biaya (expenditure) yang tidak memberi manfaat ekonomis dimasa yang akan datang harus dibebankan pada periode terjadinya biaya tersebut, hal ini sesuai dengan teori dasar Akuntansi. Dengan demikian, metoda SE akan membebankan biaya pemboran eksplorasi apabila sumur tersebut (dry hole) pada periode tersebut, namun apabila pemboran tersebut sukses, maka biaya yang telah terjadi dapat dikapitalisasi (dibebankan sejalan dengan waktu manfaat dari aset tersebut). Para pendukung metode ini menganggap bahwa hanya pengeluaran (expenditure) yang berhubungan dengan penemuan prospek migas yang dapat dikapitalisasi.

Metoda Full Costing (F.C)

Metoda FC dikembangkan sekitar tahu 1950-an, inti dari metoda FC adalah bahwa dalam kegiatan migas, kegiatan eksplorasi adalah suatu kegiatan yang sangat vital bagi perusahaan. Tanpa eksplorasi, cadangan minyak tidak akan pernah ditemukan. Mengingat resiko pada tahap eksplorasi ini sangat besar, maka adanya pemboran yang menghasilkan sumur (dry hole) adalah suatu yang tidak terelakan, sehingga metoda ini menganggap bahwa semua biaya eksplorasi baik berhasil maupun dry hole harus dikapitalisasi.



Aspek Akuntansi PSC Indonesia

Metoda akuntansi PSC tidak sama dengan salah satu dari kedua metoda tersebut. Tabel dibawah ini memperlihatkan perbedaan dari metoda akuntansi PSC dengan metoda SE dan FC.


Metoda PSC cenderung mirip dengan metoda SE, perbedaannya adalah: untuk sumur sukses apakah itu sumur eksplorasi atau sumur pengembangan, metoda SE akan menganggap biaya tersebut dikapitalisasi, sedangkan metoda PSC akan membagi dua jenis biaya, yaitu: biaya Tangible dan biaya Intangible, untuk biaya Tangible maka biaya tersebut akan dikapitalisasi sedangkan untuk biaya Intangibe, biaya tersebut langsung akan dibebankan (expensed) pada periode biaya tersebut dikeluarkan.

Dalam sistem PSC, biaya akuisisi tidak dapat di recover (bukan termasuk cost recovery).

Buat yang mau detail, ini referensi yang bagus:

• Johnson, D, Oil Company: Financial Analysis in Non Technical Language, Penwell, 1992
• Gallun, Wright, International Petroleum Accounting, Penwell, 2005
• Haryono, Akuntansi Perminyakan, Penebit Universitas Trisakti, 1998

Tuesday, November 14, 2006

Kontrak yang nol persen buat negara

Kalau kita baca artikel di koran2 beberapa waktu lalu, banyak headline yang bunyinya: “kontrak blok natuna - 0% buat negara”, sekarang coba kita gali lebih dalam headline tersebut.

Kita tentu sangat familiar dengan angka keramat, “bagi hasil” minyak 85 : 15, gas 70 : 30. Disini yang penting dipahami adalah: angka keramat tersebut adalah “after tax profit split”, jadi komponen pajak sudah masuk disana. Pertanyaannya: gimana menghitung before tax profit split?, gampang, yang penting tahu dulu berapa besar tax-nya?. Untuk kasus kita, pajak PSC juga berubah ubah, lihat tabel berikut:


Untuk menghitung before tax profit split, maka dilakukan gross-up (istilahnya demikian). Misalnya untuk contractor, besarnya before tax profit split = after tax profit split / (1 – tax).

Jadi untuk gas misalnya, after tax profit oil split = 70 : 30, maka before tax profit split = 30% / (1 - 44%) = 53.5% (lihat gambar dibawah).


Sekarang kita asumsi, before tax profit split = 100% buat contractor (IOC), maka dengan perhitungan yang sama kita peroleh bahwa after tax profit split = 44 : 56 ( pemerintah 44%, IOC atau contractor 56%).


Nah kalau after tax profit split-nya kaya gini, artinya: profit oil akan masuk ke IOC semua, pemerintah nggak dapet bagian dari profit oil. Contractor (nantinya) akan bayar tax sebesar 44%, sengaja saya selipkan kata (nantinya), karena bayar tax kalau udah dapet income, jadi di tahun awal, tax ya belum bayar… Jadi kira kira gitu yang dimaksud sama headline koran koran tersebut.

