Thursday, November 26, 2009

Apakah NOC harus 100% milik negara?

Istilah NOC (National Oil Company) umum dipakai yang di definisikan sebagai perusahaan migas milik negara (atau paling tidak pemerintah punya mayoritas saham pada perusahaan tersebut), ini untuk membedakan dengan IOC (International Oil Companies), yang umumnya sahamnya milik publik. Namun kadang ada yang bingung juga, kalau ada perusahaan yang namanya berbau nasional (padahal tidak ada saham pemerintah disana), dikirain NOC juga, tentu ini tidak benar. Definisi SOC (State Oil Company) sebenarnya lebih tepat, tetapi karena istilah NOC dan IOC ini sudah terlanjur umum digunakan, dan supaya nggak bingung kebanyakan definisi, ya kita pakai istilah yang sudah terlanjur sering dipakai saja, yaitu: NOC.

Gambar dibawah ini menunjukkan peringkat perusahaan migas di mancanegara berdasarkan besarnya cadangan minyak, tidak terlalu mengherankan kalau 8 dari 10 NOC dengan cadangan minyak terbesar berasal dari Negara Negara OPEC. Kecuali Petrobras (Brazil) dan beberapa NOC dari Russia, hampir semua NOC dari negara produsen, sahamnya 100% dimiliki oleh Negara. Ada beberapa NOC dengan cadangan diluar 20 besar, seperti India (ONGC), Oman (PDO), Eni (Italy), CNOOC (China), StatoilHydro (Norway), Ecopetrol (Colombia) sahamnya tidak 100% dimiliki pemerintah.

Peringkat cadangan pada gambar tersebut jelas menunjukkan bahwa NOC dari Negara OPEC mendominasi, namun demikian apabila dilihat dari net income, kita tidak tahu persis berapa yang diperoleh oleh NOC tersebut, karena sebagian besar revenue akan masuk ke kas pemerintah. Berdasarkan laporan PIW, peringkat berdasarkan net income di dominasi oleh IOC besar, yaitu: ExxonMobil, Shell, Gazprom, BP, Petronas, Chevron dan Total. Sedangkan untuk NOC besar, umumnya mereka memperoleh persentase dari keuntungan (biasanya nggak lebih dari 10%), bisa juga memperoleh revenue (lebih tepat disebut fee) dari penjulan minyak, atau bisa juga dari penjualan produk hasil minyak

Dukungan Finansial

Pada umumnya negara produsen migas memberikan hak istimewa (privilege) kepada NOC nya, kebijakan yang memberikan privilege terhadap NOC oleh pemerintah harus diikuti dengan dukungan finansial. Apabila NOC memutuskan untuk mengambil hak partisipasi atau mengambil alih operatorship IOC ketika kontraknya berakhir, tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit. Menurut PFC energy, konsultan energi kondang, dalam salah satu presentasinya tentang perbandingan investasi biaya kapital (Capex Investment) NOC untuk sektor hulu; sebagai perbandingan untuk tahun 2009, pengeluaran biaya kapital (Capex) Pertamina untuk sektor hulu, jauh tertinggal dari NOC lain, seperti Petrochina, Petrobras dan Petronas, bahkan apabila dibandingkan dengan PTTEP (Thailand) pun, pengeluaran Capex Pertamina masih tertinggal.

Di mancanegara, NOC selalu dihadapkan pada pilihan: melakukan privatisasi atau meningkatan share pemerintah. Sebagian pemerintah memilih jalur “go public” dalam rangka transparansi dan meningkatkan citra (image) NOC, beberapa contoh NOC yang mana saham pemerintahnya dibawah 100%, antara lain: Ecopetrol, Colombia (89.9%), Petro China (86%), Sinopec (76%), Rosneft, Russia (75%), CNOOC, China (64%), KMG EP, Kazakhstan (63%), PTT, Thailand (52%), Petrobras, Brazil (55.6%), Gazprom (50.002%)., PDO, Oman (60%), ONGC, India (74%). Untuk semua kasus, pemerintah tetap memegang kendali perusahaan.

Pemerintah mempunyai berbagai alasan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan atau sebaliknya, menurunkan share-nya pada NOC tersebut. Sebagai contoh:

Pemerintah Russia, setelah melalui periode konsolidasi, saat ini mempertimbangkan untuk menjual share nya di Rosneft (namun tetap mempertahankan minimal 51%). Hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan citra dimata investor barat dan sebagai kontribusi terhadap kebutuhan keuangan pemerintah. Pemerintah Kolombia, karena didesak oleh masalah anggaran negara, menjual 10% share-nya di NOC (Ecopetrol). Sebaliknya, pemerintah Brazil, sebagai bagian dari reformasi UU energi, saat ini mempertimbangkan untuk meningkatkan share permerintah di Petrobras, sekaligus untuk meningkatkan kendali terhadap potensi temuan cadangan minyak yang sangat besar disana.

Menurut peringkat PIW tersebut, saat ini peringkat cadangan Pertamina berada pada ranking 44. Apabila Pertamina ingin naik kelas menjadi pemain kelas dunia maka Pertamina perlu meningkatkan cadangan minyaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperoleh akses ke cadangan (access to reserves) baik di dalam negeri maupun luar negeri. Usaha ini tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Petronas (yang 100% milik Negara) dalam rangka mendanai ekspansi, disamping mereka mempunyai neraca yang kuat (strong balance sheet) dengan cadangan kas yang memadai, Petronas juga melakukan penggalangan dana melalui penerbitkan obligasi. Sementara Petrobras (Brazil) yang juga sangat ekspansif (sebagaimana diketahui, saham pemerintah di Petrobras hanya mencapai 56%) mempunyai banyak sumber dana untuk mendukung aktivitas ekspansi mereka di sektor hulu.

Apakah Pertamina perlu go public dengan melepas sebagian share pemerintah? Tentu saja hal ini pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Pilihan go public atau tidak sebagaimana laiknya suatu pilihan tentu mempunyai keuntungan dan kerugian. Seperti dibahas sebelumnya, tujuan go public beberapa NOC disamping perlunya dana segar untuk ekspansi, juga bertujuan untuk perbaikan citra dan transparansi. Go public dengan melepas sebagian share memang bukan satu satunya cara untuk memperoleh dana, pilihan dan pengalaman beberapa NOC mancanegara yang melepas sebagian share pemerintah perlu dikaji lebih jauh, apakah memungkinkan bagi Pertamina kelak untuk melakukan hal seperti itu. Petrobras yang sahamnya hanya 56% milik negara mungkin bisa dijadikan pembelajaran, paling tidak saat ini Petrobras termasuk “champion” untuk teknologi laut dalam (deepwater).

Walaupun IOC dan NOC mempunyai bisnis yang sama, namun keduanya mempunyai ‘concern’ yang berbeda. Salah satu concern utama IOC adalah tingkat keuntungan (profitability), sementara hal ini bukan menjadi concern utama bagi NOC. Kita tidak perlu heran ketika melihat bahwa walaupun produksi dan cadangan NOC besar, namun tidak demikian dengan tingkat keuntungannya. Dikaitkan dengan Pertamina, saya kira sebagai NOC tentu akan menghadapi concern serupa. Apabila Pertamina ingin menjadi perusahaan kelas dunia, tantangan utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan masing masing concerns ini menjadi suatu peluang. Karena concern yang paling utama sebagaimana ditunjukkan oleh gambar diatas adalah ”government strategy”, tentu ini harus di clear kan terlebih dahulu. Keinginan Pertamina sebagai NOC tidak mungkin bertentangan dengan keinginan pemerintah, timbul pertanyaan apakah pemerintah punya strategi terhadap NOC miliknya?

Tuesday, November 24, 2009

Pertamina beli BP ONWJ

Ada kebanggaan ketika membaca di media bahwa Pertamina berhasil memenangkan tender kepemilikan (46%) BP di Offshore North West Java (ONWJ), walaupun kemudian timbul pertanyaan, kenapa suatu NOC harus berjuang keras di negara sendiri untuk mengais-ngais sisa ladang migas yang akan ditinggalkan IOC (BP). Menyimak proses pelepasan interest BP di blok ONWJ , terlihat sama sekali tidak ada “intervensi” dari pemerintah. Di mancanegara, intervensi pemerintah untuk mendahulukan kepentingan nasional merupakan praktek yang lazim, kita bisa menyaksikan bagaimana pemerintah AS campur tangan ketika Chevron (AS) dan CNOOC (China) berebut asset Unocal (AS) yang akan di jual. Dan kita tahu akhirnya perusahaaan China tersebut harus gigit jari..

Menurut info kolega yang bekerja di sektor migas, kontrak perpanjangan BP ONWJ adalah 18.01.1996 selama 20 tahun, dengan demikian akan berakhir 17.01.2016. Terlepas dari jumlah yang dibayar merupakan hasil tender, namun dengan harga transaksi sekitar 280 MM$ tersebut merupakan biaya yang sangat mahal yang harus dikeluarkan Pertamina.

Dalam kasus ini kenapa Pemerintah tidak melakukan sedikit “intervensi“, mengingat kontrak blok ONWJ akan berakhir 6-7 tahun lagi, pemerintah bisa saja mengirimkan sinyal ke pasar bahwa kontrak ini kelak tidak akan diperpanjang. Dengan adanya sinyal ini, saya kira investor lain akan kurang berminat, konsekuensinya posisi tawar menawar BP akan turun, akibatnya Pertamina tidak perlu merasa harus mengalahkan pesaing (investor lain) dengan membayar harga yang terlalu mahal. Dalam kondisi paling buruk pun, seandainya BP memilih untuk bertahan sampai akhir kontrak, Pertamina dapat mengalokasikan dana tersebut untuk proyek lainnya sambil bersiap mengambil alih kontrak blok ONWJ yang tidak akan lama lagi berakhir..

Monday, November 16, 2009

Review Kontrak Migas (when and how?)

Wah sudah lama juga nggak posting tulisan nih, tulisan berikut adalah ringkasan dari apa yang saya tulis di salah satu milis, yang subjeknya mengenai keinginan merubah kontrak migas.

Setelah saya baca komentar dari berbagai pihak, yang saya tangkap bahwa pada dasarnya semuanya mempunyai tujuan yang sama (lebih tepatnya mungkin bisa disebut tujuan yang mulia he he). Intinya bahwa dalam kontrak migas, negara harus yang paling diuntungkan. Dilain pihak kita juga (harusnya paham) namanya bisnis migas resikonya beda, fiscal terms harus merefleksikan hal tersebut.

Untuk kasus di Indonesia, dari segi “timing”, model kontrak migas bisa kita kelompokkan sebagai berikut:

1. Model kontrak yang sedang berjalan/existing
2. Model kontrak untuk perpanjangan
3. Model kontrak untuk marginal, deepwater, EOR, dll.
4. Model kontrak untuk WKP baru
5. Model kontrak untuk CBM
6. etc

Kita lihat satu satu ya.

Point 1; untuk yang ini sebenarnya kita tidak banyak pilihan, (menurut saya) lebih baik nunggu kontrak berakhir, atau menawarkan kontrak model baru dengan catatan kontraktor setuju berubah Terms & Conditions (T&C). Dalam posisi ini, saya lihat kemungkinan akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya bagi negara, karena sebagai kontraktor yang mengoperasikan blok tersebut, jelas mereka lebih tahu sikon-nya. Logikanya: kalau kontraktor (operator) setuju berubah T&C , pasti mereka sudah bisa membaca bahwa hal itu akan lebih baik bagi mereka.

Point 2: untuk yang ini saya kira apa yang telah dan sedang dilakukan oleh teman di sektor migas dan kementerian ESDM (kalau benar info yang saya dengar) yang mana akan dikeluarkan peraturan untuk memprioritaskan Pertamina pada saat kontrak berakhir merupakan suatu terobosan. (Untuk sementara pembicaraan mengenai kemampuan finansial Pertamina kita kesampingkan dulu, anggap saja Pertamina punya cara untuk dapet duit, apakah go public, ngutang (ngeluarin bond), dibantu negara, etc. Ini kaya'nya perlu diskusi terpisah..).

Point 3: untuk yang ini sebenarnya di model PSC RI sudah di akomodir, yang mana split untuk proyek proyek tsb (karena relatif resiko tinggi) lebih baik bagi kontraktor. Namun demikian, melihat perkembangan fiscal terms yang pesat di mancanegara, tentu kita tidak boleh menutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan/modifikasi (misal dengan split based on profitability, sliding scale split, oil price split, etc).

Point 4 dan Point 5 Mirip, (menurut saya) hanya disini peluang untuk memperkenalkan model kontrak baru (termasuk sistem yang nggak cost recovery-nya) .

Ide teman teman yang beragam silahkan di godok disini, kita bebas mengusulkan apa saja, karena toh pada akhirnya yang akan menentukan adalah hukum permintaan dan penawaran. Kalau kemahalan (T&C) terlalu ketat, nggak ada yang minat dan sebaliknya.

Disini kita harus hati hati, jangan salah membandingkan dengan negara lain, misalnya ada yang bilang: lihat Kazakhtan, di T&C model kontrak migas mereka, pembayaran royalti ke pemerintah gede sekali. Dalam hal ini harus dilihat dulu detailnya bagaimana (biar apple to apple); jangan jangan wilayah kerja yang mereka tawarkan sudah tinggal dikembangkan (developed), jadi sebelumnya sudah ada discovery, otomatis resikonya kecil. Di Libya misalnya, mereka punya model eksploration contract, setelah ada discovery, nggak otomatis si investor yang berhak men-develop block/field tsb, harus berunding dulu T&C dengan pemerintah, kalau cocok go ahead, kalau nggak cocok, si investor silahkan mundur dengan dikasih uang remunerasi dan fee alakadarnya. Kenapa mereka bisa begitu? kalau kita ibaratkan cewek, ya mereka relatif cakep, wajar jual mahal; kalau tampang kita pas pasan, ya tentu bargaining power agak kurang he he....

Friday, October 23, 2009

Petrominer (Oct 2009)


There is a "technical mistake", uncomplete figure, you can see the correct one in the previous posting, here.

Tuesday, June 30, 2009

Harga Keekonomian Pengembangan Lap. Minyak

Hubungan antara supply cost dan keekonomian lapangan minyak menjadi kompleks karena adanya fiscal regime yang mana masing masing negara sangat berbeda terms dan kondisinya. Saya mencoba membuat hitung-hitungan untuk memperkirakan berapa “biaya minimal” (supply cost) supaya suatu lapangan minyak baru dapat dikembangkan untuk kondisi saat ini.

Saya memfokuskan untuk proyek laut dalam (Deepwater) di manca negara dan juga lapangan di Russia serta Heavy oil di Canada. Russia menarik dipilih karena fiscal termnya sangat ketat, sedangkan Heavy oil Canada dipilih karena biaya operasinya yang besar. Kajian singkat ini diharapkan dapat membantu untuk menerangkan mengapa beberapa lapangan minyak menjadi tidak ekonomis dikembangkan dengan kondisi harga minyak yang rendah.

Untuk studi kasus, empat lapangan di area lokasi laut dalam (Deepwater) dipilih yaitu: di US Gulf of Mexico (GoM), Africa, Malaysia and Brazil. Dua lapangan berlokasi di North Sea dan Russia.

Definisi:
Supply cost pada dasarnya adalah berapa harga minyak (dalam $/per barrel) yang diperlukan untuk merecover biaya biaya yang telah dikeluarkan seperti: biaya capital, biaya operasi; termasuk juga pembayaran royalty, profit oil dan pajak. Pada saat yang sama, investor memperoleh suatu return tertentu.

Beberapa penulis mungkin menggunakan istilah yang berbeda, seperti “break-even price”, atau lebih spesifik misalnya: breakeven price for “X%” post-tax IRR.


Metodologi:
Berdasarkan fiscal terms dari proyek di negara negara yang diplih tersebut, kemudian dibuat model keekonomian proyek untuk perhitungan supply cost.


Beberapa asumsi antara lain:

• Proyeknya: stand alone
• Perhitungan dilakukan dalam dua tahapan. Pertama, berdasarkan asumsi profil produksi dan perkiraan kapan tercapainya produksi puncak, besarnya cadangan yang dapat diambil, dan asumsi umur proyek (dalam kasus ini 25 tahun).
• Berdasarkan asumsi harga minyak, selanjutnya dihitung IRR proyek.
• Pada tahap kedua, berdasarkan target IRR (dalam studi kasus ini digunakan 10% dan 15%), maka dihitung berapa harga minyak untuk memperoleh IRR tersebut dengan menggunakan fungsi “Goal Seek” yang tersedia di Excel.
• Selanjutnya harga minyak ini merupakan supply cost dari lapangan tersebut.

Singkat cerita, setelah dibuat perhitungan sesuai metodologi diatas, diperoleh hasil seperti ditampilkan dalam chart berikut:



Keterangan gambar:
Sumbu vertikal adalah harga minyak (US$ per barrel) yang dalam kasus ini adalah supply cost
.

Lapangan A berlokasi di laut dalam Malaysia, lapangan B di Congo, lapangan C di Laut Utara, lapangan D di Russia, lapangan E adalah lapangan laut dalam di Brazil, lapangan F di Teluk Meksiko dan G adalah proyek tipical proyek oil sand di Canada.

Gambar diatas menunjukkan hasil perhitungan supply cost untuk 10% IRR (warna kuning) dan 15% IRR (warna oranye) yang disortir dari yang terendah ke yang tertinggi. Hasil perhitungan menunjukkan range antara 60 sampai 80 US$ per barrel (WTI) untuk dapat 15% IRR, sedangkan supply cost untuk dapat 10% IRR range-nya antar 43 sampai 64 US$ per barrel (WTI). Fiscal terms & conditions menjadi salah satu faktor yang sangat berperan dalam mempengaruhi tinggi rendahnya supply cost.

Sekedar perbandingan, saya lampirkan perkiraan supply cost dari IEA, World Energy Outlook 2008, kalau kita bandingkan untuk Deepwater dan Heavy Oil, hasilnya nggak begitu jauh; tentu saya lebih akurat (he he) karena modelnya project based dengan memasukkan detail analisa fiscal terms di modelnya.

Source: IEA, World Energy Outlook 2008, page 218


Kesimpulan:
Harga minyak perlu cukup tinggi, supaya eksplorasi migas terus berjalan, supaya teknologi mencari energi alternatif tetap menarik, teknologi efisiensi energi berkembang, supaya orang nggak enak-enakan dengan harga minyak murah, kemudian jadi boros, padahal minyak adalah energi yang tidak terbarukan. Sejarah menunjukkan, apabila harga minyak terus rendah, cepat atau lambat akan terjadi krisis energi. Seperti pepatah bilang, mendingan "bersakit sakit dahulu bersenang senang kemudian", jangan dibalik he he...

Monday, June 15, 2009

Content - not Label..

Ini saya posting email dari Mas Rovicky di milis Indo-energy:

Satu lagi hal menarik dari Plenary Session IPA-2009.

Ada salah satu peserta menanyakan kemungkinan kembali menggunakan KK dalam industri migas ? Tentusaja sebelumnya masih di"hantui" oleh adanya 'gendruwo' yang bernama Cost Recovery. Bukan hanya jumlah dan besar angkanya tetapi juga permasalahan CR saat ini yang sudah tidak hanya masalah tehnis keekonomian atau binis tapi mungkin CR sudah terlalu sering berbau politik.

Jawaban dari 3 panelis cukup menarik.

Ibu Evita yang menjawab pertama walaupun tidak secara tegas mengatakan tidak, namun jawaban beliau sudah melihat kemungkinan yang "sulit untuk terjadi". Pak Priyono menjawab "tidak", secara lebih tegas, karena minyak (natural resources) adalah milik negara.. Sedangkan Airlangga H (Ketua Komisi 7) justru menjawab "sangat mungkin", kenapa tidak ? Pernah kok dahulu, dan dengan sebuah UU juga dan masih dengan UUD45 yang sama.

Saya lebih tertarik dengan jawaban Airlangga. Setelah saya tanya (after session) sambil berjalan menuju mobilnya, beliau justru ingin memberikan peluang besar dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi ini. Artinya sebagai ketua komisi 7 beliau tidak akan menutup segala kemungkinan. Mungkin karena beliau di sisi legal (komisi 7) makanya beliau memberikan jawaban yang lebih jauuh jangkauannya.Sedangkan mungkin Bu Evita dan Pak Priyono berada di garda depan sudah membayangkan kesulitan-kesulitan yang mungkin akan dihadapi bila ada sistem kontrak karya (non PSC) ini berjalan. Penampakan politisasi dan problem didepan mata beliau-beliau ini mugkin salah satunya Cost Recovery ini lebih menakutkan kayaknya.

Saya sih lebih suka untuk "openmind", tidak ada yang tidak mungkin. Kesiapan menghadapi ini yang harus dipikirkan. Tidak hanya regulasi tetapi juga menyiapkan "tameng serta pedang dalam bertarung". Bagi saya UU itu sebuah aturan kesepakatan yang bukan harga mati. Bisa dirundingkan isinya, bisa diubah bentuk dan isinya. UUD jelas bukan sebuah kesepakatan yang sakral yang statis.

Lah kalau menurut anda gimana?

-----

Ini komentar saya (berhubung nggak bisa hadir, mohon maklum ya, kalau bisanya cuma kasih komentar he he..)

Benar sekali mas, artinya kalau dilihat jawaban para panelis dari perspektif mereka (shortterm dan longterm), semuanya benar. Jawaban perspektif longterm akan cenderung lebih benar, tetapi bapak ekonomi Keynes bilang: "in the long term, we are all dead" he he..

Dalam industri (khususnya migas) yang begitu dinamis, paling gampang memang tidak menutup semua kemungkinan, di Iran saat ini kalau ngomong PSC pasti diketawain, karena "secara legal" masih nggak boleh disana.Tetapi sudah banyak pemikiran oleh pakar mereka untuk tidak menutup kemungkinan ini, misalnya di apikasi untuk daerah yang di perbatasan. Memang belum menarik buat mereka karena dirasakan belum begitu mendesak..

Dengan semakin canggih-nya "features" dalam terms & conditions kontrak migas (PSC, konsesi, service contract, kontrak karya, etc), Dalam konteks keekonomian, apapun pilihan kontraknya, bisa merupakan pilihan terbaik bagi suatu negara (tentu satu negara bisa menggunakan beberapa model tergantung kondisi geologis). Russia misalnya yang sebagian besar modelnya menggunakan konsesi, dengan adanya hak partisipasi yang mayoritas bagi NOC mereka, tentu akan memberi bagian yang besar secara total bagi negara.., Sekali lagi, dalam konteks "pembagian antara pemerintah dan investor", problemnya bukan di "label", tapi di "content"-nya.

Thursday, June 11, 2009

Akuntansi Perminyakan (Petroleum Accounting)

Banyak sekali ternyata yang baca blog ini yang minta bahan mengenai akuntansi perminyakan, paling tidak seminggu saya terima 2-3 email dari adik2 mahasiswa/i yang minta dikirimin bahan2 terkait. Selama saya lagi depan komputer, insya Allah dalam waktu kurang dari 1 x 24 jam, materi terkait yang saya punya sudah sampai di email yang bersangkutan..

Bahan terkait tsb yang berupa softfiles dari papers/ bahan kursus/ publikasi/ presentasi, dll. Ada beberapa bahan yang berupa buku textbook, tentu saja saya nggak bisa kirim, saya nggak tahu apakah buku buku spt dibawah ini dapat diperoleh di toko buku di tanah air:

International Petroleum Accounting
, karangan: Charlotte & Gallun, atau Fundamental Oil and Gas Accounting karangan mereka juga, atau Introduction to Oil Company Financial Analysis karangan Daniel Johnston.

Supaya bisa share, kalau ada pembaca blog ini yang praktisi akuntan di KPS atau dimanapun berkarya, silahkan berbagi ilmu. Seandainya punya bahan2 terkait, bisa dikirim ke saya via email, nanti saya distribusikan ke adik adik mahasiswa/i yang membutuhkan.

Saya sendiri latar belakangnya bukan akuntan, hanya senang saja dengan pelajaran akuntansi, waktu di MMUI saya ngambil major akuntansi manajemen. Seneng karena kaya teknik, banyak hitungan hitungan, kalau ujian pelajaran yang berbau akuntansi, nilai saya selalu lebih bagus dari yang akuntan beneran he he....

Wednesday, February 11, 2009

Resensi Buku: Fundamental of Upstream Petroleum Agreement (2008)

Buku ini keluaran 2008, kebetulan baru saya terima hari ini, isinya lumayan komplet, kelihatannya ini merupakan bahan kursus-nya Chris (Thorpe) sendiri yang kemudian dikemas dalam format buku. Menurut saya buku ini penting untuk dibaca, tidak saja buat lawyer pemula, tapi juga engineer dan yang lain yang berminat paham lebih jauh aspek hukum dari kontrak perminyakan. Materinya cukup update karena juga membahas topik yang hangat tahun lalu seperti kasus nasionalisasi di Venezuela, Bolivia dan tempat lain. Gimanapun kalau kita mau ngomongin aspek komersial, pasti ada kaitannya juga dengan aspek legal. Makanya harus rajin baca baca buku mengenai "commercial agreement/contract". Bukunya bisa dibeli di Amazon, atau langsung ke website Chris (http://www.cpthorpe.com/).