Friday, December 29, 2006

Windfall Profits Tax - Kasus Algeria

Lagi cuti nih, tapi tetap rutin buka buka email, tadi pas cek email, ada email dari nona - orang library, mengenai special report dari Barrows terkait dengan windfall profit tax di Algeria. Nona selalu mengirim email “latest edition”, baik berupa special report, publikasi, paper, etc yang terkait dengan upstream petroleum contract dan petroleum economics.

Rencana Algeria mau mengenakan windfall profit tax sudah banyak dibahas mass media, cuma detail berapa besar tax-nya, apakah fix atau sliding scale belum ketahuan karena masih digodok disana. Kalau rajin mengikuti berita upstream, kita sering dengar gimana menteri pertambangan dan energi: Dr. Chakib Khelil menjelaskan kesana kemari mengenai latar belakang windfall profit tax atau exceptional profit tax ini. Ini salah satu komentarnya: “… It is a tax which has been imposed given the exceptional profits made by the companies which led to the disequilibrium between the interests of the companies and the state. When the companies signed the contracts the price of oil was $15”.

Tax “rezeki nomplok” ini baru akan dikenakan kalau harga minyak diatas $30 per barel (patokannya Brent Crude) dan berlaku untuk kontrak yang telah berjalan. Tentu perusahaan minyak keberatan, tapi seperti Mr. Khelil bilang: ini sovereign decision!. Apa nanti investor akan kabur?, seperti di kita khan, bentar bentar ketakutan diancam investor kabur, untuk kasus Algeria ini, kita lihat saja nanti, pada kabur beneran nggak sich?, kita tunggu aja, sekalian buat bahan pembelajaran.

Menurut undang undang di Algeria, bentuk partnership antara Sonatrach dengan perusahaan asing bisa dalam bentuk: commercial company, joint venture, production sharing contract dan risk service contract. Apapun bentuk partnershipnya, partner-nya Sonatrach (foreign company atau investor) bisa mencapai share produksi per tahun sampai 49%. Perhitungan share produksi investor sendiri sebenarnya cukup ribet, karena ada formula sendiri, yaitu: Pi = K*a – b, dimana K sendiri adalah koefisien yang besarmya kurang dari satu, “a” adalah fungsi dari produksi harian dan “b” fungsi dari V/I dimana “V” itu adalah value dari produksi dan “I” itu investment, mirip dengan rasio revenue over cost.

Nah untuk kasus PSC yang kaya gini, maka windfall profit tax-nya sebagai berikut:

Seperti banyak diulas, windfall profit tax ini selalu mengundang pro kontra, kalau IOC pasti ngeluh, khan harga bukan satu satunya determinan, pas harga minyak naik (selalu) diikuti dengan naiknya biaya biaya. Sebaliknya dari sisi government, tentu punya alasan juga, seperti kasus Algeria ini, mereka bilang, lha ini khan kontrak lama, nggak ada investasi apa apa lagi, kalau investasi baru khan ikut undang undang baru, nggak kena dengan windfall profit tax ini, karena di undang undang baru, hal kaya gini udah masuk. Simak komentar Mr. Khelil: ”'Well, look what is the state getting out of $60/ a barrel. It was getting very good at $15 but at $60 it's getting the same thing. So what is going on?”.

Friday, December 15, 2006

Recommended Book

Hari ini baru terima buku, judulnya: Economic Modeling for Upstream Petroleum Projects - A guide to the strategies and techniques for building project evaluation models. Sebenarnya sudah lama mau pesen buku ini, pertama pesen lewat amazon - gagal alias stok nya habis, entah kapan ada lagi. Belakangan saya browsing di internet, ternyata buku ini bisa dibeli online lewat trafford, enaknya lewat trafford, kalau kita pesen, buku baru dicetak, jadi mereka nggak pakai sistem setok, boleh juga!.


Buku ini bagus, khususnya bagi analis junior atau siapa saja yang tertarik mendalami keekonomian proyek upstream migas. Pembahasan dimulai dengan Bab 1 commercial concepts and petroleum contract, di bab ini diulas: konsep government take, government marginal take, elements of royalty/tax agreement dan juga Production Sharing Contract (PSC). Kemudian dibahas juga mengenai rate of return contract, topics on petroleum taxation, risk and uncertainty dan booking reserves.

Bab 2 membahas petroleum finance and accounting, termasuk capital budgeting, full cylcle and point forward economics, incremental economics, depreciation methods, etc. Bab 3 modeling framework and design, nah yang menariknya di Bab 4 - modeling with microsoft excel, dia kasih contoh gimana nge-run economics pakai excel, sebagian pasti kita (sudah) familiar, cuma banyak juga tips yang dia kasih. Maklum karena biasa nge-run, tentu lama lama (dia) punya trik trik atau teknik teknik yang paling effektif. Di Bab 5, modeling applications, dia kasih contoh aplikasi untuk masing masing model untuk PSC, royalty/tax, service contract, sampai contoh nge-run model PSC yang splitnya pake ROR (atau ROR contract).

Kalau Anda sering nge-run economics oil projects - saya kira ada baiknya beli buku ini (atau suruh kantor yang beli dong), karena soft cover, buku ini relatif nggak mahal, sekitar 28 euro. Kalau pas beli buku gini, biasanya suka kepikiran, kapan bikin buku ya?, beli mulu!. Sebenarnya kepingin juga nulis buat buku, bahan bahan sudah banyak yang dikumpulin, tapi biasalah, penyakit males, kayanya perlu waktu luang yang banyak. Kalau sekarang, waktu luangnya belum banyak he he.

Wednesday, December 13, 2006

Cost Recovery & Model Kontrak Perminyakan

Latar Belakang

Belakangan ini masalah cost recovery sering dilansir oleh mass media dan juga dibahas beberapa mailing list, khususnya pemberitaan mengenai cost recovery yang terus meningkat sementara pada saat yang sama produksi terus menurun. Begitu pula diskusi mengenai pro & kontra dengan sistem PSC.

Cost Recovery

Pertama tama, (sebagaimana kita ketahui) secara alamiah sumur sumur minyak itu akan terus menurun produksinya, sebagian besar lapangan lapangan yang beroperasi di RI saat ini merupakan lapangan yang sudah tua (mature) sehingga produksinya akan terus menurun (declining stage). Pada periode decline ini, perusahaan minyak akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan cadangan/lapangan baru, melakukan optimisasi produksi supaya laju penurunan produksi (decline rate) tidak tambah drop atau “terjun bebas”. Dalam kaitannya dengan fase yang terjadi pada lapangan minyak ini – eksplorasi, pengembangan, produksi (plateau, decline) - ada time lag yang cukup lama antara penemuan baru (dalam Wilayah Kerja yang sudah berproduksi) dengan “put on production”, biaya eksplorasi dapat langsung dibebankan karena dalam satu Wilayah Kerja, sementara “manfaatnya” baru dapat dirasakan beberapa tahun kemudian. Dengan demikian, agak sulit membandingkan industri minyak dengan industri secara umum dalam kaitannya dengan “matching cost and revenue”.

Adanya nature bisnis tersebut perlu dipahami untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif namun bukan untuk men-justifikasi bahwa cost recovery yang tinggi itu “dibolehkan”, justru cost effisiensi harus ditingkatkan pada saat tahapan decline ini. Pengeluaran pengeluaran ataupun proyek proyek yang tidak terkait langsung dengan penambahan cadangan dan atau produksi merupakan sasaran untuk cost reduction. Disinipun kita harus berhati hati, karena pada saat mature stage ini, lapangan lapangan tua tetap perlu maintenance peralatan atau mungkin mengganti fasilitas sarana penunjang karena umurnya sudah tua. Disinilah dilematisnya, apabila tidak dilakukan penggantian atau perbaikan, bisa jadi akan menimbulkan masalah lingkungan yang serius (pencemaran, dsb-nya), sebaliknya apabila dilakukan penggantian, tentu akan menimbulkan tambahan beban cost recovery.

Namun demikian, tentu kita tidak perlu berkecil hati, masih banyak upaya yang bisa dilakukan dalam rangka menekan cost recovery, khusus untuk international oil companies yang cukup banyak menggunakan tenaga asing (TKA), pada saat declining stage ini sebenarnya saat yang tepat untuk melakukan pengurangan TKA secara signifikan. Maksimalkan ahli Indonesia yang saat ini malah berkeliaran di LN, padahal saya yakin dengan fasilitas dan benefit yang sedikit dibawah apa yang diterima expatriate tersebut, banyak “legiun asing” kita yang siap kembali berkiprah di tanah air.

Hal yang perlu juga dipahami bahwa makin tinggi cost recovery, tidak hanya merugikan host country (dalam hal ini RI) tetapi Kontraktor juga tidak diuntungkan. Timbul pertanyaan, siapa yang untung?, jawabnya gampang: oknum, bisa oknum di KKKS, di perusahaan jasa (service company) dan tentu bisa juga oknum dari host country sendiri.

Bagaimana mengontrol biaya, kenapa kok jadi susah?, ditempat lain (negara lain) yang pakai PSC, kok nggak ribut ribut?, menurut pendapat saya, cara yang paling praktikal menekan timbulnya inefisiensi di KKKS itu adalah kerjasama antara host country (dalam hal ini diwakili BP Migas, Ditjen Migas, etc ) dengan KKKS – kenapa harus bekerjasama?, ya seperti saya sebut sebelumnya, dua duanya akan rugi kalau ada “mark-up” cost (sebenarnya saya lebih suka menggunakan istilah “inefisiensi” ketimbang mark-up), dengan bekerjasama, “oknum” tadi dari awal sudah bisa dibaca “akrobatnya”. Inefisiensi tersebut bisa dalam bentuk proyek proyek yang tidak ada nilai tambahnya. Saya kira mencegah mark-up dari awal lebih effektif daripada mengotak ngatik mark-up yang sudah terjadi. Jadi, bantuan dari kolega di KKKS untuk melaporkan kemungkinan proyek mengandung unsur “mark-up” sangat membantu, tentu saja ini harus ditindaklanjut oleh pihak yang berwenang, kalau tidak si pelapor merasa, “ah capek capek aja, nggak ada follow-up nya”.

APAKAH PSC PERLU DIGANTI MODEL YANG LAIN?

Model Kerjasama Kontrak Perminyakan

Belakangan timbul wacana untuk melihat model kontrak lain selain PSC, saya kira ini hal yang positif, ada keinginan untuk membandingkan dengan model kerjasama lain, apa plus minus-nya.

Model kontrak atau kerjasama perminyakan antara host country (HC) dengan oil companies dapat dibagi menjadi tiga jenis: Concession (belakangan lebih popular dengan istilah Royalty/Tax, Production Sharing Contract (PSC), kadang disebut juga Production Sharing Agreement (PSA) dan terakhir Service Contract. Setiap negara tentu punya alasan jenis kontrak mana saja yang akan dipilih, tidak heran kalau suatu negara bisa saja punya lebih dari satu macam model kontrak, malah bisa saja 3 jenis kontrak tersebut tersedia.

Banyak hal yang membedakan model kontrak/kerjasama tersebut, baik aspek legal (transfer of ownership), pengakuan cadangan dan metoda pembagian revenue antara negara dengan perusahaan minyak. Dari segi transfer of ownership, sistem royalty tax yang paling ekstrim, dalam arti kepemilikan minyak tersebut di transfer ke perusahaan minyak, perusahaan timbul kewajiban untuk membayar royalty dan tax. Bagaimana dengan sistem PSC?, pada dasarnya “ownership” (kepemilikan) aset minyak tetap berada di host country, namun demikian, contractor dapat memiliki bagiannya (berupa profit oil dan cost recovery). Perbedaan utamanya adalah: dimana terjadinya point of transfer of ownership tersebut, jadi dalam sistem PSC, transfer of ownership bagian contractor terjadi pada point of export, sementara, kalau sistem royalty tax, point of transfer langsung terjadi di wellhead (kepala sumur). Bagaimana dengan sistem service contract, secara umum dalam model service contract, tidak terjadi transfer of ownership, walaupun di beberapa jenis risk service contract, dimungkinkan terjadinya sebagian transfer of ownership.

Bagaimana kalau dilihat dari aspek pengakuan cadangannya (reserves recognition)?, kalau kita melihat dari perspektif perusahaan minyak, degree of reserves recognition ini berbanding lurus dengan degree of ownership, dengan demikian, kalau kita urut, akan seperti ini: service contract, PSC, royalty tax. Makin kearah royalty tax makin besar degree of reserves of recognition-nya.

Bagaimana kalau kita lihat dari aspek metoda pembagian revenue? Untuk sistem royalty tax, secara umum host country hanya memperoleh royalty dan tax. Sementara sistem PSC, host country akan mendapat royalty, profit oil dan tax. Tentu hal ini tidak berlaku umum, sebagian PSC tidak mengenakan royalty, untuk kasus RI, kita menggunakan FTP, mirip royalty hanya saja FTP ini dibagi antara negara dengan perusahaan minyak. Sedangkan service contract, pada dasarnya semuanya akan masuk ke pundi negara, negara hanya me-reimburse atau me-recover biaya biaya termasuk bunga yang diizinkan plus fee atau remuneration.

Service contract tentu paling menarik bagi host country dan kurang menarik dari sisi investor, umumnya deal service contract terbatas untuk proyek proyek dalam rangka peningkatan produksi, sehingga resikonya lebih kearah resiko kegagalan teknologi dibanding resiko eksplorasi. Kalau kita mau menawarkan Wilayah Kerja baru, tentu tidak menarik kalau menawarkan model service contract, mungkin tidak ada investor yang tertarik. Jika ingin menggunakan model service contract untuk kasus RI, terbatas pada pengelolaan lapangan lapangan tua, lapangan marginal, aplikasi teknologi EOR dan proyek proyek terkait dengan production enhancement.

Bagaimana dengan sistem royalty tax dengan PSC?, apalagi belakangan banyak yang menyarankan “daripada cost recovery naik terus, susah dikontrol, lebih baik kita pakai sistem royalti saja”. Mari kita lihat lebih jauh: seperti dibahas sebelumnya, didalam sistem royalty tax, negara tidak mendapat bagian profit oil, jadi hanya memperoleh royalty dan tax. Masalah akan timbul apabila ternyata terjadi kenaikan harga minyak yang tinggi atau ternyata cadangannya sangat besar, maka negara tidak dapat apa apa dari “rezeki nomplok” ini, paling paling pajaknya meningkat. Di beberapa negara, kalau ada kejadian seperti ini, biasanya host country mengenakan tambahan pajak berupa windfall profit tax.

Kalau kita analisa lebih jauh, secara arimatika hampir tidak ada bedanya, artinya kita bisa mendisain suatu fiscal system yang memberikan keekonomian yang sama persis, apapun bentuk kontraknya. Jadi tidak bisa dikatakan PSC memberikan keekonomian yang lebih baik dari royalty tax atau sebaliknya, tergantung berapa besaran royalty, tax dan profit oil split. Dengan simulasi, kita bisa membuat Government Take yang sama persis antara sistem royalty tax dengan PSC. Begitu pula dari sisi IRR, misalnya kita mau IRR contractor sekitar sekian persen, dengan simulasi kita kita dapatkan berapa royalty dan tax untuk model royalty tax dan berapa royalty, profit oil split dan tax untuk model PSC. Oleh sebab itu jangan heran kalau ada yang mengatakan, royalty tax dengan PSC bisa sama baiknya secara keekonomian lapangan.

Perusahaan minyak lebih suka yang mana? jelas lebih suka royalty tax, pertama karena masalah reserves recognition tadi, kedua sistem royalty tax biasanya sedikit intervensi dari host country. Kalau kita mundur ke history, sebenarnya sistem PSC ini didisain untuk memperbaiki sistem konsesi (royalty tax). Tujuannya agar host country ikut terlibat dalam me-manage SDA yang vital ini. Tidak hanya percaya saja dengan investor, dengan imbalan menerima royalti dan tax. Kalau kembali ke sistem royalty tax, apakah ini bukan suatu langkah mundur?

Hubungan antara cost recovery dengan model kontrak

Saya melihat sering terjadi kesalahpahaman dalam konteks mekanisme cost recovery kaitannya dengan model kontrak, khususnya pada saat membandingkan sistem royalty tax dan PSC. Secara definisi, mekanisme cost recovery ini ada dalam sistem PSC, sementara tidak umum digunakan dalam sistem royalty tax (karena didalam sistem royalty tax istilah yang lebih sering digunakan adalah cost deduction). Sehingga orang beranggapan, dengan mengganti PSC menjadi sistem royalty tax, maka masalah membengkaknya cost recovery akan teratasi, atau yang lebih ekstrim lagi menyatakan cost recovery hilang, dengan demikian kita tidak perlu repot lagi mengurusi cost recovery. Saya pikir ini kesimpulan yang menyesatkan.

Kalau kita lihat dalam perspekstif kemungkinan kecenderungan terjadinya “inefisiensi biaya”, bukankah sistem royalty tax ini akan lebih mudah dimanfaatkan oleh oknum oknum untuk membengkakkan biaya karena sedikit atau tidak adanya intervensi atau kontrol dari host country?. Jadi pemikiran bahwa perusahaan minyak akan menekan biaya dengan sistem royalty tax dibandingkan dengan sistem PSC merupakan kesimpulan yang sangat diragukan kebenarannya, karena masalahnya bukan di mekanisme sistemnya, tapi pada oknumnya.

Kaitan antara model kontrak dan upstream cost

Studi Alomair, Attar (2004), melihat kaitan antara model kontrak dengan Finding & Development cost (F&D cost), mereka membagi menjadi tiga kelompok: low, medium dan high cost berdasarkan database upstream cost around the world dan analisa statistik, Kesimpulannya: negara negara yang masuk kelompok low cost cenderung menggunakan tipe Service Contract, yang medium sebagian besar menggunakan PSC dan beberapa menggunakan royalty tax, sedangkan yang high cost umumnya menggunakan sistem royalty tax. Dalam studi ini RI masuk kelompk medium cost. Sementara sebagian besar negara Middlle East, masuk kelompok low cost.

PENUTUP & SARAN

Kalau kita melihat secara global, negara negara yang menggunakan PSC dan royalty tax hampir sama banyaknya, PSC 63 negara, royalty tax 58 negara, service contract 11 negara (Johnston, 2005). Kalau kita kaji lebih jauh lagi, penganut royalty tax, sebagian besar negara Eropa, Middle East (sisa konsesi dulu yang masih berlangsung, seperti: Neutral Zone, Sharjah, Abu Dhabi, Fujairah, Dubai, Ajman) dan beberapa negara Afrika yang secara propectivity kalah bersaing dengan negara tetangganya. Pada dasarnya pemilihan negara tersebut terhadap model kontrak royalty tax adalah dalam rangka menarik minat investor (berangkat dari asumsi bahwa IOC akan lebih tertarik sistem royalty tax ketimbang PSC), sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertimbangan cost effisiensi apalagi dalam rangka pencegahan potensi terjadinya mark-up.

Kembali ke pertanyaan awal apakah model kontrak PSC sebaiknya diganti model kontrak lain? Berdasarkan pembahasan diatas, melihat plus minus masing masing model, Menurut saya TIDAK PERLU diganti, yang perlu dilakukan adalah meng – improve terms and conditions sehingga lebih flexible.

Secara global, model kontrak PSC paling bisa diterima baik oleh host country maupun international oil companies (IOC). Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah membuat terms and conditions yang tidak fixed dalam arti sistem tersebut berubah seiring dengan berubahnya parameter tertentu (sliding scale), parameter tersebut bisa berupa: profitability, “R” factor, production, oil prices, etc.

Terkait dengan cost effisiensi, perlu didisain suatu terms and conditions yang mengakomodasi reward and punishment sehingga ada motivasi contractor untuk melakukan cost saving. Sebagai contoh, ada model PSC yang membatasi suatu cost recovery sampai X%. Namun demikian, apabila Contractor dapat melakukan saving, sehingga cost recoverynya turun menjadi (X-S)%, maka S% cost saving ini akan memperoleh profit oil split yang lebih baik bagi Contractor.

Terkait dengan wacana untuk membuat model pembagian berdasarkan Gross Revenue, yang bertujuan agar host country tidak sibuk mengurusi cost recovery lagi. wacana seperti ini tentu perlu dikaji lebih jauh, sistem seperti ini sangat jarang atau mungkin tidak pernah ditemui lagi, dulu Peru pernah menggunakannya. Pembagian seperti ini dapat menjadi “pisau bermata dua”, baik bagi host country maupun investor. Bagi host country, ketika gross revenue naik (entah karena harga minyak melambung atau karena produksi meningkat), maka secara persentase dari Gross Revenue, cost recovery akan turun secara signifikan. Implikasinya, Contractor take (atau keuntungan Contractor) akan meningkat tajam. Namun demikian, apabila Gross Revenue turun, cost recovery secara persentase dari Gross revenue akan meningkat tajam, akibatnya, Contractor Take akan turun drastis juga.

Disamping itu, sistem seperti ini akan cenderung “regresif” karena semakin tinggi profitabilitas, semakin rendah Government Take (GT) (persentase porsi pendapatan host country terhadap profit). Jika dibandingkan dengan PSC standard, GT akan konsisten sebesar 85% - 88%, maka dengan sistem pembagian berdasarkan Gross Revenue, GT akan semakin menurun dengan meningkatnya keuntungan. Dengan demikian apabila ternyata harga minyak melambung atau produksi meningkat tajam, sistem ini akan memberikan hasil yang lebih buruk dibanding PSC standard. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih mendalam mengenai kemungkinan kemungkinan ini, jangan sampai hanya alergi dengan yang namanya cost recovery, kita membuat "sistem baru" yang malah berdampak buruk terhadap porsi pendapatan pemerintah (GT).

Kajian lebih mendalam juga harus dilakukan khususnya masalah pajak dan lain lain, dengan metoda pembagian berdasarkan Gross Revenue, Contractor seolah oleh tidak membayar pajak, akan timbul masalah di home country-nya, seperti yang pernah terjadi pada PSC generasi sebelumnya.

Semangat untuk mengubah terms dan conditions ini tentu tidak terlepas dalam rangka mengoptimalkan porsi pendapatan RI tanpa men-discourage investor. Secara umum dapat diterima bahwa semakin meningkat profitabilitas seyogyanya semakin meningkat pula persentase “Gov Take (GT)”. Jadi, untuk menguji apakah suatu sistem fleksibel terhadap profitabilitas, dapat dilakukan dengan membuat plot antara profitabilitas dengan “Gov. Take”, sistem yang “baik” itu dimana “Gov. Take” secara persentase harus naik proporsional terhadap profitabilitas atau dikenal dengan sistem yang "progresif" yang sekarang banyak berkembang dalam model model PSC yang muncul belakangan ini.

