Monday, April 30, 2007

Sensitivitas Kontrak

Pada saat harga minyak naik, tentunya negara produsen akan memperoleh tambahan revenue, namun demikian, tidak otomatis bahwasanya persentasinya dari keuntungan (profit) akan meningkat juga. Lihat gambar dibawah:

“Kue” pie chart diatas adalah profit, dengan kenaikan harga minyak, maka otomatis kuenya membesar. Tapi ternyata, persentase kue si host country (warna kuning) malah turun, kalau pas harga minyak rendah, si host country dapet 65% dari profit, pada saat harga minyak naik, eh.. malah turun, jadi 60%.

Sekarang coba kita test PSC Indonesia standard gimana? kira kira gini nih gambarnya, pada saat harga minyak naik, persentase kue nggak ngaruh, tetap aja 85% dari profit, mau harga minyak naik berapa juga ya segitu aja.

Lihat gambar dibawah, pengaruh harga minyak terhadap pembagian "kue".

Gambar diatas ini untuk PSC standard, anggap aja dalam kasus ini nggak ada DMO, jadi bagian "kue" (kerennya disebut: Gov. Take) anteng aja di angka keramat: 85%.

Gambar diatas adalah untuk kasus yang lebih realistis dimana seperti kita ketahui dalam PSC kita, ada DMO (Domestic Market Obligation). Adanya DMO ini membuat bagian "kue" (Gov. Take) tadi sedikit naik, tidak pas di angka keramat 85%, namun sedikit lebih besar (sekitar 87%).

Para pendukung teori progressive fiscal regimes bilang bahwa model kaya gini kurang mantab, menurut mereka sistem itu harus yang progressive, artinya makin naik profit, maka makin naik persentase profit host country, jadi sensitif terhadap keuntungan.

Tapi tentu jangan asal terima mentah2 suatu konsep!, dalam beberapa kasus oke, dalam kasus lain belum tentu oke.. makanya perlu kajian, sok silahkan mengkaji..!

Monday, April 23, 2007

Tebak2 an harga minyak..

Saya kutip dari Petroleum Intelligence Weekly (PIW), Vol. XLVI, No. 17, April 23, 2007. Ini kontes tebak tebakan harga minyak untuk tahun 2007, pesertanya para analis kondang.


Range-nya dari 42.7 - 72.1 (ini harga US Benchmark WTI), kita tunggu aja ya hasilnya, tebak2 an ini disimpan baik2. Nanti pas tutup tahun, kita plot dan bandingkan analis mana yang tebakannya paling jitu, tanyain dia pake "dukun" siapa kok bisa jitu he he. Jangan heran juga kalau semuanya nanti ternyata ngawur semua... Namanya juga usaha, kalau nggak gitu nanti mereka nggak ada kerjaan dong hik..

Tuesday, April 17, 2007

Bahan2 dari Internet

Berikut ini list beberapa situs yang berisi materi terkait dengan petroleum economics, oil & mineral taxation, petroleum fiscal system, project economics, etc. Bisa langsung di download, mudah mudahan sich masih bisa alias nggak ada masalah. Seandainya nggak bisa, saya sudah download, jadi gampanglah...
  1. Production Sharing Agreement - an Economic Analysis, by Kirsten Bindemann, Oxford Institute for Energy Studies. Isinya membandingkan keekonomian beberapa model kontrak perminyakan.
  2. Guidelines for the Evaluation of Petroleum Reserves and Resources, by SPE, lumayan tebal tapi langsung loncat aja ke: Chapter 9 - Summary Reserve Recognition Under Production-Sharing and Other Nontraditional Agreements, by Claude L. McMichael & E.D. Young. Chapter ini membahas jenis jenis kontrak dan kaitannya dengan mekanisme untuk booking reserves (reserves entitlements).
  3. PPM (Petroleum & Policy Management) Workshops; Disini banyak bahan menarik mengenai fiscal regimes, project economics, etc. Tinggal pilih workshops yang mana, semua bahan presentasi dapat di download. Disarankan workshop yang di Indonesia (Bandung, Jakarta), walaupun workshop di tempat lain juga banyak berisi materi presentasi fiscal regimes yang menarik..
  4. A Primer on Mineral Taxation, by Thomas Baunsgaard, mengenai perpajakan - nggak melulu untuk sektor migas, tapi lebih luas mencakup semua mineral.
  5. Profit Based Production Tax for Alaska, ini laporan/proposal Dr. Pedro van Meurs sebagai konsultan yang disewa pemerintah. Disini yang penting gimana metodologi dia sampai pada rekomendasinya, penting buat yang mau atau kepingin jadi konsultan.
  6. Taxation and State Participation in Nigeria’s Oil and Gas Sector, by ESMAP (Energy Sector Management Assistance Programme), ini laporan panjang 100 halaman, saya sarankan baca langsung: Annex 6, halaman 83-98, "new approach to profit sharing in developing countries".
  7. Petroleum Tax Design, by Daniel Johnston, komentarnya singkat aja: Very Good

Sebenarnya banyak lagi yang bagus dan komplit, sayang nggak gratis, Seperti: OGEL (Oil, Gas Energy Law), CERA (Cambridge Energy Research Associates - punyanya si-Daniel Yergin), CGES (Centre for Global Energy Studies), SPE paper online (kalau SPE paper, kebetulan sebelumnya saya sudah mengumpulkan 400-an e-paper SPE yang berhubungan dengan petroleum economics, mulai edisi tahun 1975 sampai awal 2005, semuanya dalam bentuk e-papers). Saya bersyukur karena disini kita dapat akses ke situs2 premium tersebut, ya lumayan buat ngumpulin papers, menambah wacana he he....

Monday, April 16, 2007

Lagi Supply Cost.. !

Ngelanjutin posting sebelumnya .. kalau yang lalu fokus bagaimana menghitung supply cost, kali ini kita coba lihat lebih jauh implikasi supply cost ini, kaitannya dengan model kontrak dan juga harga minyak.

Idenya begini: kalau saya IOC mau invest ke suatu negara, berapa kira kira minimum harga minyak yang menjamin saya mau invest (ini implisit definisi dari supply cost). Iseng iseng saya coba buat kalkulasi supply cost untuk beberapa model kontrak minyak dgn asumsi biaya biaya upstream cost terkait. Untuk biaya upstream saya mengacu ke data dari CERA.

Kalau di plot hasilnya kira kira begini:
Untuk beberapa negara yang low cost (sebagian besar middle east countries tentunya), karena IOC tidak diperkenankan, maka anggap aja di negara ini nggak ada model kontrak yang tersedia, maka kita asumsikan si NOC hanya bayar royalti dan pajak ke pemerintah. Sedangkan negara yang cukup prospek dan medium cost, perhitungan supply cost disesuaikan dengan model kontrak yang tersedia (PSC atau royalty tax).

Hasil plot tersebut mudah dipahami; bahwasanya negara negara yang low cost akan mempunyai supply cost yang lebih kecil, sementara negara negara yang medium cost dan fiscal tersm-nya agak ketat, supply cost-nya akan meningkat.

Nah yang jadi masalah: Low cost ini tertutup akses buat IOC, jadi ya nggak bisa invest disana. Oleh karena itu, IOC tinggal punya pilihan investasi di negara negara yang medium cost ini. Sebagai IOC, maka supply cost saya minimal sekitar US$ 25 – 40 per barrel. Kalau harga dibawah situ, ya saya akan tekor….

Supaya ada kelangsungan supply artinya supaya IOC tetap tertarik investasi, harga minyak nggak boleh dibawah situ.. Saya tidak mengajak untuk menebak harga minyak, karena seperti posting sebelumnya, ini pekerjaan sia sia he he.. harga minyak akan turun naik sesuai banyak faktor termasuk geopolitik, tetapi, untuk menjamin kelangsungan supply (gampangnya supaya aktivitas eksplorasi minyak tetap berjalan di berbagai belahan dunia), mestinya harga minyak nggak akan turun sampai dibawah US$ 40 per barrel…, kenapa? ya banyak pihak yang berkepentingan supaya harga minyak tidak terlalu rendah, supply cost ini salah satu faktor yang termasuk paling penting!.

Kilas balik PSC kita

Ini ringkasan yang saya suka baca - supaya inget sejarah PSC kita...

-------------

PSC GENERASI PERTAMA:

Prinsip PSC pada generasi pertama adalah :

Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun.

  1. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% bagian Pemerintah sudah termasuk pajak Kontraktor).
  2. Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel.

PSC term untuk generasi pertama ini sangat simpel, dimana porsi pemerintah relatif konstan sekitar 44%*) dari produksi per tahun. Pada saat terjadi krisis energi tahun 1973 yang mengakibatkan melonjaknya harga minyak, maka Pemerintah melakukan pengaturan fiskal berupa pajak progresif terhadap “windfall profit” yang diperoleh Kontraktor. Untuk itu, pada awal tahun 1974 dikeluarkan amandemen PSC, dimana bagian (share) Kontraktor dihargai dengan USD 5 per barrel sebagai dasar perhitugan (dengan eskalasi secara proportional terhadap kenaikan harga minyak). Selanjutnya selisih antara harga minyak aktual dengan harga ini dikalikan dengan bagian Kontraktor yang kemudian di bagi (split) antara Pertamina dan Kontraktor dengan perbandingan 85:15.

*) (Share Pemerintah x 60) + (DMO yang besarnya 25% x Share Kontraktor x 60 )


PSC GENERASI KEDUA:

Pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas pengaturannya, bagian Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Perubahan PSC term menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan tersebut adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia oleh kantor pajak negara asal, dengan demikian “tax credit” Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh karena itu PSC term perlu dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam rangka memanfaatkan fasilitas “tax credit” di negara asalnya.

Perubahan yang dilakukan pada PSC generasi kedua ini adalah sebagai berikut :

  1. Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).
  2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pertamina dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas).
  3. Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).
  4. Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).
  5. Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi.
  6. Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double Declining Balance (DDB).

Modifikasi ini memungkinkan Kontraktor untuk melakukan “maximum cost recovery” dimuka, dengan demikian Kontraktor dapat memperoleh arus kas lebih awal. PSC generasi kedua ini jauh lebih baik bagi Kontraktor dibandingkan dengan PSC generasi pertama. PSC term ini menjadi kelebihan sistem PSC Indonesia dalam rangka menarik investor asing.

Resesi ekonomi dunia pada tahun 1980-an mengakibatkan penurunan permintaan minyak mentah, pasar minyak berubah dari “seller market” menjadi “buyer market” yang ditandai dengan menurunnya harga minyak. Investor mulai menurunkan aktivitas eksplorasi minyak selama periode tersebut, sementara itu biaya produksi meningkat akibat inflasi. Situasi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa lapangan minyak yang berproduksi sudah mulai tua dan produksinya mulai menurun sehingga perlu perawatan yang lebih intensif. Kondisi buruk ini mencapai puncaknya ketika harga minyak tiba tiba anjlok dibawah USD 20 per barrel.

Pada masa masa sulit ini, Pemerintah maupun Kontraktor mengidentifikasi masalah masalah yang dihadapi antara lain :

  1. Kriteria Komersialitas yang ditetapkan Pemerintah untuk pengembangan lapangan baru dimana bagian yang diterima Pemerintah tidak kurang dari 49% pendapatan (termasuk kewajiban pajak Kontraktor). Kriteria ini menimbulkan masalah untuk pengembangan lapangan marginal.
  2. Anjloknya harga minyak menjadi masalah bagi Pemerintah mengingat minyak menyumbang kontribusi besar bagi APBN. Untuk lapangan lapangan yang sudah mulai menurun produksinya, minyak yang akan dibagi sudah tinggal sedikit, dengan tidak dibatasinya Cost Recovery, bisa jadi sudah tidak ada lagi minyak yang dibagi, hal ini bertentangan dengan semangat berbagi produksi (production sharing) itu sendiri.
  3. Banyak kontrak PSC akan berakhir dalam jangka waktu 10 tahun lagi, Kontraktor kontraktor tersebut mengajukan perpanjangan kontrak selama 20 tahun untuk jaminan kepastian pengembalian investasi dan keuntungan dari kegiatan eksplorasi maupun dari proyek Secondary Recovery.

Permasalahan diatas menjadi pertimbanganpemerintah untuk melahirkan PSC term yang baru yaitu PSC generasi 3.

PSC GENERASI KETIGA:

Perlunya jaminan pendapatan bagi Pemerintah melandasi lahirnya PSC generasi 3 ini. Untuk itulah pada PSC generasi 3 diperkenalkan istilah First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pertamina dan Kontraktor.

PAKET INSENTIF

Mengingat bisnis perminyakan ini sarat dengan resiko, maka pemerintah harus kreatif dalam mendisain sistem fiskal yang berlaku, perbaikan pada sistem fiskal akan mendorong investor untuk melakukan investasi khususnya untuk proyek yang mempunyai resiko yang relatif lebih tinggi, baik dari segi resiko geologis maupun resiko geografis. Proyek yang sebelumnya tidak ekonomis dengan adanya insentif akan menjadi lebih ekonomis (secara komersial layak dikembangkan). Pemberian insentif akan membuat sistem fiskal yang berlaku menjadi lebih menarik bila dibandingkan dengan negara negara lain. Bagaimanapun negara negara tersebut adalah kompetitor dalam rangka mengundang investor.

Pemerintah Indonesia telah menawarkan empat paket insentif sejak tahun 1988, Paket kebijakan insentif dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  • Paket Insentif Agustus 1988
  • Paket Insentif Februari 1989
  • Paket Insentif Agustus 1992
  • Paket Insentif Desember

Pada Paket Insetif Pertama (Agustus 1988), diberikan kredit investasi untuk kapital sebesar 17%, selain itu kriteria komersialitas dimana Pemerintah harus memperoleh minimum 49% dari Pendapatan Kotor tidak berlaku lagi, jaminan minimum untuk Pemerintah menjadi 25% dari Pendapatan Kotor. DMO dihargai sebesar 10% dari harga ekspor setelah 60 bulan produksi, selain itu untuk mendorong aktivitas eksplorasi didaerah Frontier maka pembagian produksi (sharing) dibuat lebih baik, yaitu Untuk Minyak, apabila Produksi kurang dari 50,000 Barrel Per Hari (BPH), pembagiannya 80:20, untuk Produksi (50,000–150,000 BPH) pembagiannya 85:15 dan apabila produksi lebih dari 150,000 BPH maka pembagiannya 90:10. Untuk Gas, pembagiannya 70:30. Pada paket insentif Agustus 1988 sudah termasuk adanya deregulasi dalam prosedur pengadaan

Paket Insentif Kedua (Februari 1989) berupa perubahan pembagian produksi (equity split) untuk lapangan marginal, untuk minyak yang diproduksikan dari batuan reservoir Pre-Tertiary dan untuk proyek proyek EOR serta insentif berupa kredit investasi untuk kontrak di Area Laut Dalam (Deep Sea Contract).

Paket Insentif Ketiga (Agustus 1992) dimaksudkan untuk mendorong aktivitas dalam eksplorasi gas baik diarea konvensional maupun frontier, insentif tersebut dalam bentuk perubahan pembagian produksi (equity split), kredit investasi dan DMO.

Paket Insentif Keempat dikeluarkan akhir tahun 1993, paket ini didasarkan lebih banyak kepada pertimbangan aspek geologi dan geographi, Insentif ini diberikan untuk mendorong investor melakukan aktivitas eksplorasi di wilayah indonesia timur, insentif pada paket ini berupa kenaikan DMO fee dari 15% menjadi 25% dari harga ekspor dan First Tranche Petroleum (FTP) diturunkan dari 20% menjadi 15%.

------------

Sumber : Pertamina

Tuesday, April 03, 2007

DMO Holiday

Saya dapet email dari seorang yang katanya orang awam, beliau ini nulis: “saya denger dikoran dan baca di tv (he he kebalik ya..), katanya exxon minta penundaan DMO holiday. Tolong jelasin, binatang apa ini mas, bingung buat orang awam kaya saya ini..?”, salam, John.. (wah namanya kaya bule, jangan2 expat ya mas he he..).

Iya Mas John (kayanya kurang pas, lebih cocok Bung John ajalah), saya juga lihat di internet (maklum nggak langganan koran), katanya demikian. Sebenarnya itu khan bukan hal yang aneh aneh amat, ya namanya juga usaha. Btw, sebelum kita bahas lebih jauh, saya perlu buat disclaimer nih, bahwa pendapat atawa opini saya sama sekali tidak mencerminkan pendapat dari organisasi dan atau perusahaan tempat saya bekerja, ini ”suer” pendapat pribadi!.


Oke Bung John, berhubung orang awam, sebaiknya kita bahas secara awam aja ya, yang pakar mohon tidak membaca he he… Jadi ceritanya gini, dalam kontrak Kerjasama (KKS) disebutkan bahwa untuk Wilayah Kerja yang baru dikembangkan, maka si Kontraktor dibebaskan dari kewajiban Domestic Market Obligation (DMO), selama 60 bulan dari mulai awal produksi, kerennya disebut DMO Holiday, jadi dapet liburan..he he, libur dari kewajiban maksudnya ..!.

Baru setelah lewat 60 bulan, si Kontraktor kena kewajiban menyerahkan bagian minyaknya sebagai DMO. Besarnya DMO = 25% x share split x production. Bagian minyak Kontraktor yang kena DMO ini dihargai dengan harga discount, yang besarnya 10% atau 15% dari harga pasar (tergantung di kontraknya menyebutkan berapa).


Lihat gambar dulu, ini contoh profil produksi dan kapan periode bebas DMO (holiday) dan periode “kena DMO”.

Sorry, ada ralat dikit, harusnya sumbu "x" mulainya tahun 0, males ganti lagi Bung.. yang penting maksudnya bebas DMO 60 bulan, begitu juga gambar berikutnya bayangin sumbu x mulai dari nol ya he he.

Menurut textbook, profil produksi itu akan mencapai “peak production” dan mengalami kondisi plateau beberapa saat, kemudian masuk tahap declining. Tentu namanya gambar text book ya harus ideal kaya gitu. Kenyataannya?, nggak semulus itu Bung, ada juga yang begitu peak production, langsung "terjun bebas"....., ada juga yang naik turun.. ya macem macem!.

Nah sekarang kembali ke pertanyaan diatas, tapi sekarang kita nggak usah spesifik ngomongin kasus Exxon, karena saya nggak ngerti informasi detailnya, yang penting secara umum aja, apa implikasi bila si Kontraktor minta penundaan DMO holiday.

Sekarang kita lihat kondisi normal dulu (gambar atas), karena nature-nya profil produksi itu, maka, 60 bulan pertama itu menjadi sangat penting mengingat 40% - 57% cadangan yang terambil itu terjadi pada periode tersebut (tentu saja angka angka tersebut tergantung profil produksi, periode dan lain lain).

Sekarang, bagaimana kalau ternyata profil produksinya seperti dibawah ini, dimana “peak production” terjadi lebih lambat karena berbagai macam kendala.


Dari gambar diatas, kita dapat melihat bahwa persentase cadangan yang terambil dalam 60 bulan pertama “hanya” sebesar 27% - 38% dari cadangan yang bisa terambil selama periode kontrak tersebut (tergantung "decline rate" setelah peak production, untuk kasus kita ini, anggap masing masing decline rate besarnya: 10%, 15% dan 20%).

Kenapa si Kontraktor minta penundaan sampai peak production, logika ya gampang aja, lihat gambar berikut:


Kalau si Kontraktor minta penundaan sampai setelah terjadi “peak production”, otomatis bagian yang nggak kena DMO nya sebesar 43% - 57% dari total cadangan yang dapat terambil. Jauh lebih baik dari angka sebelumnya.

Karena dalam hal ini ada masalah waktu, dan ente tahu khan kalau “time is money”, oleh karena itu tentu kita harus menghitung efek "time value of money (tvom)” ini. Sendainya kita masukkan pengaruh tvom ini, efeknya tentu lebih signifikan. Coba sekarang kita konversi ke "nilai sekarang" atau "present value (PV)", maka PV untuk kasus dimana tidak minta penundaan, besarnya mencapai 41% - 50% dari PV cadangan yang terambil. Bandingkan dengan PV kalau seandainya DMO holiday dimulai dari peak production, yang mana akan mencapai: 54% - 63% dari PV cadangan yang terambil.

Jadi buat si Kontraktor, tentu penting banget urusan 60 bulan bebas DMO ini, makanya si Kontraktor itu minta ditunda....

Bung John ini rupanya tanya lagi: ”Tapi khan kalau Kontraktor minta DMO holiday nunggu sampai terjadi "peak production", keenakan dong, jadi optimal gitu buat mereka. Padahal dalam kondisi normal pun nggak ada profil produksi yang ujug ujug langsung "peak". Untuk "fair" nya, ya mestinya nggak persis mulai pada saat mencapai peak dong, tetap harus "beberapa saat sebelum peak" ....

Wah Bung john ini tajam ternyata, saya sekarang ragu kalau Anda ini ngakunya orang Awam.. jangan2 Anda ini pakar....!!

Monday, April 02, 2007

Supply Cost

Saya mengacu ke Tag board dari bung Ivan: “Mas, saya pernah denger istilah "supply cost" kalau buat oil company, bisa dijelasin atau dikasih contoh, apa maksudnya?”.

Saya juga pernah denger istilah ini, untuk definisi lebih baik kita mengacu ke CERA, menurut mereka supply cost itu adalah: “the constant dollar price needed to recover all capital expenditures, operating costs, royalties and taxes and earn a specified return on investment”.

Jadi kira kira berapa minimum harga yang dibutuhkan supaya si operator tidak saja bisa me- recover biaya biaya yang telah dikeluarkan seperti: biaya kapital, biaya operasi, pembayaran royalti dan pajak, tetapi juga memperoleh minimum return tertentu.

Cara menghitungnya gimana? Ya gitu deh Ivan he he..

Jadi gini, kalau melihat definisi diatas, nggak terlalu sulit bikin excelnya. Ringkasnya gini: Tahap I, bikin excel biasa untuk menghitung keekonomian proyek (dalam hal ini IRR). Seperti biasa perlu asumsi biaya biaya, besarnya cadangan dan profil produksi, tentu saja perlu info berapa besar pembayaran royalty dan pajak (anggap aja sistemnya ini Royalty & Tax]. Nah, terakhir tentu perlu asumsi harga minyak. Spreadheet ya kira kira gini.


Tahap II, bikin sheet berikutnya untuk menghitung IRR, hasilnya seperti dibawah ini, dimana kita peroleh IRR = 22.1%

Tahap III, karena yang kita cari sesuai definisi diatas, maka perlu modifikasi dikit, dalam hal ini kita tentukan dulu berapa sich minimum return “tertentu” itu, dalam kasus ini (dan umumnya dianggap, minimum return IRR = 10% - tapi kalo mau pake 12% atau 15% ya silahkan aja). Nah sekarang dengan bantuan excel function Goal Seek (Klik “Tools” kemudian klik “Goal Seek”), maka kita tinggal ganti IRR dari 22.1% jadi 10%, selanjutnya excel akan menghitung sendiri harga untuk dapat IRR 10% tersebut (enak ya pake Goal Seek ini, jadi nggak perlu pake cara traditional “trial & error”).

Dalam kasus ini, setelah kita pake fungsi "Goal Seek" untuk dapet IRR = 10% tadi, diperolehlah angka = 21.61 $/bbl. Berdasarkan data data diatas, maka inilah supply cost tersebut. Kira kira gitu deh Om Ivan!.

Peringkat 20 Besar...

Ini peringkat 20 besar cadangan minyak dunia dari PIW (Vol XLVI, No. 14 - 2 April 2007).

Ooops.. ternyata RI nggak masuk euy.... hayo mari tingkatkan eksplorasi dong biar nambah cadangan!.. Temen saya nyeletuk nih, "gimana caranya ya wong GGE (Geologist, Geophysicist, Engineer) Indonesia pada kabur ke LN...". Duh... gimana mau ningkat nih cadangan dan produksi kita. Ada ide nggak gimana agar GGE (Gini Gini Engineer.. he..he) tertarik pulang kampung, daripada (nanti harus) hire expat mahal mahal, ya nggak?, mending bayar GGE kita sendiri, sama bangsa sendiri ya mbok jangan pelit lah he he!