Thursday, December 06, 2007

PSA Russia (update)

Baru terima email dari Oxford Institute for Energy Studies (OIES) tadi siang, biasanya mereka kirim email kalau ada working paper (WP) baru. Enaknya WP dari OIES ini (sebagian besar) bisa di download gratis, nggak perlu member2 segala. WP ini cukup menarik judulnya, yaitu: Agreement from Another Era, Production Sharing Agreements in Putin's Russia: 2000 - 2007, bisa di download disini. Anggap aja sebagai update dari posting saya tentang PSA di Russia awal tahun ini disini.

Wednesday, December 05, 2007

Manfaat nge-blog..

Sudah hampir satu setengah tahun nge blog? Teman saya bilang, “rajin amat kamu nulis di blog”, sebenarnya nggak juga ya, karena sebagian besar yang saya posting itu berhubungan dengan kerjaan saya dulu maupun sekarang, juga dari beberapa bahan kursus yang pernah saya berikan di tanah air.

Kalau update untuk industri migas dan energi di mancanegara, saya terbantu dengan banyaknya langganan publikasi yang diterima setiap pagi, hampir satu jam pertama di kantor dipakai buat baca publikasi online tersebut. Biasanya kalau ada yang menarik dan tidak terlalu spesifik saya olah sedikit untuk dijadikan bahan posting. Saya tidak mau langsung copy paste, karena memang aturannya tidak boleh. Gimanapun itu ”periuk nasi” si penerbit. Sebenarnya banyak publikasi bagus tapi (sayang) sifatnya confidential, ya udah, saya keep aja. Saya juga terbantu dengan mudahnya beli buku baru yang terkait dengan energi, perminyakan, fiscal dan lain lain, kadang kadang sedih juga mendengar teman2 di tanah air yang kesulitan cari buku. Disamping itu disini cukup sering ngundang pakar mancanegara untuk presentasi, jadi ada kesempatan untuk interaksi langsung, enaknya kalau ada hal hal yang off the record, biasanya mereka share.

Buat saya sendiri, nulis di blog banyak manfaatnya juga, kalau perlu info cepat mengenai suatu hal dan kebenaran pernah saya posting, biasanya saya merasa lebih cepat kalau cari di blog, ketimbang cari di files di komputer. Hitung hitung kaya bikin catatan ajalah..

Mungkin ada satu hal yang menjadikan nge-blog lebih mudah, disini akses internet relatif murah, dengan paket 3 in 1, yang terdiri dari: akses internet bebas 24 jam per hari, ditambah TV cable dan telpon lokal, kena sekitar 700 ribu per bulan. Saya kira lebih murah dibanding di Jakarta (atau sekarang sudah ada yang lebih murah?).

Salah satu yang menarik dari nge blog adalah diskusi dan banyak teman, beberapa yang email “japri” ke saya, baik yang sekedar say hello, maupun nanya yang susah susah. Beberapa saya posting di blog yang kira2 menarik buat yang lain. Saya senang diskusi dengan adik2 yang lagi kuliah yang perlu paper2, kalau kebetulan ada pasti saya kirimkan (gimananapun saya pernah merasakan susahnya cari paper gratis dulu...). Saya juga banyak dapat kiriman presentasi, makalah dan lain lain dari teman teman, senior dan lain lain dari tanah air. Ada juga yang ngirimin buku (thanks a lot!). Mengenai nulis buku? Setelah saya pikir2, (kayanya) nggak semudah itu, nulis buku kan pake bahasa yang benar, bahasa saya agak belepotan, sementara nulis blog saya bisa pake bahasa prokem… paling nggak, belum kepikiranlah untuk saat ini.

Saya ngebayangin mau cuti satu bulan, kayanya nanti kangen juga lama nggak nge blog!

Thursday, November 29, 2007

Buku Baru & CUTI...

Escaping the Resource Curse, Ini buku baru terbitan tahun 2007, saya pesan lewat Amazon UK, harganya sama ongkos kirim dan VAT sekitar 36 euro. Saya suka judulnya dan salah satu editornya (Prof. Stiglitz) yang sempat ramai ketika mendukung langkah nasionalisasi versi Bolivia beberapa waktu yang lalu.

Menarik ternyata ide awal penulisan buku ini salah satunya dari George Soros (dengan kapasitasnya sebagai Chairman and Founder of the Open Society Institute), tidak heran kalau kata pengantarnya dari doi. Saya kutip paragraf awal dari kata pengantarnya: “resource curse” is the term used to describe the failure of resource rich countries to benefit from their natural wealth. Perversely, many countries rich in natural resources are poorer and more miserable than countries that are less well endowed…

Buku ini terdiri dari kumpulan tulisan dari beberapa pakar, David Johnston (kembarannya Daniel) nyumbang satu tulisan, judulnya “How to Evaluate the Fiscal Terms of Oil Contract”, isinya hampir sama dengan bukunya Daniel, hanya ada beberapa update khususnya mengenai: Saving Index, Effective Royalty Rate (ERR) dan Access to Gross Revenue (lihat posting2 saya sebelumnya kalau ingin tahu detail “binatang” apa ini). Tulisan2 lain kalau dilihat judulnya juga kelihatannya menarik, saya baru sempat lihat tulisannya Joseph Stiglitz di bab 2, judulnya “What is the Role of the State”, saya bacanya agak pelan2, karena surprise, tulisan profesor ini agak sangar juga, dimana dia membahas kasus2 “cheating” yang dilakukan IOC besar, dia juga membahas bahwa “suksesnya” renegosiasi kontrak2 lama di Amerika Latin, menunjukkan keyakinan dia bahwa selama ini mereka (host countries) ditipu (sama IOC)…

Bab lain belum sempat disentuh, kayanya kerjaan numpuk karena 2 minggu lagi saya mau cuti pulang kampung, beberapa kerjaan harus diselesaikan sebelum terbang ke Jakarta. Paling nggak buku ini bisa dibaca di pesawat atau dijadiin tambahan bantal kalau nggak sempat. Pengalaman menunjukkan kalau kita bawa buku, 99% malah nggak akan sempat dibaca, apalagi pas cuti, banyak urusan lain yang lebih menarik he he.. So, Off dulu barang sebulan, lupakan urusan kontrak migas, fiscal terms, harga minyak, dan lain lain… mending mikirin dimana cari makanan enak di kampung......he he.

Tuesday, November 27, 2007

Thinking Out of the Box

Dari tagboard, Zaki: Mas Benny, barusan di detikcom diberitakan bahwa BPMIGAS mengusulkan agar drilling dikeluarkan dari komitmen eksplorasi, sehingga masa eksplorasi bisa cuma 3 th saja. Kalo dari kasus2 di negara lain, apakah skema ini cukup umum dipakai dan bagaimana pro & cons-nya? Thx

-----
Saya copy- paste artikel detikcom tersebut dibawah ini:

Selasa, 27/11/2007 14:57 WIB
BP Migas Usulkan Pengeboran Tak Masuk Komitmen Eksplorasi
Alih Istik Wahyuni - detikfinance

Jakarta - BP Migas mengusulkan agar pengeboran dikeluarkan dari komitmen masa eksplorasi. Dengan demikian, masa eksplorasi bisa diperpendek dari 10 tahun menjadi hanya 3 tahun. "Kita usulkan begitu. Eksplorasi komitmennya tidak usah sampai pemboran," kata Kepala BP Migas Kardaya Warnika usai penandatanganan Pakta Integritas di gedung Patra Jasa, Jakarta, Selasa (27/11/2007).

Komitmen eksplorasi saat ini terdiri studi geologi, geofisik, seismik, dan pengeboran. Jangka waktu yang diberikan adalah 6 tahun dan bisa diperpanjang 4 tahun jadi 10 tahun. Menurut Kardaya, mekanisme seperti itu menyulitkan investor dan pemerintah. "Kalau dari seismik diperkirakan ada minyaknya pasti dibor tapi kalau tidak ada tandatanda, ya tidak akan dibor. Kalau belum tahu ada apa-apa, ternyata kosong, ya hanya orang gila aja yang ngebor," katanya.

BP Migas mengusulkan masa eksplorasi hanya 3 tahun. Jika ditemukan migas baru dibor, jika tidak maka harus dikembalikan ke pemerintah lalu bisa ditawarkan lagi ke orang lain. "Jangan sampai dia nggak bisa, orang lain nggak bisa masuk," katanya.

------------------------------------
Kembali ke pertanyaan mas Zaki, Kalau saya melihatnya begini, saya kira BP Migas yang hari2 nya berinteraksi dengan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) tahu persis permasalahan yang terjadi, kendala apa saja yang dihadapi KKKS dalam memenuhi komitmen eksplorasi selama ini. Sehingga perlu dicari terobosan, namanya mau nerobos, jalan berpikirnya harus “out of the box”. Namanya alternatif pasti selalu ada plus minusnya.

Saya belum sempat cek satu per satu bagaimana komitmen eksplorasi di negara lain, yang pasti kalau komitmen eksplorasi umumnya termasuk mengebor sekian biji sumur eksplorasi. Kondisi idealnya memang seperti itu, karena namanya cadangan baru bisa di konfirmasi tentu setelah ada pemboran. Namun sekali lagi kita perlu melihat apa kendala yang dihadapi KKKS, seperti kata Kepala BPMigas, kalau KKKS belum “mantab yakinnya”, kenapa mesti dipaksa ngebor. Menurut saya ini perlu untuk menggairahkan aktivitas eksplorasi khususnya di daerah “sulit”.

Bila perlu tidak berhenti sampai disini, perlu pemikiran “out of the box” lainnya, misalnya (kaya’nya saya pernah posting sebelumnya), ide untuk memberi kesempatan pada konsorsium perusahaan minyak (yang sudah punya blok berproduksi) ngebor wildcat di daerah yang “konon kabarnya” ada minyak atau gas nya. Caranya: suruh eksplorasi dan ngebor satu sumur, biayanya masuk cost recovery dari existing block (kalau PSC normal khan nggak bisa masuk cost recovery, tunggu produksi dulu, lihat posting mengenai ringfencing). Nah untuk kasus ini monggo dikasih insentif “ngebor satu (atau dua) sumur wildcat gratis”. Menurut saya ini juga terobosan, kalau hasilnya (ngebor tersebut) positif, pemerintah bisa negosiasi dengan kontraktor dengan posisi tawar menawar yang jauuuh lebih baik. Pemikiran “out of the box” seperti ini sudah lama beredar di kalangan orang migas, saya nggak tahu bagaimana kelanjutannya. Memang ada yang argue, wah kalau nggak ketemu pemerintah penghasilannya berkurang karena cost recovery naik, ya so pastilah broer, cuma kalau sebaliknya, ada discovery, syukur syukur kaya lapangan Tupi di Brazil yang menghebohkan itu, khan lumayan.

Thinking Out of the Box yang lain? (ini misalnya): bagaimana caranya nge-push KKKS segera memproduksikan lapangannya yang masih nganggur, saya kira untuk saat ini masalah keekonomian bisa dilupakan dulu, dengan harga minyak yang cenderung terus tinggi, semuanya sudah ekonomis-lah. Nggak ada resouces/manpower? suruh yang lain ngerjain, belum ada mekanismenya, gimana dong?, ya namanya “out of the box”, bebas aja mikirnya dulu. Jangan belum apa2 udah, “wah ini sulit..”, “kalau itu nggak mungkin”. Cara berpikir “out of the box” itu perlu, tentu dalam rangka memberikan yang terbaik untuk negara. Ibaratnya kalau mikirnya “sekitar situ aja”, ya hasilnya juga “segitu gitu aja” hehe. So let’s think out of the box..

Sunday, November 25, 2007

Economic Rent di Industri Migas

Konsep yang penting dipahami ketika kita membahas aspek kontrak perminyakan adalah Economic Rent. Konsep ini awalnya mengacu ke teori David Ricardo, untuk yang tertarik analisa Ricardo, bisa baca detail di bukunya beliau Principles of Political Economy and Taxation, bab 2 dan Bab 3 (Rent dan Rent on Mines).

Saya akan fokus ke konsep economic rent untuk industri migas khususnya. Sebagaimana diketahui bahwa migas dan kekayaan alam lainnya adalah milik negara, setiap negara tentu punya beberapa tujuan dalam rangka pengembangan migas di negara masing masing, tidak bisa dipungkiri dalam beberapa hal, bisa terjadi konflik diantara tujuan tersebut. Namun satu hal yang hampir pasti serupa adalah tujuan utamanya, yaitu: memaksimalkan economic rent.

Dari studi literatur yang saya lakukan ada 2 buku yang sangat baik mendefinisikan economic rent dalam industri migas. Pertama: Alexander Kemp di bukunya "Petroleum Rent Collection Around The World" (1987), saya kutip sebagai berikut:

"The economic rents from petroleum exploitation are the returns accruing to investor over and above those costs necessary to sustain (1) ongoing production from existing fields, (2) the development of new but discovered fields and (3) new exploration. Measurement of the rents requires knowledge of the costs of finding, developing and operating production profiles, oil prices and investors' discount rates. This is a demanding list of requirements, but if inaccurate measures are employed by governments, the economic distortion can then arise."

Definisi yang lain dari Daniel Johnston, di bukunya International Fiscal System and Production Sharing Contract (1994), sebagai berikut:

"
The economic rent in the petroleum industry is the difference between the value of production and the costs to extract it. These costs consist of normal exploration, development and operating cost as well as an appropriate share of profit for the petroleum industry. Rent is the surplus. Economic rent is synonymous with excess profits. Governments attempt to capture as much economic rent as possible through various levies, taxes, royalties and bonuses"

Gambar diatas saya ambil dari bukunya Daniel Johnston, gambar ini menunjukkan bagaimana alokasi Gross Revenue dari produksi migas, Rent disini tidak lain adalah Government Take. Konsep economic rent penting dipahami oleh kedua belah pihak (host country dan contractor atau perusahaan migas) khususnya ketika men-disain formulasi fiscal terms yang optimum. Host country tentu berusaha memaksimalkan GT namun pada saat yang sama fiscal terms tersebut harus cukup menarik buat investor. Prakteknya tentu nggak segampang ini…

Tuesday, November 13, 2007

Perdagangan minyak

Dari tagboard Mas Edy Purnomo: Yth Mas Benny saya wartawan di Investor Daily, Jakarta. Beberapa hari ini kami menurunkan berita-berita soal minyak termasuk, proses ekspor impor. Beberapa kalangan menilai Indonesia selama ini salah dalah menerapkan kebijakan ekspor-impor minyak yang melalui trader atau broker. Pertanyaannya, Benarkah impor minyak harus melalui trader dan tak bisa langsung dilakukan? Bagaimana sebenarnya prosedur perdagangan minyak mentah dan BBM di dunia selama ini. Bisakah mas menjelaskan ke saya soal seluk beluk perdagangan minyak? Siapa saja pemain yang mempengaruhi harga minyak? terima kasih.

------------------
Urusan perdagangan minyak ini emang agak kompleks mas, kita bahas yang simpel dulu:

Dari jenis perdaganganya: crude oil atau bisa juga petroleum products. Trading centernya, antara lain: Houston, New York, London. Geneva, Rotterdam, Tokyo dan Singapore. Pemainnya siapa aja? Integrated Oil Companies (IOC dan NOC), consumers, refiners, traders, dan lain lain. Kalau kita ngomong crude beneran (physical), maka delivery-nya bisa dibagi lagi: terms contract dan spot sale. Sebenarnya ada lagi, yaitu: forward, futures dan Derivates, tapi nggak usah kita bahas karena nggak begitu relevan dengan pertanyaan Anda.

Gambar diatas saya kutip dari RIM, secara garis besar untuk bisnis minyak mentah (crude oil), mereka bagi 4 pemain intinya, yaitu: Producer, perusahaan yang produksi dan ekspor minyak mentah, Equity Holder - Perusahaan yang punya interest atau share lapangan minyak (tapi bukan sebagai operator), Oil Trader - Perusahaan yang kerjaannya beli dan jual minyak mentah di pasar internasional. Oil Refiner – Perusahaan yang beli minyak mentah untuk diolah lebih lanjut jadi petroleum products.

Untuk bisnis petroleum products, gambarnya seperti dibawah ini:

RIM secara garis besar membagi mereka menjadi 3 pemain, yaitu: Singapore Refiner – Kilang Singapore yang menghasilkan dan menjual oil products, kadang kadang juga beli oil products buat jaga jaga kalau shortfalls. Oil Trader - sama dengan definisi sebelumnya. Importer – Perusahaan diluar Singapore yang beli petroleum products (FOB Singapore basis) untuk dijual lagi di pasar domestik.

Pada umumnya, producer atau Integrated Oil Companies punya anak perusahaan atau divisi atau apalah istilahnya, yang ngurusini trading sendiri.

Untuk harga, mereka ini pada dasarnya tidak bisa mempengaruhi, ngikut aja harga yang nantinya akan terjadi sesuai dengan terms jual belinya. Berapa? ya mengikuti benchmark harga tertentu, plus atau minus sesuai grade, timing dan lain lain.

Disini broker emang nggak kelihatan, intinya broker itu khan “membantu” karena dia tahu pasar, pada umumnya broker ini pentolan, pensiunan trader atau orang cargo yang udah kenal medan-lah. Modalnya (kasarnya) cuma telpon aja sana sini (karena punya networking tentunya), kontak traders yang punya cargo crude atau products, dimana posisinya, hitung2 kapan bisa barangnya nyampe, gimana terms-nya, terus telpon traders lain lagi, sama juga cek cek term-nya gimana (lumayan khan dapet sekian cent per barrel sebagai komisi broker). Kalau kita nggak ngerti pasar, ya perlu pakai broker. Kaya mau beli rumah atau tanah, kalau nggak paham lokasinya, ya apa boleh buat pakai broker, kalau udah paham ya nggak perlu, jalan sendiri aja (dalam bahasa oil tradingnya: serahkan aja ke trader kita).

Mungkin ada teman “oil traders” yang bisa memberikan tambahan pengalamannya?

Saturday, November 10, 2007

Model yang pas, ada nggak?

Dari tagboard, pertanyaan Mas Agus: Mas Benny, Bagaimana pandangan mas Benny mengenai Bagi hasil migas untuk RI sekarang ini? Apakah sudah sesuai? Bagaimana kalau direvis/?perbaiki? Apakah bisa sampai Atribase? Menurut mas Benny, Bagaimana bentuk bagi hasil yang memihak Gov tapi bisa menarik investor? Terima Kasih mas

--------
Pertanyaan Mas Agus nih gampang2 susah, kalau dibilang udah sesuai, berarti kesannya nggak perlu ngapa2 in lagi, kalau dibilang belum sesuai, berarti perlu dipikirkan gimana caranya biar sesuai.. terus bagaimana cari model yang pas buat kedua pihak, susah kan?

Mulai dari mana nih, untuk sementara kita lupakan dulu masalah sesuai vs. tidak sesuai, arbitrase, model yang pas..sekarang kita lihat trend nya dulu bagaimana. Kalau kita bicara kontrak, bisa kita bagi dua, kontrak blok (Wilayah Kerja) yang sedang berjalan (existing) dan blok yang belum ada yang garap.

Untuk kontrak yang existing, kalau kita lihat strategi host country di mancanegara saat ini (yang dipicu oleh kenaikan harga minyak), berdasarkan pengamatan, saya kategorikan menjadi 3 strategi (lihat gambar). Strategi I, Keep As Is, artinya ya udah biarin aja, tidak ada perubahan sampai kontrak berakhir. Perubahan baru dilakukan pada saat kontrak berakhir, tentu saja umumnya pada saat perpanjangan kontrak tersebut, terms and conditions nya diubah menjadi lebih baik buat host country. Mengenai dilema perpanjangan kontrak bisa dilihat di posting saya sebelumnya disini.


Strategi II adalah melakukan apa yang disebut dengan negosiasi ulang secara kekeluargaan (Friendly Renegotiation), pada dasarnya melalui strategi ini, host country menghimbau IOC untuk “secara arif dan bijaksana” (duh.. bahasanya kaya bahasa anggota dewan..) membagi bagian dari profit oil mereka. Tentu berapa besarnya dapat disepakati melalui pembicaraan yang transparan dari kedua belah pihak. Strategi III agak “preman” sedikit, artinya host country “memaksa” IOC untuk mengurangi porsinya secara signifikan, kalau nggak mau, silahkan keluar. Strategi III ini dilakukan oleh beberapa negara Amerika Latin: Venezuela, Bolivia dan Equador. Strategi II, untuk contoh bisa disebutkan misalnya: Algeria dan Alberta, Canada, juga UK serta beberapa negara Caspian. Sebagian besar host country yang lain (paling tidak sejauh ini) memilih Strategi I.

Kalau kita kaji lagi, salah satu alasan mengapa negara negara Amerika Latin melakukan strategi III, tidak lain karena memang kontrak mereka itu sebelumnya relatif lunak (terlalu jor jor-an buat kontraktor), itu juga tidak terlepas dari permainan antara oknum pejabat mereka zaman dahulu dengan IOC (lihat posting saya sebelumnya mengenai kasus PDVSA, disini). Strategi II bisa dilakukan dengan meminta tambahan share buat host country melalui “windfall profit tax”.

Sekarang kita kembali ke PSC kita (model “bagi hasil” PSC kita sebenarnya banyak, lihat posting saya di kilas balik PSC kita, disini). Untuk PSC standard, dari pembagian profit, kita dapat 85% (biasa disebut Government Take/ GT). Kalau kita bandingkan secara umum di mancanegara, angka ini termasuk tinggi, rata rata GT negara lain sekitar 60% sampai 70%. Sebenarnya kalau kita lihat dari GT itu, kita sudah okelah. Kelemahan sistem kita itu karena pembagiannya fixed (tidak bergantung keuntungan), jadi pada saat harga minyak naik, GT ya tetap sebesar itu (jelasnya lihat posting sebelumnya disini).

Kembali ke pertanyaan Mas Agus,
Sesuai nggak? Dari sisi GT ya cukup OK. Tapi sayangnya kalau keuntungan meningkat, GT nya segitu terus, nah sekarang ada nggak perusahaan minyak (IOC) yang ngebayangin pada waktu mereka investasi 10-15 tahun lalu harga minyak akan mencapai level seperti sekarang ini. Bayangin dulu waktu IOC investasi berapa kira kira asumsi harga minyak mereka (baik harga nominal maupun real), saya kira jauh dari kondisi sekarang. Jadi tidak bisa dipungkiri kalau mereka menikmati kenaikan harga minyak tinggi ini. Bagaimana kalau dilakukan Strategi II? Ya boleh boleh aja, khan kekeluargaan ini, nggak maksa. Bentuknya apa? Bisa tambahan tax (apapun namanya), bisa juga berupa bonus, kan kita udah kenal dengan bonus produksi (kalau mencapai kumulatif produki tertentu), nah ini bisa aja diberikan “bonus harga minyak tinggi”, pada saat harga minyak mencapai level tertentu. Strategi III? Kalau saya nggak terlalu semangat dengan yang ini, lebih banyak masalah dalam jangka panjang, kecuali kalau kita mau tertutup, nggak perlu investor asing lagi. Begitu kita apply strategi III, dijamin kalau kita buka penawaran blok, apa masih ada investor yang mau, apa kita mau ekplorasi migas pake duit negara?

Belajar dari kecenderungan yang terjadi, sepertinya kita perlu meng-improve terms dan conditions (T&C) untuk penawaran blok baru maupun perpanjangan. Sedemikian rupa T&C tersebut fleksibel terhadap keuntungan (gampangnya terhadap harga minyak). Tetapi tetap saja pegangannya: “one-size fits all model does not exist”, jangan pernah membayangkan kita punya satu model untuk semua situasi, karena kita ketahui resikonya juga beda beda (deepwater, EOR, marginal, heavy oil,etc), tentu nggak bisa dipukul rata, semua perlu model “bagi hasil” yang sesuai dengan resiko nya masing masing.

Thursday, November 08, 2007

Harga minyak & spekulan

Pertanyaan dari Mas Adjie di tag board: Mas Benny, katanya salah satu penyebab harga minyak naik karena ulah spekulan, bisa diberi gambaran sedikit mekanismenya? Thanx
------

Coba lihat posting2 saya sebelumnya yang ada basic tentang futures oil market, coba baca juga artikel bagus dari washington Post (5 Nov 2007) : “Oil's Recent Rise Not as Familiar as It Looks - Traders, Not Political or Supply Concerns, May Be Pushing Fuel Toward $100ini link-nya.

Pada umumnya yang dimaksud spekulator dalam "crude oil papers" itu adalah kelompok yang tidak ada hubungannya dengan transaksi crude beneran. Mis; hedge, pension fund, etc. Transaksinya dicatat sebagai "non-commercial" oleh CFTC, Oleh karena itu non-commercial ini dianggap sebagai proxy spekulator. Analis berusaha mencari hubungannya dengan harga minyak, misalkan dengan membuat plot: harga minyak (WTI) thd transaksi non-commercial, harga minyak thd open interest volume dan lain lain.

Mengapa spekulasi kena getahnya dan dituding ikut2 bikin melonjaknya harga minyak? Beberapa tahun belakangan para pemain di futures markets ini meningkat sekitar empat kali lipat dibanding 10 tahun yang lalu, begitu pula transaksi untuk kontrak “non-commercial”. Beberapa studi menyebutkan bahwa hanya melihat fundamental penawaran vs. permintaan di “physical market” tidak memberikan gambaran “oil market” yang utuh tanpa membahas pengaruh “paper market”. Oleh karena itu, sebagian analis percaya bahwa meningkatnya transaksi spekulan ini berpengaruh terhadap peningkatan harga, walaupun susah dihitung secara kuantitatif berapa besar pengaruh kenaikan harga akibat “ulah” spekulan ini.

Namun banyak juga studi yang menyimpulkan sebaliknya, bahwa spekulan tdak banyak berpengaruh terhadap harga minyak, tetapi yang terjadi adalah harga minyak yang mempengaruhi spekulan.. kaya ayam sama telor… siapa duluan?

Analis yang mem-plot harga minyak dengan transaksi non-commercial maupun volume open interest, bisa menunjukkan hubungan bahwa pada periode tertentu ada korelasi positif, namun pada periode lain tidak ada korelasinya..

Saya ingat salah satu presenter (lupa namanya) waktu workshop financial market and oil prices tahun lalu, dia bilang: pengaruh (spekulan thd harga minyak) sangat komplek, tidak bisa dilihat hubungannya melalui korelasi dan regresi yang sederhana. Saya kira pendapat mister ini bener juga, realitas terkadang terlalu sulit dimodelkan melalui plot plot yang sederhana.

Sunday, November 04, 2007

Peak Oil - Kapan?

Ini topik kontroversial, tidak ada salahnya kita bahas. Sebagaimana diketahui, minyak itu termasuk golongan “non-renewable resources”, kalau kemudian timbul teori ataupun konsep bahwa (nantinya) akan tercapai peak, tentu bukan suatu yang mengherankan. Konsep “peak oil” sendiri dikaitkan dengan Hubbert's curve. Tahun 1960-an, Hubbert, American geologist, mencoba mem - forecast kapan terjadi peak production di US. Dari data yang berhasil dikumpulin, dia memperkirakan peak oil itu akan terjadi awal tahun 70-an. Kontribusi Hubbert ini patut dihargai, walaupun metodologinya banyak kelemahan disana sini.

Untuk global oil production, ada beberapa pakar, seperti: Colin Campbell, Kenneth Deffeyes, dan lain lain (lihat disini) yang senang memperkirakan kapan terjadinya peak, tapi begitu pas kejadian, ternyata produksi global terus naik, maka mereka merevisi lagi kapan terjadinya peak, begitu seterusnya. Campbell semula memperkirakan peak tahun 2004, kemudian di revisi 2010, kelihatannya ini akan direvisi lagi. Kritik terhadap para ”peakists” ini adalah tidak ada penjelasan begitu ramalan meleset, selain membuat ramalan baru!.

Sekarang mari kita berandai andai, bayangkan kita punya data production profile field by field, country by country, baik existing field maupun future development. Kemudian kita plot, dari situ kita akan ketemu kapan produksi dunia ini akan mencapai peak-nya. Selesai urusan? Tergantung urusannya, kalau urusan dianggap simpel, ya selesai. Masalahnya kenyataan selalu tidak sederhana.

Tidak sederhana kenapa? Ada beberapa point, antara lain:

Terkadang para peakist tidak memasukkan aktivitas eksplorasi, jadi melulu melihat development dari cadangan yang sudah ditemukan. Memang ada argumen, dari sesi volume, temuan cadangan belakangan ini relatif rendah. Namun hal itu tidak disebabkan karena kehabisan prospek untuk menemukan cadangan, tapi lebih disebabkan karena investasi di sektor eksplorasi, pengembangan dan produksi. Budget untuk eksplorasi cenderung turun. Logikanya, dalam era harga minyak tinggi, mungkin IOC secara ekonomi tentu lebih termotivasi untuk fokus ke pengembangan dan produksi. Alasan lain? Seperti kita ketahui access ke resources bagi IOC makin terbatas.

Kapan terjadinya peak tentu harus melihat bagaimana peran dari unconventional oil (extra heavy oils, oil sands, ultra deepwater, etc), mengingat cadangan in-place nya besar, kalau ini masuk, tentu akan membuat peak oil molor lagi.

Istilah cadangan (reserves) cukup kompleks, banyak istilah istilah, seperti: proven, probable, possible, P1, P2, P3. Ultimate Recoverable Reserves (URR) itu sendiri dinamis, berubah ubah dengan bertambahnya data atau informasi baru. Kalau pada saat pengembangan awal asumsi cadangan P1, bisa jadi setelah ditambah informasi baru (dari sumur2 yang dibor), cadangan bisa di revisi jadi P2 (tentu bisa juga mengecil kurang dari P1). Decline curve juga unik untuk masing masing field.

Last but not least, tentu 2 faktor penting lain yaitu: investasi & teknologi, dua dua bisa memperlambat kapan terjadinya peak oil

Dalam kasus ini kita hanya melulu melihat dari sisi kemampuan supply, kita nggak ngomong urusan geopolitik (perang dan lain lain), juga faktor bencana alam.

Kembali ke kapan peak oil? Mungkin kita bisa balik bertanya, apa perlu menebak kapan terjadinya? Mengingat tebak2an sebelumnya lebih banyak meleset tanpa bisa menjelaskan kenapa meleset.

Kawan saya kalau ditanya kapan peak oil, dia jawabnya santai: peak oil itu kaya' kematian, suatu saat akan terjadi, tapi kapannya kita nggak tahu, apa perlu mem-forecast kematian he he?.

Olivert Appert dari IFP mungkin bisa memberi pencerahan buat yang merasa perlu menebak kapan peak oil, dia bilang: An optimist and a pessimist will obtain very different numbers that will yield very different peak oil dates. This peak could happen tomorrow or not until 2048, depending on the expert.

Jadi selanjutnya tergantung ente, masuk golongan yang pesimis apa optimis, atau golongan netral alias emang gue pikirin he he..!

Sunday, October 28, 2007

Indonesian Crude price (ICP)

Dari tag-board, Iwan PS: Mas, bisa dibahas mengenai Indonesian Crude Price (ICP) formula, kenapa terus berubah?
-----
Apa khabar Mas Iwan? Udah lama nggak kontak2. Saya jawab lewat posting ya, kalau di tag-board, space terbatas.

Penetapan besarnya harga minyak merupakan hal yang sangat penting mengingat berapa besar harga minyak berpengaruh terhadap pembagian produksi (lifting) antara Kontraktor dan pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah mengambil peran dalam penetapan metoda perhitungan harga minyak mentah Indonesia (ICP).

Penentuan harga minyak di pasar internasional sebagaimana kita ketahui merupakan masalah yang kompleks, lihat posting posting sebelumnya tentang harga minyak

Formula ICP

Perhitungan ICP saat ini mengikuti formula tertentu yang merupakan harga rata rata tertimbang dari sumber yang kompeten dalam perdagangan minyak internasional, antara lain: Platts, RIM dan APPI.

Platts adalah penyedia jasa informasi energi terbesar di dunia, jasa informasi tidak terbatas pada minyak, namun juga gas alam, kelistrikan, petrokimia, batubara dan tenaga nuklir.

RIM Intelligence Co, adalah badan independen yang berpusat di Tokyo dan Singapore, mereka menyediakan data harga minyak untuk pasar asia pasific dan timur tengah.

APPI (Asian Petroleum Price Index), menggunakan sistem panel (panel pricing) dimana penentuan harga minyak dilakukan oleh partisipan pelaku industri (seperti: trader, refiner dan producer). APPI dikeluarkan oleh SeaPac Services di Hongkong. APPI dianggap sebagai mekanisme penentuan harga yang standar untuk wilayah Asia Timur.

Formula harga minyak ICP terus mengalami perubahan, sebelumnya formula ICP:

ICP = 40% Platts + 40% RIM + 20% APPI.

Sejak Oktober 2006, Indonesia mengubah bobot perhitungan ICP, dimana persentase APPI berkurang, formula menjadi:

ICP = 47.5% Platts + 47.5% RIM + 5% APPI

Sejak Juli 2007 (?), APPI di-drop, sehingga ICP menjadi 50:50 untuk Platts dan RIM.

Pertanyaan: Kenapa sich APPI akhirnya di drop? Salah satu alasan mengapa APPI tidak dipergunakan lagi adalah karena rendahnya harga minyak hasil assessment APPI tersebut. Kelemahan sistem panel APPI terletak pada masalah transparansi dan kemungkinan adanya kecenderungan untuk terjadi manipulasi. APPI menggunakan sekitar 70 panelis dari perusahaan kilang (refiners) di Asia pasifik, produsen minyak mentah (producers) dan pedagang (traders). Effisiensi dari sistem panel mengandalkan pada variasi perwakilan partisipan dalam pasar minyak mentah tersebut, apabila tidak seimbang, bisa menimbulkan distorsi. Sebagai contoh: Perusahan minyak internasional (IOC), mereka bisa mewakili ketiganya, yaitu: sebagai produsen, sebagai trader dan juga sebagai refiner, hal seperti ini bisa membuat distorsi harga yang cenderung akan membela kepentingan partisipan tertentu.

Pricing harga minyak “rendah” cenderung lebih disukai oleh IOC, mengapa? Pertama sebagai produsen, apabila mereka menggunakan model kontrak PSC di negara produsen, dengan harga minyak yang relatif lebih rendah, maka IOC tersebut dapat mengklaim volume minyak mentah lebih banyak dari mekanisme cost recovery (IOC bisa lifting lebih besar dengan harga minyak lebih rendah). Kedua sebagai refiner, tentu mereka lebih suka dapat minyak mentah dengan harga yang lebih “rendah”.

Kalau ada distorsi harga, tentu ada efek juga ke ICP, kalau pas harga minyak lagi tinggi, efeknya lumayan juga (walaupun bobotnya cuma 5%). Disamping itu hitungan ICP ini urusannya kemana mana, termasuk ke pricing LNG yang formulanya mengikuti harga minyak (ICP).

Sunday, October 21, 2007

Higher Price - Higher Take?

Dari Tag Board, Adjie: Mas, Ekuador menyusul Venezuela dan Bolivia, melakukan "nasionalisasi", trend Amerika latin?

Iya Ekuador baru mengeluarkan keputusan, 99% tax untuk windfall profit (batasannya: oil price diatas 24 $/bbl). Tahun lalu presiden mereka sebelumnya sudah menaikkan tax dari 17% ke 50%, sekarang sama presiden baru mereka dinaikin lagi. Sebagai tambahan disebutkan, kalau IOC keberatan dengan keputusan itu, ada opsi untuk mengubah ke service contract (dari model PSC sekarang). Kita tunggu saja bagaimana perkembangan selanjutnya, saat ini masih ada pertemuan2 antara IOC dengan pemerintah sehubungan dengan keputusan yang dianggap cukup mengejutkan tersebut.

Bolivia seperti kita ketahui, sebelumnya telah melakukan perubahan drastis, melalui UU migas mereka yang baru (2005 hydrocarbon law), ditetapkan kalau royalty dinaikin jadi 18% dan Direct Tax on Hydrocarbon (DTH) sebesar 32%, jadi totalnya 50% dari “value of production hydrocarbon”. Untuk lapangan yang gede (kalau nggak salah 2 fields), ditambah “gov participation” sebesar 32% sehingga total jadi 82% (ini asal usul angka sebesar 82% seperti banyak dilansir mass media beberapa bulan lalu).

Negara Amerika lainnya, Kolombia dan Peru, mungkin karena tingkat prospektivitas mereka, memilih jalur yang lebih friendly ketimbang negara tetangga lain. Sebenarnya urusan naik naikin tax dan renegosiasi dengan IOC akibat meningkatnya harga minyak ini, nggak melulu terjadi di Amerika Latin, kita tahu sebelumnya Algeria juga mengeluarkan aturan windfall profit tax, beberapa negara FSU juga mulai me review kontrak mereka. Kita nggak boleh lupa juga, bahwa UK juga mengenakan windfall profit tax ini (tahun 2002 dan 2005), begitu juga di Alberta, Canada yang sekarang lagi rame dengan rencana mereka menaikan “take”.

------
Tidak bisa dipungkiri bahwa melambungnya harga minyak membuat orang berhitung ulang, khususnya untuk beberapa model kontrak yang tadinya terlalu “lunak”. Pemerintah tersebut me-review model kontrak mereka dalam rangka meningkatkan “take”. Dalam beberapa kasus, perubahannya agak terlalu ekstrim juga, khususnya ketika mendefinisikan “windfall profit”. Diskusi “windfal profit” ini bisa berkepanjangan, banyak teori, pendapat dan perdebatan mengenai siapa yang berhak dan bagaimana pembagiannya.

Disisi lain, pemerintah juga harus melihat bahwa kenaikan harga migas, juga berakibat kenaikan yang signifikan baik biaya kapital maupun non kapital serta jasa penunjang lainnya. Hal ini perlu juga dihitung2 supaya perhitungannya “cover both sides”. Apa yang dilakukan di Alberta sana dapat dijadikan contoh yang cukup baik, khususnya dalam hal transparansi. Rencana parlemen dan pemerintah setempat untuk menaikkan royalty didukung oleh perhitungan2 yang bisa diakses kedua belah pihak. Dengan demkian, dari pihak kontraktor (IOC) bisa men-challenge asumsi biaya biaya yang digunakan oleh team panel yang mengusulkan kenaikan royalty yang mereka anggap asumsi biayanya terlalu rendah…

Kita perlu catat juga bahwa nggak semua negara merasa perlu meningkatan “take” nya, UEA lewat Adnoc-nya, seperti dikutip dari International Oil Daily (16 Oct 2007), memberikan insentif dalam bentuk, antara lain: acceralerated depreciation dan lain lain yang bertujuan mendorong investasi untuk meningkatkan kapasitas output mereka.
-------
Banyak analyst berpendapat, bahwa tindakan unfriendly semisal “nasionalisasi” hanya akan memberikan manfaat dalam jangka pendek, dalam artian bahwa pemerintah segera mendapat dana segar. Bagaimana longtermnya? IOC tentu akan pikir pikir untuk ikut seandainya ditawarkan blok baru, dengan demikian apakah NOC dapat diandalkan untuk aktivitas eksplorasi?. Kalau pemerintah punya uang, apa nggak sayang dipake buat “berjudi”, ngebor eksplorasi kasarnya kaya berjudi, high risk!, apa nggak lebih baik duitnya dipake buat pendidikan, infrastruktur dan lain lain. Untuk urusan “perjudian”, bukannya lebih baik diserahkan kepada “penjudi juga”. IOC punya pengalaman dan jam terbang dalam “berjudi” ini, tapi tentu mereka mengharap reward yang gede pula. Orang masuk casino, mimpinya jadi milyarder, mana ada yang main judi cuma mimpi menang 10% he he..

Yang perlu dipersiapkan itu adalah terjadinya kondisi ekstrim, kalau ekstrimnya nggak dapet apa apa, ya udah itu resiko kontraktor!, tapi perlu juga dipersiapkan kondisi ekstrim lain yaitu: profitnya berlipat ganda (misalnya: ketemu giant field, harga melonjak, dll). Ini kerjaan yang melibatkan banyak keahlian untuk memasukkan faktor ini, sehingga kmungkinan ini sudah diantisipasi sebelum kontrak dimulai..

Sunday, October 14, 2007

Oil Trading & Pricing

Tanggal 8 -12 Oktober 2007, aku ikut training, International Oil Trading & Pricing di Oxford, UK. Awalnya kenapa kok ikut training ini sebenarnya ada ceritanya. Di Sekretariat sini ada “aturan tidak tertulis” yang bilang: kalau mau ikut training atawa kursus, maka nggak boleh ngambil subject yang jadi core expertise kita. Harus subject lain. Waktu baru masuk saya sempat tanya sama senior disini, apa alasannya?. Jawabnya masuk akal, dia bilang, ente khan masuk sini udah dianggap ahli, logikanya nggak perlu training lagi, kalau mau mempertajam keahlian bukan ikut training atau kursus, tapi ikut seminar, workshop, conferences, brainstorming, etc… Oke lah apa lu kate deh!

Karena setiap tahun ada jatah training, pas awal tahun kemaren bingung cari subject apa, kendala lain adalah bahwa training tersebut kalau bisa sedapat mungkin diluar bulan Maret & September, karena pas bulan tersebut aktivitas di Sekretariat paling tinggi dibanding bulan2 lainnya. Akhirnya saya pilih subject mengenai oil trading (and pricing), karena kepingin tahu lebih banyak urusan dan kerjaan trader ini. Dari cerita kolega dan info lainnya katanya kalau mau ikut training tersebut, yang bagus punyanya
Oxford Princeton Programme, adanya bulan Oktober di Oxford, ya udah saya oke aja, minta tolong didaftarin sama bagian training.

Saya baru sadar pas awal September, lha jadwal kursusnya 8-12 Oktober, bukannya itu bulan puasa? alamak… nggak enak bener puasa2 ikut training di Oxford sana, bukannya apa2, mikirin gimana sahurnya ini yang pusing. Apalagi temen saya bilang, itu hotelnya dipinggir kota Oxford, room service nggak 24 jam, cuma sampe jam 10 malem.. weleh!. Ya udah sebelum berangkat, saya langsung bilang nuning, tolong dipersiapkan perbekalan buat sahur berikut perangkatnya…

Sebelum berangkat, masih kepikiran - lebaran di Wina tanggal berapa ya, 12 apa 13?. Kalau tanggal 13 sich ok, karena jadwal flight balik ke Wina tanggal 12 jam 19.30 waktu London, sekitar 2 jam terbang, nyampe sekitar Jam 22.40 waktu Wina, masih oke. Tapi kalau lebaran tanggal 12, wah wassalam, gua masih training disini. Masalahnya kepastian tanggal 12 apa 13 nya khan baru diputuskan tanggal 11 nanti.


Menu sahur, apa boleh buat, apalagi kalau bukan mie instant, 2 porsi biar nendang

Pas hari hari training, setiap cofffe break, gua mondar mandir aja di halaman hotel, iseng nyamperin salah satu peserta dari Nigeria, "kok lu nggak ngopi?", dia jawab: "ini ramadan, gua lagi puasa", wah ada temen senasib. Pas waktu lunch, buru buru ke kamar, lumayan ada waktu 1 jam buat dipake tidur.

Trainingnya sendiri gimana? Pesertanya sebagian besar trader dari perusahaan minyak (BP, Shell, Chevron, Petrobras, OMV, etc), Investment banker (JP Morgan, bank macem macem), orang2 bagian marketing dan shipping crude dan products. Materinya cukup komprehensif, mulai dari: Oil market, shipping & freight, refining, forward & futures market, trading strategies, hedging, geographic price arbitrage, exchange of futures for physical, swap, options, etc. kalu mau lihat detail course contents-nya disini. Enaknya biar nggak ngantuk, tiap 1 jam dikasih exercise untuk didiskusikan per kelompok, denga demikian, ada kesempatan untuk belajar langsung dari trader. Kelebihan lain: instrukturnya banyak, hampir setiap sesi ada instruktur dari luar yang merupakan praktisi, lumayan - jadi nggak bosen.

Exercise-nya lumayan berat, untungnya dulu pas lagi senengnya mendalami real options, saya banyak baca buku2 dan paper2 mengenai options, futures and other derivatives, jadi ada background dikitlah, kalau nggak pernah baca buku begituan, pas dikasih exercise, bisa2 bengong aja!

Kamis sore tanggal 11 aku sms nuning, “ma, udah ada pengumuman dari vienna islamic centre belum, kapan lebarannya?”, setengah jam kemudian, dapet balesan: “barusan dapat kabar dari islamic center, lebarannya besok..”. Hah… !. Malemnya ada cara makan makan oleh penyelenggara training di city centre-nya Oxford, aku udah nggak konsen, ngebayangin orang2 lagi sibuk takbiran. Jumat pagi telpon ke rumah, anak bini gua lagi sibuk mau berangkat shalat ied. Untungnya (seperti biasa..) masih ada yang menghibur, acara halal bil halal untuk warga Indonesia di KBRI Wina diadakan hari Sabtu… wah masih ada kesempatan silaturahmi. Ya, beginilah kalau asal pilih jadwal training he he..!! Anyway, selamat lebaran, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir bathin.

Wednesday, October 03, 2007

Insentif migas tak ada gunanya?

Kamis, 20/09/2007 15:33 WIB

Insentif Migas Dianggap Tidak Ada Gunanya
Alih Istik Wahyuni - detikfinance

Jakarta - Berbagai insentif yang diberikan pemerintah di sektor migas dinilai tidak ada gunanya lagi. Pasalnya, insentif dan fasilitas yang digelontorkan demi menyemangati kontraktor, justru kontraproduktif dengan produksi minyak dan gas di Indonesia yang terus turun.

Demikian disampaikan Peneliti LP3ES Pri Agung Rakhmanto dalam konferensi pers di kantor LP3ES,Jalan S Parman, Kamis (20/9/2007).

Pri mencontohkan, seperti pada periode tahun 1976 hingga tahun 1988 ketika terjadi perubahan batasan cost recovery dalam kontrak production sharing. Saat itu biaya produksi yang bisa diklaim ke pemerintah yang semula berlaku 40 hingga 60 persen direvisi menjadi 100 persen.

Tapi pada kenyataannya, produksi dan cadangan minyak yang ditemukan justru turun signifikan. Dari 1,7 juta barel per hari menjadi sekitar 1,1 juta barel per hari.

Begitu juga yang terjadi pada periode tahun 2000, ketika cost recovery justru diduga banyak penggelembungan hingga 120 persen karena masuknya biaya-biaya yang tidak seharusnya. Pada saat itu, produksi migas justru turun dari 1,4 juta barel per hari pada tahun 2000 menjadi sekitar 1 juta pada tahun 2006. "Jadi sekian banyak insentif sudah ada, tapi justru produksi turun. Jadi tidak ada hasilnya," tegasnya.

Selain fasilitas cost recovery, kenikmatan lainnya adalah holiday domestic market obligation, dimana ada jangka waktu tertentu kontraktor diliburkan dari kewajibannya mensupply migas ke domestik dengan harga murah.

Ditambah lagi prosentase bagi hasil operasi migas di Indonesia yang makin menguntungkan kontraktor. Awalnya, bagi hasil migas pada tahun 1974 adalah 65:35 (kontraktor:pemerintah). Tapi kini, bagi hasilnya bervariasi antara 85:15 sampai 70:30. Belum lagi masalah pengurangan beberapa pajak yang dulu masih 56persen sekarang tinggal 44 persen.

Bahkan, ia menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah dan kontraktor-kontraktor itu."Bisa saja mereka (kontraktor) berpikir, dengan cost recovery yang besar saya sudah untung banyak. Ngapain genjot produksi, dengan produksi makin rendah kan kita bisa minta insentif lagi," katanya. Solusinya, ia mendesak agar pemerintah segera merenegosiasi sistem bagi hasil dengan para kontraktor migas itu. Seperti perombakan besar-besaran yang dilakukan Bolivia ataupun nasionalisasi yang dilakukan Venezuela. (lih/arn)

--------------------------

Oleh Bung Zaki, saya diminta mengomentari artikel diatas tersebut, saya secara personal tidak kenal dengan Mas Pri ini, saya lihat tulisannya di beberapa mass media bagus bagus, mungkin karena beliau ini sebelumnya pernah di KPS juga?, kalau nggak salah, dia ini adik kelas saya di TM, jadi sekarang kita sama2 menyimpang he he..


Saya akan memberikan beberapa komentar, saya (BL) dan Pri (PAR):

PAR:
Pri mencontohkan, seperti pada periode tahun 1976 hingga tahun 1988 ketika terjadi perubahan batasan cost recovery dalam kontrak production sharing. Saat itu biaya produksi yang bisa diklaim ke pemerintah yang semula berlaku 40 hingga 60 persen direvisi menjadi 100 persen.Tapi pada kenyataannya, produksi dan cadangan minyak yang ditemukan justru turun signifikan. Dari 1,7 juta barel per hari menjadi sekitar 1,1 juta barel per hari.

BL:
Mungkin bisa dilihat posting saya sebelumnya mengenai kilas balik PSC kita disini, memang era PSC Generasi I, cost recovery dibatasi 40% per tahun, tapi pembagian split-nya, sudah termasuk pajak 65% : 35% buat kontraktor. Dengan hitungan spt ini, maka bagian pemerintah relatif konstan sebesar 44% dari gross production (asal usul angkanya lihat di posting kilas balik PSC tersebut). Kemudian di revisi untuk PSC generasi II dan III yang masing masing cost recovery diperbolehkan mencapai 100%. Jelas PSC generasi II dan III lebih baik buat pemerintah (perhitungan Government Take, untuk II dan III sebesar 85% sedangkan PSC I = 74%). Sebagai tambahan, kita tidak bisa melihat hanya dari cost recovery limit untuk membedakan bahwa suatu fiscal term lebih baik dari yang lain. Untuk tujuan perbandingan, Government Take yang harus dipakai. Dari situ (menurut saya) tidak ada hubungan langsung antara perubahan PSC I, menjadi II dan III dengan penurunan produksi. Kecuali kalau mau membuat hipotesa (yang dikaitkan dengan model kontrak) bahwa karena PSC II dan III lebih tight bagi kontraktor dibanding PSC I, maka kontraktor kurang antusias, akibatnya produksi menurun?.

Saya kira, kalau kita lihat histori harga minyak, kelihatannya faktor harga minyak yang lebih dominan terhadap keputusan investasi perusahaan migas untuk eksplorasi dan produksi yang pada gilirannya akan berpengaruh ke tingkat produksi.

PAR:
Ditambah lagi prosentase bagi hasil operasi migas di Indonesia yang makin menguntungkan kontraktor. Awalnya, bagi hasil migas pada tahun 1974 adalah 65:35. Tapi kini, bagi hasilnya bervariasi antara 85:15 sampai 70:30. Belum lagi masalah pengurangan beberapa pajak yang dulu masih 56 persen sekarang tinggal 44 persen. Bahkan, ia menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah dan kontraktor-kontraktor itu.

BL:
Kita jangan salah kaprah disini, bahwa bagi hasil PSC Generasi I, 65:35 itu khan bagian pemerintah yang 65 itu khan sudah termasuk pajak kontraktor, sementara 85:15 itu khan net, kalau mau "apple to apple", dihitung “gross up” dulu, misalkan saja pajak 44%, maka dapetnya: 73.21%: 26.79% (bukannya lebih baik buat pemerintah dibanding tahun 1974 yang cuma 65:35?)

Mengenai pajak, yang turun 56% jadi 48% terus 44%, ini terjadi salah kaprah juga, jangan dikira kalau pajak turun, terus bagian pemerintah jadi turun, (kalau ceritanya gitu, masak bodoh kali pemerintah mau2nya nurunin tax?). Dalam kontrak PSC itu khan ada yang namanya: stabilization clause, bahwa perubahan pajak itu tidak berpengaruh terhadap after tax profit split yang 85:15, yang berubah cuma before tax profit split. Jadi pada akhirnya nggak ada yang berpengaruh (pemerintah nggak rugi, tax turun, tapi split before tax naik). Ilustrasi biar jelasnya gini: pada saat pajak 56%, split before tax = 66% : 34%, pada saat pajak turun 44%, split before tax = 73.21% : 26.79%. Split after tax ya tetap 85 : 15!. Sebenarnya dengan turunnya tax itu, buat kontraktor malah “rugi” lho, coba lihat di posting saya sebelumnya..

PAR:
"Bisa saja mereka (kontraktor) berpikir, dengan cost recovery yang besar saya sudah untung banyak. Ngapain genjot produksi, dengan produksi makin rendah kan kita bisa minta insentif lagi," katanya.

BL:
Coba tanya perusahaan minyak apa yang mereka cari cuma cost recovery plus insentif?, Anda khan tahulah, perusahaan minyak itu risk taker, ada resiko kalau nggak dapet apa apa.. Saya kira nggak lah, buat perusahaan minyak tentu misi utamanya cari tambahan cadangan dan genjot produksi sebesar besarnya, karena itu yang akan mempengaruhi saham mereka. Kalau cuma mau berharap dari cost recovery dan insentifnya, mungkin buat mereka lebih baik uang nya dipakai investasi yang aman sajalah, ngapain repot2 bikin perusahaan minyak..!

-------------------------
Secara umum saya setuju bahwa memberikan insentif harus hati hati, kenapa? karena resiko yang dihadapi di masing2 lapangan itu berbeda beda, jadi kalau mau memberikan insentif , lebih baik case by case, daripada buat satu insentif berlaku untuk semua, susah nanti bikin insentifnya? Ada yang merasa wah kalau segini nggak ngaruh, sementara yang lain, tanpa dikasih insentif pun sudah ekonomis.., akhirnya yang “sebenarnya nggak perlu insentif” jalan, yang diharapkan jalan, malah nggak mau, karena belum ekonomis tadi..

Disamping itu insentif eksplorasi lebih penting dibanding insentif pada tahap pengembangan, karena untuk harga minyak yang relatif tinggi sekarang ini, bisa jadi tahap pengembangan memang nggak perlu insentif lagi. Enhanced Oil recovery (EOR) perlu nggak? Ya tergantung, kalau dengan yang standard sudah ekonomis, tentu nggak perlu, sementara kalau masih belum ekonomis, dipaksa suruh EOR juga nggak akan mau kontraktornya.. So? Case by case… karena ketahuan kalau memang diperlukan, kalau nggak perlu?, ya nggak usah! ngapain cari masalah..!!

Saturday, September 22, 2007

Contango - Backwardation, Oil Price?

Ada yang tanya lewat email: “Bang Ben, apa sich hubungannya antara istilah contango, oil price? bisa diberi pencerahan?

------------
Wah, kayaknya pertanyaannya salah alamat, harusnya tanya ke oil trader atau oil market analyst yang kerjaannya tiap hari berurusan dengan istilah2 tersebut. Tapi untuk tidak mengecewakan pemirsa, saya coba memberi gambaran sependek yang saya tahu.. (dan mohon maaf juga kalau kurang komprehensif ulasannya, inipun sambil terkantuk2 nungguin sahur he he..)

Jadi gini dik (karena manggil saya bang, jadi saya panggil dik ya..), ini istilah untuk membedakan antara harga minyak spot (saat ini) dengan harga penyerahan kemudian (future delivery), jadi kalau misalkan sekarang spot price besarnya $60 per barel, sementara penyerahan (misal 3 bulan kedepan) harganya $ 63 per barel, maka forward structure-nya disebut contango. Sementara gampangnya kalau kejadian itu sebaliknya (future delivery price lebih rendah dari spot price), maka disebutnya backwardation.

Terus? Jadi gini, kalau strukturnya contango, karena harga penyerahan pada masa datang lebih mahal, maka ada insentif buat yang punya tangki penyimpan (storage capacity) untuk menumpuk stock atau inventory (tentu dengan catatan biaya numpuk stock lebih rendah dari selisih harga tersebut). Ini akan mengundang aksi arbitrase, maksudnya: ente dipastikan bisa dapet profit, dengan cara beli harga spot sekarang, simpan di tangki, pada saat yang sama bikin kontrak untuk penjualan dengan harga “future delivery” yang lebih mahal. Apa implikasi dari struktur contango ini? Adanya struktur contango ini oleh pelaku pasar dianggap sinyal bahwa market “over supllied”. Penjelasan lebih gampangnya lagi gini: karena ada insentif mau numpuk stock, di pasar akan terjadi peningkatan permintaan (buat numpuk stock), maka otomatis harga akan meningkat, dengan demikian, harganya akan semakin mendekati atau sama dengan harga untuk penyerahan kemudian.

Backwardation? Ya pokoknya kebalikannya lah..he he., karena harga untuk future delivery lebih rendah, maka ada insentif bagi yang punya stock untuk melepas stock nya (lha iya ngapain simpen stock wong ekspektasi harga kedepan turun), akibatnya? Stock menipis, makanya structure backwardation itu dibaca pelaku pasar sebagai sinyal “tight market” (maksudnya kekurangan supply karena stock menipis itu).

Jadi gitu kira kira hubungannya, bagaimana kondisi saat ini? Beberapa tahun belakangan, forward structure itu bentuknya contango, bulan Juli kemaren, berubah jadi backwardation, yang juga ditandai dengan turunnya inventory minyak US sekian juta barrel. Artinya? pasar agak “tight”, jadi memang perlu tambahan supply.. kira kira gitulah… Kalau Anda mau serius mendalami oil prices dan futures ini, Dr. Bassam Fattouh banyak menulis tentang itu, dia ini dari Oxford Institue for Energy Studies, ketik aja namanya di Google, kalau mau lebih spesifik, minta format pdf, langsung bisa download paper2 nya.

Thursday, September 20, 2007

Memperkarakan harga minyak?

Oops judulnya salah nggak ya?, memperkirakan atau memperkarakan? Mungkin tepatnya: memperkarakan perkiraan harga minyak….. Jadi backgroundnya begini, di salah satu milis (indoenergy) ada members yang complaint dan mengajak untuk memperkarakan DESDM karena dianggap “sembrono” memperkirakan harga minyak.

Sebelum kita bahas, mari kita tengok dulu posting posting saya sebelumnya mengenai betapa sulitnya menebak harga minyak dan perkiraan harga minyak oleh beberapa analis kondang pada bulan April 2007 (
disini).

Sekarang coba kita lihat perkiraan dari analis kondang pada bulan April 2007 tersebut: angka rata rata 2007 (dibagian bawah) sebesar $61.66 per barel! Kita bisa melihat: nggak ada satupun analis (pada bulan April tersebut) yang meramal bisa tembus sampai $73 per barel. Ada temen saya iseng tanya: ”apa beda analis sama ”pengamat” mas?, dia jawab sendiri: ”kalau analis membuat perkiraan berdasarkan data yang dimiliki pada saat itu. Sedangkan, pengamat membuat komentar setelah kejadian..” he he..

Sesama analis dari instutisi kondang yang berbedapun forecastnya bisa bertolak belakang, inget cerita saya dulu?, saya singkat aja: Bulan September 2006, saya ikut Oxford Energy Seminar, waktu itu (sekitar akhir Agustus 2006) harga minyak WTI mencapai $73 per barel. Ada 2 konsultan dan investment advisor yang jadi pembicara yang kebetulan topiknya forecast harga minyak, yang pertama, Ivo Bozon dari Mackinsey, hitungan dia menunjukkan harga minyak akan segera turun, alasannya: perkiraan demand tidak sebanyak yang diperkirakan oleh beberapa lembaga riset, sementara tambahan supply akan meningkat pada masa yang akan datang, maka harga minyak akan segera turun ke level 35 -40 $/bbl. Pembicara kedua, Arjun Murti, managing director Goldman, Sachs &Co, judulnya menarik: oil prices and the future: how high is too high?, nama arjun ini populer di kalangan analis karena teorinya yang dia sebut "super spike", dimana dia meramalkan harga minyak akan segera mencapai 105 $/bbl. Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian?, harga minyak ternyata turun ke level 60-an $/bbl, teori Arjun dianggap "sampah", apa akan terjadi akhir tahun 2007 atau 2008?, wallahualam, terlalu banyak faktor yang berpengaruh.

Bagi para analyst yang bisa dilakukan hanya fundamental (perkiraan: supply demand dan stock) ditambah risk factors: seperti geopolitik, wheather, refinery bottleneck, aktivitas spekulan di futures market, etc. Ini tentu belum lagi faktor bencana alam yang entah nggak ada yang tahu kapan datangnya? Kalau tiba tiba ada badai di Gulf of Mexico misalnya, ya tentu berpengaruh thd harga minyak, apalagi kalau kejadian tersebut dekat dekat negara produsen dan konsumen besar.

Untuk level negara, sebagian besar negara produsen biasanya pasang harga yang amat sangat konservatif untuk anggarannya (Energy Compass, September 2007). Untuk level IOC juga saya kira perkiraan harga minyak yang mereka pakai untuk proyek proyek kedepan masih sangat konservatif, untuk test keekonomian bisa jadi masih menggunakan level 40 - 50 $ per barrel, beberapa mungkin lebih konservatif lagi.

Menebak harga minyak memang susahlah, nggak ada jaminan analis kondang sekalipun bisa ”tokcer” meramal harga minyak, kalau sering bener tentu udah jadi milyuner dia. Seandainya forecast meleset, apa harus diperkarakan? Kaya kurang kerjaan aja ah..!!

Tuesday, September 18, 2007

UU Migas Irak

Baru saja dikirimin artikel dari OGEL (Oil Gas Energy Law), Sharing Iraq’s Oil: Analyzing Production-Sharing Contracts Under The Final Draft Petroleum Law oleh Daniel Behn (J.D. Candidate 2008, Tulane University School of Law, Louisiana). Ini cerita tentang perkembangan Petroleum Law di Irak. Kalau kita lihat di internet, banyak berita terkait mengenai berlarut larutnya pengesahan UU Migas nya Irak ini. Terlalu banyak urusan dan pihak yang terlibat yang harus diakomodasi. Artikel Daniel ini sedikit banyak menyinggung mengenai latar belakang UU Migas Irak ini, tentu hal ini dianggap perlu mengingat dia berasal dari sekolah hukum.

Saya tidak akan mem-posting latar belakang dan pendahuluan lainnya tetapi langsung ke rekomendasi yang dia tawarkan:.

Pertama, harus dibedakan antara kontrak eksplorasi dan pengembangan dengan kontrak kontrak yang langsung mengembangkan lapangan lapangan yang sudah ditemukan, model kontrak yang pertama tentu pantas memperoleh profit oil yang lebih besar karena resiko yang diemban lebih besar pula.

Kedua, lama kontrak sebaiknya diperpendek megingat resiko yang dihadapi relatif terbatas dan biaya investasi relatif kecil. Kontrak 35 tahun tentu terlalu lama. Ketiga, Undang undang Migas sebaiknya mengkomodasi pembagian profit-sharing berdasarkan profitability of the project melalui mekanisme R-factors atau IRR.

Keempat, UU migas sebaiknya membuat batasan maksimal cost recovery per tahun yang boleh diambil Kontraktor. Kelima, 51% interest dari PSC harus merupakan interest dari perusahaan minyak nasional Irak, ini untuk menjamin bahwa pengawasan proyek tetap dalam koridor kepentingan Irak. Keenam, UU migas harus menetapkan perlunya dibuat “regional oil funds” yang akan di monitor oleh DPRD-nya Irak. Porsi tertentu dari pendapatan minyak bagian negara harus masuk kedalam fund ini. (Walaupun ada resiko di korupsi), namun pembentukan funds ini penting untuk menunjukkan bahwa minyak Irak adalah milik semua rakyat.
---------
Itulah rekomendasi si Daniel ini, boleh keberatan, setuju juga tidak dilarang. Kalau saya secara umum oke oke ajalah, cuma agak heran dengan rekomendasi dia yang ketiga, dimana dia menyarankan pembagian profit-sharing berdasarkan profitability of the project melalui mekanisme R-factors atau IRR. Kalau rekomendasi yang ini saya tidak setuju. Model pembagian seperti ini justru bagus untuk proyek yang high risk buat kontraktor (deepwater, marginal, etc), pokoke yang susah susah deh. Dengan demikian menjamin Konraktor dapat segera memperoleh pengembalian investasinya lebih awal, karena pada saat awal negara berkorban memperoleh “profit oil” yang lebih kecil, baru setelah lebih ekonomis, maka bagian “profit oil” negara meningkat.

Agak kontradiktif, di satu pihak dia bilang Irak ini resikonya lebih kecil (kalau kita ngomong resiko disini maksudnya resiko eksplorasi & eksploitasi bukan resiko keamanan, perang, etc), tetapi dipihak lain dia sangat royal buat IOC dengan menawarkan model profitability based? Nggak klop!.

Anyway, beda pendapat khan boleh dong, saya kira yang paling penting buat Irak saat ini adalah keamanan, mau dibikin UU migas secanggih apa, kalau keamanan masih kaya sekarang, nggak ada yang mau ngebor disana, siapa yang mau digaji tinggi, tapi nggak aman, emang uangnya buat dibawa kemana? he he..

Summer Fellowship Program

Setiap tahun Sekretariat OPEC secara rutin melakukan apa yang disebut dengan Summer Fellowship Program, program ini ditujukan kepada para profesional dari negara anggota untu melakukan kajian selama 1.5 bulan di Wina. Peserta tahun ini ada 5 orang, topik yang dipilih bermacam macam, mulai dari modeling demand, EOR economics, Ethanol Economics, Fiscal System, etc.

Saya sendiri kebagian jadi supervisor salah seorang peserta dari Algeria (Rabah Lafer), yang mengambil Research topic: Project Economics of the Upstream Petroleum Contracts – A Comparative Analysis. Rabah memfokuskan pada perbandingan model kontrak baru di Algeria dengan beberapa model kontrak di dunia. Rabah sendiri adalah staf mata kuliah Petroleum Economics di Algerian Petroleum Institute. Saat ini sedang dalam proses untuk mengambil program Doktor dalam bidang yang sama di Universitas Aberdeen.


Monday, September 17, 2007

Konferensi 145

Konferensi ke 145 berlangsung tanggal 11 September 2007 di Sekretariat OPEC, Wina. Seperti biasa setelah 12 menteri yang membawahin perminyakan tiba di ruang konferensi, diberi waktu sekitar 15 menit bagi Pers untuk wawancara dengan para menteri, ini momen yang paling manarik, karena suasananya gaduh.. Setelah itu dilanjutkan dengan opening session dan sambutan dari negara produsen yang bukan anggota, spt biasa kali ini yang hadir: Rusia, Meksiko, Oman dan Egypt. Setelah itu ada beberapa presentasi dari Sekretariat.

Bagian yang paling penting adalah Closed session yang hanya dihadiri oleh 12 menteri tersebut ditambah Sekjen tentunya, disinilah keputusan digodok, mau naikin atau nurunin produksi. Kali ini Closed session berlangsung jauh lebih lama dari biasanya, cukup alot rupanya, kita2 yang nungguin di ruangan sebelah bingung juga kok nggak selesai2 ya.. Akhirnya closed session berakhir juga, para menteri sepakat untuk menaikan output sebesar 500 ribu bph efektif 1 November 2007
.

Thursday, September 06, 2007

Risk Sharing?

Dari tagboard, Eri: Mas Ben, apakah ada di salah satu negara yang menerapkan sistem cost recovery dengan sistem Risk Sharing. Maksud saya adalah misalnya di POD cost untuk mendevelop suatu lapangan adalah $100MM dengan perkiraan produksi 10 MMBO. Misalnya nih kejadian sebenernya cuman terecover 5 MMBO, CR yg bisa dinikmati oleh Contractor ya cuman 5/10 x $100MM (setengahnya)? Tentunya kalau produksi melebihi target, ada insentif tertentu untuk kontraktornya.

-----
Mas Eri apa khabar? Perlu pembahasan sedikit detail, nggak cukup kalau dijawab di tagboard. Untuk model PSC, saya belum pernah lihat ya (yang mirip seperti itu). Problem utamanya: pada saat awal, informasi bawah permukaan (subsurface) itu masih sangat terbatas, dengan demikian reserves uncertainty masih sangat besar. Saya yakin nggak pernah ada perkiraan cadangan di POD (plan of development) mendekati realisasinya. Ada proses pembelajaran selama tahap pengembangan tersebut, ada value dari setiap tambahan informasi yang membuat cadangan menjadi membesar atau mengecil.

Dengan nature seperti itu, maka model kontrak seperti diatas malah akan menimbulkan insentif untuk tidak melaksanakan “good engineering practices”, kontraktor akan ngotot bahwa cadangan tidak besar dengan harapan nanti pada saat realisasi, recovery- nya jadi besar, otomatis dapat reward yang besar pula. Sementara host country akan lebih optimis dengan cadangan yang besar. Waktu diskusi dan rapat akan habis dipakai mempertahankan argumentasi masing2 untuk sesuatu yang dua duanya masih belum jelas!. (lagi pula kalau kebanyakan rapat nanti bisa meningkatkan biaya: snacks, kopi, teh, lemper, etc- cost recovery meningkat pula jadinya… he ).

Problem kedua, kalaupun sudah sepakat masalah estimasi recoverable reserves dan biaya tersebut, realisasinya itu untuk berapa lama?. Maksudnya apakah dibatasi sampai periode di dalam POD, artinya kalau di POD, perkiraan produksi 15 tahun, apakah dengan demikian batas recoverable nya sampai 15 tahun juga.. Ini bisa rame lagi, pada prakteknya khan POD sering di revisi, lha kalau model kaya gini, masih boleh nggak revisi POD?, kalau boleh, pasti kontraktor minta revisi begitu melihat recoverable reserves- nya menyusut, kalau nggak boleh, kontraktor bisa jadi akan “cut loss”, proyeknya nggak diterusin…!

Problem ketiga, bagaimana metoda penalty – reward-nya, apakah berdasarkan kinerja tahunan (kalau nunggu end of project - ya kelamaan), apa yang bisa terjadi ? Kontraktor cederung akan nge-set produksi diawal kecil, tapi realisasinya akan digenjot segede mungkin, kembali lagi: prinsip good engineering practices diabaikan, sumur2 jadi rusak, secara longterm, tidak ada yang memperoleh manfaat (terlebih buat host country..). Jadi: serba susah deh mas..

----

Namun demikian (nah ini yang penting, kata temen saya: kalau denger orang ngomong, intronya dengerin sambil lewat aja, yang penting pas dia ngomong, “namun demikian”, atau kalau sama bule, dengerin pas dia ngomong “but”, “therefore”, etc.. bagian awalnya cuekin aja. Masalahnya kadang kadang “but” nya ini nggak keluar keluar…he he..). Untuk model service contract, hal tersebut masih dimungkinkan (tentu nggak persis seperti ilustrasi mas Eri diatas). Kenapa? karena sebagian besar model service contract itu untuk tahapan pengembangan (development), dalam banyak kasus berlaku untuk lapangan lapangan yang sudah berproduksi, dengan demikian data sudah cukup memadai, relatif “low uncertainty”.

Contohnya: Ada suatu model service contract, dimana dibuat kesepakatan mengenai laju produksi yang mereka sebut “stipulated production rate” kita singkat SPR, dapet reward kalau diatas SPR dan penalty kalau dibawahnya. Menurut cerita temen dari negara yang pernah pake model ini, menentukan SPR itu juga berlarut larut, setelah sepakat dengan angka SPR pun, nanti bisa rame lagi, kenapa? karena kontraktor cenderung akan genjot produksi setinggi mungkin, ya wajar dong dapet reward kalau diatas SPR, sebaliknya host country complaint, karena menggenjot produksi tanpa mempertimbangkan “good reservoir management”, malah memperkecil recoverable reserves, lha salah lagi… he he. Tapi pada prakteknya tidak sesulit itu, ada negosiasi negosiasi berdasarkan tambahan data baru di lapangan, karakteristik reservoir menjadi lebih jelas, tentunya akan ada kesepakatan untuk menyetujui kenaikan produksi.

Sekarang agak menyimpang sedikit, tidak berhubungan langsung dengan pertanyaan diatas, namun perlu juga untuk menambah wacana. Sekedar ilustrasi bahwa contoh klasik untuk model service contract itu adalah untuk project Enhanced Oil Recovery atawa EOR (dan atau metoda metoda lain yang bertujuan untuk meningkatkan recovery factor, seperti teknologi rusia itu lho: vibro apa itu? Yang mengguncang guncang lapisan tanah dekat sumur minyak, biar produksi bisa meningkat..). Umumnya kontraktor mendapat fee dari setiap barrel peningkatan produksi. Gambar klasiknya seperti dibawah ini.


Sederhana sekali, setiap peningkatan produksi (warna hijau) kontraktor dapet fee sebesar “x” US$ per barrel. Pada prakteknya, yang susah itu malah menentukan baseline (sebagai info buat yang awam, baseline ini di prediksi berdasarkan existing conditions, diluar pekerjaan EOR, maka profil produksinya akan mengikuti baseline tersebut) . Kalau realisasinya sama atau dibawah baseline, otomatis kontraktor nggak dapet apa apa (ya wajar, karena EOR itu khan tujuannya memberi tambahan recovery, kalau sama atau dibawah baseline, ya gatot, tanpa EOR produksinya akan segitu juga...).

Bagi yang niatnya jelek (alias oknum), baseline ini bisa jadi “mainan”, oknum di perusahaan kongkalikong aja sama kontraktor EOR (tentu oknum ini harus decision maker, kalau pegawai rendahan gimana mau jadi oknum? he he). Dia bikin baseline serendah mungkin, nanti si kontraktor juga bikin proyek EOR nya asal asalan (karena pada dasarnya si kontraktor ini emang nggak punya keahlian di bidang EOR, kalau ahli tentu nggak mau jadi oknum, nggak mau kongkalikong..). Jadi dari EOR bohong bohongan tadi, si kontraktor tinggal ongkang2 kaki aja, terima fee… seolah-olah ada “gain” dari baseline, padahal baseline nya bohong2 an juga.. ! harusnya biar fair, bayar fee-nya pake duit bohong2 an juga ya…. Udah dulu ah, ini ilustrasi juga bohong2 an kok!

Tuesday, September 04, 2007

Kebijakan Pajak BBM

Ini menyambung posting sebelumnya mengenai pajak BBM, soalnya sekarang lagi merhatiin kecenderungan energy taxes di negara konsumen gede (G7 countries). Kalau kita lihat negara G7 Eropa (UK, Perancis, Jerman dan Italy) termasuk gede banget pajaknya, sementara negara G7 lain kaya US dan Canada cenderung kecil. Apakah ada hubungan antara densitas populasi dengan kebijakan perpajakan? Bisa jadi!.

Ada juga pendapat yang bilang kalau masyarakat di belahan eropa (barat) punya toleransi yang tinggi terhadap tingginya pajak bahan bakar minyak ini dibanding orang amrik atau kanada karena dua alasan: pertama, shorter distance to travel, kedua, better access to public transport. Tapi sebenarnya nggak toleran2 amat, buktinya tahun 2000 ada demo juga di UK menentang tingginya pajak BBM ini.

Hal lain yang juga menarik untuk diamati itu adalah level konsumsinya, kita tahu kalau di US sana, konsumsinya luar biasa besar, gasoline misalnya konsumsi bisa 20 kali lipat dibanding UK. Sekarang timbul pertanyaan: apakah pajak yang rendah itu mendorong terjadinya konsumsi yang besar? Atau yang terjadi begini: karena tingkat konsumsi yang besar, maka menjadi semacam pressure buat government, yaitu pressure yang kuat untuk menentang setiap ada ide untuk menaikkan pajak.

Secara teori, pajak bahan bakar minyak ini antara lain bertujuan: 1. untuk mengcover biaya konstruksi dan maintenance infrastruktur transportasi, 2. sebagai sumber untuk pengeluaran pemerintah, 3. sebagai koreksi thd negative externalities, 4. dan lain lain

Point pertama kelihatannya oke untuk kasus US, tapi yang lebih umum buat negara lain kayanya point kedua. Nah, point ketiga ini yang kita coba bahas lebih jauh karena ini urusannya dengan lingkungan. Teorinya seperti ini: barang barang “jahat” harus dipajakin gede gede supaya mengurangi konsumsinya, slogannya: tax bad not goods. Karena fuel ini mempunyai efek negatif terhadap lingkungan, maka (katanya) perlu dipajakin yang gede, supaya dapat keuntungan ganda (istilah kerennya: double dividend), yaitu: pertama, pencemaran lingkungan berkurang karena konsumsi berkurang, kedua, ada pemasukan pajak (yang teorinya) bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Idealnya semakin mencemari suatu produk, semakin gede tingkat pajaknya, tapi realitanya tidaklah demikian, sebagai contoh: coal yang relatif lebih besar efek pencemarannya, malah dipajakin lebih rendah dari petroleum dan gas. Begitu pula untuk sesama petroleum products: kerosene dan diesel mestinya kena pajak lebih gede dari gasoline, tapi prakteknya tidak selalu demikian, karena urusannya dengan “distribusi of income”. Suatu negara mungkin harus memproteksi industri coal-nya, kalau nggak bisa2 angka pengangguran meningkat. Begitu juga dengan kerosene yang relatif lebih banyak digunakan oleh kelompok yang lebih miskin.. masak nekat dipajakin tinggi2, nanti government-nya nggak populer, tidak pro rakyat miskin. Not so easy ya?..

Sebagai penutup, menarik melihat komentarnya Sanjeev Gupta dalam papernya “Taxation of petroleum products: theory and empirical evidence”, saya kutip: the domestic taxation of petroleum products is an important source of revenue in most countries. However, there is a wide variation of taxes rates on petroleum products across countries, which cannot be explained by economic theory alone.

Wednesday, August 29, 2007

Cost recovery - salah kaprah?

Kamis, 02/08/2007 10:50 WIB
Perusahaan Migas Berang Dituding Nikmati Cost Recovery
Alih Istik Wahyuni - detikfinance

Jakarta - Perusahaan migas protes dituding sebagai pihak yang menikmati besarnya cost recovery yang dibebankan pada negara. Presdir Star Energy, Supramu Santosa menjelaskan, bahwa perusahaan kontraktor juga ikut membayar cost recovery. "Kita juga ikut bayar, nggak hanya pemerintah. Jadi kalau dibilang kita yang menghambur-hamburkan cost recovery, salah itu," katanya dalam seminar cost recovery di gedung Departemen ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (2/8/2007).

Besaran cost recovery yang dibayarkan perusahaan kontraktor disesuaikan dengan bagi hasil (split) yang tercantum dalam kontrak. Untuk pengembangan minyak misalnya, bagi hasilnya adalah 85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor. Jadi cost recovery yang dibebankan pada pemerintah adalah 85 persen dan pada kontraktor adalah 15 persen.

Aturan yang sama juga berlaku pada proyek pengembangan gas yang bagi hasilnya bekisar antara 70-65 persen untuk pemerintah dan 30-35 persen untuk kontraktor. Ia juga menjelaskan terkait masuknya gaji ekspatriat yang masuk kedalam cost recovery. "Kita sebelumnya sudah ajukan ke BP Migas, dan kalau disetujui, artinya memang diperlukan," katanya.

Baginya yang harus dilakukan adalah segera melatih pekerja dalam negeri untuk menggantikan ekspatriat itu.

"Kalau mau kita bayar 50 persen ya bagi hasilnya juga jadi 50:50 juga dong. Jadi beban negara berkurang, kita yang naik," kata Supramu.

------------------------------------------------

Berita diatas saya copy - paste dari Detikcom, statement yang menarik, mudah2 an wartawati-nya nggak salah kutip...

Saya kira persepsi angka keramat 85: 15 atau 70:30 dan seterusnya ini harus diluruskan, bahwa ada statement, 85:15 itu berarti pemerintah menanggung 85% biaya dan kontraktor 15% sebenarnya tidak tepat (karena kalau logikanya seperti ini, maka munculah kesimpulan ngawur seperti alinea terakhir yang saya bold diatas).

Lebih tepat kalau dikatakan: kenaikan cost recovery akan mengurangi profit oil baik kontraktor maupun pemerintah masing masing sebesar 15% dan 85%. Bagaimana dengan cost yang telah dikeluarkan? ya tetap saja 100% dikembalikan ke kontraktor.

Adanya kesalahan logika ini, kemudian menimbulkan usulan aneh, bagi hasil diubah menjadi 50:50 supaya beban negara berkurang. Lha yang berkurang beban apa?, selama kontraknya tetap PSC, tetap saja 100% cost yang dikeluarkan akan dikembalikan.

Seperti biasa kita pakai ilustrasi (biar simpel, kita asumsi tidak ada FTP)
Untuk bagi hasil 85 - 15, sebagai berikut:
Gross Revenue = 100
Cost = 30
Profit Oil = 70 (100 - 30)
POCAT* = 10.5 (15% x 70),
*) POCAT = Profit Oil Contractor After Tax

Sekarang, katakanlah cost naik menjadi 40

Gross Revenue = 100
Cost = 40
Profit Oil = 60
POCAT = 9

Ada 2 interpretasi yang timbul:

Interpretasi Pertama:
POCAT akan turun sebesar 1.5 (9 – 10.5), akibat kenaikan cost sebesar 10, atau secara umum dapat kita katakan POCAT turun sebesar 15% setiap terjadi kenaikan cost.

Interpretasi Kedua:
Kontraktor menanggung 15% dari kenaikan cost tersebut atau secara umum menyatakan kontraktor menanggung 15% biaya.

Interpretasi yang benar jelas interpretasi pertama, interpretasi kedua tidak tepat, karena kontraktor tidak menanggung 15% biaya, melainkan 100% biaya dan akan dikembalikan melalui cost recovery juga sebesar 100%. Namun demikian, (sayangnya) banyak yang senang interpretasi yang kedua, syah syah saja selama tidak membuat logika menjadi terbolak balik.

Coba kita analisa lebih jauh implikasi dari interpretasi ini, sekarang mari kita berandai andai persentasi bagi hasil diubah menjadi 50:50, maka analog seperti diatas.

Gross Revenue = 100
Cost = 30
Profit Oil = 70
POCAT= 35 (50% x 70)

Seperti diatas, katakanlah cost naik jadi 40

Gross Revenue = 100
Cost = 40
Profit Oil = 60
POCAT = 30

Jadi POCAT akan turun sebesar 50% (30-35)/10 setiap kali terjadi kenaikan cost.

Kalau kita bandingkan kedua porsi bagi hasil diatas, tentu saja kontraktor akan mengalami penurunan POCAT yang lebih besar untuk porsi bagi hasil yang lebih besar, yaitu: dari 15% menjadi 50%. Namun demikian, tentu naif kalau kita berhenti sampai disini saja, dengan mengubah porsi bagi hasil menjadi lebih besar (50:50), maka POCAT melonjak 233%!!! (dari 10.5 menjadi 35 atau dari 9 menjadi 30). Weleh weleh..

Dari ilustrasi diatas, saya tidak tahu bagaimana menerangkan logika: “beban negara berkurang?”, bagaimana kok bisa sampai kesimpulan seperti itu. Saya menduga kesimpulan ini muncul karena salah kaprah menggunakan interpretasi yang kedua tersebut.

---------------------------
Kalau mau (ini kalau mau lho.. keukeuh dengan angka 50:50), ubah aja jadi model PSC JV, artinya okelah 50:50, pemerintah ikut membiayai 50%, nanti hasilnya dibagi seperti ini: setelah gross revenue dipotong royalty, maka untuk cost recovery masing masing pihak dapet 50%. Sisanya (setelah royalty dan cost recovery) berupa profit oil, 50% dari profit oil langsung masuk ke kantong pemerintah, sementara 50% dibagi antara pemerintah dengan kontraktor sesuai dengan PSC terms & conditions yang disepakati, beginilah model kontrak PSC JV yang di adopsi di beberapa negara. Beban cost contractor jadi turun, tapi profit oil ya turun juga dong, kira2 mau nggak yang seperti ini?

Friday, August 17, 2007

Dirgahayu Indonesia

Seperti tahun lalu, tidak ada panjat pinang, gerak jalan atau lomba bidar di Wina.., tentu ada upacara di KBRI dan acara pesta rakyat tanggal 26 nanti… sempat terharu ketika ngantri makan siang di kantin UN, bertemu dengan koki yang kebetulan orang Indonesia (yang kalau ngomong logatnya Malaysia..), “Merdeka Pak” saya bilang, dia nggak kalah kencengnya menjawab “Merdeka”, yang ngantri di belakang pada bingung…..

Banyak harapan setiap kali merayakan 17-an, banyak berita sedih (bencana, korupsi, dll), tapi terhibur juga mendengar siswa kita berprestasi di berbagai macam olimpiade fisika, biologi, matematika dan lain lain. Olahraga masih belum menggembirakan, jadi inget waktu piala Asia, sebelum pertandingan Saudi Vs Indonesia, di Lift saya ketemu kolega Saudi, “bagaimana peluang nanti?” – saya jawab: “Fifty fifty”, saya berdoa kalaupun kalah jangan skor telak seperti biasanya, malu awak ini. Untunglah begitu lihat detik.com, cuma kalah tipis. Pas Irak juara, saya samperin kolega orang Irak, “Selamat ya, Anda negara lagi babak belur aja bisa juara Asia….”

Diantara pesimis dan optimis, saya termasuk yang (agak) optimis, masih banyak adik2 kita yang belajar keras siang malem, teman2 yang kerja dengan kinerja yang baik & nggak ikut2 an korupsi (padahal ada peluang kalau mau!), untuk menjadi lebih baik, tidak semudah membalik telapak tangan tentunya, tetapi kerja keras cepat atau lambat pasti akan membuahkan hasil.

Dirgahayu Indonesia..!


Ini foto karyanya rekan: Athmam Mufti, teman seperjuangan di lepas pantai Maxus dulu, saya baru tahu kalau beliau ini mempunyai bakat menjadi fotographer handal.

Monday, August 13, 2007

Kontrak yang Effektif & Effisien?

Tadi pagi dapet email dari Mas Tatang R Jiwapraja (TRJ), sebenarnya agak sungkan juga manggil “mas” mengingat beliau ini jauuuuh lebih senior dari saya, bisa jadi angkatannya malah lebih senior dari pak Menteri Purnomo. Sedikit cerita ihwal pemanggilan dengan “mas” ini, dulu ada tradisi di TM (teknik perminyakan) ITB kalau manggil dosen itu dengan sebutan “mas” (kalau perempuannya tentunya “mbak”) , tujuannya supaya akrab antara mahasiswa dengan dosen. Agak risinya juga, mengingat banyak dosen yang sudah sangat senior, seperti almarhum Dr. Iman Soengkowo, dulu kalau ngajar, kita mau tanya manggilnya cuma: “mas mas..”. Kebiasaan ini berlanjut setelah kerja, di kantor manggil senior yang dari TM juga dengan sebutan Mas, buat yang dari non TM kedengeran kurang ajar juga, masak ada fresh graduate manggil VP cuma “mas mas” he he..

Pak eh.. .Mas TRJ kirim bahan presentasi beliau waktu forum ikatan ahli teknik perminyakan indonesia (IATMI) 2007 kemaren, seperti biasa saya sangat seneng kalau terima makalah makalah dari seminar di tanah air, jadi temen2 tolong kirimlah soft copy bahan bahan seminar, conference atau apalah kalau kebenaran menghadiri seminar dimana saja he he.

Sebenarnya bahan presentasi ini pernah jadi diskusi panjang antara saya dengan beliau di milis, karena beliau cs ini pendukung model PSC baru dengan pembagian berdasarkan Gross Revenue, sementara saya sendiri termasuk yang kontra. Diskusi panjang lebar ini pernah saya posting sebelumnya.

Adanya usulan Mas TRJ ini dilatar belakangi oleh susahnya urusan manajemen “cost recovery”, dua poin yang jadi latar belakangnya, yaitu:

1. Pengawasan & urusan adminitrasi rumit, mahal dan menyita waktu, tetap berpotensi untuk terjadinya penyinpangan

2. Imbalan untuk effisiensi tidak seimbang (kecil)

Berikut saya tampilkan slide usulan beliau:



Dengan adanya metoda pembagian berdasarkan Gross Revenue ini, maka pemerintah tidak perlu repot repot mengurusi cost recovery, pokoknya terima bersih setiap tahun sebesar (1-X)%. Pendukung model ini beranggapan bahwa dengan adanya pembagian berdasarkan GR ini, maka kontraktor akan berusaha effisien, karena berapapun mereka melakukan effisensi, semuanya akan masuk ke Kontraktor (kalau inget teori Saving Index yang pernah saya posting, maka SI untuk model ini = 1, artinya kalau ada cost saving, $1, maka $1 tersebut semuanya menjadi milik Kontraktor).

Kenapa saya kontra model ini?

Pertama, model seperti ini sangat sensitif terhadap harga minyak, tanpa perlu repot repot melakukan efisiensi, rasio cost recovery thd gross revenue akan turun sendirinya dengan kenaikan harga minyak. Saya plot data dari Bulletin BP Migas.


Kedua, semakin turun percentase cost recovery thd gross revenue karena naiknya harga minyak, maka semakin turun pula ”kue” pemerintah atau GT (ingat GT ini adalah rasio dari profit, artinya semakin meningkat profit, semakin turun GT, wajar saja karena semua ”penurunan” cost masuk ke Kontraktor), padahal kenaikan profit ini akibat kenaikan harga minyak, bukan akibat efisiensi kontraktor!. Supaya jelas lihat plot dibawah.

Gambar diatas adalah simulasi perbandingan antara PSC standard dengan seandainya mau digunakan metoda pembagian berdasarkan GR, sebagai ilustrasi, dibuat pembagian berdasarkan GR sebesar 70% - 30%, atau 60 – 40%. Dapat kita lihat bahwa untuk model berdasarkan pembagian GR, semakin kecil cost thd GR (baca: semakin profit), maka GT malah semakin turun, apabila cost thd GR antara 10- 20%, model ini malah lebih jelek (bagi pemerintah) dibandingkan PSC standard.

Ketiga, buat Kontraktor pun belum tentu model ini menarik, khususnya apabila kita menawarkan blok baru, apa Kontraktor berminat dengan pembagian berdasarkan GR ini? Kalau untuk yang sudah tahap pengembangan atau yang sudah extension, pokoknya ”existing blocks” lah, keliatannya kontraktor oke karena mereka sudah tahu benar cost structure-nya (tentu lihat lihat dulu berapa ”X” nya).

Apakah saya anti model seperti ini?, tentu tidak! dalam hidup ini nggak ada yang perfect, saya cuma ingin memberikan gambaran bahwa kita harus hati hati, karena saya percaya, kita semua (saya, Mas TRJ dan rekan2 lain) berusaha memikirkan model baru yang lebih baik buat negara dan cukup menarik bagi investor, jangan sampai malah yang terjadi kita tidak sadar membuat model yang lebih buruk.

Apakah model pembagian berdasarkan GR bisa di implementasikan? Kalau memang ingin dicoba, saya hanya menyarankan supaya dimodifikasi sedemikian rupa.

Bagaimana caranya? Pembagian GR tersebut jangan dibuat fixed, tetapi sliding scale terhadap harga minyak.

Misalnya:

70 : 30 untuk harga minyak dibawah 40
75 : 25 untuk harga minyak 40 s/d 60
80 : 20 untuk harga minyak diatas 60

Tentu angka angka diatas hanya sekedar ilustrasi.

Kalau mau sedikit lebih akurat, dibuat suatu faktor misalnya F = cost / gross revenue, selanjutnya dibuat sliding scale berdasarkan F tersebut seperti diatas, berapa besar X dan F tentu bisa dihitung hitung dulu, berapa sich idealnya.

Demikian deh, sekali lagi saya terima kasih sama Mas TRJ, beliau ini “sparing partner” saya di milis.