Wednesday, December 06, 2006

Workshop Financial Market dan Harga Minyak

OPEC-EU Workshop on the Impact of Financial Markets on the Price of Oil di Hofburg (Vienna Imperial palace) tuntas sudah, workshop yang berlangsung 2 hari ini dibagi jadi 7 sesi, dimana tiap sesi ada 4 pembicara, memang dari segi materi yang di cover sangat komprehesif, tapi akhirnya sangat minim waktu diskusi atau tanya jawab. Menurut saya sich pembicaranya kebanyakan. Malah ada satu sesi yang nggak sempat pake tanya jawab, karena waktunya terlalu molor..

Hofburg

Sesi yang dibahas meliputi: oil trading- the interaction between the physical and paper markets, the structure of the future markets, new players in the market (hedge funds and institutional investors), financial markets - identifying & measuring price impact, recent developments in the financial oil market, the multiple role of financial institutions in the oil market.

Yang menarik dari workshop2 opec itu adalah Sekretariat selalu mengundang pembicara dari semua pihak pihak berkepentingan, sehingga kita bisa langsung mendengar pendapat yang bertolak belakang satu sama lain, tentu dengan argumen masing masing. Seperti workshop ini, semua pihak yang terlibat ikut, mulai dari: oil companies, investment banks, stock exchanges, regulators, research institutions, hedge funds, pension funds, producers and inter-governmental agencies. Jadi nggak heran kalau banyak pendapat yang simpang siur, disitulah enaknya, jadi kita bisa “mengadu” pembicara secara langsung.

Pada akhirnya, hal yang paling sulit itu saat menentukan apakah spekulasi itu mempengaruhi kenaikan harga minyak?, Dr. Samiei dari IMF tegas dalam presentasi studinya menyatakan bahwa spekulasi tidak secara sistematik mempengaruhi harga minyak. Pada saat yang sama, Dr. Naini yang juga konsultan opec, meyatakan bahwa ada korelasi antara kenaikan harga minyak dengan aktivitas spekulan khususnya apabila menggunakan data tiga tahun belakangan ini.

Tentu banyak juga hal hal yang disepakati, diantaranya: semua sepakat bahwa financial market memicu oil price volatility, bahwa struktur future market membuat terjadinya mekanisme “price discovery” dan “price transparency”. Workshop juga melihat fenomena meningkatnya interaksi antara paper dan physical market.

Salah satu kesimpulan standard (seperti juga sering kita temui pada saat melakukan workshop atau forum di tanah air) yaitu: perlu ditindaklanjuti dengan workshop berikutnya dengan focus yang lebih spesifik… jadi bakalan ada workshop lagi dong he he..!


Suasana Workshop
(taken from PRID OPEC)

Friday, December 01, 2006

Harga minyak & futures market

Mulai senin minggu depan (4 -5 Desember) ada workshop menarik di Vienna, judulnya OPEC-EU Workshop on the Impact of Financial Markets on the Price of Oil, workshop akan berlangsung selama 2 hari, ini merupakan kerjasama antara OPEC dengan uni Eropa (EU), sebelumnya sudah sering ngadain kerjasama dalam bentuk workshop, macem macem topiknya, kali ini fokus ke futures market. Kalau lihat agendanya – kelihatannya cukup seru, karena pembicaranya mewakili semua pihak yang terlibat, mulai dari energy producer, consumer, financial institution, trading advisor, etc.

Ini workshop yang saya tunggu juga - pingin tahu lebih banyak mengenai futures market ini, dulu saya tertarik dengan yang kaya kaya gini, sempat banyak baca buku2 mengenai options, futures, financial & capital market, etc. Malah sempat ikut ikutan temen2 ngambil ujian kompetensi untuk dapet sertifikat wakil manajer investasi segala (sekitar tahun 1997) - lulus!, sayang nggak pernah kepake itu sertifikat, abis keburu krismon - dulu pingin ngerasain kerja di sekuritas, rupanya nggak kesampaian. Paling nggak istilah istilah futures market sudah pernah dengerlah - nggak gelap2 amat!.

Salah satu tujuan workshop ini khan supaya lebih familiar mengenai kaitan antara harga minyak dengan kegiatan di “paper market” (pake istilahnya demikian untuk ngebedain dengan “physical trading”). Buat OPEC ini hal yang relatif baru, kayanya nggak banyak yang paham banget di sekretariat sini dengan kaitan tersebut, ada 2 teori sich: ada yang bilang nggak pengaruh - ada yang bilang pengaruh, ya biasalah. Belakangan khan aktivitas ”paper market” ini meningkat tajam, padahal sebagian besar pelakunya ini khan nggak ada urusan dengan physical crude, nah (katanya) ditenggarai paper market ini ikut memainkan harga minyak, khususnya spekulan itu. cuma itu juga dibantah sama pakar yang lain, jadi yah, masih belum ketahuan ujungnya, makanya biar lebih paham perlu workshop2 yang kaya gini. Siapa tahu spekulan bisa dijadikan kambing hitam baru sebagai penyebab harga minyak naik/turun he he.. selama ini yang dijadiin kambing hitam khan opec mulu...

Kalau yang tertarik latar belakang teori lebih detail, monggo mampir ke websitenya nymex dan websitenya commodity futures trading commission. Penting dipahami bawa futures market tujuan utamanya untuk hedging dan risk management dan tentu saja banyak pemain di futures market punya motif lain selain hedging tadi, apalagi kalau bukan spekulasi. Jadi pemain yang beraksi sebagai spekulator ini bukanlah produser ataupun konsumer komoditi tersebut, mereka mengambil resiko melalui trading di futures market dengan harapan memperoleh profit dari perubahan harga komoditi tersebut. Kehadiran spekulator sebenarnya baik juga, karena mereka juga membantu likuiditas pasar.

Ada beberapa istilah yang harus dipahami, pertama istilah long position (beli) dan short position (jual), long position diambil karena adanya ekspektasi komoditas tersebut harganya akan naik, sementara short position diambil kalau ekspektasi harga akan turun pada saat kontrak jatuh tempo. Jadi long position- ambil posisi beli pada harga saat ini, (karena ekspetasi harga akan naik) pas jatuh tempo - ada profit jadinya. Sementara kalau short position, ambil posisi jual dengan harga saat ini, (karena ekspetasi harga turun), akibatnya pas jatuh tempo - ada "profit", kira kira gitulah.

Ada lagi istilah Net Position: selisih antara open long contracts dengan open short contracts yang dimiliki oleh pelaku (trader) dalam satu komoditi tertentu. Istilah yang sangat penting lainnya adalah, Open Interest: total jumlah futures contracts long atau short yang belum di likuidasi oleh offsetting transation atau delivery, gampangnya yang masih outstanding, kadang disebut juga Open Contracts atau Open Commitments. Kemudian ada juga istilah commercial dan non-commercial traders, kalau yang commercial trader mereka menggunakan futures market untuk tujuan hedging, sedangkan non-commercial - ya bukan buat hedging, makanya non-commercial ini jadi proxy untuk memperkirakan spekulator.

Kembali ke kaitan antara aktivitas futures market dengan oil price ini gimana? ya orang nebak nebak nih, apa ada korelasinya, apa ada hubungan sebab akibat, atau sesuatu yang kebetulan. Nah seperti yang saya bilang diawal tadi, pendapatnya masih macem macem, biar ada gambaran saya tampilkan beberapa plot.



Lihat lihat gambar dulu lah, belum (bisa) bikin kesimpulan, siapa tahu dari workshop dapet gambaran yang lebih jelas, atau malah tambah nggak jelas.. we'll see...!

Saturday, November 18, 2006

Guidelines for Comment

Dari website SPE (Society of Petroleum Engineers) – sebagaimana kita ketahui, SPE (bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya, seperti: WPC, AAPG dan SPEE) saat ini sedang membuat draft revisi untuk Reserves/Resources guideline, revisi ini dilakukan sehuhungan dengan perkembangan teknologi yang lebih canggih dan isu isu yang menyangkut aspek aspek komersial. Proposed 2007 draft –nya dapat dilihat disini.

Sekarang mereka minta masukkan sebelum di finalisasi jadi guideline. Kita tahu persis bahwa reserves/resources ini sesuatu yang vital bagi oil and gas company, jadi ada baiknya kita baca (paling nggak selintas-lah) draft tersebut. Saya tentunya tidak akan meng-cover aspek teknis metoda forecasting reservesnya – serahkan pada rekan rekan kita, geologist and petroleum engineers. Saya lebih focus ke masalah kaitan antara kontrak perminyakan dengan pengakuan cadangannya (reserves recognition).

Sekarang coba kita baca dan komentari - yang saya copy-paste dari website SPE (pake italic font):

PSC Reserves:
Production-Sharing Contracts (PSCs) of various types replace conventional royalty-based systems in many countries. Under the PSC terms, the producers have an entitlement to a portion of the production. This entitlement, often referred to as “net entitlement” or “net economic interest,” is estimated using a formula (based on contract terms) incorporating project costs (cost oil) and project profits (profit oil). Although ownership of the production invariably remains with the government authority, the producers may claim their share of the net entitlement as Reserves.

Jadi dapat kita lihat disini, dalam sistem PSC, ada juga yang namanya transfer of ownership, yang penting itu dimana terjadinya transfer of ownership itu (umumnya sich untuk PSC transfer of ownership terjadi di point of export – bedanya dengan sistem royalty tax dimana transfer of ownership terjadi di wellhead).

Risked-Service Contracts (RSCs) are similar to PSCs, but in this case, the producers are paid in cash rather than in production. As with PSCs, the Reserves claimed are based on the parties’ share of the net entitlement or net economic interest. Care needs to be taken to distinguish between an RSC and a “Pure Service Contract.”

Reserves can be claimed in an RSC on the basis that the producers are exposed to market risk, whereas no Reserves can be claimed for Pure Service Contracts because there are no market risks and the producers act as contractors
.

Jadi bedanya PSC dengan RSC cuma pembayarannya doang, RSC pake cash PSC pake production. RSC bisa juga klaim reserves. Ini masalahnya, service contract itu umumnya emang “pure” service contract bukan RSC - jadi nggak boleh booking reserves, kalau service contract bisa booking reserves, maka dia masuk golongan RSC (tapi RSC ini relatif jarang – banyakan yang pure).

".. the cost recovery system in production-sharing, risk service, and other related contracts typically reduce the production share, and, hence, Reserves obtained by a contactor in periods of high price and increase volumes in periods of low price”

 

Cukup jelas nggak maksudnya?, jadi gini: cost yang dikeluarkan itu berupa uang (dolar), sementara produksi itu khan dalam volume (barrel), jadi pada saat mau bayar cost recovery, harus di konversi dulu cost tadi kedalam volume (barrel), caranya ? bagi aja dengan harga minyaknya – jadi kalau pas harga minyak tinggi, cost recovery (dalam barrel) lebih kecil, sebaliknya kalau harga minyak rendah, cost recovery dalam barel jadi naik. Cost recovery ini khan masuk bagian dari entitlement kontraktor – ya reserves kalau di report-nya contractor.

Sekarang kita lihat sub bab mengenai contract extensions:

As production-sharing or other types of agreements approach maturity, they can be extended by negotiation for contract extensions, by the exercise of options to extend, or by other means. Reserves should not be claimed for those volumes that will be produced beyond the end date of the current agreement unless there is reasonable certainty that an extension will be granted.

Such reasonable certainty may be based on the historical treatment of similar agreements by the license-issuing jurisdiction. Where doubt exists regarding a renewal being granted, forecast production beyond the contact term should be categorized as Contingent Resources with an associated reduced chance of commercialization. Moreover, it may not be reasonable to assume that the fiscal terms in a negotiated extension will be similar to existing terms.