Kalau untuk oil gimana ceritanya? Ya samalah, lihat gambar dibawah:


Ceritanya pernah ada yang IOC yang minta insentif, karena kurang ekonomis, dia ngusul supaya split diubah (dalam kasus ini minyak) jadi 40 : 60 (40% pemerintah : 60% kontraktor). Ini jelas usul ngawur, saya bilang ente sama aja ngemplang pajak, wong pajaknya 44%, kalau minta split segitu, udah profit oil ente ambil semuanya (100%), pajak maunya cuma bayar 40% - ya kira kira dong , ini win- win apa malak, emangnya government sinterklas!.

Ada temen yang nanya, gimana kalau pajaknya kita naikin? Masalahnya gini, selama angka keramatnya nggak diubah, apa ada manfaatnya naikin pajak?. Gini ilustrasinya: pajak katakanlah dinaikin jadi 50%, karena angka keramat nggak diubah (85:15 oil, 70:30 gas), yang ada akhirnya, contractor before tax profit split-nya jadi naik, nggak ngaruh buat kontraktor (IOC), malah seneng kali, karena seolah olah dia bayar pajak lebih gede, tapi (ujung2 nya) - hitungan akhir tetap angka keramat tadi. Kalau tax diturunin gimana?, coba tanya mau nggak contractor, nggak maulah mereka, bisa bisa mereka kena tax tambahan di home country-nya sana, karena solah seolah dia bayar pajak lebih kecil disini.

Jadi moral ceritanya gini, kalau tax-nya 44%, maka split 44 : 56 akan memberikan profit oil 100% buat contractor. Tergantung dikontraknya, kalau tax 48%, maka split 48 : 52 akan memberikan 100% profit oil buat IOC. Jadi pemerintah emang nggak dapet apa apa dari profit oil. Kan dapet tax 44%?, iya bener, tapi kapan?, kalau cost nya gede banget, gross revenue ternyata nggak sesuai harapan, kapan bayar pajaknya?.

Agak aneh juga kalau ada kontrak PSC - profit oil-nya nol, kalau yang namanya PSC, pasti adalah pembagian profit oil (antara HC dengan IOC), karena memang itulah spiritnya. Kalau nggak ada pembagian profit oil, cuma bayar tax doang, apa masih pantes disebut PSC…. Sistem Concession aja - disamping bayar tax, IOC masih bayar royalty juga lho.

Monday, November 13, 2006

Melihat Isi Kontrak

Pernah baca kontrak PSC sampai detail nggak ? – sebagian pasti belum, boro boro baca kontrak PSC, kontrak rumah (apartemen) aja nggak pernah dibaca! (apalagi di Vienna sini, kontrak apartemen bahasa Jerman semua, nggak ngertilah apa isinya - yo wis - tanda tangan ajalah he he..). Emang males sich baca kontrak tuh, sudah tebel, bahasanya - bahasa para lawyer semua, jadi ada kesan, urusan kontrak serahkan sama orang legal ajalah. Sebenarnya perlu sich baca kontrak, disamping aspek legal, banyak aspek aspek ekonomis dan teknis yang tercantum, tentunya ini porsinya engineer dan economist (yang harusnya lebih paham).

Apa saja sich isi kontrak, coba kita lihat contohnya (model PSC conventional) dibawah ini:


Dari 17 section diatas, walaupun belum baca detail kontraknya, paling nggak kita kebayanglah hal hal apa saja sich yang di cover sama kontrak tersebut. Sebagian malah udah nggak perlu penjelasan lagi (self explanatory), tapi tetap perlu kok untuk dibaca detailnya. Khusus yang bukan background legal, saya kira yang kudu dibaca itu adalah “main elements of the contract“, jadi yang terkait dengan hitungan keekonomian, ini contohnya:


Kalau Anda baca kontrak perminyakan di seluruh dunia ini, isinya hampir mirip mirip aja, dalam hal format kontraknya- ya itu itu aja contain-nya. Paling bedanya di aspek finansial, kaya: bonus, royalty, taxation, depreciation, profit oil split, DMO, government participation, valuation of crude oil.

Kalau mau bandingin kontrak around the world, tentu kita harus lihat model kontrak beberapa negara, sebagian (kecil) bisa dari browsing internet, tentu nggak komplit. Barrows (ini salah satu konsultan), secara rutin menerbitkan “World Petroleum Arrangement“. Isinya seluruh model kontrak di dunia, bisa kebayang kalau bukunya ada beberapa jilid saking banyaknya, tebal tebal lagi (yang versi CD ROM juga ada sich, cuma saya biasanya pinjem Library, yang versi hardcopy), itu pun belum meng-cover semua kontrak dalam satu negara, ya wajarlah. Satu negara bisa punya beberapa model kontrak, satu model kontrak aja tebalnya minta ampun, jadi di Barrows ini pun - biasanya model kontrak yang di cover hanya model yang paling anyar aja, nggak semua.

Tentu kalau kita tertarik untuk membandingkan aspek ekonomis dari beberapa fiscal terms ini, agak pusing kalau kita baca detail kontraknya, biasanya langsung "jump" aja ke "main elements" di gambar diatas. Baru dibuat model economics-nya (excel-nya), nah abis itu, dibanding bandingin - cakepan mana!.

Friday, November 10, 2006

Oilfield Project Economics

Ini introduction - jadi buat yang sudah biasa run field economics, mungkin nggak banyak hal baru, tapi buat beginner dan intermediate (kaya kursus bahasa inggris ya) ini konsep yang penting dipahami. Di akhir kita singgung dikit hal hal cukup advanced.

Gambar-1 dibawah menunjukkan, apa apa yang kita perlukan untuk membuat perhitungan keekonomian. Pertama, tentu kita perlu data cadangan (recoverable reserves), yang penting lagi tentuya bagaimana cadangan ini di refleksikan menjadi profil produksi - kelihatannya gampang, tapi untuk keluar profil produksi yang optimal, ini hasil studi dan diskusi yang panjang para subsurface team (G&G, PE). Kedua, kita juga perlu tahu konsep desain fasilitas, karena biasanya ada beberapa opsi sehingga kita perlu membandingkan konsep mana yang paling optimal, disain fasilitas ini tentunya terkait dengan profil produksi, jumlah dan lokasi sumur, infrastruktur terdekat, terminal, etc.

So pasti kita perlu tahu biaya investasi, berapa yang masuk kategori capital dan non capital, karena yang capital nantinya harus di depresiasi. Kita juga perlu tahu biaya operasi (opex). Selanjutnya perlu asumsi harga minyak, bisa flat selama umur proyek, bisa juga berubah ubah tiap tahunnya sesuai hasil forecast internal. Akhirnya yang paling penting itu bagaimana fiscal / contract terms-nya. Yang paling bagus tuh ya baca sendiri kontraknya gimana, sehingga paham bener terms-nya. Baru setelah itu, kita buat spreadsheet model untuk menghitung parameter keekonomiannya, IRR, NPV etc.

Gambar-1

Gambar-2, anggap kita udah dapet profil produksi, kemudian informasi biaya biaya, harga minyak dan fiscal terms-nya (untuk kasus ini bukan kasus PSC Indonesia), ada beberapa penyederhanaan, depresiasi dianggap straight line selama 5 tahun, bonus dianggap nggak ada .

Gambar-2

Tahap berikutnya, buat spreadsheetnya seperti Gambar-3, sekaligus hitung parameter keekonomiannya, IRR untuk contoh kasus kita (ini IRR nya IOC). Asumsi: 4 tahun pertama eksplorasi, tahun 5-7 periode pengembangan termasuk pembuatan fasilitas produksi, tahun ke -8 baru on-production.

Gambar-3

Dari hasil spreadsheet, kita bisa analisa lebih jauh dengan membuat plot seperti Gambar-4,

Gambar-4

Contoh kita ini kasus yang ideal, dalam banyak kasus, yang warna biru (cost recovery) untuk beberapa tahun awal porsinya gede.

Beberapa yang perlu ditambahkan:

  • Biasanya dilakukan juga sensitivity analysis terhadap: harga minyak, cadangan, investment cost, apa lagi?
  • Untuk cadangan, ada istilah probabilistik dan deterministik, jadi perhitungan ekonomis bisa juga outputnya berupa probabilistik.
  • Dalam contoh diatas nggak ada bonus, kalau ada bonus tinggal masukin aja, bonus tentunya nggak bisa di cost recovery (non cost recovery) tapi umumnya "tax deductible" jadi dia bisa mengurangi taxable income.
  • Tax loss carry forward (TLCF) di contoh spreadsheet (Gambar-3) nggak ada, mestinya sich ada, artinya bila tahun berjalan masih minus, maka bisa di TLCF ke tahun berikutnya.

Tentunya model fiscal terms biasanya lebih kompleks, misalnya profit oil split-nya berupa sliding scale, tapi kalau dituangkan di excel, nggak masalah, apalagi temen temen yang excel nya lebih canggih, tinggal dipasang IF IF aja beres he he..!

Jadi run economics itu sebenarnya simpel aja, yang harus dipahami benar adalah bahwa ini kerjaan integrated team, si economic analyst harus ber-interaksi secara intens dengan team subsurface dan surface facilities untuk memperoleh opsi yang paling optimal, jadi bagusnya tahu dikit dikit-lah aspek teknisnya.

Thursday, November 09, 2006

R/T atau PSC? - again!

Lagi lagi bandingin PSC dengan R/T, anggap aja ini part II dari posting sebelumnya. Kalau ada yang nanya, apa beda utama model RT dengan PSC dari aspek finansial ekonominya? – maka jawabnya gampang: Cost Recovery Limit!

Kenapa? karena model kontrak R/T nggak pernah ada cost recovery limit, gambarannya gini, didalam model kontrak R/T, setelah IOC bayar royalti, sisa Gross Revenue (pada tahun tersebut) bisa dipake semuanya buat ngembaliin biaya yang telah dikeluarkan IOC tersebut. Sedangkan didalam (beberapa) model PSC, biasanya ada cost recovery limit (CRL), tapi ada juga yang nggak pake, kemungkinan2 di kontrak PSC- nya kira kira gini nih:

1. Ada royalty, ada cost recovery limit
2. Ada royalty, nggak ada cost recovery limit
3. Nggak ada royalty, ada cost recovery limit
4. Nggak ada royalty, nggak ada cost recovery limit

Sekedar mengingatkan bahwa, CRL (kita singkat aja ya, males nulis diulang ulang), adalah suatu mekanisme dimana IOC (company lah pokoknya, nggak harus IOC, bisa juga local company), dibatasi pengembalian biayanya sampai sekian persen dari Gross Revenue*) pada tahun berjalan (saya kasih note dikit karena bisa salah interpretasi).

*) yang umum: misalnya disebut CRL 80%, maka limitnya 80% dari Gross Revenue, ada juga (nggak banyak sich) yang mengartikan lain, jadi misalnya CRL 80%, sementara dikontrak ada juga Royalty (katakanlah 10%), maka CRL 80% ini dihitungnya dari Gross Revenue setelah dipotong Royalty. Yang mana yang bener? Yang bener liat dikontraknya, cuma yang umum yang case pertama.

Dari kemungkinan diatas, kemungkinan 1 dan 2 yang paling sering ditemui. Kemungkinan 3 ada tapi nggak banyak, kemungkinan 4, saya belum pernah liat, kalaupun ada jarang sekali, seandainyapun ada, biasanya prospectivitynya rendah, jadi Host Country (HC) nya agak royal sama IOC.

Kemungkinan 4 ini bisa membahayakan HC karena pada tahun tahun awal, udah jelas nggak dapet apa apa, alias bengong!. Semua Gross Revemue dipake buat bayarin cost. Kalau kejadiannya investasi mahal banget, produksi nggak begitu gede, harga minyak pas lagi rendah, ya udah wassalam, bakalan gigit jari terus si HC ini !.

Kalau kemungkinan 3, lumayan banyak, HC nggak mengenakan royalti, tapi tetap dapet jaminan share dari profit oil dengan adanya CRL ini. Jadi HC dijamin dapet share dari awal awal pengembangan.

Kemungkinan 2 ini kasusnya kita, tapi nggak sama persis, karena kalau di kasus PSC kita disebutnya FTP (First Tranch Petroleum) yang mana IOC tetap dapet bagian dari share split-nya, kalau royalty khan 100% masuk ke HC. Saya denger untuk model kontrak yang baru, FTP-nya 100% masuk ke RI, kalau gitu case-nya mungkin lebih baik disebut Royalty aja, karena pemahaman globalnya demikian.

Kemungkinan1 ini biasanya negara yang prospectivitynya tinggi, kaya beberapa negara Middle East dan Afrika, jadi mereka dapet jaminan dari awal pengembangan berupa royalty dan share profit oil.

Gimana sistem R/T, by denition, ya nggak ada CRL, udah pasti CRL = 100%, alias nggak pake dibatas batasin. Kalau suruh milih, IOC jelas lebih suka R/T ketimbang PSC.

Tuesday, November 07, 2006

IOC - NOC

Topik yang hangat, belakangan banyak sekali conference, seminar, workshop yang mengcover subjek diatas. Ketika orang bicara aspek aspek industri hulu migas, seperti: SDM, technology, capital, etc. Pada akhirnya kita akan menuju kemuara siapa yang akan jadi operator(s)nya, maka mau nggak mau kita masuk ke urusan IOC & NOC.

Pertama tama kita masuk ke definisi, gampangnya NOC (national oil companies) adalah company dimana share-nya (sebagian atau seluruhnya) dimiliki oleh pemerintah. Sedangkan IOC (international oil companies) adalah company yang fully private, sharenya dimiliki oleh private entities.

IOC bisa kita bagi jadi dua kelompok, yaitu: Super majors dan "others"; Super majors disini terdiri dari: ExxonMobil, Chevron, Shell, BP, Total & ConocoPhillips, sementara kelompok “others” ini adalah International Oil Companies (IOC) yang relatif size-nya lebih kecil, bangsanya: Talisman, Hess, Anardako, ENI, Marathon dan banyak lagi.

Dari sisi produksi, NOC kontribusinya 50%, "others" 36%, super majors ini “cuma” 14%. Dilihat dari reserves, super majors cuma punya akses 4%, NOC sekitar 71% dan sisanya “others”. (Sumber: materi oxford energy seminar 2006).

Melihat data diatas, agaknya access to resources akan menjadi masalah pada masa yang akan datang, khususnya bagi Super majors. Negara Negara dengan cadangan minyak besar, menutup diri dari masuknya IOC, contohnya Saudi Arabia dan Meksiko, dua negara ini 100% tertutup bagi IOC. Bagaimana negara lain? Rusia sich ada PSC (Sakhalin I, II dan Kharyaga), tetapi nasib PSC di masa yang akan datang kelihatannya masih gelap, paling tidak dalam jangka pendek, access to resources masih tertutup. Iran? Mereka mengundang IOC, cuma pola kerjasamanya hanya “service contract” (Iran buyback), seperti kebanyakan model service contract, booking reserves tidak diperbolehkan. Jadi negara negara yang masuk high prospectivity tertutup buat IOC. Sementara negara yang juga bagus prospectivitynya, biasanya fiscal terms-nya “tough” buat IOC (Libya contohnya).

Bagaimana trend kedepannya?,

Menarik kita lihat papernya Vahan Zanoyan dari PFC Energy, beliau ini banyak menulis makalah yang berhubungan dengan peranan dan keterkaitan NOC dan IOC, berikut saya tampilkan beberapa slides dari makalah beliau yang berjudul: “Evolving Relations Between National and International Oil Companies”, yang disampaikan pada OPEC seminar, 16-17 September 2006.





Apa yang kita bisa petik dari presentasi Vahan ini, pertama, walaupun bisnisnya sama, namun NOC dan IOC punya concern yang beda (gambar 1). Kedua, hubungan IOC dan NOC, bukanlah "kalah-menang" (gambar 2). Ketiga, kesempatan untuk saling kerjasama antara sesama NOC (gambar 3).

Saya pribadi, tertarik dengan gambar 3 ini, in my opinion, pada masa yang akan datang pola kerjasama antara NOC dengan NOC ini akan lebih intens. Bentuknya bisa berupa joint venture disalah satu negara NOC tersebut atau membentuk joint venture di negara lain yang membuka akses.

Sekarangpun sudah mulai kita lihat banyak joint ventures untuk model yang pertama. Contoh menarik untuk model kedua itu adalah joint venture antara 3 NOC; Malaysia, China dan India yang menggarap lahan di Sudan sana.

Itulah singkat cerita mengenai IOC - NOC, bentuknya kaya apa, boleh boleh ajalah, asal jangan jadi VOC aja he he..!