Saturday, May 24, 2008

Siapa yang menyebabkan naiknya harga komoditas?

Tanggal 20 Mei 2008, U.S. Senate Committee on Homeland Security and Governmental Affairs mengadakan hearing dengan tajuk: Financial Speculation in Commodity Markets; Are Institutional Investors and Hedge Funds Contributing to Food and Enegrgy Price Inflation?

Salah satu yang memberikan testimoni adalah Michael W. Masters, pakar dan praktisi portofolio & capital management, Masters’ testimony menjadi pembicaraan hangat karena secara meyakinkan menunjuk hidung bawa “Institutional Investors” (Corporate and Government Pension Funds, Sovereign Wealth Funds, University Endowments and other Institutional Investors) adalah penyebab utama kenaikan komoditas belakangan ini.

Selama ini sudah banyak pihak menenggarai bahwa “spekulasi” sebagai salah satu biang utama kenaikan harga komoditas secara dramatis, testimony Masters menunjukkan “temuan baru” yang membuat banyak pihak (paling tidak senat US) untuk secara serius mengatur kembali mekanisme perdagangan di bursa komoditas berjangka ini.

Masters berangkat dari kenyataan bahwa melonjaknya harga komoditas 5 tahun terakhir berbeda dengan era sebelumnya, dimana lonjakan harga komoditas terjadi karena krisis pasokan, seperti yang terjadi tahun 1973 karena ada embargo minyak. Apa yang terjadi saat ini berbeda, nggak ada antrian di pom bensin, stock minyak cukup, bahan makanan tersedia banyak, tapi kenapa harga kok terus bergerak naik?. Bagaimana menerangkan 12 bulan terakhir harga minyak naik hampir dua kali lipat?.

Testimoni Masters paling tidak meringankan beban perusahaan minyak, perusahaan penunjang dan negara produsen, yang selama ini jadi kambing hitam, padahal sebenarnya mereka juga terbengong bengong dengan pergerakan harga minyak. Masters tidak hanya meng-cover sektor energi, tapi semua komoditas termasuk agricultural dan metal.

Apa yang membuat testimoni Master jadi heboh?

Pertama, Masters punya latar belakang sebagai pemain dan paham seluk beluk perdagangan komoditas berjangka, dalam testimoni dia mengaku sudah tidak telibat lagi dalam perdagangan komoditas berjangka, berbicara dengan kapasitas sebagai rakyat yang merasa concern dan tergerak untuk memberikan masukan terhadap situasi yang diyakini akan secara negatif berpengaruh terhadap ekonomi (US). Ada statemet menarik dari dia yang berbunyi: while some in my profession might be disappointed that I am presenting this testimony to Congress, I feel that it is the right thing to do… Ibaratnya: “kalau mau nangkap copet, suruh aja mantan copet..!”.

Kedua, “temuan baru” Masters sebenarnya sama sekali tidak menggunakan data data yang sifatnya rahasia, dia cuma mengutak ngatik data lama yang sudah tersedia, dan dikemas secara meyakinkan untuk membuat orang jadi kaget. Kenapa? Karena ekonom klasik sangat jarang atau mungkin tidak pernah menganalisa demand di futures market, sibuk berkutat dengan physical supply – demand.

Ketiga, Masters menuding instutional investor yang kemudian dia sebut mereka ini dengan Index Speculators, untuk membedakan dengan Traditional Speculators. Pembagian ini relatif jarang dikemukakan sebelumnya, ini termasuk salah satu “temuan baru”. Inti point2 penting yang saya kutip, sebagai berikut:

Traditional Speculators provide liquidity by both buying and selling futures. Index Speculators buy futures and then roll their positions by buying calendar spreads. They never sell. Therefore, they consume liquidity and provide zero benefit to the futures markets.

Index Speculator demand is distinctly different from Traditional Speculator demand; it arises purely from portfolio allocation decisions. When an Institutional Investor decides to allocate 2% to commodities futures, for example, they come to the market with a set amount of money. They are not concerned with the price per unit; they will buy as many futures contracts as they need, at whatever price is necessary, until all of their money has been “put to work”. Their insensitivity to price multiplies their impact on commodity markets.

One particularly troubling aspect of Index Speculator demand is that it actually increases the more prices increase. This explains the accelerating rate at which commodity futures prices (and actual commodity prices) are increasing. Rising prices attract more Index Speculators, whose tendency is to increase their allocation as prices rise. So their profit-motivated demand for futures is the inverse of what you would expect from price-sensitive consumer behavior.

It is easy to see now that traditional policy measures will not work to correct the problem created by Index Speculators, whose allocation decisions are made with little regard for the supply and demand fundamentals in the physical commodity markets. If OPEC supplies the markets with more oil, it will have little affect on Index Speculator demand for oil futures. If Americans reduce their demand through conservation measures like car pooling and using public transportation, it will have little affect on Institutional Investor demand for commodities futures
.

Tidak bisa dipungkiri juga kalau larinya investor ke bursa komoditi belakangan ini juga dipicu karena pelemahan nilai tukar USD. Implikasi dari kesaksian Masters ini cukup menyeramkan: ancaman krisis pangan dan energi global. Versi lengkap (Chart, Data dan Hitungan2) testimoni Masters dapat diunduh disini.

Thursday, May 22, 2008

Cost Recovery, Export Crude atau BBM, etc

rinaldy roy: Mas Benny..saya dapat info dari millist sbb..Cost recovery minyak mentah Indonesia mencapai US$9, 03 per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar US$4-US$6 per barel. Jadi, cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia....Benar nggak yaa? May.22.08 05:12 AM

Pertama, mohon info yang posting di milis tersebut sumber datanya dari mana?, Kedua, bagaimana sumber tersebut menghitung cost recovery per barrel-nya, yang normal khan menghitungnya: ‘total cost’ yang terjadi pada tahun tsb dibagi dengan jumlah total barel yang di produksi sepanjang tahun. Salut juga dengan sumber tersebut kalau memang punya semua data cost setiap negara, karena terus terang untuk beberapa negara, khususnya negara timur tengah dan Afrika, data cost tersebut sangat sensitif…

Saya agak meragukan angka tersebut, angka rata rata-nya juga kelihatan terlalu rendah. Kalaupun itu benar, maka negara tersebut pastilah negara negara dengan upstream cost rendah spt: Saudi Arabia, Iran atau Kuwait. Tentu tidak fair membandingkan dengan negara lain (termasuk Indonesia) yang memang termasuk wilayah sulit (cari minyak), apalagi lokasi deepwater, GOM dan North Sea sana.

Untuk tujuan perbandingan; cost recovery per barrel bisa menyesatkan. Ilustrasinya begini: misalnya country A pada tahun 2006 cost recovery per barrel nya lebih besar dari country B. Apakah itu berarti country A 'lebih berhasil' dari country B? Ya tentu tidak bisa langsung disebut demikian. Bisa jadi Country A mengurangi aktivitas E& P sehingga cost nya turun, sementara country B, sedang banyak aktivitas E &P. Apa yang terjadi tahun depan (atau tahun tahun depannya lagi)? Country B berhasil menahan penurunan produksi, sementara Country A, karena ngirit, produksinya akan “terjun bebas”, nah kondisinya jadi kebalik, dalam per barrel, karena produksi anjlok, cost per barrel country A akan lebih tinggi.. Jadi melihat snapshot spt itu, tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya terjadi..
-------------------

rinaldy roy: Jadi,agar memenuhi konsumsi dalam negeri tanpa perlu impor, berapa produksi minyak yang harus digenjot..? Dan apakah demand ini, bisa dipenuhi dari lapangan yang ada..? May.21.08 09:53 AM

Negara net exporter besar seperti Iran, UAE , Venezuela pun tetap mengimpor BBM, ini menyangkut refinery economics yang ceritanya bisa agak panjang.. jadi tidak ada rule of thumb nya: berapa seharusnya produksi crude sehingga tidak perlu impor BBM. Seperti negara net expoter besar tsb, kalau ekspor crude lebih untung dari ekspor BBM, ya mending jual crude. Bikin refinery untuk kilang kebutuhan domestik, kurangnya ya tetap impor…
-------------------