Jadi kontraktor nggak boleh klaim reserves melewati masa kontraknya, kecuali kontraknya udah diperpanjang (resmi) sama government. Yang menarik, kalau masih nggak jelas diperpanjang atau nggak – “remaining reserves” itu masuk kategori “contingent resources”. Lihat kalimat terakhir: umumnya fiscal terms berubah pada saat extention – in favour of host country, kalau sama aja? Itu artinya gov. negotiatornya kurang canggih…


Masih banyak lagi yang di cover sama draft guideline ini, silahkan baca sendiri – dan kalau bisa kasih masukkan, siapa tahu Anda pernah ada case tertentu – justru yang diharapkan tuh masukkan praktisi, yang sehari harinya bergelut dengan hal hal terkait reserves/resources, kontrak dan ujung2 komersial – Guideline SPE (dan WPC, AAPG, SPEE) seperti biasa (nantinya) jadi semacam “pegangan” pelaku migas – very credible!.

Friday, November 17, 2006

Akuntansi Perminyakan

Sekarang kita singgung dikit mengenai aspek akuntansi perminyakan, perlu buat orang yang non-akuntan kerja di sektor migas atau yang akuntan tapi pingin tahu migas. Paling nggak tahulah kalau denger2 istilah akuntansi tanpa harus menjadi expert.

Karena karakter bisnisnya yang unik, Industri perminyakan mempunyai aturan tersendiri dalam penanganan prosedur akuntansinya. Salah satu karakter industri migas adalah adanya jangka waktu yang lama antara investasi awal yang dikeluarkan dengan manfaat yang akan diperoleh.

Ada dua metoda akuntansi yang dikenal dalam industri migas dan diakui oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dan Financial Accounting Standard Board (FASB), yaitu: Full Cost (FC) dan Successful Efforts (SE). Sebelum membahas perbedaan antara kedua metoda tersebut, terlebih dahulu akan dijelaskan komponen komponen biaya utama yang umum terjadi pada perusahaan yang bergerak dalam bidang hulu migas.

Lease Acquisition Costs
Biaya biaya yang berhubungan dengan usaha untuk memperoleh blok, wilayah kerja atau konsesi.

Exploration Cost
Biaya biaya yang berhubungan dengan aktivitas eksplorasi, seperti: seismic, exploration drilling, etc.

Development Cost
Biaya biaya yang berhubungan dengan pengembangan lapangan yang terbukti mengandung cadangan yang komersial, biaya biaya ini termasuk: development wells, wells completion, production facilities, etc.

Operating Cost
Biaya yang berhubungan dengan aktivitas pengangkatan migas mulai dari sumur, sampai ke pemukaan termasuk aktivitas proses pemisahan minyak dan transportasinya, biaya operasi ini akan langsung dibebankan pada tahun berjalan.

Sekarang kita masuk ke metoda akuntansinya, pertama:

Metoda Successful Effort (S.E)

Sebelum tahun 1950 hampir semua perusahaan minyak menggunakan metoda akuntansi Successful Effort (SE), inti dari metoda S.E ini adalah bahwa semua pengeluaran biaya (expenditure) yang tidak memberi manfaat ekonomis dimasa yang akan datang harus dibebankan pada periode terjadinya biaya tersebut, hal ini sesuai dengan teori dasar Akuntansi. Dengan demikian, metoda SE akan membebankan biaya pemboran eksplorasi apabila sumur tersebut (dry hole) pada periode tersebut, namun apabila pemboran tersebut sukses, maka biaya yang telah terjadi dapat dikapitalisasi (dibebankan sejalan dengan waktu manfaat dari aset tersebut). Para pendukung metode ini menganggap bahwa hanya pengeluaran (expenditure) yang berhubungan dengan penemuan prospek migas yang dapat dikapitalisasi.

Metoda Full Costing (F.C)

Metoda FC dikembangkan sekitar tahu 1950-an, inti dari metoda FC adalah bahwa dalam kegiatan migas, kegiatan eksplorasi adalah suatu kegiatan yang sangat vital bagi perusahaan. Tanpa eksplorasi, cadangan minyak tidak akan pernah ditemukan. Mengingat resiko pada tahap eksplorasi ini sangat besar, maka adanya pemboran yang menghasilkan sumur (dry hole) adalah suatu yang tidak terelakan, sehingga metoda ini menganggap bahwa semua biaya eksplorasi baik berhasil maupun dry hole harus dikapitalisasi.



Aspek Akuntansi PSC Indonesia

Metoda akuntansi PSC tidak sama dengan salah satu dari kedua metoda tersebut. Tabel dibawah ini memperlihatkan perbedaan dari metoda akuntansi PSC dengan metoda SE dan FC.


Metoda PSC cenderung mirip dengan metoda SE, perbedaannya adalah: untuk sumur sukses apakah itu sumur eksplorasi atau sumur pengembangan, metoda SE akan menganggap biaya tersebut dikapitalisasi, sedangkan metoda PSC akan membagi dua jenis biaya, yaitu: biaya Tangible dan biaya Intangible, untuk biaya Tangible maka biaya tersebut akan dikapitalisasi sedangkan untuk biaya Intangibe, biaya tersebut langsung akan dibebankan (expensed) pada periode biaya tersebut dikeluarkan.

Dalam sistem PSC, biaya akuisisi tidak dapat di recover (bukan termasuk cost recovery).

Buat yang mau detail, ini referensi yang bagus:

• Johnson, D, Oil Company: Financial Analysis in Non Technical Language, Penwell, 1992
• Gallun, Wright, International Petroleum Accounting, Penwell, 2005
• Haryono, Akuntansi Perminyakan, Penebit Universitas Trisakti, 1998

Tuesday, November 14, 2006

Kontrak yang nol persen buat negara

Kalau kita baca artikel di koran2 beberapa waktu lalu, banyak headline yang bunyinya: “kontrak blok natuna - 0% buat negara”, sekarang coba kita gali lebih dalam headline tersebut.

Kita tentu sangat familiar dengan angka keramat, “bagi hasil” minyak 85 : 15, gas 70 : 30. Disini yang penting dipahami adalah: angka keramat tersebut adalah “after tax profit split”, jadi komponen pajak sudah masuk disana. Pertanyaannya: gimana menghitung before tax profit split?, gampang, yang penting tahu dulu berapa besar tax-nya?. Untuk kasus kita, pajak PSC juga berubah ubah, lihat tabel berikut:


Untuk menghitung before tax profit split, maka dilakukan gross-up (istilahnya demikian). Misalnya untuk contractor, besarnya before tax profit split = after tax profit split / (1 – tax).

Jadi untuk gas misalnya, after tax profit oil split = 70 : 30, maka before tax profit split = 30% / (1 - 44%) = 53.5% (lihat gambar dibawah).


Sekarang kita asumsi, before tax profit split = 100% buat contractor (IOC), maka dengan perhitungan yang sama kita peroleh bahwa after tax profit split = 44 : 56 ( pemerintah 44%, IOC atau contractor 56%).


Nah kalau after tax profit split-nya kaya gini, artinya: profit oil akan masuk ke IOC semua, pemerintah nggak dapet bagian dari profit oil. Contractor (nantinya) akan bayar tax sebesar 44%, sengaja saya selipkan kata (nantinya), karena bayar tax kalau udah dapet income, jadi di tahun awal, tax ya belum bayar… Jadi kira kira gitu yang dimaksud sama headline koran koran tersebut.

Kalau untuk oil gimana ceritanya? Ya samalah, lihat gambar dibawah:


Ceritanya pernah ada yang IOC yang minta insentif, karena kurang ekonomis, dia ngusul supaya split diubah (dalam kasus ini minyak) jadi 40 : 60 (40% pemerintah : 60% kontraktor). Ini jelas usul ngawur, saya bilang ente sama aja ngemplang pajak, wong pajaknya 44%, kalau minta split segitu, udah profit oil ente ambil semuanya (100%), pajak maunya cuma bayar 40% - ya kira kira dong , ini win- win apa malak, emangnya government sinterklas!.

Ada temen yang nanya, gimana kalau pajaknya kita naikin? Masalahnya gini, selama angka keramatnya nggak diubah, apa ada manfaatnya naikin pajak?. Gini ilustrasinya: pajak katakanlah dinaikin jadi 50%, karena angka keramat nggak diubah (85:15 oil, 70:30 gas), yang ada akhirnya, contractor before tax profit split-nya jadi naik, nggak ngaruh buat kontraktor (IOC), malah seneng kali, karena seolah olah dia bayar pajak lebih gede, tapi (ujung2 nya) - hitungan akhir tetap angka keramat tadi. Kalau tax diturunin gimana?, coba tanya mau nggak contractor, nggak maulah mereka, bisa bisa mereka kena tax tambahan di home country-nya sana, karena solah seolah dia bayar pajak lebih kecil disini.

Jadi moral ceritanya gini, kalau tax-nya 44%, maka split 44 : 56 akan memberikan profit oil 100% buat contractor. Tergantung dikontraknya, kalau tax 48%, maka split 48 : 52 akan memberikan 100% profit oil buat IOC. Jadi pemerintah emang nggak dapet apa apa dari profit oil. Kan dapet tax 44%?, iya bener, tapi kapan?, kalau cost nya gede banget, gross revenue ternyata nggak sesuai harapan, kapan bayar pajaknya?.

Agak aneh juga kalau ada kontrak PSC - profit oil-nya nol, kalau yang namanya PSC, pasti adalah pembagian profit oil (antara HC dengan IOC), karena memang itulah spiritnya. Kalau nggak ada pembagian profit oil, cuma bayar tax doang, apa masih pantes disebut PSC…. Sistem Concession aja - disamping bayar tax, IOC masih bayar royalty juga lho.

Monday, November 13, 2006

Melihat Isi Kontrak

Pernah baca kontrak PSC sampai detail nggak ? – sebagian pasti belum, boro boro baca kontrak PSC, kontrak rumah (apartemen) aja nggak pernah dibaca! (apalagi di Vienna sini, kontrak apartemen bahasa Jerman semua, nggak ngertilah apa isinya - yo wis - tanda tangan ajalah he he..). Emang males sich baca kontrak tuh, sudah tebel, bahasanya - bahasa para lawyer semua, jadi ada kesan, urusan kontrak serahkan sama orang legal ajalah. Sebenarnya perlu sich baca kontrak, disamping aspek legal, banyak aspek aspek ekonomis dan teknis yang tercantum, tentunya ini porsinya engineer dan economist (yang harusnya lebih paham).

Apa saja sich isi kontrak, coba kita lihat contohnya (model PSC conventional) dibawah ini:


Dari 17 section diatas, walaupun belum baca detail kontraknya, paling nggak kita kebayanglah hal hal apa saja sich yang di cover sama kontrak tersebut. Sebagian malah udah nggak perlu penjelasan lagi (self explanatory), tapi tetap perlu kok untuk dibaca detailnya. Khusus yang bukan background legal, saya kira yang kudu dibaca itu adalah “main elements of the contract“, jadi yang terkait dengan hitungan keekonomian, ini contohnya:


Kalau Anda baca kontrak perminyakan di seluruh dunia ini, isinya hampir mirip mirip aja, dalam hal format kontraknya- ya itu itu aja contain-nya. Paling bedanya di aspek finansial, kaya: bonus, royalty, taxation, depreciation, profit oil split, DMO, government participation, valuation of crude oil.

Kalau mau bandingin kontrak around the world, tentu kita harus lihat model kontrak beberapa negara, sebagian (kecil) bisa dari browsing internet, tentu nggak komplit. Barrows (ini salah satu konsultan), secara rutin menerbitkan “World Petroleum Arrangement“. Isinya seluruh model kontrak di dunia, bisa kebayang kalau bukunya ada beberapa jilid saking banyaknya, tebal tebal lagi (yang versi CD ROM juga ada sich, cuma saya biasanya pinjem Library, yang versi hardcopy), itu pun belum meng-cover semua kontrak dalam satu negara, ya wajarlah. Satu negara bisa punya beberapa model kontrak, satu model kontrak aja tebalnya minta ampun, jadi di Barrows ini pun - biasanya model kontrak yang di cover hanya model yang paling anyar aja, nggak semua.

Tentu kalau kita tertarik untuk membandingkan aspek ekonomis dari beberapa fiscal terms ini, agak pusing kalau kita baca detail kontraknya, biasanya langsung "jump" aja ke "main elements" di gambar diatas. Baru dibuat model economics-nya (excel-nya), nah abis itu, dibanding bandingin - cakepan mana!.

Friday, November 10, 2006

Oilfield Project Economics

Ini introduction - jadi buat yang sudah biasa run field economics, mungkin nggak banyak hal baru, tapi buat beginner dan intermediate (kaya kursus bahasa inggris ya) ini konsep yang penting dipahami. Di akhir kita singgung dikit hal hal cukup advanced.

Gambar-1 dibawah menunjukkan, apa apa yang kita perlukan untuk membuat perhitungan keekonomian. Pertama, tentu kita perlu data cadangan (recoverable reserves), yang penting lagi tentuya bagaimana cadangan ini di refleksikan menjadi profil produksi - kelihatannya gampang, tapi untuk keluar profil produksi yang optimal, ini hasil studi dan diskusi yang panjang para subsurface team (G&G, PE). Kedua, kita juga perlu tahu konsep desain fasilitas, karena biasanya ada beberapa opsi sehingga kita perlu membandingkan konsep mana yang paling optimal, disain fasilitas ini tentunya terkait dengan profil produksi, jumlah dan lokasi sumur, infrastruktur terdekat, terminal, etc.

So pasti kita perlu tahu biaya investasi, berapa yang masuk kategori capital dan non capital, karena yang capital nantinya harus di depresiasi. Kita juga perlu tahu biaya operasi (opex). Selanjutnya perlu asumsi harga minyak, bisa flat selama umur proyek, bisa juga berubah ubah tiap tahunnya sesuai hasil forecast internal. Akhirnya yang paling penting itu bagaimana fiscal / contract terms-nya. Yang paling bagus tuh ya baca sendiri kontraknya gimana, sehingga paham bener terms-nya. Baru setelah itu, kita buat spreadsheet model untuk menghitung parameter keekonomiannya, IRR, NPV etc.

Gambar-1

Gambar-2, anggap kita udah dapet profil produksi, kemudian informasi biaya biaya, harga minyak dan fiscal terms-nya (untuk kasus ini bukan kasus PSC Indonesia), ada beberapa penyederhanaan, depresiasi dianggap straight line selama 5 tahun, bonus dianggap nggak ada .

Gambar-2

Tahap berikutnya, buat spreadsheetnya seperti Gambar-3, sekaligus hitung parameter keekonomiannya, IRR untuk contoh kasus kita (ini IRR nya IOC). Asumsi: 4 tahun pertama eksplorasi, tahun 5-7 periode pengembangan termasuk pembuatan fasilitas produksi, tahun ke -8 baru on-production.

Gambar-3

Dari hasil spreadsheet, kita bisa analisa lebih jauh dengan membuat plot seperti Gambar-4,

Gambar-4

Contoh kita ini kasus yang ideal, dalam banyak kasus, yang warna biru (cost recovery) untuk beberapa tahun awal porsinya gede.

Beberapa yang perlu ditambahkan:

  • Biasanya dilakukan juga sensitivity analysis terhadap: harga minyak, cadangan, investment cost, apa lagi?
  • Untuk cadangan, ada istilah probabilistik dan deterministik, jadi perhitungan ekonomis bisa juga outputnya berupa probabilistik.
  • Dalam contoh diatas nggak ada bonus, kalau ada bonus tinggal masukin aja, bonus tentunya nggak bisa di cost recovery (non cost recovery) tapi umumnya "tax deductible" jadi dia bisa mengurangi taxable income.
  • Tax loss carry forward (TLCF) di contoh spreadsheet (Gambar-3) nggak ada, mestinya sich ada, artinya bila tahun berjalan masih minus, maka bisa di TLCF ke tahun berikutnya.

Tentunya model fiscal terms biasanya lebih kompleks, misalnya profit oil split-nya berupa sliding scale, tapi kalau dituangkan di excel, nggak masalah, apalagi temen temen yang excel nya lebih canggih, tinggal dipasang IF IF aja beres he he..!

Jadi run economics itu sebenarnya simpel aja, yang harus dipahami benar adalah bahwa ini kerjaan integrated team, si economic analyst harus ber-interaksi secara intens dengan team subsurface dan surface facilities untuk memperoleh opsi yang paling optimal, jadi bagusnya tahu dikit dikit-lah aspek teknisnya.

Thursday, November 09, 2006

R/T atau PSC? - again!

Lagi lagi bandingin PSC dengan R/T, anggap aja ini part II dari posting sebelumnya. Kalau ada yang nanya, apa beda utama model RT dengan PSC dari aspek finansial ekonominya? – maka jawabnya gampang: Cost Recovery Limit!

Kenapa? karena model kontrak R/T nggak pernah ada cost recovery limit, gambarannya gini, didalam model kontrak R/T, setelah IOC bayar royalti, sisa Gross Revenue (pada tahun tersebut) bisa dipake semuanya buat ngembaliin biaya yang telah dikeluarkan IOC tersebut. Sedangkan didalam (beberapa) model PSC, biasanya ada cost recovery limit (CRL), tapi ada juga yang nggak pake, kemungkinan2 di kontrak PSC- nya kira kira gini nih:

1. Ada royalty, ada cost recovery limit
2. Ada royalty, nggak ada cost recovery limit
3. Nggak ada royalty, ada cost recovery limit
4. Nggak ada royalty, nggak ada cost recovery limit

Sekedar mengingatkan bahwa, CRL (kita singkat aja ya, males nulis diulang ulang), adalah suatu mekanisme dimana IOC (company lah pokoknya, nggak harus IOC, bisa juga local company), dibatasi pengembalian biayanya sampai sekian persen dari Gross Revenue*) pada tahun berjalan (saya kasih note dikit karena bisa salah interpretasi).

*) yang umum: misalnya disebut CRL 80%, maka limitnya 80% dari Gross Revenue, ada juga (nggak banyak sich) yang mengartikan lain, jadi misalnya CRL 80%, sementara dikontrak ada juga Royalty (katakanlah 10%), maka CRL 80% ini dihitungnya dari Gross Revenue setelah dipotong Royalty. Yang mana yang bener? Yang bener liat dikontraknya, cuma yang umum yang case pertama.

Dari kemungkinan diatas, kemungkinan 1 dan 2 yang paling sering ditemui. Kemungkinan 3 ada tapi nggak banyak, kemungkinan 4, saya belum pernah liat, kalaupun ada jarang sekali, seandainyapun ada, biasanya prospectivitynya rendah, jadi Host Country (HC) nya agak royal sama IOC.

Kemungkinan 4 ini bisa membahayakan HC karena pada tahun tahun awal, udah jelas nggak dapet apa apa, alias bengong!. Semua Gross Revemue dipake buat bayarin cost. Kalau kejadiannya investasi mahal banget, produksi nggak begitu gede, harga minyak pas lagi rendah, ya udah wassalam, bakalan gigit jari terus si HC ini !.

Kalau kemungkinan 3, lumayan banyak, HC nggak mengenakan royalti, tapi tetap dapet jaminan share dari profit oil dengan adanya CRL ini. Jadi HC dijamin dapet share dari awal awal pengembangan.

Kemungkinan 2 ini kasusnya kita, tapi nggak sama persis, karena kalau di kasus PSC kita disebutnya FTP (First Tranch Petroleum) yang mana IOC tetap dapet bagian dari share split-nya, kalau royalty khan 100% masuk ke HC. Saya denger untuk model kontrak yang baru, FTP-nya 100% masuk ke RI, kalau gitu case-nya mungkin lebih baik disebut Royalty aja, karena pemahaman globalnya demikian.

Kemungkinan1 ini biasanya negara yang prospectivitynya tinggi, kaya beberapa negara Middle East dan Afrika, jadi mereka dapet jaminan dari awal pengembangan berupa royalty dan share profit oil.

Gimana sistem R/T, by denition, ya nggak ada CRL, udah pasti CRL = 100%, alias nggak pake dibatas batasin. Kalau suruh milih, IOC jelas lebih suka R/T ketimbang PSC.

Tuesday, November 07, 2006

IOC - NOC

Topik yang hangat, belakangan banyak sekali conference, seminar, workshop yang mengcover subjek diatas. Ketika orang bicara aspek aspek industri hulu migas, seperti: SDM, technology, capital, etc. Pada akhirnya kita akan menuju kemuara siapa yang akan jadi operator(s)nya, maka mau nggak mau kita masuk ke urusan IOC & NOC.

Pertama tama kita masuk ke definisi, gampangnya NOC (national oil companies) adalah company dimana share-nya (sebagian atau seluruhnya) dimiliki oleh pemerintah. Sedangkan IOC (international oil companies) adalah company yang fully private, sharenya dimiliki oleh private entities.

IOC bisa kita bagi jadi dua kelompok, yaitu: Super majors dan "others"; Super majors disini terdiri dari: ExxonMobil, Chevron, Shell, BP, Total & ConocoPhillips, sementara kelompok “others” ini adalah International Oil Companies (IOC) yang relatif size-nya lebih kecil, bangsanya: Talisman, Hess, Anardako, ENI, Marathon dan banyak lagi.

Dari sisi produksi, NOC kontribusinya 50%, "others" 36%, super majors ini “cuma” 14%. Dilihat dari reserves, super majors cuma punya akses 4%, NOC sekitar 71% dan sisanya “others”. (Sumber: materi oxford energy seminar 2006).

Melihat data diatas, agaknya access to resources akan menjadi masalah pada masa yang akan datang, khususnya bagi Super majors. Negara Negara dengan cadangan minyak besar, menutup diri dari masuknya IOC, contohnya Saudi Arabia dan Meksiko, dua negara ini 100% tertutup bagi IOC. Bagaimana negara lain? Rusia sich ada PSC (Sakhalin I, II dan Kharyaga), tetapi nasib PSC di masa yang akan datang kelihatannya masih gelap, paling tidak dalam jangka pendek, access to resources masih tertutup. Iran? Mereka mengundang IOC, cuma pola kerjasamanya hanya “service contract” (Iran buyback), seperti kebanyakan model service contract, booking reserves tidak diperbolehkan. Jadi negara negara yang masuk high prospectivity tertutup buat IOC. Sementara negara yang juga bagus prospectivitynya, biasanya fiscal terms-nya “tough” buat IOC (Libya contohnya).

Bagaimana trend kedepannya?,

Menarik kita lihat papernya Vahan Zanoyan dari PFC Energy, beliau ini banyak menulis makalah yang berhubungan dengan peranan dan keterkaitan NOC dan IOC, berikut saya tampilkan beberapa slides dari makalah beliau yang berjudul: “Evolving Relations Between National and International Oil Companies”, yang disampaikan pada OPEC seminar, 16-17 September 2006.





Apa yang kita bisa petik dari presentasi Vahan ini, pertama, walaupun bisnisnya sama, namun NOC dan IOC punya concern yang beda (gambar 1). Kedua, hubungan IOC dan NOC, bukanlah "kalah-menang" (gambar 2). Ketiga, kesempatan untuk saling kerjasama antara sesama NOC (gambar 3).

Saya pribadi, tertarik dengan gambar 3 ini, in my opinion, pada masa yang akan datang pola kerjasama antara NOC dengan NOC ini akan lebih intens. Bentuknya bisa berupa joint venture disalah satu negara NOC tersebut atau membentuk joint venture di negara lain yang membuka akses.

Sekarangpun sudah mulai kita lihat banyak joint ventures untuk model yang pertama. Contoh menarik untuk model kedua itu adalah joint venture antara 3 NOC; Malaysia, China dan India yang menggarap lahan di Sudan sana.

Itulah singkat cerita mengenai IOC - NOC, bentuknya kaya apa, boleh boleh ajalah, asal jangan jadi VOC aja he he..!

Thursday, October 26, 2006

Indonesian Production Sharing Contract

Akhirnya kesampean juga pingin beli bukunya Pak TN Machmud, "Indonesian Production Sharing Contract - An Investor's Perspective". Pesen lewat Amazon yang di UK harganya 59 poundsterling, sama biaya kirim dan VAT jatuhnya 70 pound. Nggak tahu kalau beli di toko buku di Jakarta, berapa harganya ya?, dulu pernah sempat ngecek tapi nggak ketemu.


Buku ini cukup lengkap cerita mengenai PSC di Indonesia, termasuk beberapa analisa mengenai term yang ada dalam PSC. Ternyata walaupun judulnya Indonesian PSC, didalamnya meng-cover juga PSC Malaysia dan PSC China, sebagai bahan perbandingan.

Karena sub-judulnya ada: "an investor's perspective", kemudian dibahas juga masalah masalah dalam implementasinya dari sudut pandang investor. Sebagai bekas boss ARII dulu, beliau tentu banyak makan asam garamnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan PSC ini.

Karena buku ini keluaran tahun 2000, jadi belum mengcover era UU migas baru yang dikeluarin tahun 2001. Begitu juga dengan beberapa perkembangan PSC di Malaysia yang lebih baru - belum masuk. Namun demikian sebagai referensi bagi yang berminat mendalami PSC Indonesia, saya kira wajib memiliki buku ini, sayangnya buat ukuran kita, harganya relatif mahal euy...

Ada kabar gembira, rupanya Pak Madjedi Hasan (beliau ini tokoh senior perminyakan, akademisi dan praktisi) telah mengeluarkan buku juga mengenai PSC Indonesia. Kabar gembiranya ternyata beliau mau ngirimin saya buku barunya tersebut, pucuk dicinta ulam tiba.

Ceritanya gini, sekitar awal puasa kemaren ada rekan migas yang berkunjung kekantor sini untuk diskusi mengenai fiscal system, ini ada kaitannya dengan rencana pemerintah untuk mengkaji kontrak selain PSC. Pada kesempatan itu rekan migas menyampaikan kalau mereka minta bantuan Pak Madjedi. Saya langsung ingat beliau, dan berpesan nanti kalau ketemu tolong sampaikan salam dan alamat email saya. Minggu lalu saya terima email dari beliau, senang bisa diskusi lagi dengan tokoh senior.

Friday, October 20, 2006

Libya - 3rd round bidding for EPSA

NOC Libya pasang iklan gede di mingguan Upstream (25 Agustus 2006) berupa undangan buat semua perusahaan minyak internasional (IOC) untuk berpartisipasi di putaran 3 EPSA. Putaran ketiga ini ditunggu oleh banyak IOC, seperti halnya putaran 1 dan 2 sebelumnya, lihat posting sebelumnya.

Libya memang jadi sasaran IOC karena prospectivitynya tinggi, cadangan minyaknya (proven reserves) mencapai 39 milyar barel. Wou.!
Libya aktif mengundang investor dalam rangka mengejar target produksi mereka yang diharapkan mencapai 3 juta per hari pada akhir dasawarsa ini, saat ini produksi mereka sekitar 1.8 juta barel per hari.

Dengan prospectivity yang tinggi, banyak yang bilang persaingan IOC akan alot, ada yang bilang fiscal terms di Libya ini termasuk sangat ketat. Menarik mengutip pernyataan Dr. Shokri Ghanem (kita singkat SG - orang nomor satu untuk urusan minyak Libya - beliau ini ternyata alumni OPEC juga, dia pernah kerja buat OPEC secretariat di Vienna akhir tahun 90-an), simak kutipannya wawancaranya dengan PIW, September 25, 2006.

PIW: “Libya is something of a darling of the IOCs right now but they say the terms you are negotiating are very demanding. So how do you see relations developing between the IOCs and countries like Libya that have the big reserves?”

SG: “We didn’t negotiate very tough terms. We did not dictate anything and left it to the oil companies to bid and compete. To tell you the truth, we were nicely surprised in the first and second license rounds to see that in the production split the companies offered us excellent terms, better than what we were expecting. It wasn’t we who decided. Some companies took blocks at a split of 93% to 7%”.

Dengan model competitive bidding, Libya memang tidak menetapkan berapa profit split-nya, silahkan IOC masukin sendiri berani menawar berapa, dari statemen SG diatas, kita tahu betapa IOC menganggap bahwa blok Libya ini sangat prospektif, dengan berani “berkorban” ngambil share yang begitu kecil.

Belajar dari pengalaman 2 putaran sebelumnya, untuk putaran 3 kali ini, penilaian tidak melulu dari profit split, tapi juga dari work commitment dan signature bonus sebagai faktor penentu. Dengan demikian ikut model yang umum sebenarnya - yang biasa dipake worldwide, dimana masing masing faktor tersebut dikasih bobot, kemudian baru di ranking.

Yang menarik dari pengalaman putaran 1 & 2, banyak sekali pemain baru yang ikut dan menang, baik dalam konsorium maupun sebagai sole bidder (termasuk Medco dan Pertamina). SG juga bilang kalau mereka meng-encourage perusahaan kecil untuk ikut, biar pemainnya nggak yang itu itu aja. Mereka khan pernah pengalaman betapa nggak enaknya di embargo sama Amrik, jadi nggak baik tergantung sama beberapa gelintir negara saja. So, kita liat aja gimana nanti hasil putaran ketiga ini.

Wednesday, October 18, 2006

Menebak harga minyak

Pertanyaan: pekerjaan apa yang paling sia sia?, jawabnya: mem- forecast harga minyak, just joking, tapi joke ini asalnya dari kolega yang biasanya terlibat dalam memprediksi harga minyak.!.

Sebelum harga minyak drop sampai $20 per barel kemarin (terhitung Agustus 2006), memang mengejutkan sebagian orang, tapi bagi sebagian analyst yang terlibat hitung hitungan global oil supply demand, sebenarnya bukan hal yang begitu aneh. Why? Selama ini hitungan hitungan global supply demand udah pas, malah cenderung sedikit over supply, tapi kenyataannya harga minyak terus naik..., nah sekarang terjadi “arus balik”, kemaren pas harga minyak terus naik, orang bertanya: how high is too high?, sekarang pertanyaannya: how low can you go.?

Awal bulan September, waktu ikut Oxford Energy Seminar, ada 2 presentasi mengenai oil price, satu Arjun Murti dari Goldman Sachs satu lagi Ivo Bozon dari McKinsey. Prediksinya saling bertolak belakang, Arjun bilang harga minyak akan naik sampai 105 $/bbl, sementara si Ivo bilang, harga minyak akan turun jadi 35 $/bbl. Dua duanya pake hitungan hitungan supply demand tentunya.

Salah satu faktor non fundamental yang nggak boleh dilupakan adalah pembentukan persepsi. Persepsi ini ada value-nya, ketika harga minyak terus melonjak sementara supply demand cukup, apa penyebabnya?, ya macem macem: kapasitas kilang nggak cukup, level stok minyak di negara konsumen, spare capacity, geopolitik, spekulan bermain di futures market dan adanya ketakutan akan kekurangan supply – CERA (salah satu konsultan ternama) menggunakan istilah “fear factor”, perasaan was was ini tentu ada ongkosnya (cost of fear). Jadi ketika harga minyak drop sebesar 20 $/bbl dalam waktu hanya 2 bulan, bisa jadi itulah cost of fear!.

Mari kita lihat supply demand, perkiraan untuk 2007, supply dari Non OPEC akan meningkat 1.6 juta barel per hari (estimasi CERA) atau 1.8 juta barel per hari (estimasi OPEC), sementara demand diperkirakan naik 1 – 1.3 juta barel per hari, jadi market pada dasarnya akan sedikit over supply. Implikasinya? ceteris paribus harga minyak akan turun, pertanyaan berikutnya, turun sampai berapa? Apakah kalau OPEC potong produksi harga minyak akan tertahan turunnya?, wallahuallam!.

Kalau kita ambil rata rata prediksi orang yang kerjaannya sia sia tadi he he, maka ekspektasi pasar (katanya) sekitar 50 – 55 $/bbl, dibawah 45 $/bbl akan menyulitkan projek projek yang berada didaerah sulit, mereka berkepentingan dengan harga minyak yang tinggi untuk dapet return yang memadai. Sebenarnya berapa sich harga minyak yang dianggap pas? “You will know it if you see it...” (ini jawabnya sekjen OPEC ketika ditanya wartawan berapa harga yang dianggap fair).

So, berapa harga minyak nanti?, biarkanlah orang orang itu melanjutkan pekerjaan sia sia-nya. he..he.

Wednesday, October 11, 2006

The Age Of Oil

Tanggal 3 oktober 2006 di kantor ada presentasi dari Leonardo Maugeri, dia ini Sr. VP di perusahaan minyak Itali ENI, yang menarik di undangan disebutkan bahwa beliau ini pengarang buku yang baru saja diterbitkan (2006), judulnya, "the age of oil - the mythology, history and future of the world's most controversial resources". Pas saya dateng, ternyata bukan berupa presentasi yang model pake slide, formatnya model diskusi dan tanya jawab mengenai isu isu yang terkait dengan oil ini.

Diskusi cukup menarik, karena ternyata si Leonardo ini termasuk aliran yang positif mengenai masa depan industri minyak khususnya. Emang ada yang aliran negatif?, maksudnya gini, istilah pandangan positif atau negatif ini muncul ketika membicarakan "peak oil", sebenarnya istilah ini sudah lama dikenal, peak oil maksudnya maksimum laju produksi, jadi kalau kita plot, laju produksi suatu sumur atau lapangan, maka teorinya - akan mencapai peak kemudian plateau dan selanjutnya decline. Kalau mau lihat produksi negara, ya diplot total produksi dari negara tersebut, kalau dunia, ya total produksi dunia. Nah kapan peak oil? udah lewat, bentar lagi atau masih lama?, kalau yang aliran negatif menyatakan bawa peak oil udah lewat, yang positif belum, masih lama, ada yang lebih ekstrim lagi, yang menyatakan bahwa nggak ada teori peak oil, ini teori dibuat buat aja, karena tujuannya politis., nah lho !

Menarik membaca artikel Robert Mabro di Oxford Energy Comment - September 2006 yang berjudul: The peak oil theory, bahwa terlalu banyak penyederhanaan ketika orang bicara peak oil. Seperti diketahui, profil produksi dari suatu lapangan tidak melulu atau jarang mengikuti teori - plateau terus decline - ada juga yang naik langsung terjun bebas, ada juga yang naik, turun, ntar naik lagi, baru turun, ya begitulah, realitas seringkali jauh dari teori!. Belum lagi kalau kita bicara masalah reserves/resources, karena gimanapun production rate itu fungsi dari reserves (dan juga nantinya resouces ketika dia berubah menjadi reserves).

