Thursday, July 27, 2006

Cost Recovery, why controversy? - 1

Cost recovery, makhluk apa itu? banyak yang senang membicarakannya, mulai dari orang orang yang bergelut di migas (so pasti lah ya), maupun pengamat, repotnya di kita ini, semua orang bisa meng klaim dirinya sebagai pengamat, kalau sekedar mengamat amati si amat, ya ngggak apa apa, yang repot kalau mengeluarkan komentar kemana kemana dan membentuk opini publik tanpa tahu persis makhluk apa yang sedang dibicarakan.

Didalam kontrak perminyakan antara Host Country dengan IOC, apapun bentuknya, pasti adalah yang namanya mekanisme cost recovery, jadi cost recovery sebenarnya bukan melulu ada dalam model PSC, didalam sistem Concession (Royalty/Tax) pun ada, istilahnya memang bukan cost recovery, lebih sering digunakan istilah cost deduction, dalam Service Contract, pun demikian, ada mekanisme seperti diatas. Intinya begini: IOC itu melakukan aktivitas dengan uang mereka, jadi setelah menghasilkan sesuatu, ya wajar dong biaya yang sudah dikeluarkan harus dikembalikan, karena mereka bukan organisasi sosial.

Sampai disini semua oke oke saja tentunya, sekarang kapan cost recovery bisa dilakukan?, ya tergantung terms & conditions di kontraknya, sebagian besar Fiscal Terms didunia ini, mengenakan royalty, artinya prioritas pertama dari gross revenue itu adalah bayar royalty dulu, setelah itu, sisanya untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan (cost recovery). Indonesia agak unik, karena ada FTP (First Tranch Petroleum) besarnya 15%-20%, bedanya sama royalty, kalau FTP ini di share antara bagian pemerintah/negara dengan Contractor, kalau Royalty langsung masuk ke pundi pundi negara.

Ada juga negara tertentu, tidak mengenakan royalty, jadi grosss revenue bisa langsung digunakan untuk cost recovery, cuma umumnya cost recovery dibatasi misalnya 70% satu tahun, mungkin lebih tepat satu accounting period. Kalau nggak cukup, sisanya di carry forward ke tahun berikutnya. Apa sich tujuannya: royalty, FTP, cost recovery limit itu? Untuk menjamin HC memperoleh bagian produksi dari saat awal produksi, karena kalau nggak ada itu, bisa bisa HC nggak dapet apa apa dari tahun awal produksi, semuanya dipake untuk cost recovery, lha seperti kita ketahui, investasi migas biayanya gila gilaan, nunggu cost recovery kebayar semua, wah nunggu beberapa tahun itu.

Didalam sistem PSC, sisanya (setelah dipotong cost recovery), dibagi antara HC dengan IOC, metode pembagiannya bisa macem macem, ada yang fix saja, ada yang tergantung laju produksi (sliding scale) ada yang berdasarkan kumulatif produksi, ada yang berdasakan faktor faktor tertentu (istilahnya R factor), ada juga yang berdasarkan ROR, ada yang langsung berdasarkan harga minyak, ada yang berdasarkan kondisi geologi (frontier area, kedalaman, etc), ada yang berdasarkan sifat minyaknya (API gravity) dan lain lain.

Setelah itu Contractor bayar pajak, tergantung kontraknya, apakah splitnya before tax atau after tax, biasanya ditulis dua duanya biar clear, bahwa pajaknya sekian, splitnya sebelum pajak segini, kalau mau sesudah besarnya segini. Tentu ada hal hal lain, seperti DMO (nggak semua kontrak di dunia ada DMO), state participation, dan lain lain.

Dari pembagian itu, Contractor menghitung cash flow mereka, keekonomian dan segala macem, kembali ke judulnya yaitu Cost recovery, kenapa kontroversi ?, apa benar ada manfaatnya buat Contractor untuk mark-up (maksudnya yang nggak ketahuan ya, kalau ketahuan khan nggak bisa mark-up he he), mungkin mark-up istilahnya terlalu kasar, lebih halus kalau disebut "unnecessary cost", bener nggak sich secara project economics akan ada manfaatnya kalau gede gedein cost recovery?. kita diskusi khan pada bagian kedua, sekarang sudah ngantuk soalnya, nanti salah salah nulis repot.. he he!.

No comments: