Sebelum masuk ekonomis atau nggak?, mungkin ada yang nanya (termasuk saya lho), bener nggak sich nggak ekonomis?, kalau dihitung pake harga minyak 15 $/bbbl, oke-lah, naikin dikit 25 $/bbl, masih nggak ekonomis?, oke lah!, tapi apa bener kalau pake harga minyak 35, 40 $/bbl, masih nggak ekonomis? Wallahualam!, karena kita nggak tahu gimana model detailnya.
Ada yang nanya, lho sapa tahu nanti harga minyak turun lagi?, ya oke lah, tapi kita khan ngomong lapangan kacangan-nih, umurnya paling beberapa tahun, 5 tahun? 10 tahun?, lapangan kecil gini, umurnya juga mestinya nggak panjang panjang amat, lagian don’t worry so much, kata “peramal” harga minyak (ini juga katanya), era harga minyak murah udah berakhir, the end of cheap oil… jadi jangan pesimis banget dengan oil price forecasting, apalagi buat lapangan marginal (karena periodenya pendek, resiko fluktuasi harga relatif lebih kecil !).
Lho biayanya sekarang mahal? iya, makanya dipikirin juga, kalau ngelola lapangan kecil, tentu dengan pendekatan cost effective, pake teknologi tepat guna, tentu saja tanpa mengorbankan safety dan urusan lingkungan.. intinya, jangan jor jor-an di biaya.
“Pokoknya nggak ekonomis deh!, harus dikasih insentif,” kata contractor.
Wah kalau udah pake pokoknya repot mas!, kasih insentif mah gampang, minta sama pemerintah, cuma masalahnya, niat nggak ngerjainnya, nanti ngeles lagi, masih kurang ekonomis, kalah bersaing sama proyek lain di LN, capital constraint, nggak laku dijual di corporate (alias nggak masuk ranking), etc etc…!
Kasian pemerintah ya, minta minta supaya lapangan tersebut dikembangin, contractor ogah ogah-an, alasan macem macem: insentifnya kurang oke, sibuk banyak proyek lain, kurang SDM, etc, etc.
Apa bener jelek keekonomian lapangan kecil ini ya ?, kalau kita kaji lagi, lapangan ini khan biaya biaya ngebor dulunya (melalui mekanisme cost recovery) udah dibalikin ke contractor (dari minyak yang dihasilkan lapangan yang berproduksi di wilayah kerja tersebut), tinggal investasi lagi buat pengembangan, tapi biaya pengembangan inipun, khan nantinya udah bisa langsung di cost recovery lewat lapangan existing dari wilayah kerja tersebut, jadi “in reality”, nggak sama persis dengan “proyek beneran” yang keluar duit, nanti uangnya dikembalikan dari hasil proyek tersebut, lha ini, biayanya boleh langsung di "cost recovery" khan kok… nggak ekonomis?, masak sich !
Lagian hitungan IRR "stand alone" untuk proyek kaya gini, sebenarnya itu "IRR seolah olah", maksudnya?, ya karena cash flow juga seolah olah.. jadi hasilnya seolah olah, katakan dapet IRR 20%, ini khan seolah olah, kalau cash flow nya demikian, tapi prakteknya ya nggak gitu khan, biayanya langsung bisa direcover dari lapangan lain di blok atau wilayah kerja yang sama (aturan PSC memang demikian), jadi nggak nunggu minyak dari lapangan ini berproduksi.. itu maksudnya seolah olah, jadi kalau benerannya?, ya IRR nya nggak 20%, pasti guede banget, berapa? ya nggak tahu, gimana ngitung returnnya, wong tahun itu juga (bisa) langsung balik duitnya yang dikeluarin. Point-nya gini: itung itungan IRR stand alone ini sich perlu tentu saja, tapi untuk kasus seperti ini, jangan jadi harga mutlak, karena sebenarnya nggak sejelek itu.
Kolega yang kerja di contractor (yang paham ngutak ngatik keekonomian PSC), mungkin protes, lha itungan kita khan “consolidated”, karena dari hitungan “stand alone” ekonomisnya kurang oke, jadi secara keseluruhan, akan membuat “value” contractor jadi turun. Makanya kita tetap nggak mau ngerjain.. !.
Susah ya memahaminya? (sama saya juga!), nggak mudeng, selama itungan proyeknya secara stand-alone udah lebih gede dari “hurdle rate” atau minimum attractive rate of return (MARR), ruginya dimana ya?.
Kalau jalan pikirannya gini, mungkin lebih gampang nerimanya, alasannya alokasi anggaran (capital constraint), jadi karena contractor punya proyek lain di LN, yang return-nya lebih baik (katanya), maka lapangan ini nggak masuk ranking (anggaran terbatas), oh iya oke lah, masuk akal… wajar dong, contractor mau ngerjain yang bagus bagus dulu… jadi: alasannya capital constraint, bukan alasan lain lain.
Nah, kalau nggak ada budget, yo wis, serahkan pada pihak ketiga, saya yakin banyak yang mau ngerjain, ada yang komentar: “belum tahu aturannya mas!”, ya, kalau belum ada itu bisa dipikirin sama pemerintah, kalau udah ada tinggal dijelasin detailnya, yang penting ikhlas dulu dikerjain sama pihak ketiga. Otomatis constraint SDM juga terpecahkan kalau dikerjain pihak ketiga, jadi lapangan tersebut bisa melek, nggak tidur, ntah kapan bangunnya.
Tentu kita tidak bisa pukul rata (dalam banyak hal, so pasti ada pengecualian), memang dalam beberapa kasus, ada lapangan yang ternyata cadangannya lebih kecil lagi dari perkiraan awal, lokasi lepas pantai, menyebar pula, mahal banget development cost-nya, ya kalau kasus kaya gitu, apa boleh buat, si contractor (gimanapun) udah usaha maksimal !.
Mungkin bisa pake model Pertamina, yang bikin mapping portofolio lapangan mereka, dari situ kemudian dibikin mana yang mau dikerjain sendiri mana yang mau ditawarkan untuk dikerjain pihak lain, jadi ketahuan portofolionya, boljug, boljug...!.
Contractor lain gimana ya (khususnya yang gede gede)..?, pasti ada mapping gitu gitu, pertanyaannya, apa mau dikerjain sendiri semua..? termasuk yang kelas kacang gitu?, kalau mau nunggu masuk ranking, wah bakalan tidur terus itu lapangan kali.he he.!.
No comments:
Post a Comment