Wednesday, October 03, 2007

Insentif migas tak ada gunanya?

Kamis, 20/09/2007 15:33 WIB

Insentif Migas Dianggap Tidak Ada Gunanya
Alih Istik Wahyuni - detikfinance

Jakarta - Berbagai insentif yang diberikan pemerintah di sektor migas dinilai tidak ada gunanya lagi. Pasalnya, insentif dan fasilitas yang digelontorkan demi menyemangati kontraktor, justru kontraproduktif dengan produksi minyak dan gas di Indonesia yang terus turun.

Demikian disampaikan Peneliti LP3ES Pri Agung Rakhmanto dalam konferensi pers di kantor LP3ES,Jalan S Parman, Kamis (20/9/2007).

Pri mencontohkan, seperti pada periode tahun 1976 hingga tahun 1988 ketika terjadi perubahan batasan cost recovery dalam kontrak production sharing. Saat itu biaya produksi yang bisa diklaim ke pemerintah yang semula berlaku 40 hingga 60 persen direvisi menjadi 100 persen.

Tapi pada kenyataannya, produksi dan cadangan minyak yang ditemukan justru turun signifikan. Dari 1,7 juta barel per hari menjadi sekitar 1,1 juta barel per hari.

Begitu juga yang terjadi pada periode tahun 2000, ketika cost recovery justru diduga banyak penggelembungan hingga 120 persen karena masuknya biaya-biaya yang tidak seharusnya. Pada saat itu, produksi migas justru turun dari 1,4 juta barel per hari pada tahun 2000 menjadi sekitar 1 juta pada tahun 2006. "Jadi sekian banyak insentif sudah ada, tapi justru produksi turun. Jadi tidak ada hasilnya," tegasnya.

Selain fasilitas cost recovery, kenikmatan lainnya adalah holiday domestic market obligation, dimana ada jangka waktu tertentu kontraktor diliburkan dari kewajibannya mensupply migas ke domestik dengan harga murah.

Ditambah lagi prosentase bagi hasil operasi migas di Indonesia yang makin menguntungkan kontraktor. Awalnya, bagi hasil migas pada tahun 1974 adalah 65:35 (kontraktor:pemerintah). Tapi kini, bagi hasilnya bervariasi antara 85:15 sampai 70:30. Belum lagi masalah pengurangan beberapa pajak yang dulu masih 56persen sekarang tinggal 44 persen.

Bahkan, ia menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah dan kontraktor-kontraktor itu."Bisa saja mereka (kontraktor) berpikir, dengan cost recovery yang besar saya sudah untung banyak. Ngapain genjot produksi, dengan produksi makin rendah kan kita bisa minta insentif lagi," katanya. Solusinya, ia mendesak agar pemerintah segera merenegosiasi sistem bagi hasil dengan para kontraktor migas itu. Seperti perombakan besar-besaran yang dilakukan Bolivia ataupun nasionalisasi yang dilakukan Venezuela. (lih/arn)

--------------------------

Oleh Bung Zaki, saya diminta mengomentari artikel diatas tersebut, saya secara personal tidak kenal dengan Mas Pri ini, saya lihat tulisannya di beberapa mass media bagus bagus, mungkin karena beliau ini sebelumnya pernah di KPS juga?, kalau nggak salah, dia ini adik kelas saya di TM, jadi sekarang kita sama2 menyimpang he he..


Saya akan memberikan beberapa komentar, saya (BL) dan Pri (PAR):

PAR:
Pri mencontohkan, seperti pada periode tahun 1976 hingga tahun 1988 ketika terjadi perubahan batasan cost recovery dalam kontrak production sharing. Saat itu biaya produksi yang bisa diklaim ke pemerintah yang semula berlaku 40 hingga 60 persen direvisi menjadi 100 persen.Tapi pada kenyataannya, produksi dan cadangan minyak yang ditemukan justru turun signifikan. Dari 1,7 juta barel per hari menjadi sekitar 1,1 juta barel per hari.

BL:
Mungkin bisa dilihat posting saya sebelumnya mengenai kilas balik PSC kita disini, memang era PSC Generasi I, cost recovery dibatasi 40% per tahun, tapi pembagian split-nya, sudah termasuk pajak 65% : 35% buat kontraktor. Dengan hitungan spt ini, maka bagian pemerintah relatif konstan sebesar 44% dari gross production (asal usul angkanya lihat di posting kilas balik PSC tersebut). Kemudian di revisi untuk PSC generasi II dan III yang masing masing cost recovery diperbolehkan mencapai 100%. Jelas PSC generasi II dan III lebih baik buat pemerintah (perhitungan Government Take, untuk II dan III sebesar 85% sedangkan PSC I = 74%). Sebagai tambahan, kita tidak bisa melihat hanya dari cost recovery limit untuk membedakan bahwa suatu fiscal term lebih baik dari yang lain. Untuk tujuan perbandingan, Government Take yang harus dipakai. Dari situ (menurut saya) tidak ada hubungan langsung antara perubahan PSC I, menjadi II dan III dengan penurunan produksi. Kecuali kalau mau membuat hipotesa (yang dikaitkan dengan model kontrak) bahwa karena PSC II dan III lebih tight bagi kontraktor dibanding PSC I, maka kontraktor kurang antusias, akibatnya produksi menurun?.

Saya kira, kalau kita lihat histori harga minyak, kelihatannya faktor harga minyak yang lebih dominan terhadap keputusan investasi perusahaan migas untuk eksplorasi dan produksi yang pada gilirannya akan berpengaruh ke tingkat produksi.

PAR:
Ditambah lagi prosentase bagi hasil operasi migas di Indonesia yang makin menguntungkan kontraktor. Awalnya, bagi hasil migas pada tahun 1974 adalah 65:35. Tapi kini, bagi hasilnya bervariasi antara 85:15 sampai 70:30. Belum lagi masalah pengurangan beberapa pajak yang dulu masih 56 persen sekarang tinggal 44 persen. Bahkan, ia menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah dan kontraktor-kontraktor itu.

BL:
Kita jangan salah kaprah disini, bahwa bagi hasil PSC Generasi I, 65:35 itu khan bagian pemerintah yang 65 itu khan sudah termasuk pajak kontraktor, sementara 85:15 itu khan net, kalau mau "apple to apple", dihitung “gross up” dulu, misalkan saja pajak 44%, maka dapetnya: 73.21%: 26.79% (bukannya lebih baik buat pemerintah dibanding tahun 1974 yang cuma 65:35?)

Mengenai pajak, yang turun 56% jadi 48% terus 44%, ini terjadi salah kaprah juga, jangan dikira kalau pajak turun, terus bagian pemerintah jadi turun, (kalau ceritanya gitu, masak bodoh kali pemerintah mau2nya nurunin tax?). Dalam kontrak PSC itu khan ada yang namanya: stabilization clause, bahwa perubahan pajak itu tidak berpengaruh terhadap after tax profit split yang 85:15, yang berubah cuma before tax profit split. Jadi pada akhirnya nggak ada yang berpengaruh (pemerintah nggak rugi, tax turun, tapi split before tax naik). Ilustrasi biar jelasnya gini: pada saat pajak 56%, split before tax = 66% : 34%, pada saat pajak turun 44%, split before tax = 73.21% : 26.79%. Split after tax ya tetap 85 : 15!. Sebenarnya dengan turunnya tax itu, buat kontraktor malah “rugi” lho, coba lihat di posting saya sebelumnya..

PAR:
"Bisa saja mereka (kontraktor) berpikir, dengan cost recovery yang besar saya sudah untung banyak. Ngapain genjot produksi, dengan produksi makin rendah kan kita bisa minta insentif lagi," katanya.

BL:
Coba tanya perusahaan minyak apa yang mereka cari cuma cost recovery plus insentif?, Anda khan tahulah, perusahaan minyak itu risk taker, ada resiko kalau nggak dapet apa apa.. Saya kira nggak lah, buat perusahaan minyak tentu misi utamanya cari tambahan cadangan dan genjot produksi sebesar besarnya, karena itu yang akan mempengaruhi saham mereka. Kalau cuma mau berharap dari cost recovery dan insentifnya, mungkin buat mereka lebih baik uang nya dipakai investasi yang aman sajalah, ngapain repot2 bikin perusahaan minyak..!

-------------------------
Secara umum saya setuju bahwa memberikan insentif harus hati hati, kenapa? karena resiko yang dihadapi di masing2 lapangan itu berbeda beda, jadi kalau mau memberikan insentif , lebih baik case by case, daripada buat satu insentif berlaku untuk semua, susah nanti bikin insentifnya? Ada yang merasa wah kalau segini nggak ngaruh, sementara yang lain, tanpa dikasih insentif pun sudah ekonomis.., akhirnya yang “sebenarnya nggak perlu insentif” jalan, yang diharapkan jalan, malah nggak mau, karena belum ekonomis tadi..

Disamping itu insentif eksplorasi lebih penting dibanding insentif pada tahap pengembangan, karena untuk harga minyak yang relatif tinggi sekarang ini, bisa jadi tahap pengembangan memang nggak perlu insentif lagi. Enhanced Oil recovery (EOR) perlu nggak? Ya tergantung, kalau dengan yang standard sudah ekonomis, tentu nggak perlu, sementara kalau masih belum ekonomis, dipaksa suruh EOR juga nggak akan mau kontraktornya.. So? Case by case… karena ketahuan kalau memang diperlukan, kalau nggak perlu?, ya nggak usah! ngapain cari masalah..!!

No comments: