Sunday, August 27, 2006

Harga minyak, kok naik?

Belakangan kok saya sering pakai kata kata yang ada “kok” nya, ini mungkin pengaruh anak saya (shakila, 2 tahun), dia kalau protes pasti mulai dengan kok, film di TV bukan kartun, pasti dia protes: “kok gitu?” (maksudnya kok nggak kartun), rotinya dikasih coklat meses kurang banyak, pasti protes: ”kok gini?”.. ya jadi saya ikut ikutan banyak pakai kok, he he intermezzo dulu broer…!

Ok, kembali ke topik kita, "kena apa sich kok harga minyak naik (terus)?", ini khan urusannya supply vs demand, kalau demand naik, ya tambah aja pasokan (supply), gampang aja!. Ternyata, in reality, nggak semudah itu broer, banyak faktor kait mengkait yang membentuk harga minyak, kita mulai yang umum umum dulu ya, yang (mungkin) sebagian kita udah paham. Pertama, dari sisi permintaan, tentu saja harga minyak naik, karena adanya pertumbuhan ekonomi, kaya orang aja, “mau tumbuh” khan perlu energi dong, energinya ya dominannya apalagi kalau bukan minyak, pertumbuhan ekonomi ini khususnya Asia (utamanya China dan juga India), terus ada juga seasonal demand, urusannya dengan musim winter, summer dan jangan lupa juga level persediaan minyak (commercial oil inventory) di masing masing negara.

Kalau dari pasokan gimana?, ya biasalah, masalah geopolitik, kalau ada “ribut ribut” di timur tengah khususnya, otomatis orang orang mulai was was akan terjadinya penurunan pasokan, pokoke yang ada urusan sama politik, termasuk model model kaya sabotase gitu gitu, contohnya yang di nigeria, itu juga mengurangi pasokan, lain lagi? bencana alam kaya badai, hurricane, Katrina, etc, terus? ya natural decline, alamiah, lapangan itu khan kalau nggak ada usaha usaha, akan turun produksinya secara alamiah.

Biasanya kita khan menyoroti kenaikan harga minyak dari hal hal tersebut diatas, sebenarnya yang ingin saya diskusikan tuh, ada faktor lain yang secara tidak langsung (ikut) menyemarakkan harga minyak sehingga tetap tinggi, yang terus terang, dulunya saya juga nggak ngeh bener, baru belakangan setelah baca baca, denger denger orang presentasi, ikut ikut seminar, bergaul sama pakar, baru agak nyambung, kalau nggak tuh, saya suka ngeledekin diri saya sendiri: “jaka sembung membawa golok, nggak nyambung, go-blog…” he he!.

Apa sich factor lain yang juga berpengaruh terhadap kenaikan harga minyak?, seperti biasa, sebelum kesana, kita masuk latar belakang dulu, untuk paham, kita harus tahu dulu "supply chain" bisnis migas, mulai dari: upstream, downstream (kadang kadang ada yang pake istilah midstream antara dua stream tersebut) dan marketing. Marketing disini bisa produk upstream langsung (crude) bisa juga downstream produk berupa produk hasil pengilangan (petroleum products).

Nah, dalam mata rantai ini, downstream dan marketing ini berpengaruh juga akhirnya ke supply demand crude, yang ujung ujungnya ke harga crude, gimana?, oke, kita lihat satu satu, mulai dengan downstream dulu ya, lihat gambar:



Sumber: Ini situsnya

Seperti kita lihat pada gambar diatas, sebelum jadi petroleum products, seperti: naphta, gasoline, kerosene, fuel oil, etc, minyak mentah (crude) harus masuk kilang dulu untuk di proses. Masalahnya, konfigurasi kilang itu juga macem macem, ada yang simpel, ada yang komplek. Lihat gambar yang bawah ini lebih jelas;


Sumber: ini situsnya!

(Berhubung saya bukan orang downstream, jadi kalau kurang kurang dikit, mohon ditambahkan), kilang yang simpel itu hanya terdiri dari crude distillation tower dengan hanya sedikit atau tidak ada sama sekali kapasitas konversi (lihat gambar), sedangkan kilang yang lebih komplek itu punya secondary processing yang bertujuan untuk meningkatkan output yang berupa produk yang lebih ringan dan sedang (light & medium products) dan mengurangi atau mengeliminasi sama sekali produk heavy fuel oil.

Nah, masalah utama sekarang ini, global refining capacity ternyata nggak cukup, salah satunya karena memang investasi di kilang ini relatif sedikit di masa lalu, bisa macem macem sebabnya: mulai dari masalah lingkungan, banyak negara yang nggak mau bangun kilang, khususnya negara maju, tentu juga masalah keekonomian proyek, margin proyek tidak terlalu menarik. Jadi nggak usah heran kalau saat ini ada masalah kapasitas.

Selain masalah kapasitas, ternyata ada juga masalah kompleksitas, akibat terjadi ketidakseimbangan permintaan petroleum products, secara global terjadi peningkatan permintaan untuk light products dalam beberapa tahun terakhir (light products yang dimaksud disini adalah: gasoline, naphtha, kerosene, gasoil), sebaliknya permintaan heavy fuel oil relatif turun.

Konfigurasi kilang yang jenis simpel nggak bisa meng-upgrade crude residue menjadi light products, ya namanya juga simpel. Terus? yang punya kilang lebih punya insentif ekonomis untuk memaksimalkan produksi "light products" ketimbang heavy fuel oil, yang terjadi akhirnya rebutan light crude (minyak mentah ringan). Nah yang jadi masalah itu, tambahan pasokan crude itu sebagian besar jenisnya heavy crude, maka terjadilah surplus "heavy sour crude" sementara defisit "sweet light crude" *). Makanya kalau hitung hitungan volume supply demand crude oil cukup, tapi refinery nggak bisa nampung, ya percuma, permintaan tetap nggak terpenuhi (untuk light crude tentunya!).

*) Sebagai catatan, bagi yang nggak familiar bahwa berat ringannya crude oil biasa diukur dengan satuan API gravity, makin besar API gravity makin ringan minyaknya (light crude), makin rendah API gravity, makin berat minyaknya (heavy crude), kalau sweet dan sour mengacu ke kandungan sulfur dalam crude. Sekedar gambaran aja, karena klasifikasi dari berbagai macam organisasi bisa beda beda dikit, ini ancer ancer aja: API diatas 35 masuk light crude, kurang dari 25 masuk heavy crude, diantaranya masuk golongan medium. Dari sisi kandungan sulfur, bila kandungan sulfur dibawah 0.5% disebut sweet, kalau kandungannya lebih dari atau sama dengan 1% disebut sour. Minyak Brent dan WTI masuk golongan light-sweet, Minas demikian pula, beberapa jenis minyak dari Venezuela, Mexico dan beberapa jenis minyak dari lapangan di Saudi Arabia masuk golongan heavy-sour.

Solusinya? ya gampang aja, bangun kilang kilang baru yang modelnya kompleks atau canggih!, perlu waktu beberapa tahun tentu saja (sebagian sudah mulai jalan proyek pembangunan kilang kilang baru ini..), jadi selama belum online kilang kilang baru ini, ya, bottleneck masih terjadi, kalau pasokan minyak mentah ditambah, tapi jenisnya heavy crude, ya nggak memecahkan masalah. Nah ini yang terjadi saat ini, kalau ada yang bilang terjadi refinery bottleneck, ya kira kira lebih kurang beginilah ceritanya..

Satu lagi apa mas, katanya tadi dua?, futures market!, seperti kita ketahui perdagangan crude itu bisa dalam bentuk: trade movement, bisa langsung "physical" yaitu "spot market", bisa juga diatas kertas, yang disebut “futures market”, yang pingin lebih dalam tahu mengenai futures, kayanya mending beli bukunya deh, he he , ada buku bagus: Hull, J.C, “Options, Futures and Other Derivates”, saya beli udah lama, edisi 1997, mungkin udah ada edisi yang lebih baru. Kalau cari yang gratis, coba ke websitenya NYMEX, banyak materi yang bisa di download khususnya yang terkait dengan energy hedging, disini nih.

NYMEX (New York Mercantile Exchange) dan IPE (International Petroleum Exchange) saat ini merupakan 2 bursa komoditi energi yang terkenal, ada beberapa bursa yang coba bikin, seperti: Singapore (SIMEX), tapi nggak berhasil. Futures contracts di NYMEX antara lain: Light Sweet Crude (WTI), Heating Oi, Unleaded Gasoline, Natural Gas. Sedangkan di IPE, antara lain: Brent, Gas oil dan Natural Gas.

Terus kaitannya apa? singkat ceritanya begini, belakangan ini aktivitas di futures market ini meningkat tajam, banyak investor/hedge fund yang masuk, sehingga tidak mengherankan kalau volume paper trading ini jauh diatas volume physical trading.

