Wednesday, February 28, 2007

PSC, PSA, EPSA, DEPSA, JV....???

Saya mengacu tag-board dari senior saya (mas Djati Wangsa Zein): “Tolong jelasin dong mengenai perbedaan : JV, EPSA, DEPSA, PSC kadang suka mix and tambah lieur dgn istilah2 ini?".

Harus segera jawab, kalau telat bisa bisa di ospek lagi nih he he.. Emang kadang kadang kecampur aduk sich istilah istilah tersebut: PSC, PSA, EPSA, DEPSA, DPSA, JV, JVC (oops yang terakhir ini mah merk elektronik ya..). Tapi, for sure, PSC sama PSA sami mawon. Untuk EPSA, DPSA, JV akan kita bahas.

Biar clear, saya tunjukin dulu klasifikasi fiscal system, yang pertama yang lebih duluan keluar, yaitu dari Daniel Johnston (1994), kemudian ada juga dari SPE Guideline (2001), sebenarnya ini cuma modifikasi dari klasifikasinya Daniel, hampir sama aja kok.


Inilah model yang tersedia antara investor/international oil companies (IOC) dengan host country/ government. Trus apa kaitannya dengan: EPSA (Exploration Production Sharing Agreement), DPSA (Development Production Sharing Agreement), JV (Joint Venture)?

Jadi gini: dalam kontrak PSC (atau PSA) yang umum, setelah si Contractor (atau IOC) dapet Block (winning block), maka si Contractor akan mulai Explorasi (rata rata 5 tahun, biasanya ada opsi perpanjangan), kemudian kalau ada “commercial discovery”, si Contractor akan lanjut dengan pengembangan dan produksi (development & production). Pada saat ini, biasanya ada opsi “government participation” misalnya: 10% atau 20%, opsi ini biasanya diberikan ke NOC atau local company, namanya juga opsi, ya tentu nggak wajib diambil, karena kalau diambil, ya harus ikut nyetor duit juga. Selanjutnya, yang jadi operator tetap si IOC ini. Ini model yang umum termasuk di Indonesia.

EPSA gimana?, awalnya sama, si Contractor akan mulai eksplorasi, begitu ada “commercial discovery”, maka untuk tahap pengembangan dan produksinya, si national oil company (NOC) mulai ikut serta, dibentuklah joint company (misalnya 50-50) antara Contractor yang ekplorasi tadi dengan NOC. Karena sharenya 50-50, jadi NOC ikut nyumbang biaya pengembangan dan biaya operasi sebesar 50%, kemudian untuk pelaksanaannya, dibentuklah management committee, terdiri dari perwakilan Contractor dan NOC, mirip mirip JOB kalau di kita. Model kontrak antara government dengan IOC/Contractor-nya gimana? ya pake mekanisme PSC/PSA kaya biasa (ada pembayaran royalty, pembagian profit oil split, etc).

Kalau DPSA (atau DEPSA)? Karena ini untuk phase pengembangan, artinya untuk lapangan yang sudah ditemukan, maka risk-nya relatif kecil, mungkin nantinya akan ikut model service contract. Istilah ini dari Libya, sampai saat ini masih wacana apakah model kontraknya PSC atau service contract.

Joint Venture? Di beberapa negara, untuk dapat akses ke oil resources, IOC harus mengajak local company dan membentuk Joint Venture. Misalnya: di Russia, IOC masuk dengan menggandeng mitra lokal, bentuk kontraknya?, ya tergantung: bisa konsesi (royalty tax) bisa juga PSC (oops di Russia mereka nyebutnya PSA). Begitu juga di negara lain, misalnya shell atau BP masuk, harus menggandeng mitra lokal atau NOC dan membentuk JV, model kontraknya?, ya itu tadi, tergantung model kontrak yang ada di negara bersangkutan.

Demikian kang Djati, mudah2 an nggak tambah kabur he he..

Wednesday, February 21, 2007

Buy-back Contract

Didalam model kontrak perminyakan dunia, salah satu contoh model service contract yang terkenal adalah apa yang dikenal dengan Iran Buyback Contract. Saat ini model buyback adalah satu satunya model yang tersedia bagi perusahaan minyak yang mau masuk. Untuk model PSC, sementara ini kelihatannya belum akan dipakai, kalaupun ada wacana kesana, itu pun hanya akan diberikan untuk daerah daerah di perbatasan.

Gimana mekanisme model buyback? Gampangnya gini: buyback itu sebenarnya tidak lain adalah mekanisme cost plus, dimana biaya biaya aktual ditambah dengan fee akan di reimbursed ke Contractor dari produksi yang dihasilkan. Kewajiban Contractor adalah mempersiapkan dan membiayai rencana pengembangan lapangan dan eksekusinya, begitu selesai dan siap dioperasikan, maka selanjutnya diserahkan ke perusahaan nasional-nya Iran (NIOC).

Singkatnya sich begitu, untuk model umum buyback contract, detailnya kira2 gini:
----------------------
- Contractor menyediakan kapital yang diperlukan untuk membiayai proyek pengembangan lapangan sesuai dengan Master Development Plan (MDP) - (MDP ini kaya POD lah kalau di kita - rencana pengembangan lapangan).

- Setelah kerjaan pembangunan sarana dan fasilitas produksi selesai (maksudnya siap diproduksikan), maka terjadi serah terima (hand-over) dari Contractor ke NIOC, yang mana NIOC ini selanjutnya akan menjadi operator.

- Biaya biaya yang telah dikeluarkan Contractor ditambah “bank charges” sebesar Libor plus akan dibayarkan dari bagian produksi.

- Contractor akan memperoleh remuneration fee (yang telah disetujui pada awal kontrak), besarnya fee ini dihitung dari ROR yang diinginkan, umumnya berkisar 15% – 20%. Fee ini kemudian dibayarkan bareng dengan cost recovery.

- Cost recovery dan fee ini dibayarkan oleh NIOC selama periode tertentu, sekitar 5-7 tahun mulai dari awal produksi. Biasanya dibatasi sampai 60-65% dari total produksi per tahun.

----------------------
Model buy back ini awalnya hanya untuk proyek pengembangan (Development Phase), artinya nggak mulai dari tahap eksplorasi (tahap ini sudah dilakukan oleh NIOC), jadi resiko untuk nggak dapet minyak hampir nggak ada. Dalam perjalanannya, diperkenalkan juga model buyback yang mulai dari tahap eksplorasi.

Untuk model yang mulai dari eksplorasi, begitu terjadi “commercial discovery”, si Contractor harus negosiasi lagi dengan NIOC mengenai terms & conditions untuk development phase-nya. Contractor yang menemukan ini akan diprioritaskan untuk pengembangan tapi nggak mesti dia yang dapet. Kalau seandainya nggak ada kecocokan terms dan conditions dengan NIOC, maka si Contractor akan memperoleh pengembalian biaya biaya eksplorasinya plus reward (semacem ongkos capek lah!).

Bagaimana kalau dibandingin dengan PSC?

Tentu banyak bedanya, pertama dari periode produksi, untuk PSC paling nggak Contractor bisa produksi sampai 20 tahun (dan bisa minta perpanjangan jauh jauh hari), sementara Iran buyback – dibatasi pengembalian cost recovery dan fee selama 5-7 tahun. Dari sisi resiko bagi Contractor, model buyback standard jelas lebih kecil resikonya, karena sudah ada commercial discovery, tinggal dikembangin aja. Dari sisi booking reserves, sebagaimana model service contract, maka Contractor nggak bisa booking reserves. Karena keterbatasan tersebut (waktu, fixed return, nggak ada insentif kalau ternyata kinerjanya melampaui perkiraan, nggak bisa book reserves, etc), maka buyback ini agak kurang populer dimata Contractor.

Awal bulan Februari kemaren, di Vienna sini ada konferensi dan presentasi NIOC mengenai modifikasi paling gres dari model Iran buyback - sekalian promosi beberapa block yang akan ditawarkan. Perubahan penting itu adalah bahwa Contractor bisa terlibat dari eksplorasi sampai produksi (full-cycle), periode produksi diperpanjang jadi 20 tahun, ada mekanisme untuk perhitungan project costing supaya lebih akurat dan fleksibel, ada komite bersama antara kontraktor dan NIOC sehingga setelah "serah terima" - contractor masih dilibatkan untuk urusan operasionalnya dan ada skema penalty & reward sebagai insentif untuk mengoptimalkan produksi. Buat Contractor, (seperti biasa) perubahan ini dirasakan masih kurang, menarik menyimak komentar Ali Ghezelbash, independent oil analyst, "It's a small step in the right direction, but companies will always want more," Dia menambahkan. "We weren't expecting a revolution. But at least they are modifying the contracts."

Tuesday, February 13, 2007

Access to Gross Revenue

Sudah banyak makalah/artikel atau studi yang membandingkan fiscal regimes model kontrak perminyakan, baik yang levelnya worldwide (biasanya dilakukan konsultan karena mereka punya resources), maupun yang level regional (biasanya individu atau team yang tertarik atau terpaksa karena emang kerjaannya..).

Parameter yang biasanya digunakan sebagai pembanding adalah Government Take (GT) dan standard parameter keekonomian proyek, seperti: IRR, NPV dan teman temannya. Seluk beluk GT sudah banyak sekali dibahas pada posting posting sebelumnya, yang akan dibahas kali ini, intinya kira kira begini, dari sisi contractor atau investor: “berapa maksimum yang bisa gua dapet dari gross revenue per tahun”, sebaliknya dari sisi host country: ”berapa mininum yang bisa masuk pundi pundi negara dari gross revenue per tahun..”.

Untuk yang dari perspektif contractor, Daniel Johnston pake istilah Access to Gross Revenue (AGR), sementara dari sisi host country, istilah yang dia gunakan: Effective Royalty Rate (ERR). Sementara konsultan lain, Frank Alexander, Jr pake istilah “revenue split”. Binatangnya sich sama, biar beda aja istilahnya, gengsi kali sesama konsultan he he.. Supaya nggak bingung, kita pake istilah Daniel aja.

Konsep AGR dan ERR ini tujuan untuk menguji “limit” dari suatu model kontrak, khususnya pada saat saat awal periode produksi, dimana biaya biaya yang telah terjadi jauh lebih besar dibanding dengan gross revenue. Karena masih dalam “suasana rugi”, maka belum ada tax liability, dengan demikian diasumsikan tax-nya sama dengan nol.

Supaya lebih jelas lihat gambar berikut:


Misalkan: suatu PSC dengan Profit Oil Split: 70% – 30%, ada cost recovery limit sebesar 70%, nggak ada royalty. Dari gambar diatas kita dapat menghitung bahwa AGR (AGR ini selalu melihatnya dari sisi contractor) besarnya = 79%, sementara dari sisi host country (ERR) besarnya= 21%. Artinya: dalam satu accounting period, maksimum si contractor yang bisa dapet adalah 79% dari gross revenus (GR), sementara dari sisi host country, minimum yang bisa dia dapet adalah sebesar 21% dari gross revenue. Jadi 21% GR ini semacam “minimum garansi” yang akan masuk pundi negara dalam satu periode akunting (satu tahun lah gampangnya).


Apa yang bisa kita lihat disini adalah bahwa, walaupun tidak ada royalty, adanya cost recovery limit yang besarnya 70%, menjamin host country dapet sebesar 21% dari gross revenue. Jadi cost recovery limit berfungsi sebagai penjamin host country dapet bagian.

Sekarang kita lihat gambar dibawah berikut, asumsi fiscal terms-nya sama, bedanya yang ini ada royalty sebesar 10%.

Sekarang kita lihat hasilnya dimana AGR besarnya = 76%, sementara ERR besarnya 24%, adanya royalty 10%, membuat ERR meningkat dari 21% menjadi 24% (tentu kita nggak bisa langsung bilang, kalau model yang tanpa royalty menghasilkan ERR = 21%, terus kalau dikasih royalty 10%, ERR nya otomatis jadi 31%, tidak demikian).

Nah sekarang kita coba analisa lebih jauh, kita buat sensitivitas terhadap cost recovery limit dari 2 model diatas, yang hasilnya sebagai berikut:


Kalau cost recovery limit (CRL) = 100% (maksudnya tidak ada limit), maka untuk sistem PSC yang nggak ada royalty, tentu nggak ada jaminan dapet apa apa buat host country (dengan kata lain: AGR = 100% dan ERR = 0%). Kalau ada royalty 10% dan tidak ada limit (CRL = 100%), maka 10% itu adalah jaminan bagian host country. Makanya hampir tidak pernah kita jumpai model PSC yang nggak royalty dan nggak ada cost recovery limit (CRL = 100%). Biasanya selalu kombinasi: ada royalty, CRL = 100%, atau, nggak ada royalty, tapi CRL kurang dari 100%, yang mantab itu tentu dua dua-nya: kasih royalty kasih CRL sekian persen.

Gambar garis putus putus diatas menunjukkan bahwa untuk model PSC yang nggak ada royalty-nya, maka untuk memperoleh AGR yang sama, diperlukan CRL sebesar sekitar 85%. Maksudnya gini: PSC yang pake royalty 10% dan nggak ada CRL akan memberikan AGR yang sama dengan PSC yang nggak pake royalty tapi CRL = 85%. Tapi disini (tentunya) harus hati hati, bukan berarti AGR yang sama dari dua model akan memberikan keekonomian yang sama pula. Belum tentu broer !, harus di run detail cash flow model untuk ngeceknya. Ini cuma itu untuk “ancer ancer aja” - quick count!.

Bagaimana dengan sistem Royalty/Tax? tentu lebih gampang, umumnya sich model R/T nggak ada CRL, jadi: ERR ya sama dengan royalty dan AGR-nya otomatis: 1 minus ERR.

AGR dan ERR ini biasanya sebagai indikator tambahan disamping yang standard seperti disebut sebelumnya: kaya GT, IRR, NPV dan lain lain. Buat contractor, yang penting: "seberapa cepet duit gua bisa balik (yang ini urusannya AGR)", buat host country, "berapa share minimum tiap tahun gua bisa dapet (ini urusan ERR)…. !

Saturday, February 10, 2007

Analisa Perilaku Kontrak Perminyakan

Tulisan kali ini mencoba sedikit detail melakukan analisa perilaku kontrak perminyakan, dalam hal ini berkaitan dengan perilaku elemen elemen dalam model kontrak seperti: royalty, tax, profit oil terhadap kenaikan harga minyak.

Ada 3 model kontrak yang akan dikaji:
1. Model Royalty – Tax
2. Model PSC - production based profit oil split
3. Model PSC - profitability based profit oil split

Asumsi umum untuk semua model:
- Periode produksi : 20 tahun (anggap periode kontrak berakhir)
- Cadangan terambil : 200 juta barrel
- Biaya operasi (opex)= $5 per barrel
- Finding & Development cost= $ 3.5 per barrel
- Asumsi harga minyak: $20, $ 35, $ 45 dan $ 60 per barrel

Profil produksi sebagai berikut:


1. Model Royalty Tax (country: “ABC”)

Asumsi Fiscal Terms:
Royalty = 12.5%, Income Tax = 50%.

Selanjutnya dengan menggunakan excel spreadsheet akan kita peroleh plot sebagai berikut:



Analisa:
Sumbu vertikal adalah persentase profit (profit dalam hal ini adalah gross revenue minus cost). Gambar diatas menunjukkan bahwa dengan kenaikan profit (dalam hal ini diakibatkan kenaikan harga minyak) maka persentase royalty terhadap profit akan terus menurun. Sementara IOC take (atau contractor take) semakin miningkat dengan kenaikan harga minyak, walaupun peningkatan tersebut kecenderungannya semakin kecil dengan semakin naiknya harga minyak. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin naik tingkat keuntungan maka “kue bagian kontraktor” sedikit meningkat, sebaliknya, “kue bagian negara” sedikit menurun.

2. Model PSC production based (country: “PQR”)

Asumsi Fiscal Terms:

Royalty= 7.5%
Cost recovery limit = 70%
Profit oil split berupa sliding scale sbb:

0 – 25,000 BOPD, maka POS* = 40% - 60% (pemerintah – contractor)
25,000 – 50,000 BOPD, maka POS = 45% - 55%
50,000 – 75,000 BOPD, maka POS = 50% - 50%
> 75,000 BOPD, maka POS = 55% - 45%

Income Tax 35%

*) POS = Profit Oil Split


Analisa:
Royalty (karena diambil dari persentase dari gross revenue) seperti halnya model royalty tax, akan terus menurun dengan meningkatnya harga minyak. Namun demikian pada saat yang sama, persentase profit oil government juga meningkat. Sementara dari sisi IOC/contractor, relatif tidak ada perubahan dengan adanya kenaikan harga minyak. Kesimpulan: kenaikan harga minyak tidak mempengaruhi share bagian “kue” atawa profit, artinya pembagian persentase profit antara negara dan IOC besarnya segitu aja nggak terpengaruh kenaikan harga minyak.

3. Model PSC profitability based (country: ”XYZ”)

Asumsi fiscal terms:

Royalty = 10%
Cost recovery limit: nggak ada alias 100%

Profit oil split berdasarkan ROR before tax sbb:

ROR before tax:
0 – 30% , maka POS = 100% (contractor)
30 – 40% , maka POS = 80%
40 -50%, maka POS = 60%
> 50%, maka POS = 40%

Income Tax = 25%


Analisa:

Profitability based intinya contractor diberi kesempatan supaya bisa lebih cepat memperoleh pengembalian investasinya, artinya ada saat awal, contractor akan dapat profit oil split yang lebih besar. Dari gambar atas, pada saat harga minyak kecil, pemerintah nggak dapat apa dari profit oil, hanya dapat royalty dan tax, dengan meningkatnya harga minyak, profit oil bagian pemerintah akan meningkat tajam. IOC/contractor take akan menurun seiring kenaikan harga minyak.

Pengaruh Capex dan Opex.
Tentu kita nggak bisa menutup mata bahwa kenaikan harga minyak selalu diikuti oleh kenaikan biaya upstream, dari ketiga model tersebut selanjutnya kita lihat bagaimana pengaruh kenaikan biaya investasi (capex) dan biaya operasi (opex), hasil perhitungan masing masing model ditunjukkan pada gambar gambar berikut.


Gambar bagian atas (pengaruh capex) menunjukkan bahwa keuntungan contractor (diwaklili oleh IRR contractor) tentu saja akan turun dengan kenaikan biaya investasi, dalam gambar dianggap kenaikan capex mencapai 100%. Namun demikian kenaikan harga minyak yang signifikan dari $ 20 per barrel menjadi $ 60 per barrel tentu tetap menguntungkan contractor. Sementara itu dari sisi Opex (Gambar bagian bawah), pengaruhnya relatif tidak signifikan.

Wednesday, February 07, 2007

PSA di Russia

Saya mengacu ke pertanyaannya Mas Iwan PS di tag board: “saya baca beberapa artikel bahwa PSC/PSA "gagal" di Russia, any comments?”, karena nggak mungkin dijawab singkat, maka komentar saya dibawah ini adalah yang paling singkat hehe..
----------

“Unik, kompleks, lain dari yang lain” – adalah tiga hal untuk menggambarkan perkembangan model kontrak migas di Russia. Production Sharing Agreement (PSA) adalah istilah yang lebih populer disana, jadi kita ngikut aja pake istilah PSA bukan PSC.

Latar Belakang:
Sejak dikeluarkan Subsoil Law (1992), sebagian besar lapangan migas dikembangkan dengan model Royalty/Tax. Model R/T ini cenderung tidak stabil khususnya dimata investor luar negeri, artinya, kapan aja pemerintah bisa naikin royalti atau pajak tanpa harus “diskusi” dengan investor, kekhawatiran ini akan lebih serius untuk suatu negara yang secara politik dan ekonomi tidak stabil.

PSA Law mulai effektif berlaku tahun 1996, setelah melalui pembahasan panjang di level eksekutif dan legislatif (federal dan lokal) sejak tahun 1992. Kenapa kok PSA kurang berhasil?, kita bisa lihat dari berbagai aspek. Pertama, aspek Legal, kalau kita telusuri, permasalahan utamanya itu adalah tumpang tindihnya peraturan PSA dengan peraturan lain lain baik ditingkat pusat dan lokal, concern bagi investor persis seperti model R/T tadi, yaitu ketidakpastian peraturan yang bisa mengurangi keuntungan atau kalau apes malah membuat kerugian bagi investor.

PSA Law ini “diperbaharui” terus, PSA Law (1999) ada pembatasan lapangan lapangan yang boleh dikembangkan, yaitu hanya sebesar 30% dari total deposit. Beberapa regulasi yang bertentangan dicabut, namun dimunculkan kendala yang baru lagi. Pada PSA Law (2001), mulai diperkenalkan ”direct sharing method” (mirip dengan konsep pembagian berdasarkan Gross Revenue - lihat posting2 sebelumnya). Metoda ini sebenarnya menarik buat existing projects dimana biaya dan produksi sudah dapat diprediksi, “advantage” ini berkurang karena pada saat yang sama diperkenalkan juga skema perpajakan yang baru. PSA Law (2003), memuat mekanisme untuk memperoleh akses PSA menjadi semakin sulit karena banyaknya urusan administrasi dan birokrasi.

Disamping aspek legal, aspek yang tidak kalah pentingnya adalah adanya tarik menarik dan saling pengaruh antara kubu pendukung PSA dan kubu nasionalis yang anti PSA baik di level eksekutif maupun legislatif. Kubu yang anti ini, pada tahun 2003 gencar melakukan kampanye anti PSA.

Model PSA
Mekanisme “production sharing” model PSA Russia terdiri dari dua metoda. Pertama yang mereka sebut dengan “indirect sharing method”, yang sebenarnya sama dengan PSC biasa dimana profit oil (setelah dipotong cost oil, dimana ada cost recovery limit sebesar 75% sampai 90% tergantung lokasinya) dibagi antara pemerintah dengan investor (oil and gas companies) sesuai dengan formula yang disepakati (formulanya profitability/IRR based). Kedua, ada juga pilihan “direct sharing method”, dimana produksi langsung dibagi antara pemerintah dengan investor (ini sama dengan metoda pembagian berdasarkan Gross Revenue – lihat posting sebelumnya)

Bagaimana masa depan PSA?
Dari 29 proyek migas yang sudah memperoleh persetujuan parlemen Russia, sejauh ini yang jalan cuma 3 (Sakhalin I, Sakhalin II dan Khayarga), yang lain masih menunggu negosiasi, masih jauh dari implementasi. Sakhalin I dikomandoi oleh ExxonMobil, Sakhalin II oleh Shell dan Khayarga oleh Total.

Terlepas dari timbulnya ketidaksepahaman (antara pihak berwenang di Russia dengan operator PSA ) terkait dengan biaya proyek proyek tersebut yang membengkak (khusus Sakhalin II ditambah lagi adanya masalah lingkungan), pada saat ini ketiganya sudah memasuki tahapan produksi yang memberikan kontribusi cukup besar bagi Russia. Namun demikian tekanan politis masih kuat khususnya dari kalangan yang anti PSA, pendukung kelompok ini mempunyai argumentasi bahwa model PSA memberikan pendapatan dari hasil migas yang lebih sedikit buat negara. Disamping itu ada persepsi yang berkembang disana bahwa model PSA ini “bikinan negara barat” yang mana nggak cocok diterapkan di Russia, nah lho!

Masa depannya gimana? Sebagian pengamat pesimis mengenai nasib PSA di Russia, bisa jadi memang Russia merasa tidak perlu investasi asing masuk dalam bentuk PSA, kalaupun investasi mau masuk, mungkin dalam bentuk lain, misalnya “equity investment” ke private companies, kaya kasus BP yang beli 50% share TNK tahun 2003.

Begitulah, Russia yang mempunyai cadangan minyak terbukti (proven reserves) mencapai 5% dari cadangan minyak dunia dan lebih dari 30% untuk gas, memang menjadi “orang penting” dalam kancah industri migas dunia, banyak negara yang “nafasnya” tergantung sama mereka khususnya negara2 eropa. Jadi ya, kembali seperti kalimat pembuka tadi, industri migas mereka memang: unik, kompleks, dan beda…
-----
Referensi dari beberapa makalah dan publikasi internal, seperti: Oil, Gas & Energy Law Intelligence (OGEL), Cambridge Energy Resources Associates (CERA) dan Centre for Global Energy Studies (CGES).

Monday, February 05, 2007

Production Based Profit Oil Split

Dalam model Production Sharing Contract (PSC), bagaimana pembagian profit oil split (yang selanjutnya kita singkat POS saja), merupakan topik menarik. Kalau kita lihat model kontrak yang lama, umumnya POS ini sifatnya “fixed” saja, misalnya 70% : 30% masing masing untuk Host Governmnet (HG) dan Oil Company. Dalam perkembangannya, pembagian POS ini dikaitkan dengan parameter parameter tertentu, misalnya yang paling sering adalah mengaitkan dengan laju produksi (production rate), semakin besar laju produksi, semakin besar POS bagian host government. Parameter lain yang biasa digunakan sebagai dasar pembagian POS adalah: kumulatif produksi, tingkat keuntungan (profitability), lokasi dan kedalaman (shallow water atau deep water), petroleum properties (API gravity) dan lain lain.

Tulisan kali akan kita fokuskan mengenai mekanisme perhitungan POS berdasarkan laju produksi, apa bener lebih baik dari “fixed" POS?.

Sekarang kita ambil contoh kasus hipotetis, misalkan dalam suatu kontrak disebutkan POS antara host government dan oil company dibagi berdasarkan laju produksi sebagai berikut:


Dari tabel diatas, saya kira jelas, kalau ternyata rata rata laju produksi dalam satu tahun misalnya sebesar 15,000 BOPD maka POS bagian HG sebesar 40%.

Pertanyaan 1: Bagaimana kalau laju produksi 30,000 BOPD, berapa POS bagian HG?, Si A bilang, "gampang aja mas, 50%".
Pertanyaan 2: Bagaimana kalau laju produksi 50,000 BOPD, berapa POS bagian HG?, Si B jawab: "60%"

Si A dan Si B dua duanya salah, karena menghitung POS nya tidak bisa langsung seperti itu. Misalnya laju produksi 30,000 BOPD, nggak bisa langsung dipakai POS HG sebesar 50%, tapi harus dihitung “layer by layer”, maksudnya gini, untuk 20,000 BOPD pertama, POS HG besarnya 40%, untuk 10,000 BOPD sisanya (30,000 BOPD minus 20,000 BOPD), baru dipake POS HG sebesar 50%.

Cara yang sama, untuk 50,000 BOPD, maka: 20,000 BOPD pertama, pake POS HG 40%, 20,000 BOPD berikutnya (40,000 BOPD minus 20,000 BOPD), pake POS HG 50%, baru untuk 10,000 BOPD sisanya (50,000 BOPD minus 40,000 BOPD), dipake POS HG 60%.

Contoh ngitungnya:
Laju Produksi: 30,000 BOPD

Untuk 20,000 BOPD pertama, pakai POS HG 40%
Untuk 10,000 BOPD sisanya, pakai POS HG 50%

Jadi effektif POS HG sebesar: (20,000 x 40% + 10,000 x 50%) / 30,000 = 43.3%

Sekarang mari kita lakukan exercise untuk beberapa profile produksi (low, medium dan high), selanjutnya kita plot Production profile dan POS untuk Host Gov’t yang hasilnya sebagai berikut:

Kita lihat diatas untuk yang production profile (low case - warna kuning), karena selalu dibawah 20,001 BOPD, maka POS HG konstan sebesar 40%. Untuk Production profile (medium case - warna ungu), effektif POS HG naik pada saat laju produksi tinggi, begitu pula trend untuk high case (warna hijau). Karena perhitungan "layer by layer" tadi, effektif POS HG tidak naik signifikan, untuk medium case, nggak pernah nyampe 50% (garis merah). Makanya tidak heran kalau "production based profit oil split" ini, bagi host country, ibaratnya kalau kita makan, istilahnya: "nggak nendang" alias tanggung - masih laper, effeknya nggak signifikan. Lihat di posting sebelumnya mengenai model kontrak dan profitability.

Sekarang kita misalkan country “x” existing contract-nya menggunakan model “fixed” POS, 50 – 50. Kemudian country "x" ini memperkenalkan model baru berupa sliding scale POS berdasarkan laju produksi seperti tabel diatas. Apakah lebih baik dibanding "fixed" POS?, kalau selintas kelihatannya lebih baik, apalagi kalau cara ngitungnya nggak bener kaya Si A sama Si B diatas. Kalau kita lihat di chart diatas, ternyata POS HG untuk model sliding scale tabel diatas nggak lebih baik, kecuali utuk kasus ekstrim, artinya production profilenya luar biasa tingginya. Secara matematis, karena perhitungan layer by layer tadi, sebenarnya effektif POS HG nggak akan pernah mencapai maksimum 70%.

Moral ceritanya begini: hendaknya kita mendisain suatu sistem yang lebih baik dibanding yang sudah ada, dalam hal ini dilakukan “exercise” secara komprehensif sebelum sampai ke usulan sliding scale POS production based seperti tabel diatas.