Rangga Lesmana: Bang.....sya nubieh nih di blog ini n petroleum industry....mo minta tolong bang.....kira2 abang punya draft tentang analisa kelayakan finansial salah satu proyek migas...yang lama juga ga apa bang...tapi kalo bisa metodenya pengukurannya beberapa ya bang ...biar ada benchmark...plis ya bang ..ditunggu....maturnuwun sebelumnya..... May.21.08 07:41 AM

Dik rangga, saya carikan papernya, yang penting metodologinya khan?
-------------------

Zaki: Mas Benny, ada berita di detik bahwa Kongres AS meloloskan UU Anti OPEC ([LINK]). Any comment? May.21.08 06:58 AM

Di Amrik mah, apa aja yang bisa di sue ya di sue, lumayan kerjaan buat para pengacara, nanti negara2 yang di sue akan sewa pengacara amrik juga, hasil akhir nggak pasti, yang pasti itu duit mengalir buat pengacara amrik juga…
-------------------

Yudi: Pak Benny, walapun KKG dlm tulisan tsb oversimplified, inti pendapatnya adalah Pemerintah dan Pertamina tdk perlu membeli minyak yang ada diperut bumi indonesia , shg dlm perhitungannya hanya biaya lifting. Mana yang lumrah dipergunakan di dunia ? May.16.08 04:48 AM

Saya tidak mempermasalahkan asumsi ini, asumsi yang salah itu menganggap crude masuk kilang semua jadi BBM, sehinga tidak perlu lagi impor BBM…
------------------

Rizki: Pak, saya awam nih mengenai migas, apakah sama definisi dari Supply Cost dengan Cost per Barrel ? Trim's May.15.08 07:10 AM

Supply cost sudah memperhitungkan royalty, profit sharing dan tax yang harus dibayar ke pemerintah, sedangkan cost per barrel, total cost di bagi total recoverable reserves.
------------------
satrio: mas benny, saya ingin tahu penerapan protokol kyoto thd PSC di Indonesia. apa ada informasinya? trims, May.15.08 06:46 AM

Saya nggak update masalah ini, mungkin ada yang lain yang bisa bantu?
-------------------

adhi: Mas benny punya literatur tentang tata niaga penjualan (ekspor dan domestik) minyak dan gas serta tata niaga impor minyak di Indonesia ? Saya mendengar import minyak untuk kebutuhan dalam negeri diimpor Pertamina dari anak perusahaannya di singapura Petral yang kemudian dijadikan patokan penhitungan besaran subsidi. Kayaknya kebutuhan minyak untuk provider BBM dalam negeri seperti shell, petronas juga lewat Petral juga. Kalau informasi itu benar enak ya Pertamina labanya tinggi tetapi APBN defisit. May.15.08 06:28 AM

Mohon maaf saya nggak punya literatur dimaksud. Kalau ada yang kenal orang Petral, mbok suruh kasih klarifikasi, biar nggak timbul prasangka..
-------------------

Ibnu Nugraha Adji: Saya adalah orang yang baru dalam bekerja di Oil & Gas, baru setahun ini saya bekerja sebagai Cost Control di Tangguh LNG Project Papua. Minta tolong diberi saran buku2 atau paper tentang cost control yang bisa saya pelajari untuk menambah wawasan saya karena sepertinya bidang cost control ini sangat menarik dan belum banyak orang di Indonesia yang menguasainya. Terima kasih banyak May.14.08 03:06 PM

Buku yang specific mengenai cost control saya belum ketemu, jarang kayanya. Tapi anywaya kalau nati ada yang info akan saya sampaikan.
--------------------

yapit: Mas Benny ... Saya mo tanya. Seandainya Pertamina mendapat previllage atas share ditiap WK yang ditawarkan (let's say=PI=10%), GOI dalam hal ini lewat Pertamina bisa mengontrol tidak ya kegiatan2 operasional dan keuangan si operator ?? Yang ada sekarang kan PI untuk pemda (yg ga ada dana dan jatohnya ke orang itu2 aja ) jadi daripada mubazir berikan saja ke Pertamina sebagai perusahaan negara. Dinegara lain ada tidak ya yang seperti ini. TX Berat ... May.14.08 08:39 AM

Mengontrol kegiatan operasional dan keuangan ya tidak bisa.. harus jadi operator, dimanapun kalau cuma punya PI, ya ikut rapat rapat awal saja, eksekusi diserahkan ke operatornya.
--------------------

nunut: oh iya satu lagi.. pak beny kalau perusahaan migas yang ada di blok sangata kaltim yang melakukan PSC nama perusahaannya apa? saya sedang menyusun skripsi..trims May.12.08 05:10 PM

Saya nggak hapal nama perusahaannya, minta tolong sama pak yapit tuh.. he he
---------------------

nunut: saya bisa mendapatkan buku akuntansi perminyakan dmn ya pak? saya dah cari kmn2 tp ga ada! bisa ga saya minta kopiaannya? trimakasih May.12.08 05:03 PMT

Kalau yang versi Indonesia dulu saya punya karangannya Pak Haryono, kalau yang terbitan luar, saya punya beberapa, nanti deh kalau saya pulang boleh lah dicopy..

Wednesday, May 14, 2008

Komentar thd Tulisan KKG

DW Zen: Oom Benny, Mo klarifikasi saja ttg tulisan Oom Kwik yg ttg uang hasil minyak itu dibawa kemana (ngak ada yg dipakai subsidi harga bhb masih surplus katanya), tulisannya lagi hangat beredar di milis ,itu kira2 bener gak sech ?

Saya copy paste tulisan Kwik Kian Gie (KKG) dulu ya, komentar saya dibawahnya:

----------------------------


Subsidi BBM Bukan Pengeluaran Uang. Uangnya Dilarikan Kemana?
Oleh: Kwik Kian Gie
Dengan melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia sampai di atas US$ 100 per barrel, DPR dan Pemerintah menyepakati mengubah pos subsidi BBM dengan jumlah Rp. 153 trilyun. Artinya Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 153 trilyun tersebut untuk dipakai sebagai subsidi dari kerugian Pertamina qq. Pemerintah. Jadi akan ada uang yang dikeluarkan?Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata “subsidi BBM” itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana?

Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut.Harga minyak mentah US$ 100 per barrel.Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau kita ambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel. Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya? Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai.

Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel.Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir.Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu?Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun.


PERHITUNGAN ARUS KELUAR MASUKNYA UANG TUNAI TENTANG BBM (Harga minyak mentah 100 dollar AS)

DATA DAN ASUMSI

Produksi : 1 juta barrel per hari 70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia

Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun

Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel
1 US $ = Rp. 10.000

Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel 1 barrel = 159 liter

Dasar perhitungan :
Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter

PERHITUNGAN

Produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000

Konsumsi dalam liter per tahun = 60,000,000,000

Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun = 19,375,500,000

Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini (19,375,500, 000 : 159) x 100 x 10.000 = 121,900,000, 000,000

Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri 40,624,500,000 x Rp. 3.870 = 157,216,815, 000,000

Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel, Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar = 35,316,815,000, 000

Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiapliter bensin premium yang dijual, Harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500 Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel atau per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) 630 Kelebihan uang per liter 3,870

--------------------

Saya termasuk penggemar tuliskan Pak Kwik Kian Gie (KKG), cuma untuk yang hitungan ini, saya kok kurang sreg, terlalu disederhanakan – oversimplified!!

Problem utama: KKG membuat asumsi yang nggak masuk akal, 100% input minyak mentah masuk kilang – output berupa 100% bensin premium (MOGAS)

Lihat gambar

Saya terus terang tidak punya data update, cuma kebetulan saya pernah punya file teman Pertamina yang presentasi di salah satu forum International. Gambarnya saya sederhanakan, angkanya saya estimasi supaya sama dengan inputnya KKG.

Lihat gambar:


Tentu saja nggak benar asumsi KKG, yang benar bahwa crude menjadi berbagai macam products seperti ilustrasi diatas. Dan tentu jangan lupa, running kilang perlu fuel juga, dan seperti biasa namanya mesin tentu ada “losses”, yang besarnya (fuel dan losses) sekitar 7.5% dari volume crude. (Btw, sebelumnya saya mohon koreksi teman2 yang punya data produksi kilang yang lebih baik atau update..).

Cerita belum selesai sampai disini, fuel products yang kita hasilkan, (Gasoline, Kerosene dan Gas Oil) itu ternyata lebih kecil dari konsumsi yang kita perlukan, makanya products tersebut harus diimpor lagi, tentu bayar dengan harga internasional…

Sekedar Ilustrasi (Data 2007, satuan Juta Kilo liter):

Gasoline (Produksi Kilang: 10.9, konsumsi: 16.5, Impor: 5.6)

Kerosene (Produksi Kilang: 8.7, Konsumsi: 12.3, Impor: 3.6)

Gasoil (Produksi Kilang: 14.5, Konsumsi 28.6, Impor: 14.1)

Jadi, saya kira hitungan KKG kurang relevan, lha siapa yang mau pusing disuruh nyari kemana larinya 35 trilyun itu, wong KKG nya juga nggak tahu.. itupun kalau memang ada…. Tapi anyway salut buat KKG yang selalu membuat “hot topics”..

Thursday, May 08, 2008

Indonesia dan OPEC

Hari hari ini cukup ramai mengenai wacana kemungkinan RI akan keluar dari OPEC, apalagi statement ini langsung dari Presiden SBY, tentu ini pertimbangan yang serius. Pro Kontra selalu ada, ada yang mendukung tetap di OPEC dengan alasan privilege atau kemudahan akses untuk membeli crude dari anggota OPEC (kerennya: energy security), akses to market development, studies, kerjasama bisnis, etc. Sebaliknya, ada juga yang concern dengan biaya anggota yang kemahalan, begitu pula dengan kenyataan status kita yang net importir.

Di Sekretariat sinipun, walaupun ini bukan isu baru, banyak juga kolega disini menanyakan kabar ini, dan mereka pada umumnya menyayangkan kalau RI mau keluar, mengingat persaudaraan OPEC ini cukup kuat, walaupun tentunya kadang kadang punya kepentingan yang beda beda. (Sebagai contoh kasus yang sedang hangat, ExxonMobil dengan Venezuela. OPEC secara tegas menyatakan dukungannya kepada Venezuela seperti dimuat pada press release penutupan konferensi bulan Maret 2008, ini salah satu bentuk solidaritas..).

Bagaimana pengaruhnya ke OPEC (kalau RI keluar)? peranan OPEC yang semakin disegani tentu tak akan berkurang, semakin banyak negara konsumen besar (OECD countries), India dan China yang ingin bekerjasama dengan OPEC, Uni Eropa juga berusaha menjalin hubungan yang akrab dengan OPEC dengan agenda pertemuan rutin tahunannya. OPEC kelihatannya akan semakin berkibar. Namun (kalau RI keluar), saya kira OPEC juga akan merasa kehilangan peran RI yang selama ini selalu jadi penengah ("faktor penyeimbang") dari kubu kubu yang ekstrim, RI juga satunya negara anggota dari Asia Pasific, etc..

Saya menahan diri untuk tidak ikut memberi komentar lebih jauh mana yang lebih baik (karena takutnya nanti akan jadi bias..). Silahkan saja dicari solusi yang terbaik, dengan mempertimbangkan segala aspek untung dan ruginya. Mudah mudahan apa yang akan diputuskan nantinya, itulah yang terbaik bagi negara kita...

Sunday, May 04, 2008

harga minyak?

Sebetulnya paling males menganalisa harga minyak pada saat seperti ini, ketika harga minyak mencapai level yang tidak pernah diduga, dan arahnya juga nggak ketahuan, mau terus naik sampai mentok?.. masalahnya mentoknya ini kita juga nggak tahu kapan dan berapa.

Tapi sekedar untuk menambah wacana dan bahan diskusi warung kopi, bolehlah kita menebak nebak arah anginnya kemana. Sebagaimana sudah banyak dibahas di mass media, ada banyak faktor yang membuat harga minyak naik: utamanya belakangan ini karena melemahnya nilai tukar US dollar, meningkatnya tekanan inflasi dan tentu saja seperti sering kita bahas yaitu meningkatnya biaya di sektor hulu migas. Kita juga tidak boleh lupa bahwa ada istilah minyak itu adalah emas hitam, dan sepertinya memang demikian karena seperti halnya emas, minyak kini jadi komoditas alternatif untuk investasi manakala inflasi meningkat atau nilai tukar melemah (sebagai bagian dari strategi lindung nilai).

Karena biaya kegiatan hulu meningkat, supply cost jadi naik (definisi detail supply cost lihat posting saya sebelumnya). Supply cost ini merupakan basis bagi pembentukan harga minyak. Katakanlah ini semacam harga minimum. Beberapa publikasi menulis, saat ini supply cost berkisar antara 50 - 60 USD per barrel (ini rata rata beberapa analis atau publikasi, tentu ada yang diatas dan dibawah range tersebut). Berapa harga minyak yang akan terjadi dipasar, secara teori akan berada diatas supply cost ini. Proses terbentuknya harga minyak selanjutnya dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Faktor fundamental ini yang akan membuat harga minyak berfluktuasi, tapi fluktuasinya mestinya “dalam batas batas yang wajar“. Untuk kondisi saat ini katakanlah range-nya 10 an USD per barrel. Dengan demikian, seyogyanya harga minyak itu ya sekitar “supply cost” ditambah dengan efek faktor fundamental tadi. Kira kira 70 – 80 USD per barrel lah..

Problemnya ada fator lain diluar dua yang disebut tadi, yaitu: non fundamental, antara lain: spekulasi, geopolitik, ekonomi global (misalnya: melemahnya nilai tukar dolar amrik), inflasi, masalah di downstream, ketakutan akan menurunnya pasokan dan lain lain. Nah faktor ini yang membuat harga menjadi diatas 80 dan entah sampai berapa…

Bagaimana menebak trend kedepan? Ini sulit dan hampir nggak ada yang bisa, cuma sekedar teori, kira kira begini: pertama kita harus membuat skenario apa yang akan terjadi, katakanlah ada dua skenario, yang pertama: terjadi resesi ekonomi, akibatnya permintaan menurun. Apa yang akan terjadi? harga minyak akan turun, sampai berapa?, rasanya nggak akan kembali ke era 40 an dolar per barel lagi, paling tidak turun menyentuh dasarnya yaitu “supply cost” tadi. Apa iya permintaan akan turun?, ya bisa saja, untuk negara negara konsumen besar yang petroleum products-nya ikut harga pasar global, kalau harga naik terus tentu nggak kuat juga konsumennya, mereka harus mikir gimana caranya menurunkan konsumsi, proyek2 ditunda, etc. Tentu ada masalah untuk negara2 yang harganya nggak ikut pasar alias diatur sama pemerintah. Skenario kedua: kekurangan pasokan, nah ini yang bikin harga bertahan diatas 100, dan bisa jadi (akan) dan terus merambah naik apalagi bila faktor non fundamental ikut bermain...

Idealnya kita bisa membuat model simulasi yang memasukkan semua parameter, masalahnya mengkuantifisir faktor non fundamental hampir tidak mungkin dilakukan.

Kalau dipaksa nebak gimana? Saya pribadi cenderung sependapat dengan salah satu publikasi yang cukup beken, menurut mereka kira kira begini: untuk skenario yang kekurangan pasokan tadi, maka harga minyak rata rata sepanjang tahun sampai 2009 sekitar 115 – 125. Ini harga rata rata bisa saja ada satu dua hari harga melonjak jadi 150, tapi rata rata bulanan, ya sekitar itu. Sedangkan, kalau terjadi skenario yang satunya lagi (resesi kemudian permintaan menurun) maka harga minyak akan drop sampai 70. Tentu ada juga skenario diantara dua ekstrim, yaitu antara 90 – 110. Harga harga ini untuk harga minyak WTI.

Ibarat analisa pengamat sepakbola, cerita (boleh) panjang lebar, analisa sana sini, tebak score. Selanjutnya? tunggu ajalah sampai pertandingan berakhir….