Fugro Robertson (salah satu konsultan migas kondang) menempatkan Libya pada urutan teratas dalam new venture survey tahun 2005, survey tersebut didasarkan pada peringkat negara negara mana yang paling menarik bagi perusahaan minyak sebagai lahan untuk eksplorasi dan produksi. Tidak mengherankan, mengingat di Libya sono, unexplored reserves-nya gueede, biaya produksi kecil aja, infrastruktur ada dan lokasinya lumayan strategis.
Nah, gimana caranya Libya ngundang investor? kita lihat dulu gimana legal framework untuk bisnis migas disana, seperti kebanyakan negara Afrika dan Timur Tengah, model kontrak pertama yang dianut adalah Concession (Sejak 1955). Tahun 1972, sebagai bagian nasionalisasi industri minyak diperkenalkan istilah participation agreement, dimana 51% share concession ditransfer ke NOC (national oil company). Tahun 1974, diperkenalkan model kontrak PSC, mereka nyebutnya EPSA (Exploration and Production Sharing Agreement), sama seperti kita, dimana kontrak PSC kita mengalami evolusi terms & conditions-nya sesuai tuntutan zaman, disini kita kenal PSC Generasi 1, 2 ,3, disana EPSA juga berevolusi dari EPSA I, II, III dan sekarang EPSA IV, yang terakhir ini (EPSA IV) relatif baru diperkenalkan (2004), pasca dicabutnya sanksi PBB.
Dibanding negara lain, berapa gede sich Goverment Take (GT) di Libya?, kalau kita mengacu ke model kontrak EPSA-IV, tabel dibawah menunjukkan perbandingan GT dengan negara lain.
Kalau kita lihat GT-nya, nggak tanggung tanggung man (atau woman, biar nggak protes..), tinggi banget 95%, Indonesia GT- nya sekitar 68.3% (cuma saya nggak tahu persis, yang dipake Wood Mackenzie ini model kontrak PSC kita yang mana, karena nggak disebut sich, kelihatannya ini udah masuk paket insentif, mungkin paket insentif 3 (1992), insentif laut dalam atau paket insentif 4 (1993), mungkin lho!, ini tebakan saya, berdasarkan GT yang relatif kecil dibanding PSC standard).
Kembali ke Libya, mengingat GT-nya tinggi banget, apakah ada peminatnya, lha Contractor Take-nya hanya 5% saja. Coba kita lihat hasil first round EPSA-IV, Januari 2005, tabel berikut:
Untuk First Round, Januari 2005, ada 15 blok yang ditawarkan, total bids yang masuk 105, dari sini kita lihat peminatnya membludak. Medco Energy termasuk pemenang untuk Ghadames area - blok 47, patner dengan Verenex.
Libya kemudian meng- award 23 lisensi untuk Second Round EPSA IV- October 2005, hasilnya lihat tabel dibawah:
Menarik karena banyak perusahaan dari Asia (Jepang, Indonesia, India) yang menjadi pemenang, Pertamina dapet offshore, Area 17, block 3 dan Sirte Area 123 Block 3.
Dalam model EPSA –IV, perusahaan minyak boleh memperoleh IOC production share sampai 40%, sisanya masuk ke NOC Libya, namun kalau kita lihat hasil competitive bidding, IOC nggak berani ngambil segede itu (takut kalah sama kompetitor dong), untuk Second Round hanya berkisar antara 6.8% sampai 28.5%.
Kalau kita iseng iseng bikin hitungan kasar aja ya, kaya’ Japex misalnya yang dapet Murzuq Area 176, blok 4, dia menang karena nge-bid dengan IOC production share (6.8%) dan signature bonus USD 3 juta. IOC production share 6.8%, itu rendah banget man, berapa GT-nya? asumsi aja cost-nya murah katakanlah 2.5% dari gross revenue, maka GT = 95%, kalau cost-nya 5% dari gross revenue, maka GT = 98%. Jadi, Japex hanya dapet 2% aja dari profit….!!
Punya Pertamina gimana?, anggep aja rata rata dari 2 blok yang dimenangkan Pertamina, IOC production share-nya 11%, kalau cost diasumsi 5% dari gross revenue, GT = 94%. Pertamina “hanya” dapet 6% saja dari total profit.
Rendah banget? Emang! EPSA –IV ini termasuk yang paling ketat fiscal term-nya. Lha kok masih pada mau? Iya, seperti disebut diawal tadi mas, potential reservesnya gede, cost per barelnya rendah, kemungkinan profitnya jadi gede dong!, lha kalau gede, 6% khan lumayan banget.
Sekarang di Libya lagi digodok DPSA, ini untuk proyek yang non-eksplorasi, jadi untuk pengembangan (development) lapangan lapangan yang sudah “mature”, sama seperti kita, Libya juga sekarang mikir, gimanapun kontrak EPSA itu perlu waktu, eksplorasi khan makan waktu, nah, dalam rangka peningkatan produksi yang bisa lebih cepat, darimana lagi kalau bukan dari lapangan lapangan yang sudah ada. Menarik untuk dilihat kira kira seberapa ketat fiscal terms yang akan ditawarkan untuk model DPSA ini.
Gitu dah cerita pengalamannya Libya, mungkin ada yang bisa kita petik, gimanapun belajar dari pengalaman orang tentu sedikit banyak ada manfaatnya.!, dan seperti posting sebelumnya, GT bagus untuk ukuran statistik, tapi harus hati hati menggunakannya, GT kecil nggak jamin bagus nanti keekonomiannya buat Contractor (IOC), sebaliknya, GT gede nggak jamin jelek, tergantung ekspektasi dari pelaku bisnisnya, kaya’ kasus Libya, GT boleh gede, supaya bisa dapet lisensi dan mengalahkan kompetitor, tentu IOC punya hitungan “how low can you go?” - nya...!.
Nah, gimana caranya Libya ngundang investor? kita lihat dulu gimana legal framework untuk bisnis migas disana, seperti kebanyakan negara Afrika dan Timur Tengah, model kontrak pertama yang dianut adalah Concession (Sejak 1955). Tahun 1972, sebagai bagian nasionalisasi industri minyak diperkenalkan istilah participation agreement, dimana 51% share concession ditransfer ke NOC (national oil company). Tahun 1974, diperkenalkan model kontrak PSC, mereka nyebutnya EPSA (Exploration and Production Sharing Agreement), sama seperti kita, dimana kontrak PSC kita mengalami evolusi terms & conditions-nya sesuai tuntutan zaman, disini kita kenal PSC Generasi 1, 2 ,3, disana EPSA juga berevolusi dari EPSA I, II, III dan sekarang EPSA IV, yang terakhir ini (EPSA IV) relatif baru diperkenalkan (2004), pasca dicabutnya sanksi PBB.
Dibanding negara lain, berapa gede sich Goverment Take (GT) di Libya?, kalau kita mengacu ke model kontrak EPSA-IV, tabel dibawah menunjukkan perbandingan GT dengan negara lain.
Kalau kita lihat GT-nya, nggak tanggung tanggung man (atau woman, biar nggak protes..), tinggi banget 95%, Indonesia GT- nya sekitar 68.3% (cuma saya nggak tahu persis, yang dipake Wood Mackenzie ini model kontrak PSC kita yang mana, karena nggak disebut sich, kelihatannya ini udah masuk paket insentif, mungkin paket insentif 3 (1992), insentif laut dalam atau paket insentif 4 (1993), mungkin lho!, ini tebakan saya, berdasarkan GT yang relatif kecil dibanding PSC standard).
Kembali ke Libya, mengingat GT-nya tinggi banget, apakah ada peminatnya, lha Contractor Take-nya hanya 5% saja. Coba kita lihat hasil first round EPSA-IV, Januari 2005, tabel berikut:
Untuk First Round, Januari 2005, ada 15 blok yang ditawarkan, total bids yang masuk 105, dari sini kita lihat peminatnya membludak. Medco Energy termasuk pemenang untuk Ghadames area - blok 47, patner dengan Verenex.
Libya kemudian meng- award 23 lisensi untuk Second Round EPSA IV- October 2005, hasilnya lihat tabel dibawah:
Menarik karena banyak perusahaan dari Asia (Jepang, Indonesia, India) yang menjadi pemenang, Pertamina dapet offshore, Area 17, block 3 dan Sirte Area 123 Block 3.
Dalam model EPSA –IV, perusahaan minyak boleh memperoleh IOC production share sampai 40%, sisanya masuk ke NOC Libya, namun kalau kita lihat hasil competitive bidding, IOC nggak berani ngambil segede itu (takut kalah sama kompetitor dong), untuk Second Round hanya berkisar antara 6.8% sampai 28.5%.
Kalau kita iseng iseng bikin hitungan kasar aja ya, kaya’ Japex misalnya yang dapet Murzuq Area 176, blok 4, dia menang karena nge-bid dengan IOC production share (6.8%) dan signature bonus USD 3 juta. IOC production share 6.8%, itu rendah banget man, berapa GT-nya? asumsi aja cost-nya murah katakanlah 2.5% dari gross revenue, maka GT = 95%, kalau cost-nya 5% dari gross revenue, maka GT = 98%. Jadi, Japex hanya dapet 2% aja dari profit….!!
Punya Pertamina gimana?, anggep aja rata rata dari 2 blok yang dimenangkan Pertamina, IOC production share-nya 11%, kalau cost diasumsi 5% dari gross revenue, GT = 94%. Pertamina “hanya” dapet 6% saja dari total profit.
Rendah banget? Emang! EPSA –IV ini termasuk yang paling ketat fiscal term-nya. Lha kok masih pada mau? Iya, seperti disebut diawal tadi mas, potential reservesnya gede, cost per barelnya rendah, kemungkinan profitnya jadi gede dong!, lha kalau gede, 6% khan lumayan banget.
Sekarang di Libya lagi digodok DPSA, ini untuk proyek yang non-eksplorasi, jadi untuk pengembangan (development) lapangan lapangan yang sudah “mature”, sama seperti kita, Libya juga sekarang mikir, gimanapun kontrak EPSA itu perlu waktu, eksplorasi khan makan waktu, nah, dalam rangka peningkatan produksi yang bisa lebih cepat, darimana lagi kalau bukan dari lapangan lapangan yang sudah ada. Menarik untuk dilihat kira kira seberapa ketat fiscal terms yang akan ditawarkan untuk model DPSA ini.
Gitu dah cerita pengalamannya Libya, mungkin ada yang bisa kita petik, gimanapun belajar dari pengalaman orang tentu sedikit banyak ada manfaatnya.!, dan seperti posting sebelumnya, GT bagus untuk ukuran statistik, tapi harus hati hati menggunakannya, GT kecil nggak jamin bagus nanti keekonomiannya buat Contractor (IOC), sebaliknya, GT gede nggak jamin jelek, tergantung ekspektasi dari pelaku bisnisnya, kaya’ kasus Libya, GT boleh gede, supaya bisa dapet lisensi dan mengalahkan kompetitor, tentu IOC punya hitungan “how low can you go?” - nya...!.
5 comments:
"Punya Pertamina gimana?, anggep aja rata rata dari 2 blok yang dimenangkan Pertamina, IOC production share-nya 11%, kalau cost diasumsi 5% dari gross revenue, GT = 94%. Pertamina “hanya” dapet 6% saja dari total profit."
Bisa dijelaskan gimana rumusnya supaya bisa dapet angka 6% itu?
Mis:
Gross Revenue = 100%
Cost = 5%
Profit = 95%
IOC Prod share = 11%
Gov Prod Share = 89%
GT = Gov Prod Share / Profit
GT = 89% / 95% = 94%
CT* = 100% - 94% = 6%
*)CT = Contractor take, dalam hal ini Pertamina take.
Apa bedanya IOC share dengan contractor take?
dari tebak-tebakan saya, seharusnya
GT = Gov Prod Share x Profit
GT = 89% x 95% = 84.55%
Maaf kalo pertanyaannya trivial, maklum pembaca awam.
Thanks comment dan koreksinya mas/mbak (?), seneng saya kalau ada feedback, kalau nggak nanti saya ngerasa sok pinter sendiri.. he he!
Memang definisi "Take" suka bikin bingung, apalagi kalau dalam persentase semuanya.
IOC share itu kaya contractor profit oil split, kalau contractor take itu persentase bagian contractor dari total profit.
Kuncinya itu: kalau kita pakai istilah "Take" artinya persentase dari profit. Dari profit tsb, berapa besar pembagian IOC dan Gov.
Jadi:
CT = total bagian IOC/profit
GT = total bagian GOv/profit
Supaya clear kita runut aja:
GR = 100
cost = 5
profit = 95
Gov (89%) = 89%* 95 = 84.55
IOC (11%) = 11%* 95 = 10.45
GT = 84.55/95 = 89%
CT = 11%
Kenapa kok kebetulan sama dengan Gov share (89%)?,
Karena komponennya cuma satu, yaitu IOC dan Gov share. Dalam kenyataannya tentu tidak persis demikian karena bagian dari Gov share biasanya di breakdown lagi, berupa royalty, profit oil split, tax dan lain lain.
Tentu detailnya kita harus lihat kontrak. Ini sekaligus ini saya anggap koreksi terhadap posting sebelumnya yang menyebut IOC Take hanya 6%, seharusnya daam hal ini IOC (Pertamina) "Take" sama dengan IOC "Share" = 11%.
Salam hangat!
Thanks Mas,
it's a lot clearer now.
warm regards
Post a Comment