Monday, November 26, 2012

Buku: Ekonomi MIGAS


Insha'Allah mulai beredar di toko buku tanggal 17 Desember 2012, Harga Rp. 70,000,-

Thursday, November 22, 2012

Kegagalan mengurai akar masalah industri migas

Kalau kita cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi (regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi tersebut.

Mark Thurber dan kawan kawan dari Universitas Stanford (2011) mengkaji sejauh mana pengaruh pengaturan fungsi tersebut terhadap kinerja sektor hulu migas. Ada negara yang secara tegas memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan. Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara yang tidak secara tegas memisahkan fungsi fungsi tersebut.

Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan atau tidak, fungsi  komersial selalu dilakukan oleh Perusahaan migas milik negara (state-owned NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA, Australia, Kanada dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi karena sebelumnya sudah di privatisasi, maka fungsi komersial dilakukan oleh pihak swasta atau perusahaan minyak internasional (IOC).

Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan IOC.

Di Indonesia, fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas jelas hanya dapat dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC di negara lain.

Kecilnya bagian produksi Pertamina kemudian memberikan kesan bahwa NOC kita inferior di negeri sendiri, dalam bahasa pengamat “kedaulatan migas jatuh ke tangan asing”. Kenapa hal ini dapat terjadi?, bisa jadi selama beberapa dekade industri migas, Pemerintah sudah merasa nyaman menikmati posisi sebagai “juragan” yang hanya menerima bagi hasil dari kontraktor (IOC) tanpa mau terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar besaran di sektor migas melalui NOC (Pertamina).  

Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di semua negara produsen migas di dunia, sehingga bagian produksi NOC mereka menjadi sangat besar. Jadi disini kata kuncinya adalah investasi atau terlibat langsung, bukan dengan mengutak atik pilihan untuk memisahkan atau menggabungkan fungsi tersebut. Sejak UU 8/1971, Pertamina pernah merangkap peran komersial dan regulasi/supervisi, kenyataan menunjukkan bagian produksinya sangat kecil terhadap produksi nasional. Kenapa? karena pemerintah kelihatannya tidak berniat untuk ”investasi langsung” di sektor hulu (penerimaan hasil migas tidak di investasikan kembali  secara signifikan ke sektor hulu migas melalui Pertamina atau dikenal dengan istilah plough back). Sejak UU migas 22/2001 sebenarnya ada peningkatan bagian produksi Pertamina terhadap total produksi migas nasional, namun masih belum cukup besar.

Sejarah menunjukkan, Pertamina sudah pernah memainkan kedua peran tersebut (yang sering disebut wasit merangkap pemain melalui UU 8/1971) dan peran pemisahan (UU 22/2001). Sekarang kita akan membuat UU Migas baru (merevisi UU lama?). Percayalah permasalahan akan terulang kalau hanya bertujuan agar NOC sebagai pihak yang berkontrak langsung dengan IOC tanpa ada niat Pemerintah untuk meningkatkan investasi sektor hulu. Tentu kurang fair membandingkan dengan Petronas yang didukung penuh oleh Pemerintah untuk melakukan ekspansi di sektor hulu migas. Apabila selama ini, investasi hulu migas Pertamina didukung penuh khususnya dari aspek finansial oleh Pemerintah, saya kira kesan awam bahwa industri migas nasional “dijajah asing” tidak akan terjadi.

Terkait ribut ribut apakah kontrak Business to Business (B2B) atau Business to Government (B2G). Pada dasarnya dua hal tersebut bisa saja dilakukan. PSC di India, Oman, Yaman dan  Jordania  yang berkontrak adalah Pemerintah (Kementrian) dengan perusahaan migas internasional (B2G), di Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC (B2B), di Brazil  yang berkontrak Pemerintah (diwakili ANP yang berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G). Kontrak kesepakatan LNG Papua Nugini berlangsung antara Pemerintah dengan Perusahaan migas Esso (B2G) dan lain lain. Apakah betul negara tersebut merasa posisinya jatuh karena berkontrak langsung dengan Perusahaan asing? Apakah betul IOC tidak mau berkontrak dengan Badan pemerintah yang tidak punya aset? Apakah kalau B2B menjamin bahwa Pemerintah “kebal” dari tuntutan investor asing?.

Investor asing itu tentu saja tidak bodoh, mereka punya proteksi berlapis, tidak hanya melalui dokumen kontrak (concession agremeent maupun production sharing agreement). Katakanlah kontraknya adalah B2B, ketika ada sengketa diantara pihak yang berkontrak, disamping menuntut BUMN yang berkontrak dengan mereka, investor asing juga bisa menyeret Pemerintah yang bersangkutan ke arbitrase internasional melalui jalur lain, dalam ini Bilateral Investment Treaty (BIT). Hal ini terjadi dalam kasus ExxonMobil vs. PDVSA (NOC milik Pemerintah Venezuela), mereka berdua yang berkontrak (B2B),  namun ketika terjadi sengketa, oleh ExxonMobil, Pemerintah Venezuela pun diseret ke arbitrase internasional (ICSID, International Centre for Settlement of Investment Disputes) melalui mekanisme BIT tersebut.

Dengan demikian, tidak tepat saat ini kalau ada yang mengatakan bahwa Pemerintah akan bebas dari tuntutan ke arbitrase internasional dengan pilihan B2B. Apapun pilihannya, selama itu melibatkan investor asing, resiko ini tetap terbuka. Jangan sampai nanti masyarakat awam kecewa dan terheran heran ketika suatu saat Pemerintah dituntut oleh investor asing ke arbitrase internasional sementara bisnisnya menggunakan B2B.

Mari kita kawal agar UU Migas baru ini merupakan bagian dari solusi terhadap akar permasalahan (bukan produk trial & error), dan bukan pula hanya mendengarkan opini segelintir pengamat yang senang membungkusnya dengan embel embel “kemakmuran rakyat”.

Sunday, November 18, 2012

Kisruh Migas dan Keberpihakan Pemerintah


Industri hulu migas tidak pernah lepas dari headline media nasional belakangan ini, mulai dari isu cost recovery, pengaturan blok migas yang akan berakhir, seperti: Blok Mahakam dan puncaknya pembubaran BPMIGAS berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai pelopor penggunaan Production Sharing Contract (PSC) yang dimulai pada awal tahun 60-an. Pada era yang sama di mancanegara, negara negara produsen minyak juga sedang mencari pola pengaturan fiskal dalam kontrak migas yang lebih berimbang bagi negara sebagai pemilik sumber daya alam, termasuk sebagian diantaranya melakukan nasionalisasi.

PSC di Indonesia di adopsi dari sistem paron yang biasa dilakukan dalam penggarapan sawah, yang intinya berbagi hasil antara  pemilik dan penggarap dengan porsi tertentu (misal: 50% - 50%).  Di Negara Timur Tengah, negara produsen, tetap menggunakan mekanisme konsesi, namun ditambahkan hak partisipasi progresif dimana porsi bagian pemerintah (diwakili perusahaan minyak milik negara/ National oil Company/NOC) terus meningkat dengan berjalannya waktu. Bahkan akhirnya ada yang mencapai 100% seperti Saudi Aramco.

Peran NOC
Sekedar perbandingan, bagian NOC terhadap total produksi nasional untuk NOC dari negara negara anggota OPEC, seperti: Aramco (Saudi Arabia),  NIOC (Iran), KOC (Kuwait), PDVSA (Venezuela) dan QP (Qatar) mencapai lebih dari 90% produksi domestik. Sedangkan NOC dari negara non-OPEC yang menguasai 90% produksi nasional, antara lain: Pemex (Meksiko) dan Petrobras (Brazil). LNOC (Libya) dan Sonatrach (Aljazair) menguasai 80% produksi domestik. Petronas (Malaysia), NNPC (Nigeria),  ADNOC (UAE) dan CNPC (China) menguasai lebih dari separuh produksi nasional. Bahkan Sonangol (Angola) yang masih terhitung NOC yang muncul belakangan, bagiannya dari total produksi nasionalnya sudah mencapai sekitar 40%. Sementara Pertamina tidak lebih dari 25% produksi nasional.

Kalau kita melihat perspekstif sejarah, tampaknya visi dan keberpihakan negara terhadap NOC dapat dikatakan  masih minimal. Partisipasi pemerintah melalui NOC pada PSC Indonesia hanya berupa pilihan opsi untuk berpartisipasi sebesar 10%, dimana besaran tersebut tetap (tidak progresif).

PSC secara konsep adalah ide yang brilian karena mengatur bagaimana negara dan investor berbagi imbal hasil yang proporsional, sementara resiko sepenuhnya ditanggung investor. Namun demikian, dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya sejauh ini belum di optimalkan. Rupanya kita masih terpaku pada sistem paron, yang secara tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan jangan memang tidak pernah terpikirkan bahwa kelak suatu saat (seharusnya) NOC sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi kalau saat ini kontribusi Pertamina masih dibawah 25%, tentu bukan suatu yang mengherankan.

Tata Kelola Migas
Terkait dengan hubungan antara tata kelola industri migas dan kinerja sektor hulu migas, Mark Thurber  dan kawan kawan dari Universitas Stanford melakukan studi (2011) sejauh mana pengaruh pemisahan tiga fungsi (kebijakan, regulasi dan komersial) terhadap kinerja produksi migas di beberapa negara eksportir minyak. Negara yang dipilih sebagai sampel adalah: Aljazair, Brazil, Meksiko, Nigeria dan Norwegia yang  mewakili negara yang memisahkan ketiga fungsi tersebut. Sementara: Angola, Malaysia, Russia, Saudi Arabia dan Venezuela, mewakili negara yang tidak melakukan pemisahan. Kesimpulan studi menunjukkan sedikit korelasi, dimana hanya dua negara, yaitu: Norwegia dan Brazil yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa pemisahan tiga fungsi tersebut berkorelasi positif terhadap kinerja sektor hulu migas. Sebaliknya, Saudi Arabia dan Malaysia, yang tidak memisahkan ketiga fungsi diatas, ternyata juga mempunyai kinerja sektor hulu migas yang baik. Negara negara yang juga melakukan pemisahan ketiga fungsi tersebut, seperti: Nigeria dan Aljazair sejauh ini dianggap kurang berhasil karena pemisahan tersebut hanya formalitas dan banyak menghadapi tantangan internal. Sementara Meksiko berpotensi untuk melakukan perbaikan kinerja sektor hulu,  namun efektivitas pemisahan fungsi masih harus diuji mengingat fungsi regulasi (Komisi Hidrokarbon Nasional) baru dibentuk pada tahun 2008. Perlu dicatat bahwa dari sepuluh negara yang dijadikan sampel pada studi ini, semua NOC nya mempunyai  bagian yang sangat besar terhadap produksi minyak domestik mereka.

Model tata kelola dari negara lain ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran. Keinginan untuk ´´mensterilkan´´ Pemerintah dari kemungkinan tuntutan di arbitrase internasional ketika terjadi sengketa bisnis dengan tidak terlibat langsung sebagai pihak yang berkontrak perlu dikaji dengan seksama. Perkembangan belakangan menunjukkan bahwa model Business to Business (B 2 B) tidak selalu menjamin bahwa Pemerintah bisa sama sekali steril. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi sengketa antara ExxonMobil vs. PDVSA untuk salah satu blok di Venezuela dimana Pemerintah Venezuela juga dituntut oleh Exxon Mobil, padahal Pemerintah bukan pihak yang berkontrak. Perkembangan sengketa migas internasional belakangan sebaiknya di observasi sebagai bahan pertimbangan nantinya.

Gejala dan akar masalah
Salah satu penyebab maraknya berbagai isu migas ditanah air adalah kegagalan memahami perbedaan antara gejala dan akar permasalahan. Ketika isu cost recovery muncul, banyak yang serta merta menuding bahwa PSC adalah akar masalahnya sehingga harus dicari sistem atau mekanisme baru. Padahal masalah cost recovery ini tidak terjadi di industri migas di negara lain. Seandainya ada masalah mark-up dan semacamnya, yang tentu saja dapat terjadi pada model kontrak migas selain PSC (konsesi dan service contract),  bukankah oknumnya yang harus ditindak?. Kenapa memaksakan penggunaan mekanisme lain yang bisa jadi malah mengakibatkan penurunan penerimaan bagian negara (Government Take)?.

Dalam satu kesempatan workshop dalam rangka pertukaran informasi dan pengalaman dengan negara produsen migas terkait pelaksanaan kontrak migas di masing masing negara. Penulis sempat mengangkat ramainya isu cost recovery di tanah air. Para pakar ekonomi migas dari negara lain tersebut cukup heran, mereka mengatakan: ´´kami tidak ada masalah dengan cost recovery, kalau ada indikasi penggelembungan biaya dan terbukti, tentu kami kirim ke penjara´´. Sementara di tanah air, permasalahan ini dijawab dengan mencari cari model kontrak migas lain. Siapa yang menjamin tidak akan terjadi masalah yang sama?. Rupanya kita lebih memilih membakar lumbungnya ketimbang membunuh oknum tikusnya.

Kisruh migas nasional ini sebenarnya dapat dicegah seandainya keberpihakan pemerintah terhadap NOC (dalam hal ini Pertamina) terus di prioritaskan dalam rangka meningkatkan bagian produksi Pertamina terhadap produksi nasional. Ada beberapa keuntungan apabila Pertamina mempunyai partisipasi signifkan dalam suatu blok migas, antara lain: adanya jaminan pasokan energi untuk keperluan domestik dan isu cost recovery akan dapat diminimalkan. Disamping itu, meningkatnya produksi dan cadangan Pertamina akan berpengaruh terhadap posisi tawar menawar mereka di kancah bisnis hulu migas internasional. Adapun tantangan opsi ini yang paling utama adalah masalah keperluan pendanaan yang tentunya tidak sedikit.

Selama ini kisruh cost recovery antara pihak pemerintah dan perusahaan migas internasional lebih disebabkan oleh adanya informasi yang tidak berimbang (asymetric information) antara “orang dalam” (perusahaan migas internasional) dan pemerintah sebagai “orang luar”. Dengan terlibatnya NOC pada suatu blok sebagai mitra perusahaan asing, maka isu cost recovery otomatis akan berkurang karena Pertamina sebagai kepanjangan tangan Pemerintah seyogyanya ikut mengawasi penggunaan biaya dari dalam (internal) sehingga diharapkan tidak ada lagi masalah “informasi yang tidak berimbang” tersebut. Mungkin hal ini pulalah yang menyebabkan kenapa isu cost recovery hampir tidak terdengar di negara produsen minyak lain di mancanegara yang juga menggunakan mekanisme PSC.

Semoga kisruh hulu migas nasional ini menjadi pembelajaran bersama dan sebagai bahan intropeksi bagi semua pihak dalam rangka menuju pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Thursday, August 23, 2012

Migas Non-Konvensional dan Geopolitik Energi di Masa Depan


Di industri migas, adanya migas non-konvensional, seperti: shale oil, oil sand, shale gas, tight sand dan coal-bed methane (gas metana batubara), sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Potensi migas  non-konvensional yang kaya organik di beberapa perusahaan migas selama ini sudah teridentifikasi namun relatif diabaikan karena sangat rendahnya permeabilitas  yang mencerminkan kesulitan untuk mengalirkan migas tersebut.

Sumber daya migas non-konvensional ini sangat besar, berbeda dengan migas konvensional, dimana keberhasilan eksplorasi menjadi salah satu kunci sukses utama. Pada migas non-konvensional karena lokasi sumber daya sudah teridentifikasi, isu utamanya adalah apakah cukup ekonomis memproduksikan akumulasi lapisan tersebut. Aplikasi teknologi perekahan (fracturing) dan pemboran horizontal yang umum digunakan pada sumur migas konvensional, merupakan terobosan dalam rangka memproduksikan akumulasi migas non-konvensional.

Di Amerika Serikat (AS), sejak tahun 2006 produksi shale gas meningkat luar biasa. Hal ini berakibat turunnya harga gas secara dramatis disana. Harga gas spot Henry-Hub, tahun 2006 mencapai 13 $ per mmbtu, saat ini “hanya”  berharga antara  2 - 3  $ per mmbtu.

Adanya “revolusi” gas non-konvensional ini sedikit banyak akan mempengaruhi geopolitik energi. Tambahan produksi gas non-konvensional pada masa yang akan datang akan berpengaruh terhadap rute perdagangan LNG global. Majalah Petroleum Economist (edisi April 2012) menulis ancaman serius shale gas dari AS akan dirasakan oleh LNG Australia yang sedang melakukan investasi besar besaran. Impor LNG dari shale gas di AS diperkirakan akan  lebih murah karena harganya mengacu kepada Henry- Hub yang merupakan harga patokan gas di Amerika Serikat. Sementara harga LNG tradisional umumnya mengacu kepada harga minyak.

Sementara untuk minyak non-konvensional, tambahan pasokan berasal dari shale/tight oil di AS dan oil sand/tar sand  di Kanada. Akibatnya, sebagaimana diperkirakan oleh pakar migas Leonardo Maugeri, produksi minyak AS dalam satu dekade kedepan akan mendekati 12 juta barel per hari, nomor dua di dunia setelah Saudi Arabia. Begitu pula dengan  Kanada,  tambahan produksi minyak akibat  kegiatan migas non-konvensional akan meningkat signifikan, mereka akan menjadi salah satu dari 5 besar produsen minyak dunia. Sementara Brazil pada dekade kedepan, melalui produksi dari wilayah Laut Dalam, produksi minyak (konvensional) mereka akan sedikit diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari produksi saat ini.

Tambahan produksi minyak dunia kedepan akan di dominasi oleh empat negara, tiga dari wilayah Amerika (AS, Kanada dan Brazil), ditambah Irak yang mewakili wilayah klasik Timur Tengah melalui tambahan produksi dari sumur sumur minyak yang di rehabilitasi akibat kerusakan pada masa perang. Meningkatnya aktivitas minyak non-konvensional di AS ini akan secara dramatis mengurangi kebutuhan impor minyak negara tersebut.

Dari beberapa seminar internasional yang dihadiri penulis satu tahun terakhir, tidak sedikit pengamat minyak internasional terkenal berpendapat bahwa implikasi dari tambahan produksi minyak non-konvensional dapat menekan harga minyak. Namun demikian, keekonomian pengembangan migas non-konvensional secara global, pada saat ini memerlukan harga minyak paling tidak sekitar 70 $ per barel. Dibawah harga ini, sebagian proyek migas non-konvensional khususnya diluar AS menjadi kurang menarik.

Sumber daya (resources) migas non-konvensional di dunia sangat melimpah, pertanyaannya: apakah kesuksesan pengembangannya di AS dan Kanada dapat dengan mudah di “copy paste” oleh negara lain? Jawabannya:  tidak, khususnya dalam jangka pendek. Kesuksesan industri migas non-konvensional di kedua negara tersebut disamping tersedianya sumber daya migas non-konvensional yang sangat besar, juga didukung oleh adanya akses terhadap sistem pipanisasi lokal, faktor jarak yang relatif dekat antara lokasi proyek dengan konsumen, ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan penyedia jasa untuk kegiatan hulu migas dan ketersediaan infrastruktur. Adanya kompetisi sesama perusahaan yang terlibat dalam pengembangan gas non-konvensional mendorong terjadinya penurunan biaya. Disamping itu di AS agak unik, berbeda dengan negara lain dimana migas merupakan kekayaan yang dikuasai negara, di AS, migas merupakan kepemilikan privat  (private ownerhip of mineral rights).  Tentu saja faktor harga gas domestik yang tinggi selama periode 2005 - 2008 juga menjadi pendorong sehingga proyek  menjadi ekonomis.

Isu lingkungan

Sejauh ini, tantangan yang dihadapi pada saat pengembangan migas non-konvensional adalah isu lingkungan. Penggunaan teknologi fracturing yang sangat intensif melalui injeksi air dan zat kimia tambahan ke dasar sumur dengan volume yang besar besaran diyakini beberapa pihak akan menyebabkan kerusakan dan kontaminasi air tanah serta masalah lingkungan lainnya. Beberapa negara khususnya di daratan Eropa sangat serius menangani isu lingkungan ini. Perancis mengeluarkan larangan kegiatan fracturing untuk eksploitasi shale gas sampai ada teknologi yang dianggap lebih akrab lingkungan. Eksploitasi minyak non-konvensional, seperti: oil sand juga menghadapi tantangan serupa, mengingat emisi karbon relatif lebih besar dihasilkan oleh minyak non-konvensional. Pada saat ini, isu lingkungan sedang dicarikan solusinya, termasuk kajian seberapa jauh kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan fracturing.

