Friday, July 28, 2006

Cost Recovery, why controversy? - 2

Istilah goldplating, yaitu kecenderungan Contractor untuk melakukan unnecesarry investment menjadi topik yang hangat, khususnya bagi HC (negara), jalan pikirannya seperti ini, dengan adanya mekanisme cost recovery, maka semua biaya toh akan dikembalikan juga, so pasti negara akan mengalami kerugian, sampai disini saya kira jelas, bahwa makin tinggi cost recovery makin berkuranglah bagian yang akan masuk ke pundi pundi negara, no doubt!. Hal yang perlu di analisa lebih lanjut adalah benarkah kalau cost recovery naik, si Contractor jadi untung?

Untuk menjawab hal ini, perlu dilakukan project (field) economics exercise atau semacam simulasi, dengan membuat hipotetik model, diperlukan input seperti: besarnya cadangan, profil produksi, asumsi harga minyak, fiscal term (disini masuk FTP, DMO, Tax, Split, etc), Capex, Opex dan lain lain. Sebelum masuk ke Cash Flow Analysis, perlu dipahami apa saja yang masuk ke Cash Inflow Contractor: arus kas yang masuk (yearly) ke Contractor terdiri dari: profit oil contractor plus cost recovered (cost yang di recover pada tahun yang berjalan), disini kita lihat bahwa cost recovered akan menjadi bagian dari cash inflow Contractor, kalau hanya melihat dari sini, kita bisa membuat hipotesa bahwa, makin tinggi cost recovery makin besar cash yang masuk ke Contractor. Well, it looks ok.., jadi sebaiknya Contractor gede gedein aja cost nya biar arus kas yang masuk jadi gede? well wait wait.. not so easy, we have to analyze further!.

Mari kita analisa sedikit, dengan naiknya cost recovery, otomatis profit oil akan menurun, konsekuensinya baik negara maupun IOC akan berkurang profit oilnya, karena share split negara lebih besar, maka otomatis secara persentase negara lebih “rugi” dengan berkurangnya profit oil ini. Is Contractor in better position? Kalau hanya melihat cash inflow, jawabnya: Ya, apalagi diawal dimana gross revenue setelah dipotong FTP terbatas, cash inflow Contractor akan naik (naik di cost recovery tapi turun di profit oil, secara umum bolehlah dianggap naik). Namun harus diingat, kita baru bicara Cash Inflow, bagaimana dengan Cash Outflow Contractor, dalam perhitungan keekonomian proyek, yang penting itu Net Cash Flow (NCF) yaitu selisih dari Cash Inflow minus Cash Outflow. Gede gedein cost membuat Cash Outflow Contractor juga naik, dengan demikian, Net Cash Flow malah jadi turun.

Apa Contractor jadi untung?.

Saya melakukan beberapa simulasi dan sensitivitas dengan berbagai macam skenario, small reserves, big reserves, beberapa profil produksi, beberapa skenario cost, harga minyak. Kesimpulannya: gede gedein cost recovery tidak bermanfaat buat Contractor, siapa yang rugi? dua duanya, Contractor secara keekonomian proyeknya akan mengalami penurunan, negara apalagi, bagian pendapatannya akan drop! Lha kok bisa, yang untung sopo?. yang untung oknumnya !.

Ilustrasinya gini, anggep aja Anda sebagai Contractor (salah satu owner-nya lah), terus Anda naikin cost buat maksain hire temen temen Anda padahal kerjaannya nggak ada, Anda ada-adain lah kerjaanya, namanya juga bantu bantu temen (anggep aja temen temen Anda ini expat karena kalau hire temen local, nggak ada efeknya, gajinya kecil, benefit-nya apalagi.. he he). Atau gini, Anda borong peralatan macem macem yang nggak penting penting amat sehingga cost jadi naik. Secara keekonomian proyek (ROR, NPV, etc), Anda sebagai salah satu yang punya Contractor akan tekor juga, karena naiknya cost tersebut akan membuat ROR, NPV jadi turun. Lha sing untung sopo? Ya, misters expat temen temen Anda itu, yang modal petantang petenteng di gaji gede (easy money man!), sama Meneer yang peralatannya dibeli tapi nggak perlu perlu amat itu (unnecessary investment). Makanya cost recovery itu harus dijaga benar, karena kalau sengaja dinaik-naikin dengan hal hal yang nggak perlu, yang kecipratan untungnya ya oknum itu. Negara sama Contractor ya rugi.

Gimana kalau Contractor merangkap jadi oknum? good question, tapi ngomong ngomong, ini nanya beneran apa nyindir he he.. wah berat itu mas, susah analisanya, serahkan ahlinya aja, KPK ha ha.
Gitu aja ya. Wassalam!

Thursday, July 27, 2006

Cost Recovery, why controversy? - 1

Cost recovery, makhluk apa itu? banyak yang senang membicarakannya, mulai dari orang orang yang bergelut di migas (so pasti lah ya), maupun pengamat, repotnya di kita ini, semua orang bisa meng klaim dirinya sebagai pengamat, kalau sekedar mengamat amati si amat, ya ngggak apa apa, yang repot kalau mengeluarkan komentar kemana kemana dan membentuk opini publik tanpa tahu persis makhluk apa yang sedang dibicarakan.

Didalam kontrak perminyakan antara Host Country dengan IOC, apapun bentuknya, pasti adalah yang namanya mekanisme cost recovery, jadi cost recovery sebenarnya bukan melulu ada dalam model PSC, didalam sistem Concession (Royalty/Tax) pun ada, istilahnya memang bukan cost recovery, lebih sering digunakan istilah cost deduction, dalam Service Contract, pun demikian, ada mekanisme seperti diatas. Intinya begini: IOC itu melakukan aktivitas dengan uang mereka, jadi setelah menghasilkan sesuatu, ya wajar dong biaya yang sudah dikeluarkan harus dikembalikan, karena mereka bukan organisasi sosial.

Sampai disini semua oke oke saja tentunya, sekarang kapan cost recovery bisa dilakukan?, ya tergantung terms & conditions di kontraknya, sebagian besar Fiscal Terms didunia ini, mengenakan royalty, artinya prioritas pertama dari gross revenue itu adalah bayar royalty dulu, setelah itu, sisanya untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan (cost recovery). Indonesia agak unik, karena ada FTP (First Tranch Petroleum) besarnya 15%-20%, bedanya sama royalty, kalau FTP ini di share antara bagian pemerintah/negara dengan Contractor, kalau Royalty langsung masuk ke pundi pundi negara.

Ada juga negara tertentu, tidak mengenakan royalty, jadi grosss revenue bisa langsung digunakan untuk cost recovery, cuma umumnya cost recovery dibatasi misalnya 70% satu tahun, mungkin lebih tepat satu accounting period. Kalau nggak cukup, sisanya di carry forward ke tahun berikutnya. Apa sich tujuannya: royalty, FTP, cost recovery limit itu? Untuk menjamin HC memperoleh bagian produksi dari saat awal produksi, karena kalau nggak ada itu, bisa bisa HC nggak dapet apa apa dari tahun awal produksi, semuanya dipake untuk cost recovery, lha seperti kita ketahui, investasi migas biayanya gila gilaan, nunggu cost recovery kebayar semua, wah nunggu beberapa tahun itu.

Didalam sistem PSC, sisanya (setelah dipotong cost recovery), dibagi antara HC dengan IOC, metode pembagiannya bisa macem macem, ada yang fix saja, ada yang tergantung laju produksi (sliding scale) ada yang berdasarkan kumulatif produksi, ada yang berdasakan faktor faktor tertentu (istilahnya R factor), ada juga yang berdasarkan ROR, ada yang langsung berdasarkan harga minyak, ada yang berdasarkan kondisi geologi (frontier area, kedalaman, etc), ada yang berdasarkan sifat minyaknya (API gravity) dan lain lain.

Setelah itu Contractor bayar pajak, tergantung kontraknya, apakah splitnya before tax atau after tax, biasanya ditulis dua duanya biar clear, bahwa pajaknya sekian, splitnya sebelum pajak segini, kalau mau sesudah besarnya segini. Tentu ada hal hal lain, seperti DMO (nggak semua kontrak di dunia ada DMO), state participation, dan lain lain.

Dari pembagian itu, Contractor menghitung cash flow mereka, keekonomian dan segala macem, kembali ke judulnya yaitu Cost recovery, kenapa kontroversi ?, apa benar ada manfaatnya buat Contractor untuk mark-up (maksudnya yang nggak ketahuan ya, kalau ketahuan khan nggak bisa mark-up he he), mungkin mark-up istilahnya terlalu kasar, lebih halus kalau disebut "unnecessary cost", bener nggak sich secara project economics akan ada manfaatnya kalau gede gedein cost recovery?. kita diskusi khan pada bagian kedua, sekarang sudah ngantuk soalnya, nanti salah salah nulis repot.. he he!.

Monday, July 24, 2006

Upstream cost? - naik euy..

Naiknya harga minyak ternyata memicu juga kenaikan biaya biaya di sektor hulu migas (biar pendek, sebut saja upstream cost), sebelum ngomong lebih jauh, kita masuk definisi dulu, biar punya bayangan yang sama mengenai makhluk yang sedang kita bicarakan.

Pertama, biaya eksplorasi (exploration cost) atau (kadang kadang) disebut juga finding cost, itu komponennya apa aja ya?, yang pasti biaya yang terjadi pada phase explorasi antara lain: biaya seismik, biaya pemboran (baik sumur eksplorasi maupun sumur appraisal) dan biaya lain tergantung lokasi offshore atau onshore.

Kedua, biaya pengembangan (development cost), apa aja?, ya biaya ngebor sumur pengembangan, biaya fasilitas (platform, pipeline), biaya peralatan pemisahan (processing), itu yang lagi inget dikepala, kalau ada yang lupa, tolong tambahin deh.., nah ada juga istilah F&D cost, tak lain gabungan antara kedua biaya diatas, jadi nggak usah bingung kalau ada istilah F&D, bukan food & drug he he! Tapi jangan bingung juga, ada beberapa buku atau tulisan, menyatakan finding cost itu udah masuk exploration cost dan development cost, jadi ggak pake istilah F&D cost, karena asumsinya exploration khan belum tentu ketemu, gitu ceritanya, ya susahlah nyeragamin istilah, yang penting, kalau ngomong, apa yang dimaksudkan jelas, apalah arti sebuah nama?.

Ketiga, biaya produksi (production cost) istilah lainnya lifting cost, yaitu biaya biaya untuk “ngangkat” migas dari bawah sono.., apa aja?, wah banyak euy, antara lain aja ya, biaya tenaga kerja, supervisi, repair dan maintenance, bahan bakar, administrasi, terakhir, dan lain lain, gampang khan? kalau pas lupa, tinggal bilang, dan lain lain..he he.

Biaya biaya tersebut dinyatakan dalam USD per barrel bisa juga dalam USD/boe – barrel oil equivalent supaya mempunyai arti, jadi: berapa biaya biaya yang kita keluarkan untuk memperoleh cadangan tambahan (additional reserves). Kalau kita bicara geographi, coba siapa yang sekarang paling murah F&D cost nya? – iya bener mas, nggak susah nebaknya, siapa lagi kalau bukan negara paling kaya minyak Saudi Arabia, yang paling mahal sapa?, itu lho Gulf of Mexico sana, North Sea juga gede F&D nya, kita gimana mas?, kita kelas menengahlah, nggak masuk yang rendah, cuma belum masuk yang tinggi tinggi banget. Harus diingat bahwa nggak melulu daerah sulit, F&D cost pasti gede, bisa aja lebih kecil karena cadangannya gede juga, inget khan satuannya USD/Boe.

Kok biaya upstream naik ya ?

Iya dong, harga sewa rig naik, susah khan cari rig sekarang, ngantri semua pada kebelet mau ngebor, nggak heran perusahaan jasa sewa rig sekarang lagi diatas angin, biaya jasa nya juga naik, makanya drilling engineer jadi mahal bayarannya, duh dulu kenapa nggak ngambil drilling ya, tapi resikonya khan gede juga, kaya kasus lumpur panas di Jatim itu lho, kasihan teman teman drilling, mereka khan sahabat kita juga, sabar aja ya mas, ya namanya juga sedang mengalami cobaan!

Sebab lainnya lagi apa ya?, ya macem macem, biaya raw material termasuk baja naik kabeh, ditambah lagi (ini penting nih), ternyata kinerja lapangan yang diharapkan tidak sebaik yang diperkirakan, artinya perkiraan cadangannya lebih rendah lagi, ya otomatislah F&D cost juga jadi naik.

Apa implikasi naiknya upstream cost?, kalau kita melihat dari perspektif IOC, kita bicara masalah strategi investasi, dengan adanya resiko fluktuasi harga minyak, tentu wilayah atau negara dimana F&D cost tinggi akan lebih sensitif terhadap parameter keekonomiannya.

Kaitan dengan jenis petroleum contractnya ada nggak ya kira kira?

Ada studi menarik yang dilakukan oleh kolega saya (orang Kuwait) disini, dia melakukan studi hubungan antara F&D cost dengan jenis jenis kontrak, hasilnya menarik walaupun bukan suatu yang mengejutkan, dia membagi tiga klasifikasi cost, yaitu: low cost, medium cost dan high cost, berdasarkan database upstream cost around the world dan analisa statistik, selanjutnya dia buat pengelompokan: low cost kurang dari 4.65 $/bbl, medium cost antara 4.65 sampai 8.5 $/bbl dan high cost diatas 8.5 $/bbl. Ternyata negara negara yang masuk kelompok low cost cenderung menggunakan tipe Service Contract, yang medium sebagian besar menggunakan PSC dan beberapa menggunakan Royalty /Tax (R/T), sedangkan yang high cost umumnya menggunakan sistem Royalty/Tax. No surprise!, Indonesia masuk mana, dari studinya dia, kita masuk medium cost, walaupun udah mepet deket deket high cost. Gitu dah!

Sunday, July 23, 2006

Cadangan migas siapa yang punya

Walaupun pernah belajar gimana caranya ngitung ngitung cadangan, pernah juga ngerasain jadi seorang reservoir engineer, dengan pengalaman yang secuil itu, tentu saya merasa tidak punya kapasitas untuk ngomong detail masalah cadangan, serahkan pada ahlinya saja, karena ceritanya panjang, yang tertarik detail monggo mampir ke websitenya Society of Petroleum Engineer (SPE).

Yang saya pingin bahas adalah aspek lain dari cadangan, yaitu kaitan antara pengakuan cadangan (reserves recognition) hubungannya dengan model kontrak perminyakan. Secara teknis, definisi proved reserves (cadangan terbukti) sudah ada arahan dari SEC (Security & Exchange Commission), sayang, sedikit sekali guidance mengenai “kapan dan apakah perusahaan atau contractor berhak mem-booking cadangan (book reserves)?”.

Sekarang mari kita lihat satu demi satu model kontrak perminyakan dan bagaimana mekanisme pengakuan cadangannya. Pertama, model PSC, sebagaimana diketahui, dalam model PSC, Contractor akan menanggung semua resiko dan biaya untuk eksplorasi, pengembangan dan produksi, apabila eksplorasi tersebut berhasil, Contractor diberi kesempatan untuk me-recover biaya investasi dari produksi yang dihasilkan, istilahnya cost oil. Tentu saja sesuai dengan term dan batasan yang ada (karena bisa saja ada cost recovery limit setiap accounting period, sebesar 70% contohnya). Setelah dipotong biaya, Contractor akan memperoleh bagian dari Profit Oil yang dibagi dengan Host Country (HC), dengan demikian reserves yang menjadi bagian Contractor sebesar: cost recovery plus profit oil, didalam contract dikenal dengan istilah: Entitlement.

Bagaimana dengan model Concesion atawa Royalty/Tax?, Perbedaan utama dengan model PSC ada pada “legal title to hydrocarbon”, kalau di PSC, title of hydrocarbon ditransfer pada titik eksport (point of export) sementara sistem R/T, title of hydrocarbon ditransfer di kepala sumur (well head). Karena pada dasarnya dengan model concession, host country memberikan “grant” kepada Contractor untuk melakukan eksplorasi, pengembangan, produksi, transportasi dan pemasaran,. Selanjutnya dari hasil tersebut, Contractor akan membayar Royalty dan Tax (bisa juga tambahan pembayaran lainnya seperti: rental, bonus dan lain lain). Reserves yang di book Contractor adalah produksi yang dihasilkan dikurangi pembayaran terhadap HC (host country) diatas.

Bagaimana dengan model Service Contract?, dalam model ini biasanya Contractor diminta untuk melakukan pekerjaan “technical services” selama periode tertentu, investasi Contractor terbatas pada equipment, tools dan personnel, Umumnya reimbursement / fee terhadap Contractor sifatnya fixed, dalam kasus tertentu biasanya fee dikaitkan dengan kinerja lapangan, pengurangan biaya atau parameter lainnya. Apa beda utamanya?, reserves biasanya tidak selalu diakui (not usually recognized) karena tidak ada transfer of title to hydrocarbon..

Bagi Contractor, dalam mempertimbangkan investasi proyek, model kontrak harus dikaji betul untuk menentukan apakah ada opportunity untuk melaporkan cadangan terbukti sebagai bagian dari public disclosure purpose. Kira kira gitu dah..!


*) Referensi: the Guidelines for the Evaluation of Petroleum Reserves & Resources. Chapter 9 - Claude L McMichael and E.D Young, “Reserves Recognition Under Production Sharing and Other Nontraditional Agreement”.

Saturday, July 22, 2006

Windfall Profit - Bagi2 dong!

Melonjaknya harga minyak dapat dianggap sebagai rezeki nomplok alias windfall profit, bagaimana host countries dapat menambah “economic rent” dari windfall profit ini?. Untuk sistem kontrak model konsesi (Royalty/Tax), selanjutnya seperti biasa kita singkat dengan R/T saja, ada alternatif untuk langsung aja naikin pajak (corporate income tax), asumsinya karena IOC memperoleh “excessive profit” boleh dong HC gedein Tax Rate nya. Kira kira bahasa premannya: “ente khan ketiban rezeki nomplok, ya inga inga kita dong”. Walaupun pada prakteknya ribet pasti, ya “negosiasi” lah he he.

Bagaimana dengan PSC?, umumnya di PSC, di kontraknya disebut pajak dibayarkan oleh negara (atau diwakili oleh national oil company/NOC) atas nama IOC, mungkin kalimatnya kira kira begini: “taxes are paid by NOC on behalf of company (in lieu)”. Dengan demikian, dikomponen profit split Contractor udah masuk pajak. Kaya PSC kita misalnya, 85:15 itu udah masuk pajak (after tax), pajak yang terdiri dari corporate income dan withholding tax. Gimana kalau mau dinaikin pajaknya?, ya boleh boleh aja, tapi Contractor nggak mau tahu, bahwa hitungan finalnya ya 85:15, dengan demikian melalui “gross-up”, hanya before tax splitnya yang berubah dengan perubahan tax tersebut, angka keramat 85:15 ya nggak ngaruh!. Itu makanya sistem PSC dianggap lebih stabil dibanding R/T (tentu saja ini dari perspektif IOC!).

Gimana kalau naikin aja royalti? (atau FTP lah kalau kasus kita).. he he wacana boleh, cuma karena royalti dan FTP diambilnya duluan, tidak ada urusan dengan profit, kesannya kurang fair, kalau ngambilnya dari profit berupa tax, khan lebih elegan, ya wajar dong bagi bagi untung. Cuma ya itu tadi, Contractor nggak mau tahu mau dipajakin berapa, orang tahunya net doang, malah dalam kasus tertentu, naikin pajak yang untung bisa bisa malah Contractor, kok bisa?, lha iya IOC after tax split nggak berubah, tax nya naik, akhirnya IOC dapat tax receipt dengan jumlah yang lebih gede dibanding sebelumnya, ya lumayan bisa jadi pengurang pajak di Negaranya si IOC ini (tentu saja harus lihat dulu berapa tax disana dan disini, kalau disana masih lebih gede, ya ada manfaatnya, kalau udah mentok ya nggak bisa), tapi secara umum, naikin pajak dalam kasus PSC, nggak akan merugikan Contractor, karena klausulnya seperti itu.

Ada beberapa Country yang berpikirnya sedikit kedepan, di PSC kontraknya mereka udah masukin “windfall profit tax”, jadi jauh jauh udah diantisipasi biar nggak ribut kalau ketiban rezeki nomplok. Windfall profit tax itu dikenakan biasanya setelah tax yang normalnya (corporate income tax). Kira kira begitu dah!.

Friday, July 21, 2006

Mau kontrak yang model mana ?

Kontrak perminyakan antara Host Country (HC) dengan Contractor (bisa International Oil Companies (IOCs), National Oil Companies (state maupun private companies) dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis: Concession (belakangan lebih popular dengan istilah Royalty/Tax disingkat R/T, Production Sharing Contract (PSC), kadang disebut juga Production Sharing Arrangement (PSA) dan terakhir Service Contract. Setiap negara tentu punya alasan jenis kontrak mana saja yang akan dipilih, tidak heran kalau suatu negara bisa saja punya lebih dari satu macam model kontrak, malah bisa saja 3 jenis kontrak tersebut tersedia.

Pertanyaan yang sering muncul, model mana yang paling baik? R/T sama PSC/PSA bagus mana? Kenapa Risk Contract dipilih oleh beberapa negara tertentu?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat obyektif dan motivasi dari pelakunya, yaitu: HC dan Contractor.

Obyektif HC antara lain: meningkatkan pendapatan Negara, mendorong kegiatan eksplorasi dalam rangka menambah jumlah cadangan, kontrol terhadap asset migas, tenaga kerja, transfer teknologi dan lain lain ya, eh iya, sebelum lupa, yang juga penting, khususnya sekarang sekarang nih: meminimalkan kemungkinan timbulnya masalah lingkungan dari kegiatan tersebut. Harus hati hati benar, bisa panjang urusannya ini..!

Terus, Obyektif nya IOC apa ya? antara lain nih: tentu yang pertama memperoleh akses terhadap resource tersebut, menambah cadangan, optimisasi portofolio (ini luas nih, urusannya return dan risk), dan lain lain, tambahin sendirilah.. masih banyak sich ya..

Pertanyaan: R/T sama PSA bagus mana? Menarik melihat kasus Rusia, perdebatan berkepanjangan mengenai hal ini telah terjadi, masing masing kubu punya pendukung (dan modal) tentunya untuk membuat opini public mengenai apakah PSA bisa di adopsi oleh Rusia. Kubu anti PSA dengan modal tidak sedikit melakukan kampanye anti PSA di mass media. Slogan nya “Sharing and Starving”.. wah boleh juga provokasinya he he.

Apa kata pakar? Saya sempat berdiskusi dengan Dr. Pedro van Meurs (salah satu pakar petroleum fiscal system) yang sekarang menjadi konsultan terkenal, kompetitornya si Daniel Johnston. Dalam suatu kunjungannya ke Vienna awal Juni 2006, saya manfaatkan untuk mengundangnya ke kantor, mumpung gratis, karena kalau ngundang dia dalam kapasitasnya sebagai konsultan, ya mesti bayar, ada hitung hitungannya, ya saya ngundang dia sebagai temanlah (sok akrab), cari yang gratis gratis aja he he..! menurut beliau dan saya kira beberapa pakar lain juga sependapat, kalau saya baca makalah makalah mereka, artinya mau PSC kek mau R/T kek, nggak ada bedanya, artinya kita bisa mendisain suatu fiscal system yang memberikan keekononian yang sama persis, regardless bentuk kontraknya. Jadi tidak bisa dikatakan PSC memberikan keekonomian yang lebih baik dari R/T atau sebaliknya. Kalau gitu, Contractor suka R/T apa PSC? ya suka R/T lah, pertama dari title of petroleum transfer, R/T lebih baik bagi Contractor, dan intervensi pemerintah di R/T tidak begitu ketat, bukan berarti si Contractor bisa semena mena, ya tetap ada proses persetujuan juga, cuma dari sisi administrasi secara umum lebih simpel.

Dari sisi HC pilih mana R/T atau PSC? ada trend bahwa banyak negara yang dulunya kontraknya R/T pindah menjadi PSC (khususnya Negara Negara di Middle East dan Africa), bukan berarti tidak ada yang pindah dari PSC ke R/T, ada juga, misalnya Colombia, model mereka dulunya PSC sekarang malah ngeluarin sistem R/T, salah satu tujuannya ya menarik investor juga. Ada yang kekeh pake R/T terus dari dulu, yang ini contohnya Brazil.

Bagaimana dengan Risk Service Contract?, cukup menarik sebenarnya model ini, problem utamanya bisa nggak Contractor booking reserves, karena model ini secara umum Contractor memperoleh fee (fee based) jadi timbul problem pada saat dia akan mem- book reserves. Iran dikenal dengan model kontrak ini (terkenal dengan sebutan Iran Buyback model), kenapa Iran pilih model ini? karena buat Iran model ini cuma satu satunya pilihan, R/T maupun PSC tidak diperkenankan berdasarkan legislation disana. Venezuela juga pake Service Contract.

Sebenarnya bagi IOCs, model kontrak nggak penting penting amat, suka suka HC lah mau pilih modelnya, bagi mereka yang penting project economicsnya gimana (tentu ini determinant utamanya prospectivity dari area/lock yang ditawarkan), risk nya gimana, udah cukup. Apakah kita perlu ganti model? Saya kira PSC sudah cukup ok, mungkin untuk lapangan lapangan tertentu yang less risky, bisa di adopsi model Service Contract, sebenarnya juga ini bukan barang baru buat kita, project TAC dulu, ya modelnya model Service Contract juga sich. Kita sudah terlanjur dikenal dengan pioneer PSC, harusnya tidak berhenti sampai disitu, setelah pioneer, ya innovator PSC lah.. ya nggak?

Saya jadi inget zaman kuliah dulu, biasanya yang nyontek PR nilainya lebih bagus dari yang dicontek, karena disini ada unsur "modification", sambil nyalin contekan, dibagus bagusin dikitlah, tambah tambah apa kek, ngulang ngulang diketahui gitu gitu.. ya ada tambahan nilailah dari dosennya.... inovasi juga itu ha ha. Kembali ke Kontrak Perminyakan, PSC kita khan nomor satu dulu, belum ada yang pake, kita udah duluan, jadi referensi dimana mana, dicontek sama negara negara laen, di modifikasi dikit dikit, tambahin sliding scale, tambahin profit based macem macem.. ya begitulah kalau yang nyontek agak cerdas he he..!

Sunday, July 16, 2006

Siapa yang (lebih) untung ?

Ketika harga minyak menjulang tinggi seperti saat ini, timbul pertanyaan, siapa yang (paling) meraup untung?, IOC (international oil companies) atau Host Countries (negara dimana IOC tersebut beroperasi)?. Secara intuitif, dengan hitung hitungan project economics biasa, ya dua dua nya nambah untunglah, mungkin ada yang protes, "khan cost juga meningkat, sewa rig mahal, baja naik, services lain lain naik, semua biaya naik kok..", (gaji nggak naik tapi khan he he), oke bolehlah.. tapi impact dari kenaikan harga minyak jauh lebih signifikan dibanding kenaikan cost!, setelah dipotong potong biaya biaya, siapa yang bagian "kue"nya meningkat secara persentase?. jawabnya simpel, tergantung fiscal term di kontraknya.

Salah satu indikator pembagian hasil produksi migas adalah Government Take (GT), yaitu persentase semua pendapatan pemerintah, entah dari royalty, FTP, pajak, DMO, profit split dan lain lain, dibagi dengan profit (gross revenue - cost recovered), beberapa makalah saya lihat masih suka "membuat definisi sendiri" dimana pembaginya hanya gross revenue, saya kira ini bisa membingungkan, karena hasilnya bisa beda sekali, kalau dibagi dengan gross revenue, istilah yang lebih tepat harusnya Government Share bukan GT. Contractor Take (CT) = 1 - GT.

Sistem yang neutral atau regressive cenderung tidak sensitif terhadap profitability (dalam hal ini kenaikan harga minyak), artinya pada saat harga minyak naik, GT nggak ikut naik malah cenderung turun, sementara sistem yang progressive, cenderung responsif terhadap kenaikan harga minyak, artinya kalau harga minyak naik, GT juga ikut naik. Sebagian besar fiscal terms around the world adalah regressive, jadi dengan naiknya harga minyak, sebenarnya GT Host countries malah cenderung turun.

Apakah dengan demikian kita harus mengadopsi sistem progressive, "well probably yes, probably not, not so easy he..", biasanya sistem yang progressive memberikan GT yang lebih rendah dengan harga minyak yang rendah dan naik seiring dengan naiknya harga minyak, tidak demikian dengan sistem yang regressive, yang biasanya cenderung tinggi GT-nya dengan harga minyak yang rendah, (kasarnya kalau kita ngomong harga minyak rendah, sebutlah US$ 25 per barrel, sekali lagi ini kasarnya biar nggak ada yang protes, kenapa nggak 20 atau 15 atau malah 30?), dan cenderung sedikit menurun dengan kenaikan harga minyak. So ?, iya begitulah hidup ini nggak pernah selalu tersedia one simple answer, selalu ada tapinya, makanya diperlukan analyst supaya menganalisa he he. Menurut saya tentu melulu progressive nggak terlalu baik dari sisi HC, karena gimanapun, HC yang kaya resource hydrocarbon, maunya GT yang gede (minimal 70% - 80% lah), beberapa negara di Middle East dan Africa malah sekitar 90%, dan ini nggak bisa dicapai dengan simple progressive system, harus ada komponen regressivenya, seperti royalty yang gede, cost recovery limit, dan lain lain. Supaya bisa menikmati juga kenaikan harga minyak secara otomatis (tanpa harus merubah isi kontrak, yang biasanya malah jadi rame karena dianggap tidak menghargai kontrak), division of profitnya dibikin sliding scale (makin naik untungnya, makin besar split untuk government), istilah kerennya -profitability based- jangan fixed aja, nggak nambah persentase Government Take.

Beberapa sistem fiscal dibelahan dunia ini menggunakan laju produksi (production based) sebagai proxy profitability, artinya profit oil split government naik dengan naiknya produksi dalam interval tertentu, ada juga yang langsung berdasarkan harga minyak, ada juga dengan faktor tertentu R faktor, which is oke.. sebagai pendekatan, ROR based dianggap lebih konsisten mencerminkan profitability. Namun pelaksanaan sedikit lebih complicated.

Saturday, July 15, 2006

Regressive & Progressive System

Ketika kita membicarakan fiscal term, sering kita dengar istilah sistem yang regresif dan progresif, makhluk apa pula ini? Seperti kita ketahui, pembayaran pembayaran atau setoran atau payment yang diterima oleh host country (negara) bisa macam macam bentuknya, bisa berupa: biaya untuk memperoleh data data dalam rangka ikut tender penawaran blok/acreage, signature bonus, discovery bonus, import duties, VAT, royalty, profit oil, tax (income tax, special petroleum tax, etc). Tentu saja tidak semua negara mengenakan semua setoran diatas, sebagian membebaskan import duties dan VAT, sebagian tidak ada special petroleum tax, malah ada juga yang nggak pake bonus bonusan.

Nah, sekarang bagaimana suatu fiscal term itu disebut regresif?, suatu sistem disebut regresif bila pembayaran pembayaran tersebut diatas tidak terkait langsung dengan keuntungan proyek, sedangkan suatu fiscal term disebut progresif bila pembayaran tersebut terkait langsung dengan keuntungan proyek. Dengan demikian fee untuk pendaftaran, signature & discovery bonus, import duties dan VAT adalah komponen komponen yang regresif, sedangkan profit oil, income tax dan special petroleum tax adalah komponen yang progresif. Tentu saja Contractor senang dengan sistem yang progresif, bagaimana dengan host country, ya kalau bisa banyak komponen regresif nya lah!

Yang perlu kita pahami disini adalah, bila kita membandingkan 2 fiscal terms dari dua negara misalnya, bisa saja keduanya memberikan Government Take (GT) yang sama persis, misalnya 70%, namun dari sisi keekonomian proyek bisa jadi keduanya memberikan hasil yang sangat berbeda, kenapa? ya karena regresif dan progresif tadi, seperti kita ketahui, komponen yang regresif, pembayaran dilakukan dimuka, dengan demikian ini urusannya: time value of money, sistem yang lebih regresif akan menghasilkan parameter keekonomian (NPV, IRR, etc) yang lebih jelek bagi Contractor.

Didalam prakteknya, hampir semua fiscal terms didunia ini mengandung kedua komponen tersebut, baik yang regresif maupun yang progresif, so kalau gitu, bagaimana kita mengenali apakah suatu sistem itu regresif atau progresif? Karena mengandung dua komponen tersebut, yang dapat kita lakukan hanyalah membandingkan besaran relatifnya, bahwa Fiscal terms A, relatif lebih progresif atau regresif dari fiscal term B, C atau D dan sebagainya.

Ada paper bagus (SPE Paper 52958, Utilizing Discounted Government Take Analysis for Comparison of International Oil and Gas E&P Fiscal Regimes, William J. Rapp ; Boris L. Litvak, George P. Kokolis ; Ben Wang) mengenai metoda untuk mengkuantifikasi ini dengan suatu indeks yang disebut Front-end Loaded Index (FLI), dimana FLI (dalam %) didefinisikan sebagai: (DGT/GT) - 1

DGT adalah Discounted Government Take, sedangkan GT adalah Government Take (undiscounted).

Makin besar indeks FLI, makin “front-end loaded” suatu fiscal terms, atau dengan kata lain, makin menuju kearah “regresif”. Dengan rumus FLI ini, kita bisa menghitung semua fiscal term di beberapa negara, di plot, kemudian bisa di analisa lebih jauh, mana yang cenderung progresif mana yang cederung regresif, apa yang jadi penyebab utamanya, etc, etc..!.

Friday, July 14, 2006

Nge-charge batere dulu..


Tanggal 31 April 2006, saya berkesempatan ke Dundee, Scotland, ada seminar 5 hari mengenai Petroleum Fiscal System - Design & Analysis, paling nggak ini start awal untuk networking kerjaan, saat ini saya sedang menyiapkan beberapa studi terkait dengan upstream fiscal policy, ada beberapa points yang saya ingin diskusi langsung dengan workshop leadernya, Daniel Johnston. List pertanyaan dan klarifikasi mengenai beberapa hal sudah disiapkan.

Ternyata hari pertama yang ngisi kembarannya, David Johnston, saya sendiri belum pernah ketemu langsung sama Daniel, baru liat photo nya doang, sempat kecele juga, saya sok akrab aja, pas hari pertama, langsung manggil, "Hi Daniel, how are you?" abis mirip banget sich. Hari kedua Si Daniel baru muncul, rupanya dia baru pulang dari Middle East, ngasih inhouse disana, wah bener bener sibuk nih orang..

Tentunya pertanyaan yang saya sudah siapkan pelan pelan mulai saya tanyakan, berhubung di kelas, background partisipannya beda beda, sebagian besar sudah advance, sebagian ternyata mahasiswa S2 di Universitas Dundee, rupanya seminar ini merupakan kuliah wajib mereka, ya saya mesti pelan pelan (kasian adik adik mahasiswa he he.., karena untuk mereka setelah seminar ada ujiannya segala, jadi ya pada nyatet serius..!!)), justru kesempatan diskusi lebih banyak pas coffee break.

Saya senang karena Daniel banyak mengutip kasus Indonesia ketika dia berbicara masalah PSC, gimanapun kita emang pioneernya sich!, dia dengan rendah hati mengaku banyak belajar dengan para pakar Indonesia, mungkin itu bedanya kali ya, bule gitu, belajar terus dia belajar lagi dari yang laen, terus dia bikin buku, ngajar, jadilah dia salah satu konsultan paling laris saat ini..

Lumayanlah, 5 hari workshop, beberapa hal yang saya perlukan terjawab sudah, mau tahu apa sich list pertanyaan saya, antara lain: perbedaan kontrak khususnya sistem Royalty Tax dengan PSC, yang mana yang lebih stabil, advantage - disadvantage, beberapa hal mengenai perhitungan "profit based split" (ROR, R factor, R/C, etc), khususnya perhitungan di spreadsheet nya after tax dan before tax kadang kadang nggak jelas juga, progressive vs regressive system, effect dari state participation dan goldplating, gold plating didefinisikan sebagai perilaku (behavior) dari international oil companies (IOCs) untuk melakukan investasi yang tidak begitu jelas manfaatnya (unnecessary investment), karena adanya mekanisme cost recovery, gold plating ini menjadi masalah besar. Oleh karena itu, tentunya disain suatu kontrak migas harus sedemikian rupa sehingga tendency untuk melakukan goldplating ini menjadi minimal.

Why blog?

Awalnya bingung apa judulnya blog ini, sebelumnya pingin tittlenya: Petroleum Economics and Fiscal System, ini mengacu judul kursus yang sering saya bawakan di tanah air, tapi belakangan kok lebih sreg pakai bahasa Indonesia ya, karena sebenarnya tujuan diskusi dan sharingnya sama rekan rekan, senior, junior, mahasiswa, pelajar, orang awam maupun para pakar di tanah air.

Pengalaman saya mengajar kursus selama beberapa tahun dengan subyek diatas, membuat saya sadar, bahwa makin banyak kita diskusi ternyata makin banyak yang kita tidak tahu, jangan dikira kalau kita mengajar kita lebih tahu lho, saya justru banyak belajar dari "murid" sewaktu dikursus, banyak pertanyaan yang ternyata saya juga nggak bisa langsung jawab, khususnya "practical & unique questions", saya harus cari tahu entah dari text book, entah email pakar yang saya anggap lebih tahu, atau telpon temen temen yang punya real experience... jadi mengajar kursus itu, sambil menyelam minum air lah.. honor dapat ilmu nambah!