Sebenarnya peak oil theory ini jadi mengingatkan saya ketika orang bertanya kapan minyak habis?, tahun 1970-an, banyak yang bilang minyak indonesia habis 30 tahun lagi, sekarang udah tahun 2006, masih produksi sekitar 1 juta barel per hari, lha kapan habis? ya nggak ada yang tahu, ini sama kaya kita ngomong kematian, setiap orang pasti mati, kapan? ya nggak tahu!. Karena banyak faktor lain, khususnya investasi, riset, teknologi, kalau investasi dikit ya mungkin emang bentar lagi, kalau investasi banyak ya masih lama!, belum lagi pengaruh teknologi, jadi?, not so easy..

Kalu dipikir pikir, ngomongin peak oil ini, lebih banyak unsur politis dan non-teknisnya, kalau ada yang bilang peak oil 40 tahun lagi terjadinya, tentu nggak menarik buat headline, tapi kalau dibilang peak oil tahun depan atau udah lewat, tentu menarik buat konsumsi pembaca. Nanti kalau nggak bener? ya tinggal diralat aja, peak oil tahun depannya lagi.. khan dari dulu juga gitu.

Kembali ke diskusi dengan Maugeri, menarik waktu sesi tanya jawabnya, sayang waktunya terbatas cuma 2.5 jam, setelah diskusi, saya pesen bukunya dia di Amazon yang di UK, kemaren bukunya nyampe, tebal juga 300-an halaman, lumayan buat referensi, cukup lengkap!. Bukan promosi lho, dibanding dengan buku yang saya beli sebelumnya lewat amazon juga ("A thousand barrel of second" oleh Peter Tertzakian - yang ternyata mengecewakan), buku doi ini lumayan oke.

Sunday, October 08, 2006

Iran mulai melirik PSC

Cukup menarik kalau membaca berita mingguan Upstream Vol 11 - 29 September 2006, di halaman depannya terpampang judul - Iran eyes PSAs, intinya pemerintahan Ahmadinejad mulai melirik PSA (Production Sharing Arrangement) atau istilah yang lebih kita kenal adalah PSC. Kenapa menarik? karena selama ini PSC merupakan barang haram disana.

Selama ini, pemerintah menggunakan model yang dikenal dengan Iran buyback model dalam rangka mengundang investor asing di sektor hulu migas, model ini masuk jenis service contract, karena kontractor hanya memperoleh fee dan interest setelah menyelesaikan kewajibannya, selanjutnya proyek tersebut diserahkan ke NIOC (Pertamina-nya Iran) untuk di operasikan. Secara ekonomis tentu model ini tidak terlalu menarik bagi IOC, cuma kita tahu Iran ini termasuk negara dengan cadangan terbesar di dunia, jadi resiko resiko kegagalan eksplorasi tentu sangat minimal, resiko disini melulu resiko teknis pengembangan lapangan.

Menurut berita upstream, proposal untuk PSC ini sedang didiskusikan, perlu dibuatkan undang undang baru dan persetujuan parlemen yang diperkirakan akan memakan waktu satu tahun sebelum diskusi detail proyek dapat dilakukan. Untuk tahap pertama program PSC ini akan dilakukan untuk blok blok yang berlokasi di perbatasan, misalnya perbatasan dengan Oman, UAE, Qatar, Saudi Arabia, Kuwait dan Iraq.

Buat IOC tentu ini berita baik, seperti kita ketahui, booking reserves adalah hal yang penting buat IOC, sementara booking reserves umumnya tidak bisa dilakukan dengan model service contract, sehingga menggunakan model PSC adalah salah satu pilihan yang tepat. Kita tunggu saja bagaimana fiscal terms dari PSC Iran ini nantinya, sebagai negara yang punya cadangan gede, high propspectivity, kita bisa memperkirakan bahwa fiscal termsnya nanti akan cukup "ketat" dibanding dengan fiscal terms negara lain, artinya Government Take-nya pasti mintanya gede, masuk akal dong ya...

Thursday, September 21, 2006

City of books

12 hari di oxford mengikuti oxford energy seminar cukup melelahkan, saya pikir ini seminar yang paling komprehensif yang pernah saya ikuti, apa yang membedakan dengan seminar lainnya nggak lain adalah kualitas pembicaranya, rata rata mereka orang yang sangat kompeten di bidangnya masing masing, reputasinya internasional-lah. Jadwalnya padat karena disamping dengerin presentasi, ada juga tugas kelompok, ada beberapa kasus yang harus diselesaikan, kemudian setiap group harus presentasi. Saking padat jadwalnya, hampir nggak ada waktu buat jalan jalan keliling kota. Kecuali pas weekend break, tapi pas weekend saya milih balik ke wina karena kelamaan ninggalin keluarga, yah mending pulang dulu sehari, partisipan yang berasal dari eropa kebanyakan milih pulang pas weekend, sisanya ke london atau ikut tour keliling colleges di oxford yang jumlahnya cukup banyak.

Apa yang menarik dari oxford?, kalau menurut saya ya kotanya tenang, kolega saya orang meksiko yang sekarang jadi researcher di oxford institute milih keluar dari Pemex (pertaminanya meksiko) karena dia merasa enjoy tinggal di oxford, kalau saya sendiri kayanya nggak lah, kotanya terlalu kecil, tetap enakan tinggal dikampung sendiri, dasar orang kampung he he!. Apa yang menarik lainnya?, sebagai kota pelajar, disini banyak sekali toko buku, jadi pas break makan siang, saya milih kabur, jalan kaki ke kotanya, mending lihat lihat buku, toko tokonya dari luar keliatan sich kecil, tapi pas masuk kedalam, gila gede banget, ada ratusan ribu buku...




Favorit saya Blackwell, ini toko udah lebih 100 tahun umurnya, masuk kedalam lengkap bukunya, khususnya buku buku mengenai: law, social sciences dan medical, kalau engineering nggak begitu banyak. Favorit yang lain yaitu Oxford University Press, bukunya lumayan lengkap, mau tahu buku apa yang paling laku? apalagi kalau bukan serinya oxford dictionary.

Wednesday, September 20, 2006

Oxford Energy Seminar - 5

13 September 2006

Sesi satu oleh Arjun Murti, managing director Goldman, Sachs & Co, judulnya menarik: oil prices and the future: how high is too high?, nama arjun ini belakangan populer di kalangan analis perminyakan karena muncul dengan teorinya yang dia sebut "super spike", dimana dia meramalkan harga minyak akan segera mencapai 105 $/bbl, belakangan dia sedikit merevisi menjadi range antara 80 - 105 $/bbl.

Arjun ini merasa pesimis dari sisi supply, menurut dia sebagian besar lapangan udah mature, otomatis akan turun secara alamiah, kapasitas cadangan (spare capacity) juga sudah nggak ada, beberapa area yang potential untuk meningkatkan produksi akan terkendala dengan masalah politis dan keamanan (geopolitik), oleh sebab itu dia memperkirakan harga minyak bakalan naik. Apa yang dikatakan beliau ini, bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Ivo Bozon dari McKinsey yang memberikan presentasi tanggal 5 September minggu lalu. Kalau McKinsey ramalannya harga minyak akan segera turun, karena menurut mereka supply cukup, demand growth nggak sebanyak yang diperkirakan sebelumnya, beberapa mega project akan segera online, kendala refinery juga akan segera teratasi, so harga minyak akan turun lagi.

Asyik khan rame, kalau semua orang forecastnya sama, malah nggak rame, kalau ini bertolak belakang, baru asyik, siapa yang salah siapa yang benar? bisa aja dua duanya bener, jadi moral ceritanya: "what goes up - must go down", mungkin saat ini masih dalam periode going-up menurut teori super-spike nya si arjun, sementara si ivo ngeliat, sebentar lagi udah mau go down. ..ya boleh boleh aja.. asal ada reasoningnya!.

Sesi kedua oleh Adrian lajous, Direktur Oxford Institute for energy studies, mantan boss nya Pemex. Dia bicara mengenai industri migas di meksiko, spt kita ketahui meksiko ini produksinya termasuk gede, diatas 3 juta barel per hari, jadi 3 kali lebih gede dari produksi kita. Problem utama mereka adalah kurangnya eksplorasi, sejak 5 tahun terakhir (2001 - 2005) praktis tidak ada tambahan cadangan baru. Seperti kita ketahui, bahwa hanya Pemex yang berhak produksi minyak, jadi saat ini IOC masih belum boleh masuk, ada wacana disana untuk mengundang investor lewat model PSC, tapi sejauh ini masih terkendala legislasi. Jadi kelihatan belum akan dibuka untuk umum sementara ini. Pernah ada model servis kontrak, cuma kelihatannya kurang begitu sukses. Sebenarnya, kalau meksiko mau meningkatkan eksplorasi, salah satu alternatifnya ya ngundang IOC lewat mekanisme PSC, tapi kalau legislasinya bilang kaga' boleh, mau diapain broer.!!

Setelah lunch break, sesi siang diisi oleh Yoshiyuki Iwai, Director General, Dept of Natural Resources and Fuel, Jepang. Presentasinya mengenai "new japan energy strategy". Intinya ada lima 1. mengurangi ketergantungan pada minyak bumi (dibawah 40% pada tahun 2030), 2. mempertahankan atau meningkatkan share energi nuklir untuk sektor kelistrikan dari kondisi saat ini sebesar 30 - 40%. 3. meningkatkan efisiensi energi pada level 30% atau lebih pada tahun 2030. 4. mengurangi ketergantungan pada minyak untuk sektor transportasi menjadi dibawah 80%. 5. meningkatkan pengembangan energi diluar jepang melalui rasio kapital domestik per energi impor menjadi 40%. Kemudian dia bahas detail satu per satu bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Menarik, karena jepang ini termasuk consuming country yang penting - pro aktif & kooperatif. Nggak heran untuk oxford energy seminar ini aja, dari 67 orang eserta, berdasarkan warna negara, jepang paling banyak, mereka ada 6 orang. Temen temen saya selama disana ya orang orang jepang ini, karena kok paling cocok kalau diajak jalan jalan he he..

Sesi berikutnya oleh Andrew Gould, Chairman & CEO Schlumberger, judulnya: improving performance - mitigating risk, apalagi kalau bukan membahas pengaruh pengembangan teknologi perminyakan terhadap kinerja lapangan, ya macem macem lah teknologinya, kalau saya sebut satu satu, nanti saya dikirain sales nya schlumberger he he..

Sesi terakhir merupakan presentasi dari masing masing group terhadap kasus kasus yang harus dipilih, lumayan seru!


14 September 2006

Nggak terasa ini hari terakhir!

Sesi pagi berupa diskusi dengan Prof. Robert Mabro, topiknya bebas, silahkan tanya apa aja, seperti biasa, robert akan menjelaskan panjang lebar tentu disertai dengan humornya yang khas.

Sesi kedua diskusi oleh Nordine Ait Laoussine, Mantan menteri energi algeria yang sekarang jadi konsultan, topiknya mengenai OPEC - apakah cukup effektif?

Seteklah lunch break, sesi siang diisi dengan diskusi kelompok dan presentasi masing masing group, seperti biasa, suasananya alot, serius tapi banyak lucunya juga.

Sesi terakhir, diskusi dengan Jeroen van der veer, CEO Royal Dutch Shell, topiknya apalagi kalau bukan IOC dan NOC, apa sich alasan utama host country untuk mengundang IOC berpartisipasi?, apakah alasan klasik, seperti: modal, keahlian, pengalaman dan manajemen masih valid, bukankah modal bisa dicari, keahlian demikian pula, tinggal panggil saja beberapa konsultan, service company, etc.. bagaimana dengan pengalaman? ah sebagian besar negara udah puluhan tahun bergelut dengan bisnis migas, so kenapa repot repot manggil IOC?. Perdebatan seperti ini cukup seru, apalagi beberapa pakar lain ikutan nimbrung seperti Adrian Lajous dari Oxford, Mike Daly dari BP International serta mantan menteri venezuela. Kelihatannya sebagian besar sepakat (tentu nggak semua) bahwa alasan klasik sudah tidak terlalu relevan lagi, kelebihan utama IOC bukan disitu, kelebihan IOC itu ya di "how to manage risk", bukankah industri migas sarat dengan resiko, nah kemampuan me- manage resiko ini yang berupa integrasi dari hal hal diatas (modal, skill, management) diperoleh dari akumulasi jam terbang yang jauh lebih lama ini - membuat IOC sedikit beda.

Ya mungkin bener juga, namun bagi beberapa negara, nggak ada tempat buat IOC!, seperti: Saudi Arabia dan Meksiko, sampai saat ini masih tertutup buat IOC, kalau Saudi Aramco, mereka kerjain sendiri, ada beberapa gelintir expat, cuma sebagai konsultan, jumlahnya sedikit sekali, lagian buat mereka nggak perlu IOC, disana resiko rendah, biaya juga rendah, dikerjain IOC, malah jadi mahal takutnya. Jadi bagaimana kedepannya IOC ini, khususnya akses terhadap cadangan, apakah host country akan cenderung memprioritaskan NOC?, menurut saya sich- iya, peran IOC akan tetap besar, tapi porsi IOC yang gede gede (major IOCs) kelihatannya akan semakin menurun, karena sekarang banyak juga bermunculan IOC yang relatif kecil, nantinya pangsa pasar mereka menurut saya akan meningkat, karena biasanya IOC yang kecil, lebih siap menerima return yang sedang sedang saja, kalau IOC gede, mereka maunya returnnya relatif lebih tinggi. NOC bagaimana? peran NOC akan lebih besar pada masa yang akan datang. Jadi petanya kira kira gini: kalau dari sisi "pie chart" produksi, NOC akan meningkat, IOC kecil kecil akan meningkat sementara IOC gede akan menurun. Ini perkiraan saya lho!

Malamnya ada resepsi dan final dinner, nggak terasa, 12 hari seminar intensif ini selesai juga, capek tapi seneng banyak ketemu teman baru disini, jadi inget katanya Nader Sultan, ketua seminar, mantan CEO kuwait petroleum company (KPC) yang selama 12 hari memandu semua sesi dengan sangat baik, lugas disertai joke yang oke punya. Pesannya cuma satu: keep in touch !

Tuesday, September 19, 2006

Oxford Energy Seminar - 4

11 September 2006

Sesi 1 diisi oleh Prof. Thane Gustafson dari CERA, beliau membahas mengenai Russian Oil Industry. Mulai dari sejarahnya, sampai kedepannya bagaimana industri migas di rusia ini, termasuk peluang IOC untuk berpartisipasi. Komplit !

Sesi 2 diisi oleh Amb. William Ramsay dari IEA (International Energy Agency) judulnya: Getting to the longterm, isinya banyak menyoroti mengenai tantangan tantangan energi pada masa depan, juga dibahas situasi pasar minyak dewasa ini, dan tentu yang menarik itu adalah bagaimana kecenderungan portofolio energi pada masa yang akan datang. Ada juga topik menarik lain, ketika ia mengaitkan energi dan kemiskinan, bagaimana nantinya masalah kelistrikan ini akan semakin parah tanpa ada kebijakan yang benar. Nantinya akan banyak orang hidup tanpa listrik.. wah gelap dong!, di kita mah, sekarang aja di beberapa tempat udah sering terjadi pemadaman bergilir, gimana nanti ya?.. ya jawabnya harus ada kebijakan baru.

Setelah lunch, diisi sesi mengenai Hydrocarbon di India oleh Najeeb Jung, beliau ini advisor reliance industries. Seperti kita ketahui, India ini dengan populasi yang gede, kecenderungannya akan mengikuti jejak China. Gimana konsumsi energi tentunya akan sangat besar, bedanya sama China, oil di India tidak begitu banyak, sementara gas ya lumayan banyak. Sehingga mereka perlu merencanakan strategi pengadaan energi masa depan.

Sesi terakhir diisi presentasi Saudi Aramco yang dibawakan Abdullatif Al-Othman, CFO Saudi Aramco. Dia cerita banyak mengenai proyek proyek Saudi Aramco dalam rangka meningkatkan produksi menjadi 12 juta barel per hari. Saat ini saja Saudi Arabia sudah memproduksi sekitar 9 juta barel per hari (termasuk produksi dari zona netral yang dibagi dengan kuwait). Yang menarik, salah satu proyek yang mereka sebut khurais project, terdiri dari tiga lapangan: khurais, abu jifan dan mazalij, nantinya akan berproduksi sebesar 1.2 juta barrel per hari. Gila cing!, bayangin produksi total kita saat ini dari sekian ratus lapangan cuma sekitar 1 juta barrel per hari, lha ini dari 3 lapangan aja bisa lebih gede dari seluruh Indonesia... ya, nggak heran, inilah negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia

Codrington library

12 September 2006

Sesi 1 oleh Dr. Byron Grote, beliau ini CFO BP, presentasinya mengenai challenges facing the oil majors, dia mengupas tantangan yang dihadapi pemain besar di bisnis migas, ketika bicara majors atau super majors, maka itu maksudnya terdiri dari: ExxonMobil, ChevronTexaco, Shell, BP, Total dan ConocoPhillips. Apa aja tantangan yang mereka hadapi? Dari sisi produksi, kontribusi super majors ini hanya 14% dari produksi dunia, sisanya 50% oleh NOC dan 36% oleh pemain pemain kecil lainnya. Dari sisi cadangan juga kecil, hanya 4% saja, 71% dimiliki NOC sisanya pemain lainnya. Jadi dari sisi size ya nggak gede gede amat. Tantangan yang dihadapi adalah fluktuasi harga minyak, dia mencontohkan bahwa setiap kenaikan harga minyak, maka pasti tidak lama kemudian diikuti dengan kenaikan peralatan migas.

Byron juga menunjukkan slide antara Government Take (GT) dari beberapa negara dengan kenaikan harga minyak, bertolak belakang dengan studi saya, menurut slide-nya, GT pemerintah akan lebih meningkat dengan kenaikan harga minyak, apapun model kontraknya, mau model PSC kek, mau model Royalty Tax kek.

Pas sesi tanya jawab, saya minta klarifikasi Byron, karena saya bilang, saya saat ini sedang melakukan studi efek GT terhadap kenaikan harga minyak di beberapa negara, hasil studi saya menunjukkan sebaliknya, apalagi untuk sistem Royalty Tax, bagaimana mungkin GT bisa naik dengan kenaikan harga minyak, logikanya aja nggak masuk buat saya!, terus dia bilang ya dengan kenaikan harga minyak kita bayar Royalty dan Tax lebih banyak, wah saya kejar lagi, ya jelas dong, dalam nominalnya Royalty tax buat government pasti akan naik, tetapi kita khan bicara government take (GT), slide Anda khan GT vs oil price, yang mana GT itu presentasi pendapatan dari profit.. Terus dia bilang itu slide saya ambil dari McKinsey.. yah udah bagaimana lagi... buat saya masih mengganjal, kecuali kalau rate royalty dan tax nya dinaikin dengan adanya kenaikan harga minyak (semacam windfall profit tax), ya mungkin aja GT jadi naik, kalau nggak ada perubahan, ya nggak masuk akal lah. Kadang kadang, definisi government take nya yang nggak bener, dan bisa jadi, ini bahan untuk menunjukkan bahwa ente (host country) udah untung banyak lho, nggak usah minta macem macem lagi dari kita dengan kenaikan harga minyak.. bisa aja tujuannya kesana! Biasa IOC khan takut diminta bagian lagi karena keuntungannya meningkat... apalagi belakangan beberapa negara mulai mikir mau nerapin windfall profit tax.

Sesi 2 oleh Nasser Jaidah, Director oil and gas ventures, qatar petroleum, presentasinya mengenai gas monetization - qatar. Seperti kita ketahui, qatar ini negerinya gas, dimana mana ada gas.. he he. Bayangin, cadangan gas nya lebih dari 900 TCF, buat apa aja gas ini? utamanya dijadiin LNG buat ekspor, ada juga yang lewat pipeline dan ada juga proyek GTL (Gas to Liquid), qatar ini sadar benar, dengan cadangan yang begitu besar, mereka harus mengoptimalkan utilisasi gas ini. Ekspor LNG kemana aja? India, USA, Eropa, Korea dan Jepang. Saat ini pangsa pasar LNG demand 15% dikuasai qatar dan akan meningkat menjadi 37% pada tahun 2011. Nggak heran kalau qatar lagi sibuk sibuknya mengejar target diatas, begitu banyak proyek disana, problemnya sebagai negara kecil, mereka kekurangan manpower, tidak cukup orang terlatih disana, disamping secara penduduk emang nggak banyak, jadi mau nggak mau harus impor tenaga kerja, nggak heran kalau sekarang banyak yang hijrah ke qatar, mau nyusul?

Setelah lunch break, sesi diiisi oleh Robert Maguire dari Morgan Stanley, presentasinya mengenai mobilising capital in energy industry, sebenarnya topik ini menarik, cuma ternyata baik bahan presentasi dan teknik penyampaiannya agak mengecewakan saya, padahal ini topik yang saya tunggu tunggu, tapi pas presentasi kok ngak ada isinya, penonton kecewa!

Sesi terakhir mengenai regional security in the gulf - the case of iran oleh Eric Rouleau. Beliau saat ini sich profesi resminya jurnalis di paris sana, tapi sebelumnya pernah jadi dubes perancis untuk tunisia dan turki. Dia juga punya banyak akses dengan teheran. Topiknya menarik, intinya khan sekarang orang pingin tahu gimana sich akhir ceritanya - perang apa nggak?. Partisipan kebanyakan nanya langsung to the point, gimana kemungkinan yang akan terjadi? Tentu sebagai jurnalis, dia cerita panjang lebar dulu mengenai iran, dia cerita juga kalau amrik sampai "salah perhitungan" dengan iran, akibatnya bisa fatal, dan kesimpulannya menurut dia, amerika belum ada urgensinya untuk menyerang iran saat ini (secara guyon di bilang, yang pasti amerika nggak akan menyerang besok), untuk apa cepat cepat?,- jadi hitung hitung dululah - apalagi dengan kondisi saat ini. Lagian kalau iran memang mau bikin senjata nuklir, dia bilang belum sampai kesana secara teknis kemampuannya, perlu waktu beberapa tahun, mungkin sepuluh tahun lagi paling cepat, terus ngapain amrik mesti nyerang sekarang... yang menarik, pas kuiz buat partisipan, pertanyaannya: apakah amrik akan menyerang iran? sebagian peserta menjawab tidak. Jadi menurut eric, ini memang masalah berat, tapi nggak perlu buru buru diselesaikan dengan konfrontasi, kira kira gitu deh, masuk akal juga ya!.