Yang namanya futures market, ya harus ada volatility, ini khan jualannya resiko, kalau harga minyak nggak fluktuasi, ya nggak akan ada futures market dong, nggak ada resiko, so?, sebagai komoditi yang paling volatile dibanding komoditi lain, maka crude akan jadi tempat "bermain" investor, fund manager,etc... yang tentu motifnya macem macem, mau ngurangi resiko atau spekulasi?, selama ada spekulasi, ya selama itu pula harga minyak akan fluktuasi...! nah, belakangan, naiknya aktivitas secara signifikan di "paper trading" ini, ditenggarai ikut berperan sebagai penyebab harga minyak yang masih tetap tinggi!

Demikian!

Sunday, August 20, 2006

R/T atau PSC - lebih jauh!

Dari posting topik topik sebelumnya, paling nggak kita udah dapet gambaran mengenai perbedaan konseptual dari model model kontrak perminyakan, nah, sekarang kita lebih detail dikit, masuk ke gimana aliran pembagian hasilnya, kayak apa sich, untuk posting ini, yang kita bandingin antara model kontrak Royalty/Tax (atau Concession) dengan PSC.




Gambar diatas merupakan penyederhanaan, karena beberapa hal seperti: bonus nggak keliatan, pajak selain contractor income tax (bila ada) nggak keliatan, cost recovery dianggep nggak ada limit, PSC dianggep ada royalty-nya (kalau Indonesia pake FTP, ya diganti FTP, cuma dibagi juga dengan contractor), DMO segala macem dianggep nggak ada, state atau government participation (dianggep ada nggak apa apa sich, cuma nggak muncul digambar), jadi ini gambaran model R/T dan PSC yang umum, nggak mengacu ke kontrak tertentu.

Untuk model kontrak R/T (seperti namanya R/T), maka kewajiban contractor ya ada 2 itu, bayar: royalty sama pajak (income tax) ke government, udah cukup. Gimana PSC, ya dari gambar hampir sama, bedanya untuk model PSC, maka profit oil dibagi antara government dengan contractor, jadi sumber pendapatan pemerintah dari: royalty, profit oil bagian pemerintah dan contractor income tax.

Bagus mana? tergantung berapa besaran besaran royalty, pajak, dan profit split. Secara matematis, kita bisa membuat government take (GT) yang sama persis antara R/T dengan PSC, dengan mengubah besaran besaran tersebut, jadi kalau mau dapet GT yang sama, misalnya 80%, maka dua duanya bisa memberikan angka yang sama pula, dengan struktur royalty, pajak, split tertentu. Begitu pula dari sisi IRR, misalnya kita mau IRR contractor, sekitar sekian persen, dengan simulasi, bisa ketemu juga nanti berapa pajak dan royalty untuk model R/T dan berapa pajak, royalty dan profit split untuk model PSC. Oleh sebab itu jangan heran kalau ada yang bilang, R/T sama PSC bisa sama baiknya buat government secara keekonomian. Jangan terburu buru mengatakan bahwa PSC pasti lebih baik buat government atau contractor, begitu juga sebaliknya, ya lihat lihat isinya dululah.

Seperti pernah saya posting sebelumnya, perbedaan yang penting itu justru di masalah pengakuan reservesnya, ini menyangkut dimana title daripada hydrocarbon tersebut di transfer. Lihat gambar bawah:



Seperti dapat kita lihat, bagi contractor R/T lebih baik karena reserves recognition dan degree of ownershipnya lebih tinggi, apa kalau gitu PSC lebih baik buat government?, secara umum bisa dikatakan demikian, cuma coba baca juga posting yang lain, dalam beberapa kasus R/T malah lebih luwes buat government untuk kasarnya naikin pajak misalnya.. ini contoh lho, jadi PSC lebih stabil (in terms of fiscal stability), contractor khan seneng dengan yang stabil stabil..(aman terkendali..), jadi contractor sebenarnya enak juga dengan model PSC ini, so PSC aja? ah, service contract aja! itu lain cerita mas, agak beda dikit nature-nya.

Saturday, August 19, 2006

Cost Recovery Limit

Kalau kita lihat model model kontrak perminyakan di dunia ini, banyak juga yang menggunakan cost recovery limit, artinya dalam satu tahun kalender, biaya biaya yang boleh dibebankan oleh contractor dibatasi sampai sekian persen dari gross revenue. Sisanya dapat di carry forward ke tahun berikutnya. Besarnya limit bervariasi mulai dari 30% gross revenue sampai 100% (kalau 100% jadinya no cost recovery limit). Biasanya negara yang pake cost recovery limit sampai kecil sekali (misal: 25-50%), umumnya nggak mengenakan royalty, jadi dari gross revenue bisa langsung potong buat cost recovery, makanya dikasih limit, kalau nggak, bisa bisa nanti abis buat nalangin cost doang, government nggak kebagian diawal awal produksi.

Sebenarnya yang ingin saya bahas tuh mengenai istilah yang biasanya muncul kalau model kontrak tersebut ada cost recovery limit-nya, yaitu: unused cost oil atau excess cost oil, istilah ini perlu dipahami benar, karena kadang kadang treatment-nya beda.

Excess cost oil itu kira kira maksudnya gini: kalau biaya biaya (depresiasi capex + opex + unrecovered previous cost) pada tahun kalender itu lebih kecil dari cost recovery limit, maka sisanya disebut excess cost oil, contoh: untuk satu tahun kalender, total biaya dari komponen biaya biaya tersebut adalah 30 MM$, terus gross revenue misal 100 MM$, karena cost recovery limit = 40%, maka excess cost oil nya sebesar 10 MM$.

Nah yang menarik, excess cost oil dikemanain?, lagi lagi tergantung kontraknya, di beberapa model kontrak, excess cost oil langsung masuk ke government (lihat gambar bawah yang sebelah kanan), jadi nggak dibagi sama contractor. Contoh? PSC Egypt, Sudan (model PSC 1999).


Enak dong Government?, ya boleh boleh aja dong!, jadi gitu! excess cost oil langsung masuk ke pundi negara.

Pada umumnya, excess cost oil itu dibagi antara government dengan contractor yang mana proporsinya sama dengan profit oil split, atau dengan kata lain, karena proporsi pembagiannya sama, maka dikatakan: excess cost oil itu langsung masuk ke profit oil! (lihat gambar biar jelas).

Ada juga yang lain lagi, excess cost oil itu dibagi antara contractor dengan government, tapi proporsi pembagiannya beda dengan profit oil split, nah dalam hal ini, bisa lebih baik, bisa juga lebih jelek buat contractor. Kalau kasus yang lebih baik buat Contractor, contohnya model R/C nya Malaysia.

Jadi, treatment excess cost oil ini harus jelas bener, kecenderungannya sekarang, yang model "excess cost oil langsung masuk ke government" mulai berkurang, mungkin dianggap nggak terlalu baik, jadi nggak meng - encourage contractor untuk melakukan cost saving, contractor mikir, buat apa cost saving?, orang semuanya masuk ke Government kok, mending costnya gede gedein aja sekalian. Makanya di Egypt pun, model PSC mereka yang lebih baru juga udah diubah, bahwa excess cost oil juga dibagi dengan contractor.

Kalau model R/C Malaysia (lihat posting sebelumnya), itu meng-encourage contractor untuk lebih cost effective, karena, kalau melakukan cost saving, excess cost oil-nya akan dapet lebih gede, dibanding dari profit oil split. Ya gitu deh, pinter pinter yang disain aja, maunya gimana gitu lho...

Indonesia pernah juga pake model cost recovery limit, yaitu: PSC generasi I, besarnya 40% dari gross revenue, kalau ada excess cost oil, dibagi dengan contractor. PSC generasi II, nggak ada lagi cost recovery limit. PSC generasi III, cost recovery limit nggak ada (cost recovery nggak dibatasi), tapi mulai diperkenalkan istilah First Tranch Petroleum (FTP), jadi ya secara nggak langsung, FTP itu berperan sebagai "cost recovery limit" juga, cuma bedanya sama royalty, kalau royalty semua langsung masuk pundi negara sedangkan FTP dibagi dengan contractor.

Thursday, August 17, 2006

Bravo - Merah Putih


17 Agustus 2006
Dirgahayu Bangsaku!

------------------------------
Tanah Airku
(Ciptaan: Ibu Sud)


Tanah Airku Tidak Kulupakan
Kan Terkenang Selama Hidupku
Biarpun Saya Pergi Jauh,
Tidak Kan Hilang Dari Kalbu,
Tanahku Yang Kucintai,
Engkau Kuhargai

Walaupun Banyak Negeri Kujalani
Yang Masyhur Permai, Dikata Orang,
Tetapi Kampung Dan Rumahku
Disanalahku Rasa Senang
Tanahku Tak Kulupakan,
Engkau Kubanggakan....

-------------------------------

Bravo Merah Putih !


Tuesday, August 15, 2006

Service contract ala Oman

Iklan ini saya scan dari mingguan Upstream, Vol 11, Week 28, 14 July 2006.


Cukup menarik buat contoh model service contract, PDO (Petroleum Development Oman) – sharenya 60% dimiliki pemerintah Oman, 30% Shell dan 10% Total dan Partex, PDO ini sedang giat giatnya menawarkan model service contract, coba kita lihat, apa apa yang harus ditanggung contractor:

- Signature bonus
- Capex, Opex
- Cost recovery limit

Contractor selanjutnya akan dapet profit fee, tapi yang penting dicatet, di alenia kedua yang paling akhir: “.. companies should note that they will not have any rights to the produced oil or reserves”, nggak heran khan? (begitulah kalau model service contract, lihat pada posting sebelumnya), jadi ya contractor nggak bisa booking reserves.

Sekarang lihat info cadangannya: oil in place 650 MMBO, yang sudah di produksi 27 MMBO, ultimate recovery bisa sampai 90 MMBO, jadi sisa cadangan (remaining recoverable reserves) sekitar 53 MMBO, not bad.

Itu katanya orang Oman!, tentu nanti orang orang sub-surface-nya contractor (G&G, PE) yang berminat, akan utak atik lagi di data room-nya sana (lumayan-lah main main ke Oman sana, ngerasain naik onta), liat liat: seismic, logging data, well test data, model geologi, hydrocarbon properties, metoda produksi, etc, etc, hitung hitung lagi ultimate recovery, bener nggak ultimate recovery bisa segitu, biar bukan cuma pepesan kosong.

Habis itu baru masuk economics-nya, cost-nya gimana, production rate nya gimana (kayanya production rate per field-nya kecil aja), forecast production profile-nya gimana, ya di utak atik-lah, pantesnya profit fee-nya berapa?, cost recovery limitnya seyogyanya berapa?, berani ngasih bonus berapa?, sebelum masukin penawaran.

Info di iklan ya emang segini aja, detail profit fee, cost recovery limit (limit per tahunnya berapa?) dan lain lain emang belum dikasih tahu disini, bisa jadi sebagian berupa bid-able items, sebagian emang udah ditentuin sama PDO-nya.

Menurut info dari temen temen kita yang kerja di PDO (banyak rupanya teman teman kita yang jadi "legiun asing" di Oman sekarang..), katanya Medco (dengan mitra kerjanya) sudah masuk kesana dengan model service contract (boleh juga Medco ini, udah menjelajah kemana mana, seneng dengar kalau ada yang berbau bau Indonesia di LN, nggak main di kandang aja..). Jadi jangan heran kalau jalan jalan di Oman sana bakalan sering ketemu wajah wajah indo(nesia)..

“So, gimana, Anda juga tertarik investasi di Oman?”, ada yang nyeletuk: “boro boro investasi mas, duit dari mana?, mau jadi karyawannya aja dah kalau ada rekrutmen ..!“. Lho?, ya apa boleh buat-lah, kalau menurut bukunya Kiyosaki: "Cash Flow Quadran", Anda masih masuk golongan employee, masih jauh dari golongan investor (sama kita kalau gitu he he..).

Sunday, August 13, 2006

Sleeping fields

Nggak tahu bener nggak istilahnya, maksudnya lapangan tidur (emang ada ya lapangan melek?..he he), sebenarnya topik yang ingin dibahas tuch, kira kira gini: syahdan, konon, syahibul hikayat, katanya, (apalagi?), ada beberapa lapangan yang belum dikembangkan (undeveloped fields) berada di wilayah kerja contractor, cadangan sich nggak gede, kerennya disebut lapangan marginal, contractor nggak (belum) mau mengembangkan karena (katanya) nggak ekonomis. Menarik ya?, kalau nggak ekonomis, tentu dipikirin gimana caranya supaya ekonomis.

Sebelum masuk ekonomis atau nggak?, mungkin ada yang nanya (termasuk saya lho), bener nggak sich nggak ekonomis?, kalau dihitung pake harga minyak 15 $/bbbl, oke-lah, naikin dikit 25 $/bbl, masih nggak ekonomis?, oke lah!, tapi apa bener kalau pake harga minyak 35, 40 $/bbl, masih nggak ekonomis? Wallahualam!, karena kita nggak tahu gimana model detailnya.

Ada yang nanya, lho sapa tahu nanti harga minyak turun lagi?, ya oke lah, tapi kita khan ngomong lapangan kacangan-nih, umurnya paling beberapa tahun, 5 tahun? 10 tahun?, lapangan kecil gini, umurnya juga mestinya nggak panjang panjang amat, lagian don’t worry so much, kata “peramal” harga minyak (ini juga katanya), era harga minyak murah udah berakhir, the end of cheap oil… jadi jangan pesimis banget dengan oil price forecasting, apalagi buat lapangan marginal (karena periodenya pendek, resiko fluktuasi harga relatif lebih kecil !).

Lho biayanya sekarang mahal? iya, makanya dipikirin juga, kalau ngelola lapangan kecil, tentu dengan pendekatan cost effective, pake teknologi tepat guna, tentu saja tanpa mengorbankan safety dan urusan lingkungan.. intinya, jangan jor jor-an di biaya.

“Pokoknya nggak ekonomis deh!, harus dikasih insentif,” kata contractor.

Wah kalau udah pake pokoknya repot mas!, kasih insentif mah gampang, minta sama pemerintah, cuma masalahnya, niat nggak ngerjainnya, nanti ngeles lagi, masih kurang ekonomis, kalah bersaing sama proyek lain di LN, capital constraint, nggak laku dijual di corporate (alias nggak masuk ranking), etc etc…!

Kasian pemerintah ya, minta minta supaya lapangan tersebut dikembangin, contractor ogah ogah-an, alasan macem macem: insentifnya kurang oke, sibuk banyak proyek lain, kurang SDM, etc, etc.

Apa bener jelek keekonomian lapangan kecil ini ya ?, kalau kita kaji lagi, lapangan ini khan biaya biaya ngebor dulunya (melalui mekanisme cost recovery) udah dibalikin ke contractor (dari minyak yang dihasilkan lapangan yang berproduksi di wilayah kerja tersebut), tinggal investasi lagi buat pengembangan, tapi biaya pengembangan inipun, khan nantinya udah bisa langsung di cost recovery lewat lapangan existing dari wilayah kerja tersebut, jadi “in reality”, nggak sama persis dengan “proyek beneran” yang keluar duit, nanti uangnya dikembalikan dari hasil proyek tersebut, lha ini, biayanya boleh langsung di "cost recovery" khan kok… nggak ekonomis?, masak sich !

Lagian hitungan IRR "stand alone" untuk proyek kaya gini, sebenarnya itu "IRR seolah olah", maksudnya?, ya karena cash flow juga seolah olah.. jadi hasilnya seolah olah, katakan dapet IRR 20%, ini khan seolah olah, kalau cash flow nya demikian, tapi prakteknya ya nggak gitu khan, biayanya langsung bisa direcover dari lapangan lain di blok atau wilayah kerja yang sama (aturan PSC memang demikian), jadi nggak nunggu minyak dari lapangan ini berproduksi.. itu maksudnya seolah olah, jadi kalau benerannya?, ya IRR nya nggak 20%, pasti guede banget, berapa? ya nggak tahu, gimana ngitung returnnya, wong tahun itu juga (bisa) langsung balik duitnya yang dikeluarin. Point-nya gini: itung itungan IRR stand alone ini sich perlu tentu saja, tapi untuk kasus seperti ini, jangan jadi harga mutlak, karena sebenarnya nggak sejelek itu.

Kolega yang kerja di contractor (yang paham ngutak ngatik keekonomian PSC), mungkin protes, lha itungan kita khan “consolidated”, karena dari hitungan “stand alone” ekonomisnya kurang oke, jadi secara keseluruhan, akan membuat “value” contractor jadi turun. Makanya kita tetap nggak mau ngerjain.. !.

Susah ya memahaminya? (sama saya juga!), nggak mudeng, selama itungan proyeknya secara stand-alone udah lebih gede dari “hurdle rate” atau minimum attractive rate of return (MARR), ruginya dimana ya?.

Kalau jalan pikirannya gini, mungkin lebih gampang nerimanya, alasannya alokasi anggaran (capital constraint), jadi karena contractor punya proyek lain di LN, yang return-nya lebih baik (katanya), maka lapangan ini nggak masuk ranking (anggaran terbatas), oh iya oke lah, masuk akal… wajar dong, contractor mau ngerjain yang bagus bagus dulu… jadi: alasannya capital constraint, bukan alasan lain lain.

Nah, kalau nggak ada budget, yo wis, serahkan pada pihak ketiga, saya yakin banyak yang mau ngerjain, ada yang komentar: “belum tahu aturannya mas!”, ya, kalau belum ada itu bisa dipikirin sama pemerintah, kalau udah ada tinggal dijelasin detailnya, yang penting ikhlas dulu dikerjain sama pihak ketiga. Otomatis constraint SDM juga terpecahkan kalau dikerjain pihak ketiga, jadi lapangan tersebut bisa melek, nggak tidur, ntah kapan bangunnya.

Tentu kita tidak bisa pukul rata (dalam banyak hal, so pasti ada pengecualian), memang dalam beberapa kasus, ada lapangan yang ternyata cadangannya lebih kecil lagi dari perkiraan awal, lokasi lepas pantai, menyebar pula, mahal banget development cost-nya, ya kalau kasus kaya gitu, apa boleh buat, si contractor (gimanapun) udah usaha maksimal !.

Mungkin bisa pake model Pertamina, yang bikin mapping portofolio lapangan mereka, dari situ kemudian dibikin mana yang mau dikerjain sendiri mana yang mau ditawarkan untuk dikerjain pihak lain, jadi ketahuan portofolionya, boljug, boljug...!.

Contractor lain gimana ya (khususnya yang gede gede)..?, pasti ada mapping gitu gitu, pertanyaannya, apa mau dikerjain sendiri semua..? termasuk yang kelas kacang gitu?, kalau mau nunggu masuk ranking, wah bakalan tidur terus itu lapangan kali.he he.!.

Ringfencing - apa itu?

Istilah ringfencing lebih gampang di mengerti dengan contoh daripada pake definisi, cerita gampangnya gini. Contractor "x" katakanlah dapat blok/working area atau wilayah kerja tertentu, contractor "x" ini tidak saja punya satu wilayah kerja tapi punya beberapa wilayah kerja lain, lihat gambar berikut:


Sebagai ilustrasi, anggap saja contractor "x" punya 2 wilayah kerja, yang kuning yang sudah berproduksi (dari lapangan A dan lapangan B) dan ternyata baru baru ini menang tender untuk wilayah kerja baru (yang warna biru). Kalau dikatakan di kontrak bahwa untuk tiap wilayah kerja berlaku ringfencing, maka antara wilayah kerja yang kuning dengan yang biru "dipagari", artinya: pendapatan dan biaya dari masing masing wilayah kerja jadi terpisah tidak boleh dibebankan satu sama lain.

Tujuannya apa sich?

Sebelumnya menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita pahami dulu, apa implikasi dari klausul ringfencing ini, ada dua implikasinya, pertama biaya (cost), kedua pajak (tax), mari kita berandai andai, kalau seandainya tidak "dipagari" (maksudnya tidak ada ringfencing), maka biaya dari wilayah kerja yang belum produksi (untuk contoh kita, wilayah kerja warna biru - masih tahap eksplorasi) akan dapat langsung dibebankan ke wilayah kerja yang sudah berproduksi (kuning), dengan demikian, akan menggerogoti profit dari wilayah kerja kuning, otomatis akan mengurangi bagian pemerintah dari wilayah kerja kuning.

Kedua, dengan membebankan biaya dari wilayah kerja yang warna biru, taxable income contractor akan turun, dengan demikian pajak (tax) yang akan diterima oleh negara juga akan turun. Dari sini kita dapat menjawab pertanyaan diatas, bahwa tujuan ringfencing tidak lain untuk menjamin pendapatan pemerintah dari wilayah kerja yang sudah berproduksi tersebut, kalau nggak ada ringfencing, maka, bisa bisa bagian pemerintah (baik dari profit oil maupun dari tax) jadi turun, atau kalau biaya dari wilayah kerja yang warna biru yang dibebankan ternyata gede, ya terpaksa harus gigit jari dulu..!

Nah, sekarang jadi jelas khan, mengapa "dipagari".

Apalagi kira kira implikasi lain dari ringfencing ini?

Kalau seandainya tidak ada ringfencing, maka pemain lama (kaya contractor "x" ini) akan diuntungkan, contohnya gini, kalau seandainya, pemerintah mau menawarkan blok baru, karena nggak ada ringfencing, maka pemain lama otomatis punya advantage (keuntungan), karena mereka bisa langsung membebankan biaya biaya dari wilayah kerja baru tersebut ke wilayah kerja lain yang sedang berproduksi, makanya disebutkan, kalau nggak ada ringfencing, akan menjadi "barrier to entry" bagi pemain baru (new entrants).

Apa ringfencing ada di semua contract?,

Enggak, beberapa negara nggak pake ringfencing, mungkin tujuannya sebagai insentif untuk mengundang contractor.

Apa perlu ringfencing sekali kali dilepas?

Saya pernah mendengar ide yang menarik, kira kira gini: ringfencing dilepas dalam rangka ngebor sumur di wilayah frontier oleh konsorsium perusahaan minyak yang sudah beroperasi, patunganlah kira kira, nanti biayanya dibebankan ke wilayah kerja masing masing (karena asumsinya mereka sudah punya wilayah kerja berproduksi), tujuannya tidak lain untuk mendorong eksplorasi, "no ringfencing" ini berlaku untuk 1 -2 sumur saja (nggak persis angkanya segitu sich), tergantung hasilnya, tentu jumlah sumurnya harus dibatasi, artinya kalau dari pemboran eksplorasi tersebut ada indikasi yang memuaskan, pasti contractornya pada berebut, ringfencing udah nggak masalah lagi buat mereka, ini semacem insentif buat contractor supaya ngebor di daerah yang "very high risk" tapi (patut diduga) mengandung cadangan yang gede pula, bagi pemerintah, ini hal yang positif juga tentunya, karena akan meningkatkan kegiatan eksplorasi yang jadi tulang punggung buat nambah cadangan. It is excelent idea actually.

Jadi gitu deh cerpen mengenai ringfencing, chau !

Saturday, August 12, 2006

Dilema Perpanjangan Kontrak

Lisensi suatu blok atau wilayah kerja untuk eksplorasi dan produksi minyak secara umum berlaku antara 25 – 30 tahun, untuk gas periodenya lebih lama lagi diatas 30 tahun. Jauh sebelum kontrak berakhir, si contractor diperbolehkan mengajukan perpanjangan kontrak (contract extension). Misalnya untuk kasus Indonesia, untuk lapangan minyak, boleh mengajukan perpanjangan 8 tahun sebelum kontrak berakhir, sedangkan untuk lapangan gas 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Kenapa jauh jauh hari sudah boleh minta perpanjangan? Ini tentu saja urusannya investasi, contractor nggak mau ngambil resiko, mereka melakukan investasi pada tahun ke 20-25, tapi 5 tahun kemudian contractnya putus nggak diperpanjang, wassalam!.

Saya kira ini hal yang wajar wajar aja, kaya kita ngontrak rumah (pada pernah ngontrak rumah khan?, atau sebagian besar dulunya tinggal di mertua indah? he he, kalau gitu contohnya kost ajalah, pasti pernah dong!, nggak pernah juga?, wah hebat, kalau gitu Anda termasuk orang yang belum beruntung, karena nggak pernah hidup susah! he he, sorry ngelantur..), tentu sebelum hari-H nya habis kontrak, kita boleh minta perpanjangan kontrak sama yang punya rumah, supaya ada kepastian nggak diusir pas kontrak abis, buat yang punya rumah juga sebagai jaminan, supaya kita nggak ujug ujug keluar aja tanpa pemberitahuan, karena si –empu nya bisa kehilangan opportunity buat penyewa berikutnya.

Pertanyaannya tuh seperti ini; buat host country, apa semua kontrak yang habis, sebaiknya diperpanjang? Jawabnya: tentu tidak, tergantung proposal yang dibawa contractor pada waktu minta perpanjangan. Cerita simpelnya gini, si contractor akan menghadap pihak yang berwenang (ministry of petroleum) bawa gambar kira kira gini:



Contractor akan bilang, bila tidak diperpanjang, maka kami tidak akan investasi lagi, baik buat eksplorasi maupun pengembangan, sehingga profil produksinya seperti diatas, kemudian contractor akan menunjukkan gambar berikutnya dibawah,



“Nah ini dia” (kaya rubrik di post kota aja..), profil produksi yang jadi andalan contractor, mereka bilang kalau ente kasih perpanjangan, profil produksi bakalan jadi kaya gini, pendapatan negara jadi tambah banyak (meningkat), pendapatan kontraktor (biasanya) malah nggak perlu ditonjolin, yang ditonjolkan pendapatan negara dong, orang minta persetujuan ya kiatnya gitu he he.

Nah, host country juga mikir, kalau nggak diperpanjang gimana, ya profilnya kira kira gini:



Ini kita sederhanakan, anggep aja, pas perpanjangan dikerjakan oleh contractor yang sama (kalau pas menang lagi), IOC lain atau NOC, pasti ada yang protes, wah khan bisa aja profilnya jadi beda dong, kalau yang ngerjain contractor lain, bisa lebih jelek, bisa juga lebih canggih, iya deh, ini khan di sederhanakan, anggep aja, walaupun contractornya beda, kemampuannya se-level, nggak beda jauh-lah, khan belajarnya dari tempat itu itu juga (satu guru satu ilmu, dilarang saling mendahului he he).

Wah, kalau gitu bagus mana ya? perpanjang, nggak, perpanjang, nggak, hitung kancing aja deh..!

Prinsip prinsip perpanjangan tuh paling nggak terms & conditions harus lebih baik buat negara, jadi kalau sebelumnya, after tax profit splitnya: 85-15, yang baru diubah kek jadi 90:10 misalnya, kalau dulu ada insentif macem macem, sekarang nggak usah, jadi setelah perpanjangan kontrak (di gambar, yang warna kuning), udah pake terms & conditions yang baru.

Seperti biasa, ada yang nyeletuk “Wah kalau gitu mah biasa broer, yang selama ini juga yang dilakuin emang kaya gitu, walaupun alot, tapi pada dasarnya di perpanjangan kontrak, walaupun sedikit, terms-nya pasti berubah - lebih baik buat negara…”

"Jadi, mau yang nggak biasa nih ceritanya?"

Oke sekarang kita cari alternatif yang nggak biasa, kita anggep aja ini urusannya gertak menggertak, contractor gertak, “you akan kehilangan potential pendapatan yang banyak?- so you nggak punya pilihan selain perpanjangan”. Atau bilangnya gini (seperti biasa): “udah deh, kalau nggak diperpanjang (sekarang), gua investasi ditempat lain (negara lain maksudnya)”. Gertak mengertak bukan urusan preman aja, eksekutif juga gitu, yang penting, gertakannya credible nggak?.

Gertak? Iyalah, bukankah, kalau nggak diperpanjang, contractor juga “rugi”, ini kita ngomong hal yang udah kepegang, prospek udah jelas.., mau investasi tempat lain, nol lagi?, eksplorasi baru, sok atuh..! Lagian begitu perpanjangan kontrak disetujui, implikasinya luar biasa buat contractor, kalau dulu forecast reserves stop di akhir kontrak, sekarang khan bisa di lepas sampai periode perpanjangan, remaining reserves contractor bisa nambah, etc, etc.. !.

So? sebenarnya, bargaining power pemerintah lebih tinggi, harusnya nggak kalah gertak, bisa aja negosiasinya gini, “oke dech gua perpanjang sekarang, kalau untuk periode ekstension (kuning) jelas dong harus pake terms & conditions baru, cuma sekarang gua usul, berhubung kita pastiin nih kontraknya diperpanjang sekarang, tapi untuk yang tambahan produksi (yang warna ijo), kita buat “deal” khusus ya, setuju?”, maksudnya pembagiannya lebih baik dari existing contract.. melanggar kontrak? Menurut saya sich nggak, selama dua pihak setuju, melanggar itu kalo sepihak.. kalau dua duanya sepakat, nggak ada yang melanggar dong.

Contractor protes dong, lha di kontrak khan udah jelas, terms & conditions sampai akhir kontrak, kok diubah..?

“Ya, kalau protes, nggak diperpanjang deh ... he he“.

“Wah nekat dong?” – "lha, gimana sich, katanya minta yang nggak biasa, ya bukan nekat itu, terobosan namanya atuh..!"

"Jadi kesimpulannya gimana?, perpanjang nggak nih?..", "ya nego dululah semaksimal mungkin! jangan belum belum udah kalah gertak".

"Kalau nggak diperpanjang?"

Disadvantages-nya: lahannya jadi nganggur selama 8-10 tahun terakhir, nggak ada eksplorasi, nggak ada pengembangan, padahal dua aktivitas itu paling penting!, kecuali host country punya pertimbangan strategis tertentu, jadi nggak melulu melihat dari profil produksi yang gambar-3 (kalau dasarnya ini, khan cuma bandingin time value of money, jelas nggak diperpanjang akan lebih jelek), ada aspek aspek lain yang lebih jangka panjang, bisa aja HC bilang: "mau dikerjain sendiri aja dech, biar biaya lebih murah (misalnya), biar bisa ngatur sendiri.. etc etc.!". Samalah kaya ngontrakin rumah, boleh dong yang punya rumah bilang: "lagi nggak mau dikontrakin nih, mau dipake sendiri ..", salah kali analoginya ya..?? he he.

Thursday, August 10, 2006

Pertanyaan dari Oxford

Hari ini saya terima email dari Oxford, konfirmasi keikutsertaan saya pada Oxford Energy Seminar ke 28, awal September di St Catherine's College, Oxford. Ini salah satu seminar yang paling “prestigious” karena selama 2 minggu mondok disana, diskusi mengenai energy policy, seminar ini dilaksanakan setiap tahun (lamanya 2 minggu), tahun ini yang ke-28, kalau saya lihat dari daftar pembicara, semua kelas kakap, mulai dari menteri, mantan menteri, CEO perusahaan minyak, professor, sampai ke direktur riset dari berbagai penelitian yang terkait dengan kebijakan energi.

Di email tersebut juga ada list peserta yang akan hadir dari mancanegara, ada sekitar 70 orang yang akan ikut, beda dengan konferensi atau simposium umumnya, pendaftaran seminar ini tidak dibuka untuk umum, jadi modelnya undangan lah gitu, makanya nggak ada info apa apa di internet kalau kita searching. Peserta semuanya pejabat yang mengurusi masalah kebijakan energi di negaranya masing masing dan senior manajeman dari beberapa perusahaan minyak (kalau saya liat, yang title-nya analyst cuma 2 orang he he.., saya sama satu lagi kolega sekantor/orang algeria, yang lainnya boss semua!), saya sebenarnya berharap ada yang dari Indonesia biar ada temen gosip disana, ya ternyata kali ini nggak ada! ya udah deh bakalan belajar serius kalo gitu he he.

Ada satu pertanyaan yang jawabannya harus disiapkan dan nanti dijelaskan pada hari pertama seminar, pertanyaannya sederhana: Apa tantangan tantangan utama yang dihadapi oleh; pertama, company Anda?, kedua industri?... saya lagi cari jawabnya, ada yang bisa bantu? he he ! Oke deh, nanti kita share apa aja yang dibahas selama 2 minggu disana.

Wednesday, August 09, 2006

Perbandingan Fiscal Terms di Afrika

Saya melakukan studi untuk membandingkan fiscal terms di beberapa negara Afrika, khususnya yang berlokasi di Teluk Guinea (Gulf of Guinea). Seperti kita ketahui, saat ini wilayah Gulf of Guinea ini termasuk “hot spots” untuk kegiatan eksplorasi dan pengembangan. Saya pilih enam negara untuk dibandingkan, yaitu: Equatorial Guinea, Chad, Ivory Coast, Gabon, Congo dan Angola

Berikut ringkasan fiscal terms masing masing negara, informasi mengenai fiscal terms masing masing negara saya peroleh dari dua sumber:

1. Barrows, World Petroleum Arrangement, 2004
2. Daniel Johnston, International Petroleum Fiscal system, 2002

Berikut ringkasannya:

Equatorial Guinea (Deepwater PSC):
- Royalty 10% (fixed), nggak ada cost recovery limit,
- Pajak 25%,
- Profit oil split (sliding scale berdasarkan ROR).

Chad (1990 Royalty - Tax)
- Royalty = 12.5%, pajak 50%

Ivory Cost (Deepwater PSC)
- Royalty nggak ada, cost recovery limit = 80%, pajak = 35%
- Profit oil split (sliding scale berdasarkan laju produksi)

Gabon (Deepwater model)
- Royalty (sliding scale: 7% – 10%)
- Cost recovery limit = 70%, pajak 35%
- Profit oil split (production based sliding scale)

Congo ( Hydrocarbon law 1994 – Deepwater)
- Royalty = 15%, cost recovery limit = 70%, pajak 35%
- Profit oil split (production based sliding scale)

Angola (Ultra Deepwater PSC)
- Royalty nggak ada, cost recovery limit: 50% - 55%
- Pajak 50%
- Profit oil split (sliding scale berdasarkan ROR)

Untuk perhitungan keekonomian, assumsinya sebagai berikut:

- Periode eksplorasi: 6 tahun
- Pengembangan (pemboran, fasilitas, dll): 3 tahun
- Periode produksi: 20 tahun (asumsi periode kontrak)
- Cadangan terambil selama periode kontrak: 200 MMBO
- Opex= $5/bbl
- Capex =$4/bbl (biaya pengembangan)
- Depresiasi tergantung model kontrak masing masing.
- Peak production rate (50,000 BOPD, plateau selama 3 tahun)
- Production decline rate: 10%
- Sensitivitas harga minyak: 20 $/bbl s/d 60 $/bbl)

Dari asumsi ini, kemudian saya bikin spreadsheet pake excel untuk menghitung Government Take (%) dan IRR contractor.

Hasilnya sebagai berikut:





Sebagaimana dapat kita lihat pada Gambar 1 (yang atas), fiscal terms Equatorial Guinea terlihat yang paling "lunak" (GT nya paling kecil) dibanding 5 negara lainnya. Karena profit oil splitnya - profitability based, maka tidak mengherankan kalau sistemnya progresif (artinya sensitif terhadap profitability). Makin naik profit (yang disebabkan kenaikan harga minyak), maka Government take (GT) nya makin meningkat.

Angola yang juga menggunakan profit oil split - profitability based, memiliki trend yang sama dengan Equatorial Guinea, namun GT nya lebih tinggi, dengan harga minyak yang tinggi (60 $/bbl), Angola fiscal terms menghasilkan GT yang tertinggi dibanding negara lain.

Menarik untuk dilihat bahwa fiscal terms dengan profit oil split yang berdasarkan laju produksi (production based) seperti: Ivory Coast, Gabon dan Congo, GT-nya sama sekali tidak sensitif terhadap kenaikan harga minyak (model seperti ini biasa disebut netral), karena pada saat profitability meningkat, GT nggak ngaruh sama sekali, sama segitu aja terus..!, sementara sistem Royalty Tax (R/T) kaya' Chad, malah cenderung regresif, makin profit, maka GT malah cenderung turun.

Gambar 2 - plot IRR vs oil price, ini melihat dari sisi contractor gimana, ya jelas!, makin naik profit (yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak), makin naiklah IRR contractor, buat contractor yang paling bagus tuh ya: Equatorial Guinea, baru abis itu Chad, Ivory Coast, Gabon, Congo dan yang paling "tough" Angola.

Ada yang tanya, kalau dihitung, NPV government khan naik juga meskipun GT tidak naik (sistem netral), bahkan untuk yang GT-nya turun (sistem regresif) sekalipun, NPV nya juga tetap bakal naik karena total profit khan naik?

Iya bener! kalau kita plot NPV government vs oil price, tentu semua NPV akan naik, plot GT pada gambar 1 diatas, memberikan gambaran mengenai persentase pembagian kue dengan naiknya keuntungan (naiknya harga minyak).

Sunday, August 06, 2006

Konsep (R/C)-nya Malaysia

Model kontrak PSC Malaysia berevolusi juga mengikuti tuntutan perubahan, mulai dari PSC 1976, kemudian PSC 1985, Deepwater PSC dan Revenue over Cost (R/C), kecenderungan beberapa fiscal terms around the world yang mengarah ke profitability based (dibanding conventional based, spt fixed split maupun production based split) , maka R/C model Malaysia ini tak lain masuk golongan profitability based.

Mari kita kaji lebih lanjut model R/C Malaysia, yang tertarik detail bisa download presentasi dari Petronas pada seminar PPM/CCOP di Manila, 2005, disini nih.



Seperti kita lihat, R/C tidak lain adalah kumulatif Revenue dibagi dengan kumulatif Cost, Revenue disini adalah cash inflow contractor yang terdiri dari: cost oil dan profit oil. Dengan demikian bila R/C = 1, itu tak lain adalah undiscounted payback, karena cash inflow = cash outflow, jika ingin tahu discounted payback-nya, ya tinggal pake discounted cashflow, jatuhnya R/C sekitar 1.4 kalau menurut hitungan Petronas.

Pada posting sebelumnya kita banyak diskusi masalah progresif, maka sistem R/C Malaysia ini juga progresif dalam hal bahwa, makin profit suatu projek maka bagian pemerintah akan lebih gede, atau bisa juga dilihat sebaliknya, makin kurang profitnya, maka bagian contractor yang lebih gede. Kedua aspek ini ditunjukkan oleh adanya tranche (lebih dikenal dengan istilah sliding scale), artinya makin besar profit contractor yang dicerminkan oleh indeks (R/C), makin rendah cost tranche-nya, begitu juga dengan profit oil split, makin besar R/C, makin rendah profit oil split contractor.

Spirit dari sistem yang progresif tuh gini, pada saat produksi awal, cash flow contractor masih “jelek” karena perlu waktu buat balik modal dulu, untuk itu, contractor dapat “insentif”, pada kasus R/C Malaysia ini, insentifnya berupa cost tranche yang lebih tinggi dan profit oil split yang lebih tinggi. Makin profit si-contractor dengan berjalannya waktu, maka pada saat itu gantian, sudah sewajarnya negara (sebagai yang punya aset) menikmati keuntungan dengan proporsi yang lebih besar.

Apalagi yang menarik dari model R/C Malaysia ini?

Kalau kita lihat gambar diatas, ini salah satu inovasi model R/C ini, bahwa available unused cost dibagi lagi berdasarkan indeks R/C dimana porsi buat contractor lebih gede dibanding dengan contractor profit oil split, jadi ini semacam insentif buat contractor untuk melakukan cost saving, karena kalau nggak ada insentif ini, bisa bisa goldplating terjadi (masih inget goldplating khan? Ada di posting sebelumnya!).

Disamping itu, model R/C ini akan membuat contractor tidak sungkan melakukan investasi lagi, karena begitu mereka investasi lagi, indeks R/C akan turun, dengan demikian, tranch (sliding scale) untuk cost oil dan profit oil split-nya akan kembali meningkat buat contractor, boleh juga khan?

Sayang saya nggak tahu persis tranch atau sliding scale- nya berapa, kalau tahu khan bisa dihitung hitung kira kira GT nya berapa, saving indeks berapa, efektif royalty rate dan lain lain. Tetapi gimanapun, konsep ini suatu hal yang excelent, memasukkan berbagai macam perspektif. Mau niru? Why not. Dulu Malaysia belajar PSC sama kita, sekarang kreatif bikin yang kaya gini, kalau mau nyontek sich boleh boleh aja, cuma nyonteknya yang canggih, jangan nyalin doang, diubah sesuai kebutuhan, nggak melulu progresif pasti baik (lihat posting sebelumnya), ditambahin sana, dikurangin sini, jadi keluar inovasi yang baru juga..! Oke ?

Saturday, August 05, 2006

(Belajar) Pengalaman Libya

Fugro Robertson (salah satu konsultan migas kondang) menempatkan Libya pada urutan teratas dalam new venture survey tahun 2005, survey tersebut didasarkan pada peringkat negara negara mana yang paling menarik bagi perusahaan minyak sebagai lahan untuk eksplorasi dan produksi. Tidak mengherankan, mengingat di Libya sono, unexplored reserves-nya gueede, biaya produksi kecil aja, infrastruktur ada dan lokasinya lumayan strategis.

Nah, gimana caranya Libya ngundang investor? kita lihat dulu gimana legal framework untuk bisnis migas disana, seperti kebanyakan negara Afrika dan Timur Tengah, model kontrak pertama yang dianut adalah Concession (Sejak 1955). Tahun 1972, sebagai bagian nasionalisasi industri minyak diperkenalkan istilah participation agreement, dimana 51% share concession ditransfer ke NOC (national oil company). Tahun 1974, diperkenalkan model kontrak PSC, mereka nyebutnya EPSA (Exploration and Production Sharing Agreement), sama seperti kita, dimana kontrak PSC kita mengalami evolusi terms & conditions-nya sesuai tuntutan zaman, disini kita kenal PSC Generasi 1, 2 ,3, disana EPSA juga berevolusi dari EPSA I, II, III dan sekarang EPSA IV, yang terakhir ini (EPSA IV) relatif baru diperkenalkan (2004), pasca dicabutnya sanksi PBB.

Dibanding negara lain, berapa gede sich Goverment Take (GT) di Libya?, kalau kita mengacu ke model kontrak EPSA-IV, tabel dibawah menunjukkan perbandingan GT dengan negara lain.


Kalau kita lihat GT-nya, nggak tanggung tanggung man (atau woman, biar nggak protes..), tinggi banget 95%, Indonesia GT- nya sekitar 68.3% (cuma saya nggak tahu persis, yang dipake Wood Mackenzie ini model kontrak PSC kita yang mana, karena nggak disebut sich, kelihatannya ini udah masuk paket insentif, mungkin paket insentif 3 (1992), insentif laut dalam atau paket insentif 4 (1993), mungkin lho!, ini tebakan saya, berdasarkan GT yang relatif kecil dibanding PSC standard).

Kembali ke Libya, mengingat GT-nya tinggi banget, apakah ada peminatnya, lha Contractor Take-nya hanya 5% saja. Coba kita lihat hasil first round EPSA-IV, Januari 2005, tabel berikut:


Untuk First Round, Januari 2005, ada 15 blok yang ditawarkan, total bids yang masuk 105, dari sini kita lihat peminatnya membludak. Medco Energy termasuk pemenang untuk Ghadames area - blok 47, patner dengan Verenex.

Libya kemudian meng- award 23 lisensi untuk Second Round EPSA IV- October 2005, hasilnya lihat tabel dibawah:


Menarik karena banyak perusahaan dari Asia (Jepang, Indonesia, India) yang menjadi pemenang, Pertamina dapet offshore, Area 17, block 3 dan Sirte Area 123 Block 3.

Dalam model EPSA –IV, perusahaan minyak boleh memperoleh IOC production share sampai 40%, sisanya masuk ke NOC Libya, namun kalau kita lihat hasil competitive bidding, IOC nggak berani ngambil segede itu (takut kalah sama kompetitor dong), untuk Second Round hanya berkisar antara 6.8% sampai 28.5%.

Kalau kita iseng iseng bikin hitungan kasar aja ya, kaya’ Japex misalnya yang dapet Murzuq Area 176, blok 4, dia menang karena nge-bid dengan IOC production share (6.8%) dan signature bonus USD 3 juta. IOC production share 6.8%, itu rendah banget man, berapa GT-nya? asumsi aja cost-nya murah katakanlah 2.5% dari gross revenue, maka GT = 95%, kalau cost-nya 5% dari gross revenue, maka GT = 98%. Jadi, Japex hanya dapet 2% aja dari profit….!!

Punya Pertamina gimana?, anggep aja rata rata dari 2 blok yang dimenangkan Pertamina, IOC production share-nya 11%, kalau cost diasumsi 5% dari gross revenue, GT = 94%. Pertamina “hanya” dapet 6% saja dari total profit.

Rendah banget? Emang! EPSA –IV ini termasuk yang paling ketat fiscal term-nya. Lha kok masih pada mau? Iya, seperti disebut diawal tadi mas, potential reservesnya gede, cost per barelnya rendah, kemungkinan profitnya jadi gede dong!, lha kalau gede, 6% khan lumayan banget.

Sekarang di Libya lagi digodok DPSA, ini untuk proyek yang non-eksplorasi, jadi untuk pengembangan (development) lapangan lapangan yang sudah “mature”, sama seperti kita, Libya juga sekarang mikir, gimanapun kontrak EPSA itu perlu waktu, eksplorasi khan makan waktu, nah, dalam rangka peningkatan produksi yang bisa lebih cepat, darimana lagi kalau bukan dari lapangan lapangan yang sudah ada. Menarik untuk dilihat kira kira seberapa ketat fiscal terms yang akan ditawarkan untuk model DPSA ini.

Gitu dah cerita pengalamannya Libya, mungkin ada yang bisa kita petik, gimanapun belajar dari pengalaman orang tentu sedikit banyak ada manfaatnya.!, dan seperti posting sebelumnya, GT bagus untuk ukuran statistik, tapi harus hati hati menggunakannya, GT kecil nggak jamin bagus nanti keekonomiannya buat Contractor (IOC), sebaliknya, GT gede nggak jamin jelek, tergantung ekspektasi dari pelaku bisnisnya, kaya’ kasus Libya, GT boleh gede, supaya bisa dapet lisensi dan mengalahkan kompetitor, tentu IOC punya hitungan “how low can you go?” - nya...!.

Thursday, August 03, 2006

Pemerintah Kaji Kontrak Selain Bagi Hasil

Pemerintah Kaji Kontrak Selain Bagi Hasil (berita di tempointeraktif).

Menarik berita tempo tersebut, isinya bahwa: Pemerintah akan mengkaji penerapan bentuk lain kontrak kerja sama minyak dan gas bumi. Saat ini kontrak kerja sama yang berlaku adalah kontrak bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah… (dst-nya).

Kalau mau mengkaji kontrak selain PSC, maka terlebih dahulu kita harus tahu kontrak apa aja yang ada selain model PSC, bisa dilihat di posting sebelumnya.

Baru setelah itu melangkah ke hal hal yang berikutnya, apa saja sich alternatif yang tersedia, yang kira kira bisa diusulkan sebagai bentuk kontrak lain selain PSC ?

Sebelum melangkah lebih jauh, mungkin ada baiknya kita (seperti biasa) masuk ke definisi dulu biar seragam, ini saya ambil definisi SPE mengenai kontrak kontrak dimaksud, saya copy - paste aja nih.

Concession: A grant of access for a defined area and time period that transfers certain rights to hydrocarbons that may be discovered from the host country to an enterprise. The enterprise is generally responsible for exploration, development, production and sale of hydrocarbons that may be discovered. Typically granted under a legislated fiscal system where the host country collects taxes, fees and sometimes royalty on profits earned

Production Sharing Contract: In a production-sharing contract between a contractor and a host government, the contractor typically bears all risk and costs for exploration, development, and production. In return, if exploration is successful, the contractor is given the opportunity to recover the investment from production, subject to specific limits and terms. The contractor also receives a stipulated share of the production remaining after cost recovery, referred to as profit hydrocarbons. Ownership is retained by the host government; however, the contractor normally receives title to the prescribed share of the volumes as they are produced. Reserves consistent with the cost recovery plus profit hydrocarbons that are recoverable under the terms of the contract are typically reported by the upstream contractor.

Pure-Service Contract: an agreement between a contractor and a host government that typically covers a defined technical service to be provided or completed during a specific period of time. The service company investment is typically limited to the value of equipment, tools, and personnel used to perform the service. In most cases, the service contractor's reimbursement is fixed by the terms of the contract with little exposure to either project performance or market factors. Payment for services is normally based on daily or hourly rates, a fixed turnkey rate, or some other specified amount. Payments may be made at specified intervals or at the completion of the service. Payments, in some cases, may be tied to the field performance, operating cost reductions, or other important metrics. Risks of the service company under this type of contract are usually limited to nonrecoverable costs overruns, losses owing to client breach of contract, default, or contract dispute. These agreements generally do not have exposure to production volume or market price; consequently, reserves are not usually recognized under this type of agreement.

Risk Service Contract: These agreements are very similar to the production-sharing agreements with the exception of contractor payment. With a risked-service contract, the contractor usually receives a defined share of revenue rather than a share of the production. As in the production-sharing contract, the contractor provides the capital and technical expertise required for exploration and development. If exploration efforts are successful, the contractor can recover those costs from the sale revenues and receive a share of profits through a contract-defined mechanism. Under existing SEC regulations, it may be more difficult for the contractor to justify reserves recognition, and special care must be taken in drafting the agreement. Provided that the requirements for reserves recognition are satisfied, reported reserves are typically based on the economic interest held or the financial benefit received.

Buy Back Agreement: An agreement between a host government and a contractor under which the host pays the contractor an agreed price for all volumes of hydrocarbons produced by the contractor. Pricing mechanisms typically provide the contractor with an opportunity to recover investment at an agreed level of profit. These agreements may include financial incentives for more efficient, lower cost developments and production levels higher than the minimum level agreed. These agreements may give rights to oil volumes and generally carry a risk for the contractor. They may allow booking of reserves.

Nah, inilah model kontrak perminyakan yang tersedia around the world, jadi selain PSC, ya tinggal model service contract lah, nggak ada lagi, kalau concession, ya berat, lupakanlah! ini urusannya legal nih, apa boleh? karena by definition, concession itu ada transfer of ownership, apa nggak bertentangan dengan UUD 45 pasal 33?. Lagian ngapain milih concession, bagi host country dalam banyak hal bagusan PSC-lah.

Kalau begitu, alternatifnya tinggal ke model service contract? apakah mau yang pure, risk atau model buyback contract, ya mau yang mana lagi?

Untuk beberapa blok yang less risky secara geologi, misalnya: pengelolaan lapangan tua (brownfield), EOR project atau pekerjaan pekerjaan "technical services" dalam rangka "production enhancement" lainnya, maka ada baiknya diadopsi model service contract ini, sementara untuk blok baru, yang secara geologi resikonya masih besar, ya berat juga kalau mau menawarkan model service contract, siapa yang mau? ngebor sumur eksplorasi, kalau sukses cuma dikasih fee doang (kasarnya gitu ya), ya nggak maulah IOC. Mereka mikirnya gini, resiko jelas ada (gede lagi), reward-nya terbatas, ya nggak menarik dong!. Padahal nature bisnis oil itu khan berani ngambil resiko dalam rangka dapet reward yang segede gedenya. Kalau untuk blok yang kaya gini, PSC tetap lebih fair kalau kita melihat dari perspektif baik IOC maupun host country (negara).

Sebenarnya secara konseptual, PSC itu sesuatu yang baik (diantara model model kontrak perminyakan di dunia ini, yang paling banyak khan PSC, kalau jelek tentu nggak banyak yang mau pakai), kalau dalam prakteknya dianggap kurang "menguntungkan" bagi negara, tentu kita bisa mengusulkan perubahan term & conditions menjadi lebih baik, cuma kalau adanya cost recovery dijadikan alasan kalau PSC jelek?, lha model lain juga khan ada mekanisme cost recovery, namanya aja lain, yang namanya biaya yang telah dikeluarkan, kalau "proyeknya" sudah memberikan hasil, ya bagaimanapun harus dikembalikan dong biayanya. Tapi kenapa kok cost recovery jadi gede (atau digedein)?, lha kalau itu kasusnya, apa yang salah model kontraknya? bukankah model yang lain pun tetap aja bisa jadi kaya gitu nantinya kalau niatnya memang mau gede gedein cost!. Model service contract pun, bisa saja nantinya cost recovery jadi gede (digedein taruhlah), apalagi nantinya kalau fee-nya di set kurang menguntungkan buat IOC (Contractor), ya lebih baik "main" di cost recovery dong!.

Menyusun kontrak alternatif ini memang bukan pekerjaan mudah, perlu kajian yang mendalam, saya percaya bapak/ibu dan kolega saya di Migas (dan BPMIGAS) dapat memberikan usulan yang terbaik bagi negara (dan tentu saja cukup fair bagi Contractor). Selamat mengkaji !

Wednesday, August 02, 2006

Gov.Take - handle with care!

Beberapa posting saya sebelumnya banyak sekali menyinggung mengenai Government take (GT), yaitu persentase bagian pemerintah dari profit suatu lapangan/blok migas. GT ini penting sekali memang, makanya kita harus paham benar, namun demikian, GT banyak juga kelemahan, jadi, please handle with care!.

GT ini biasanya menjadi isu yang dipakai baik oleh negara (host country) maupun oleh Contractor (IOC), Contractor bisa saja complain ke host country, bilang, “Sir, ini fiscal terms negara Anda sudah nggak menarik lagi buat investor, tolong diperbaiki dong”, atau Contractor bilang: “tolong keluarin insentif baru dong, ini terms udah nggak menarik nih!”. Biasanya senjatanya Contractor itu nunjukin GT dari beberapa negara, “nih posisi negara Anda disini, GT nya udah ketinggian, negara lain jauh lebih menarik buat investasi”. Dari host country, tentu berargumen juga, ”wah terms kita ini masih oke kok, Anda jangan bandingin sama country X dong, disana prospectivity dibanding kita nggak ada apa apanya, makanya GT dia minta kecil kecil aja, lagian belum ada infrastruktur apa apa disana”. ya gitu dah, GT memang jadi supporting data untuk request something.

GT itu banyak juga mengandung kelemahan, pertama masalah front-end loading, lihat posting sebelumnya. GT bisa misleading, karena mengabaikan efek time value of money, kedua, GT tidak ada urusan dengan reserves recognition (untuk detail lihat posting sebelumnya dan yang lebih penting lagi GT tidak meng-cover hal hal seperti: work program, relinquishment, training, national employment, local content, HSE, community development dan legal aspects. Seperti kita ketahui, hal hal tersebut merupakan bagian yang penting dari pengembangan industri migas, justru efek “bola salju” ini implikasinya luar biasa.

Ambil contoh satu saja, national employment, hampir semua kontrak mencamtumkan provisi mengenai hal ini, malah beberapa negara sangat tegas, contohnya country X bunyinya (kira kira) gini: ..”the contractor shall employ “X” country nationals in all post for which they have necessary qualifications, and at least 50% of all professional management shall be held by X country nationals”.

Pengembangan SDM seperti ini diatur dalam hampir semua kontrak migas di dunia ini, bedanya ada negara yang serius dan konsekuen menerapkannya dan ada negara yang sebaliknya alias “atur-able”.. kita atur atur aja..!, karena terlalu sering “atur-able” ini, ya jadi seolah olah dianggap nggak ada !

Pengembangan SDM ini secara langsung nggak keliatan di GT, ini kita baru ngomong satu aspek, belum lagi local content, work program, community development dan training, ini juga nggak keliatan di GT. Jadi GT sebagai suatu ukuran, memang bukan segala galanya, Ada hal hal lain yang apabila kita seriusin mempunyai dampak yang luar biasa dari pengembangan industri migas ini… so? ya jangan terlalu ngotot sama GT.. misalkan nih si Contractor ngotot: “minta insentif dong, GT Anda ketinggian?”, si host country (kalau lagi pingin baik) bisa aja jawab: oke, cuma ada “take and give” dong, bagian bagian yang nggak dicover sama GT tadi, ya diseriusan, bilang sama Contractor, “Ente gua kasih insentif, tapi ente kurangi cost dong, nggak perlu sewa konsultan bule banyak banyak, community development ditingkatin, training, etc etc”.

Pasti ada yang protes, itu mah bukan “take and give” itu “take and take”, wong community development di cost recovery juga, wong training di cost recovery juga, wong HSE di cost recovery juga , wong.. ayo wong apa lagi?, wong kito ? he he..

Iya bener bung!, cuma ya nggak persis gitu sich, karena (kali ini) kita melihat sedikit makro–lah, efek bola salju dong, community development, itu ya cost recovery sich, cuma contractor sebenarnya nyumbang juga dari berkurangnya profit oil mereka, training juga gitu, jadi nyumbangnya “indirectly”, jangan galak galak dong, biar yang lain menikmati juga hasil dari industri migas, apalagi di kampung mereka, selama masih muter muter di tanah air, yo wis to.. masih saudara saudara kita juga,.. he he!! (yang dimaksud dengan saudara saudara kita disini, orang orang baik kaya kita kita lah he, bukan oknum konglomerat atau oknum pejabat, yang memanfaatkan untuk pribadi, kalau yang model gini, nggak masuk golongan saudara saudara kita ah.. malu.. biar Om KPK aja yang ngurusin mereka). Hal hal seperti ini tentunya nggak masuk dalam hitung hitungan di GT man! (oops, ini bukan merk kolor!).. chau!

Tuesday, August 01, 2006

Disain fiscal terms

Sebelum nulis topik ini, saya e-mail dulu Daniel Johnston - saya minta izin untuk menampilkan cartoon yang dibikin kembarannya David, saya kirim e-mail paginya, siangnya dia bales:

Dear Benny,
Nice to hear from you.
You have our permission to use the cartoon.
We look forward to seeing you again one of these days.
David is in Libya at the moment.

Sincerely,
Daniel (and David)

Sekarang baru lega naruh karya orang, kalau udah ada izin, walaupun sekedar cartoon, ini urusannya hak cipta, harus kita hargai karya orang lain.

Setiap kali berhadapan dengan urusan disain fiscal terms, saya selalu teringat cartoon ini (saya scan dari text book nya Daniel Johnston – “International Petroleum Fiscal System and PSC”- 1994), ngomong ngomong soal buku ini, isinya bagus banget, best seller, terutama untuk yang mau mulai mengenal petroleum fiscal, ya bolehlah sebagai acuan, walapun judulnya rada “aneh” juga, International Petroleum Fiscal System & PSC, lha kok, agak nggak nyambung gitu, ada kesan maksain.. Daniel sendiri juga mengakui hal yang agak aneh ini, cuma dia terus terang bilang bahwa maunya dia di-judul harus ada kata PSC-nya, mengingat tahun tahun itu (90-an), istilah PSC lagi ngetop ngetopnya, jadi ada strategi pemasaran juga.

Kembali ke cartoon, ketika kita men-disain fiscal terms, ibaratnya kita berada di “control room”, yang terdiri dari macam macam panel, kita harus melakukan “tune–in”, kira kira yang mana yang paling pas, tujuan akhir, dalam hal ini Government Take (GT). Mana kira kira yang paling pas supaya dapat GT sekian persen, apa kita harus mengurangi sedikit royalty, apa perlu menaikkan corporate income tax, gimana dengan profit oil split, sudah oke?, apa perlu disetel dikit?, signature bonus gimana?, tambah atau nggak usah pake aja? kalau cost recovery limit gimana? apa masih perlu? khan udah ada royalty, atau tetap mau dikasih limit juga, trus, government participation, berapa persen ya kira kira? negara yang lain berapa ya? ya gitu deh, gampang gampang susah khan!, makanya orang di cartoon itu garut garut kepala, ceritanya itu orang dari kementerian perminyakan, orang ESDM lah kalo di kita.

Ketika kita memilih GT yang pas, nggak gampang juga, tentu harus dilihat-lihat dulu, kegedean nggak nih kalau besarnya segini, gimana dengan negara laen yang kira kira sebanding prospectivity –nya. Apa kita punya alasan kalau kita memang harus lebih tinggi?. Nah, orang orang di “control room” itu harus punya “feeling”, sama seperti pilot di cockpit, dia udah punya feeling, kira kira panelnya harus-nya level nya dimana, mesti jago dong? Ya perlu jam terbanglah, sama kaya pilot tadi, makin tinggi jam terbang tentu lain “feeling”nya, nggak mungkin fresh graduate disuruh disain fiscal terms, jadi asisten dulu dong, ikut sama senior senior kita yang sudah tinggi jam terbangnya. Diajarin supaya cepet pinter, pengalamannya dibagi bagi, khan prinsipnya: kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit, ya nggak ?

Padahal di negara kita pakarnya PSC banyak banget, sayang pada nggak nulis buku (ini yang saya tahu sich, syukur kalau sudah mulai ada yang nulis). Orang bingung mau belajarnya kemana, paling ikut kursus, mahal euy he he, harus nunggu dikirim sama kantor, itu pun kalau ada budget (kacian de lo). Ada bukunya mas Wid (Prof. Widjajono – dari Perminyakan ITB), cuma rada susah nyarinya Mas, kayanya belinya harus di Bandung, itupun belum tentu dapet. Ada juga bukunya Dr. TN Machmud (mantan boss-nya Arco Indonesia), English Version, ini dari disertasi Doktor beliau, bagus tuh buat referensi, cuma kalau beli sendiri lumayan mahal, sekian ratus US dollar, kalau saya mah pinjem perpustakaan kantor aja, nanti kalau ada duit lebih, pingin beli buat koleksi he he!