Pembelajaran

Dalam satu dekade kedepan, diperkirakan peta geopolitik energi akan berubah, salah satu faktor penyebabnya tak lain adalah revolusi pada industri migas non-konvensional. Pembelajaran apa sekiranya dapat kita petik dari negara yang diperkirakan akan memberikan tambahan pasokan minyak secara signifikan pada masa datang, seperti: Brazil dan AS.

Dari pengalaman negara tersebut, tampaknya diperlukan suatu pemicu agar suatu kebijakan energi secara umum dan terobosan peningkatan produksi migas secara khusus akan berhasil pada masa depan. Sebagai ilustrasi: kisah sukses industri migas di Brazil berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di darat tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan minyak disana. Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan secara lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak. Dalam rangka mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa yang akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan meluncurkan program bahan bakar ethanol. Pajak bahan bakar minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan menghindari pemborosan bahan bakar minyak.

Pemerintah pada saat yang sama mendorong perusahaan minyak nasional (Petrobras) untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan minyak domestik. Tahun 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas. Petrobras di privatisasi, hak monopolinya kemudian dicabut. Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan mengatur kegiatan baik hulu maupun hilir. Deregulasi ini bertujuan agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam.
 
Prinsip “bersakit sakit dahulu” ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak pada saat itu mencapai 1.2 juta barel per hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan berproduksinya lapangan lapangan baru dari lokasi laut dalam tersebut.
 
Terobosan shale gas di AS tidak terlepas dari pemicu yang membuat mereka menderita, yaitu: tingginya harga gas pada tahun 2005 serta kekhawatiran impor LNG akan terus meningkat pada saat itu. Padahal dari sisi insentif pajak, sejak tahun 1990-an sudah ada insentif untuk pengembangan migas non-konnvensional. Insentif saja rupanya tidak cukup, perlu pemicu yang membuat orang menjadi was – was sehingga “terpaksa” menjadi kreatif dengan terobosan aplikasi teknologi dan lain lain.

Belajar dari pengalaman diatas, untuk kasus di tanah air, kelihatannya sekedar himbauan penghematan dan lain lain, rasanya  akan kurang effektif. Untuk urusan kebijakan energi, bangsa ini perlu pemicu yang mungkin pada awalnya tidak terlalu nyaman. Dalam posisi yang kepepet, dorongan kreativitas dan optimalisasi sumber daya dan usulan kebijakan seharusnya bukan lagi pada tatanan wacana tetapi sudah menjadi kewajiban yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Sehingga kita tidak hanya menjadi penonton dan semakin sangat tergantung terhadap impor energi di masa depan.
 
 

Wednesday, April 11, 2012

Buku: Ekonomi Migas

Insya Allah segera terbit, sedang finalisasi sambil mencari penerbit.

Thursday, March 15, 2012

Domestic Market Obligation

Lihat rekaman Metro TV : "sarasehan anak negeri - menyelamatkan negeri auto pilot"

Bingung juga lihat pengamat kawakan migas, ternyata masih kurang paham tentang Domestic Market Obligation (DMO) di Kontrak Migas (PSC) Indonesia. Siapa tahu tulisan ini bisa memberi sedikit pencerahan...

"salam_anak_negeri"


Link tulisan saya tentang DMO di Scribd:
http://www.scribd.com/doc/85448198/DMO


Monday, January 09, 2012

Worldwide Petroleum Fiscal Regimes Development: Observations and Trends

Disela sela liburan "home leave" (7 Dec 2011 - 6 Jan 2012) kemaren, saya sempat diminta presentasi di beberapa tempat, antara lain: BPMIGAS, IATMI/ATM ITB, Pertamina Upstream dan pagi sebelum kembali ke Wina, masih sempat presentasi di Pertamina Pusat.

Ada beberapa permintaan terpaksa tidak dipenuhi karena harus berada diluar Jakarta bertemu dengan kerabat dan handai taulan.

Senang bisa bertemu dengan kolega lama, sebagian sudah jadi Boss tentunya, Lumayanlah bisa sharing informasi sekaligus silaturahmi;

Bahan presentasinya dapat dilihat disini: