Wednesday, June 20, 2007

Investment Credit - Insentif?

Dalam PSC Indonesia, ada suatu jenis insentif yang dikenal dengan nama Investment Credit (kita singkat IC), bunyinya di kontrak seperti ini:

Contractor may recover an investment credit amounting to 17% of the capital investment costs directly required for developing Crude Oil production facilities of each new field out of deduction from gross production before recovering Operating Costs.. bla bla bla …dst-nya.. "

Investment Credit (IC) ini dikenakan pajak (taxable), masalah yang sering timbul dengan adanya insentif IC ini adalah bahwa IC sesuai hirarki dapat diambil terlebih dahulu sebelum “Operating Cost” (“Operating Cost disini adalah semua komponen biaya, depreasiasi, dll yang masuk kategori untuk di cost recovery). Pada saat “Operating Cost” (pake huruf besar untuk membedakan dengan production cost atau operating expense) relatif kecil terhadap Gross Revenue, maka: “No Problemo..!”, artinya mekanisme insentif IC ini berjalan sebagaimana mestinya. Lihat gambar dibawah biar jelas:


Gambar sebelah kiri, kondisi bila tidak ada insentif IC, sedangkan gambar sebelah kanan ada insentif IC (besarnya IC disini hanya asumsi untuk tujuan ilustrasi, IC tepatnya 17% capital investment cost). Jelas terlihat bahwa Share of Gross Revenue Kontraktor meningkat dari 57.5 menjadi 60.

Masalah timbul bagi Kontraktor pada saat awal produksi dimana “Operating Cost” sama atau lebih besar dari Gross Revenue. Akibatnya, adanya insentif IC malah menjadi semacam “Cost Recovery Limit” bagi Kontraktor. Kenapa? karena seperti disebut diatas, IC ini akan dikenakan pajak. Lihat ilustrasi dibawah biar jelas.

Diasumsikan Operating Cost = 100% of Gross Revenue, adanya IC membuat recoverable cost Kontraktor jadi turun, kalau tanpa insentif IC, Kontraktor dapat me-recover cost sampai 85%, maka dengan adanya IC, pada tahun tersebut, Kontraktor hanya dapat merecover cost-nya sampai 73% saja. Akibatnya, Share of Gross Revenue Kontraktor malah turun dari 87.2 menjadi 82. Dengan demikian fungsi IC sebagai insentif tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Untuk kasus kasus tetentu seperti Deepwater, Secondary Recovery dan lain lain, dimana besarnya insentif IC ini lebih besar persentasenya terhadap Capital Investment Cost, maka efek dis-insentif tersebut akan lebih terasa lagi…

Tapi yang namanya Kontraktor khan selalu “cerdik”, karena tahu persis IC akan bekerja kalau dalam "kondisi normal" (maksudnya setelah persentase Cost thd Gross Revenue turun), maka mereka (yang cerdik tadi, karena ada juga yang kurang cerdik he he...), biasanya minta penundaan perlakuan IC tersebut….. Pada saat awal insentif IC minta di ”Off” khan, baru minta di “On” khan kalau kondisi sudah normal. Namanya orang bisnis mana ada yang mau rugi… Nggak bisa disalahkan juga, itu namanya pintar memanfaatkan kelemahan sistem.. Selanjutnya terserah yang berwenang, boleh atau enggak, namanya usul sich boleh boleh aja, "gitu aja kok repot" kata Gus Pur-nya Republik Mimpi.. ("kok tahu Gus Pur mas?", lumayan dik ada hiburan berkat YouTube.com..!).

Gitu ceritanya untuk yang belum paham, jadi nggak usah bingung mengenai mekanisme “insentif dan dis-insentif” dari Investment Credit ini, paling nggak kalau ada pakar ngomong, ada bayanganlah binatang apa yang lagi dibahas … salam!

Tuesday, June 19, 2007

Royalty (10%) vs FTP (15%)

Mas Budi teman saya tanya: “katanya untuk fiscal terms RI yang baru, FTP-nya berubah (turun dari 15% jadi 10%) dan tidak dibagi dengan Kontraktor. Ada teman yang bilang ini lebih baik buat Kontraktor, sementara teman lain bilang sebaliknya. Menurut mas BL, ini lebih baik buat government atau buat kontraktor?, wassalam…..”
----------------

Mas Bud, piye kabare?, saya juga dengar katanya demikian, kalau katakanlah FTP jadi 10% terus tidak dibagi (dengan Kontraktor), lha itu khan namanya Royalty, kenapa nggak pake nama Royalty aja sich?, wong dimana mana disebutnya Royalty, mungkin kita masih alergi dengan istilah Royalty. Selama ini khan istilah FTP (sepanjang yang saya tahu yang pakai hanya RI), diotaknya pengamat (FTP itu) dibagi dengan Kontraktor, ya kalau sudah nggak dibagi harus clear bener itu, “ini FTP yang nggak dibagi lho.. !”, Btw, apalah artinya sebuah nama?, tapi nanti ada yang protes, "nama penting lho mas, masak semua orang dipanggil, broer.. broer....".

Anyway, sekarang kita diskusi aja mana yang lebih baik, cuma saya mohon maaf supaya nggak bingung, saya akan pakai istilah Royalty 10% untuk "FTP 10% yang tidak dibagi" itu. Seperti biasa contoh soal akan membuat sesuatu menjadi lebih sederhana. Lihat gambar dibawah:

Gambar sebelah kiri FTP = 15%, sebelah kanan Royalty = 10%, kita anggap cost oil (cost recovery) sebesar 50% dari Gross Revenue, kalau kita bandingkan, maka bagian (share) government untuk yang model Royalty 10% lebih baik dibanding FTP 15% (44 dibanding 42.5).

Sekarang kita anggap cost oil-nya besar, yaitu 100% dari Gross Revenue, lihat gambat dibawah:

Apa yang terjadi, ternyata FTP 15% lebih baik dari Royalty 10% (12.8 banding 10). Karena perbandingan ini sensitif terhadap persentase cost terhadap Gross Revenue, sekarang kita plot aja biar lebih jelas, lihat gambar bawah:

Apabila persentase cost terhadap Gross Revenue > 87%, maka FTP 15% akan lebih baik buat Government, sebaliknya apabila persentase cost thd Gross Revenue kecil (<87%),>

Pada saat produksi awal, karena banyak investasi yang telah dikeluarkan, maka Gross Revenue pada tahun awal tersebut tidak cukup untuk membayar cost, dengan demikian pada awal produksi, FTP=15% lebih “menguntungkan” bagi Pemerintah. Sebaliknya setelah sebagian besar biaya biaya investasi telah di recovered, maka pada periode tersebut, persentase cost thd Gross Revenue akan menurun, dalam kondisi seperti ini, maka Royalty=10% akan lebih “menguntungkan” bagi Pemerintah.
Jadi, teman teman mas Budi tadi, kelihatannya keduanya benar, tergantung kondisi diatas!

Namun demikian, kita harus catat bahwa apabila kita melihat "full cycle" (dimana cost thd gross revenue hampir pasti dibawah 87%), disamping itu dari perhitungan GT, model royalty 10% akan memberikan GT sebesar 87% - 88%, sementara model FTP 15%, hanya sebesar 85%. Maka model Royalty 10% secara umum tentunya lebih baik bagi Pemerintah.

Monday, June 18, 2007

Tanya PSC vs R/T

Pertanyaan dari mas Christ di tagboard: "Mas sebenarnya bagaimana perbandingan signifikan Goverment Take antara model kontrak PSC dan Tax Royalty. kira2 anatara kedua model tersebut mana yang paling ideal untuk Host Contry. bisa gak mas saya minta data-data penerapan model tax raoyalti yang up date dari beberapa negara yang menerapkan model tersebut"..
---------------

Saya upload list negara negara yang menganut masing model model tersebut, pembagian ini nggak saklek, maksudnya ini yang utamanya. Bisa saja satu negara punya lebih dari satu macam model, atau malah tersedia ketiga model tersebut (PSC, R/T dan Service Contract). Kaya di RI, khan mayoritas PSC, tapi model TAC Pertamina itu khan service contract juga sebenarnya.

Bagaimana perbandingan signifikan Government Take antara model kontrak PSC dan Tax Royalty?

Secara umum PSC memberikan GT lebih baik dari R/T, tapi ini tidak berlaku umum, kembali lagi tergantung prospectivity (kemungkinan ketemu minyak) negara tersebut, bisa saja negara yang prospek tapi pake R/T (kaya Norway) lebih besar GT-nya dari negara yang pake PSC tapi kurang prospek (mis:Albania, Polandia, etc).

Kalau kita lihat model R/T, kebanyakan dipakainya di Eropa (yang relatif kurang prospek, kecuali UK dan Norway), kalau di Middle East, R/T-nya itu sisa konsesi zaman baheula yang masih berlangsung hingga saat ini. Kalau untuk model kontrak baru di negara negara Middle East, kebanyakan mereka pilih PSC atau SC.

Beda utamanya PSC dengan R/T, kalau untuk R/T host country nggak dapet bagian dari profit oil, cuma terima royalty sama tax doang.

Contoh penetapan royalty tax yang berhasil tuh di Norway, ada juga negara yang berubah dari PSC ke R/T kaya Kolombia, maksudnya biar investor lebih tertarik masuk. Mungkin karena saingannya (negara tetangga) lebih menarik dari segi prospectivity
.

Saturday, June 09, 2007

Mark-up Cost Recovery?

Ada yang email, tanya: Mas, saya udah baca blog nya khususnya mengenai cost recovery, kata mas benny, kalau ada mark-up, yang rugi tidak hanya Negara tapi juga Kontraktor, terus katanya yang untung itu oknum.. Terus terang saya kurang paham, bisa lebih diperjelas dengan contoh yang ada angka angka biar lebih clear, matur nuwun mas..
------------------
Kayanya banyak yang tanya mengenai cost recovery ini, jadi gini, kalau cost recovery naik, jangan selalu di konotasikan sebagai mark-up. Kalau harga minyak naik, terus harga harga komoditi penunjang migas dan jasa penunjang ikutan meningkat biayanya - ya tentu cost recovery akan meningkat.. Supaya fair kita jangan semata mata melihat nilai nominalnya, karena pada saat yang sama revenue juga naik, makanya saya lebih senang melihat cost recovery itu sebagai persentase dari Gross revenue, karena itu udah mengakomodasi kenaikan harga minyak dan juga kenaikan biaya upstream yang selalu ikut ikutan kalau harga minyak naik…

Kembali ke pertanyaan si Mas ini, mungkin yang dimaksud itu adalah investasi atau kegiatan yang nggak penting yang dipaksa diada-adain sehingga cost jadi naik, ya boleh boleh aja disebut mark-up.. Tapi ini khan kerjaan oknum, dimana mana pasti ada oknum lah mas (spt saya pernah posting sebelumnya), mau di Contractor, Service Company, Host country.. Mereka ini yang diuntungkan kalau terjadi mark-up, istilah kerennya “goldplating” alias investasi yang nggak perlu.., oke deh kita jelasin pake angka angka , biar rodo jelas..

Lihat gambar dibawah (ada oknumnya he he), Ceritanya gini, biar gampang, anggap aja gambar disebelah kiri sebelum ada “goldplating”, sebelah kanan, ada goldplating sebesar $1, (cost naik dari $39 jadi $40).

Nah siapa yang untung kalau cost naik? Kita lihat negara (host country) dulu, jelaslah tekor, turun dari sebelumnya $51.85 jadi $51 (turun $0.85). Contractor bagaimana? profit oil Contractor turun dari $12.32 jadi $12.06, otomatis tax juga turun dari $7.19 ke $7.07 (total after tax profit oil Contractor turun $0.15 – kalau nggak pas $0.15 itu karena ada faktor pembulatan).

Jadi dari kenaikan biaya $1 itu, Contractor (maksudnya yang punya company) rugi dan yang lebih rugi lagi (tentunya) Negara. Yang untung siapa? Ya itu tadi Oknum.. $1 goldplating atau mark-up itu larinya ke oknum Contractor, tentu saja bisa bekerjasama dengan oknum oknum lain… Jadi gitu, mudah2 an rodo jelas kalau pake angka gini.. sing penting jangan ikutan jadi oknum ya mas he he..

Thursday, June 07, 2007

Saving Index

Istilah saving index (SI) untuk petroleum fiscal diperkenalkan oleh Daniel Johnston, pada dasarnya konsep ini bertujuan untuk melihat apakah suatu fiscal terms itu memberikan insentif atau dorongan bagi Contractor untuk melakukan cost reduction. Ada manfaat nggak bagi Contractor untuk melakukan cost saving?.

Konsep SI ini simpel aja sebenarnya, caranya adalah dengan menguji seandainya terjadi cost reduction sebesar $1, maka berapa bagian dari pengurangan cost tersebut yang akan masuk menjadi bagian Contractor. Seperti kita ketahui, naiknya profit oil Contractor juga berakibat naiknya tax yang harus dibayar oleh Contractor tersebut.

Penjelasan dengan ilustrasi tentu akan lebih gampang, lihat gambar dibawah:

Misalnya, gambar diatas untuk suatu fiscal di negara antah berantah dengan terms sebagai berikut: Royalti = 10%, Profit oil split = 30: 70 (Contractor : Host Country), Tax = 35%

Sekarang kita buat asumsi biar sederhana, yaitu: Gross Revenue = $100, cost recovery = $40. Hasil perhitungan pembagian antara contractor dan host country (gambar sebelah kiri). Untuk menghitung SI, caranya adalah dengan mengasumsi terjadi penurunan biaya akibat cost saving sebesar $1, sehingga cost recovery turun menjadi $39 (gambar sebelah kanan).

SI adalah selisih profit oil split Contractor dan tax , yaitu: $0.2 atau 20 cents, artinya “net benefit” dengan turunnya cost sebesar $1, tersebut adalah 20 cents buat Contractor.

Ada yang tanya, jangan pake terms negara antah berantah, PSC standard kita Saving Index-nya berapa mas?, dengan cara yang sama kita peroleh sebagai berikut:

Jadi Saving Index untuk PSC standard kita sebesar 15 cents.

Ada juga contoh suatu fiscal terms yang mendorong supaya contractor melakukan cost saving, misalnya cost recovery dikasih limit sebesar 50% dari Gross Revenue, jadi misalnya cost-nya dibawah 50%, maka Contractor akan memperoleh split yang beda dengan profit oil split. Contohnya Proft oil split (30:70), tetapi excess cost oil split sebesar (50:50). Lihat gambar dibawah biar jelas:

Apakah SI-nya lebih baik? So pasti, kita lihat SI nya = 33 cents.

Sekarang kita cek kondisi ekstrim, ada nggak sich fiscal terms yang Saving Index (SI) = $1 atau 100 cents. Ada!, fiscal terms yang pembagiannya berdasarkan Gross Revenue, artinya kalau saving $1, maka $1 itu semuanya masuk kantong Contractor. Sebaliknya ada nggak fiscal terms yang SI nya = 0 cents, alias nggak ada insentif buat Contractor untuk melakukan cost saving?. Secara teroritis ada: misalnya suatu fiscal sistem dimana “excess cost oil” semuanya masuk bagian host country, atau suatu sistem yang mempunyai insentif capital cost uplift yang terlalu besar, ini juga merangsang Contractor untuk tidak melakukan cost saving. Begitu juga sistem yang berdasarkan ROR yang kurang bagus disainnya, bisa juga merangsang Contractor untuk tidak melakukan cost saving. Kenapa? Karena biasanya kalau ROR naik ke batas tertentu, profit oil split nya berubah menjadi lebih baik buat Host Country, jadi males Contractornya cost saving.. Gitu aja deh mengenai SI, udah kepanjangan ngecapnya nih...

Tuesday, June 05, 2007

Refinery Economics

Sebagai komoditi, minyak mentah (crude oil) berharga karena dapat diubah menjadi produk produk hasil kilang (refined products) yang bisa digunakan langsung oleh para konsumer termasuk kita kita ini. Harga suatu jenis minyak mentah pada dasarnya dipengaruhi oleh jenis atau komposisi produk hasil kilang yang akan diperoleh. Masing masing produk hasil kilang mempunyai pasar sendiri sendiri, sementara masing masing jenis crude menghasilkan bermacam macam jenis produk.

Supaya ada gambaran lebih jauh, kita sedikit masuk ke bagaimana prinsip kerja refinery. Pada dasarnya refinery ada 2 macem, pertama yang sederhana (simple refinery) kadang disebut juga “distillation”. Prosesnya sesuai namanya ya simpel aja, crude dipanaskan sampai 300 - 400 derajat Celcius, kemudian crude yang sudah dipanaskan tadi terpisah sesuai dengan “boiling point ranges”, mulai dari yang paling atas, produk dengan “boiling point” paling rendah (Gas, LPG) kemudian diikuti produk lain sesuai dengan kenaikan boiling point range-nya.

Jenis yang kedua adalah yang kompleks (complex refinery), pada dasarnya model komplek ini mempunyai “secondary process” ngelanjutin produk yang dihasilkan (upgrade) dari proses yang simple tadi, jadi ada “conversion unit”. Metodanya macem macem, ada hidrotreating, reforming, cracking (catalityc atau hydrocracking) dan yang paling canggih, yaitu: coking. Sementara ini yang penting tahu istilah aja, kalau mau detail proses kimianya, beli bukunya: handbook of petroleum refining processes (Robert Meyers).

Penggolongan simple dan kompleks dalam perjalanannya tidaklah eksak, distillation ditambah dengan secondary process, seperti reforming dan hydrotreating, sebagian menggolongkannya sebagai simple refinery juga. Simple refinery menghasilkan residu dalam jumlah besar, khususnya bila yang diproses itu jenis minyak berat (heavy crude). Sementara complex refinery, menghasilkan produk yang lebih ringan (light products) seperti gasoline dalam kuantitas yang lebih besar.

Supaya ada gambaran lebih jelas, bayangkan minyak mentah katakanlah jenis ringan, masuk ke refinery (simple dan complex), maka variasi produk hasil kilangnya kira kira seperti gambar dibawah. Jelas terlihat bahwa complex refinery akan menghasilkan light products yang lebih besar kuantitasnya.

Secara geographi, sebagian besar simple refinery berada di negara berkembang dan negara negara bekas uni soviet (FSU), hal ini karena permintaan terhadap light products relatif tidak besar dan residual fuel kebanyakan masih dapat dipakai untuk power generation. Sedangkan complext refinery kabanyakan berada di negara industri, sementara refinery yang paling kompleks alias canggih adanya di amrik sana. Hal ini tidak lain disebabkan permintaan light products (dalam hal ini gasoline) di amrik sana sangat tinggi dibanding negara lain. Pada saat ini beberapa negara berkembang khususnya negara penghasil minyak (Kuwait, Saudi Arabia, Venezuela), telah dan sedang melakukan investasi besar besaran untuk pembangunan complex refinery dalam rangka memberikan nilai tambah terhadap crude mereka

Mari sekarang kita diskusi aspek keekonomian kilang (refinery economics). Industri kilang tuh ribet, sebabnya antara lain: feedstock-nya macem macem, jenis prosesnya juga macem macem, output atau produknya sami mawon (maksudnya macem macem juga), kualitas produk demikian juga, dan (jangan dilupakan) sangat berorientasi ke pasar (market oriented). Salah satu aspek dalam refinery economics itu adalah istilah yang umum dipakai dan sangat dikenal, yaitu: Refining Margin (RM). RM ini mewakili monetary gain atau loss yang diakibatkan pilihan untuk memproses marginal atau incremental barrel dari minyak mentah yang dipilih oleh kilang tersebut untuk di proses (waduh jelek bahasa terjemahannya..), ini saya translate dari definisinya IEA. Aslinya gini: RM represent the monetary gain or loss associated with processing a marginal or incremental barrel of crude oil that a refiner might choose to process.

Maksudnya kira kira gini, misalnya untuk kilang di Singapore, RM untuk minyak mentah yang akan di proses beda beda, apakah itu minyak mentah: Minas, Tapis atau Dubai. Minas misalnya RM-nya lebih tinggi dibanding Tapis dan Dubai tersebut.

Bagaimana menghitung RM, lihat gambar berikut dulu:

Sebelum ngitung RM, kita hitung dulu apa yang disebut dengan Gross Product Worth (GPW), GPW ini tidak lain adalah rata rata tertimbang dari produk produk yang dihasilkan dari 1 barrel minyak mentah dikalikan dengan products spot price dari masing masing produk tersebut.

GPW = Yield (%) x Products Price Spot Market ($/bbl)

Netback = GPW – Refining Cost – Transportation Cost

Refining Margin = Netback – Crude Oil Price

RM merupakan indikator yang berguna bagi kilang untuk menaikkan atau menurunkan tingkat produksinya, atau dengan kata lain merupakan indikasi insentif bagi kilang untuk memproses lebih banyak crude (tertentu) menjadi produk, selain itu juga merupakan marketing tool bagi yang punya kilang dan pemilik crude.

Demikian dulu deh..!

Monday, June 04, 2007

PSC Gas?

Dari Mas Ayat: mas gimana klo topik bulan ini tentang gas bumi?? apa saja perbedaan PSC oil dengan PSC gas?? bagainama penghitungan PSC gas (apa saja ketentuannya, dll)??
--------
PSC gas sama oil nggak banyak bedanya: paling dari nature business-nya yang agak laen, untuk mengembangkan gas, tentu harus punya market dulu (bisa dalam bentuk Head of Agreement – HOA atau Gas Sales Agreement - GSA). Dari agreement tersebut kita tahu formula harga gas dan berikut volumenya, selanjutnya dari informasi ini kita baru bisa masuk ke perhitungan project economics (tentu setelah dapet info biaya biaya dari temen temen subsurface dan surface facilities).

Bagaimana metoda gas delivery? tergantung cadangan gas-nya (gede atau kecil) dan market-nya (jauh atau deket), mana yang lebih ekonomis: langsung alirkan lewat pipa (pipeline) atau dicairkan dulu (dalam bentuk LNG) kemudian dikirim lewat LNG carrier. Untuk pemilihan LNG atau pipeline, banyak paper yang memberikan rule of thumb, berupa plot (volume vs distance), mana yang lebih ekonomis.. rule of thumb ini tentu untuk general case saja.

Ini tentu teori gampangnya, kenyataannya tidak sesederhana rule of thumb itu, apalagi bila menyangkut cadangan atau volume yang gede dan distance rada "tanggung" (jauh banget enggak, dibilang deket udah jauh.. walah apaan nih?? he he..). Jangan heran nanti kalau Anda ketemu studi dari 2 konsultan dengan hasil yang bertolak belakang, yang satu bilang: LNG lebih ekonomis, studi dari konsultan lain bilang pake pipa lebih ekonomis... bingung khan?? maklumlah ini menyangkut duit gede soale.. jadi banyak pihak yang punya kepentingan... termasuk suppliers dan segala macem!

Gas biasanya ada kondensat, ini tentu tergantung petroleum properties dan kondisi formasi lapangan masing masing, dari sini bisa diperkirakan berapa volume kondensat. Hitungan keekonomian, tergantung kontraknya, umumnya 70:30 untuk gas, sementara liquid (kondensat) ikut aturan pembagian oil (85:15).

Cadangan? Ini penting, nggak boleh jor joran, biasanya "estimasi cadangan" lebih konservatif dibanding oil, karena ini menyangkut komitmen ke buyer, bisa bisa baru beberapa tahun udah short fall!.. Di BPMigas, (kalau nggak salah) ada aturan berapa discount faktor buat cadangannya (baik untuk pipeline maupun LNG).

Apalagi ya? sudah agak lupa euy, sudah lama nggak ngurusin rencana pengembangan lapangan (POD) he he.. Cmiiw, buat teman2 di KKS gas mohon tambahkan kalau ada yang kelewat.