Sunday, October 28, 2007

Indonesian Crude price (ICP)

Dari tag-board, Iwan PS: Mas, bisa dibahas mengenai Indonesian Crude Price (ICP) formula, kenapa terus berubah?
-----
Apa khabar Mas Iwan? Udah lama nggak kontak2. Saya jawab lewat posting ya, kalau di tag-board, space terbatas.

Penetapan besarnya harga minyak merupakan hal yang sangat penting mengingat berapa besar harga minyak berpengaruh terhadap pembagian produksi (lifting) antara Kontraktor dan pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah mengambil peran dalam penetapan metoda perhitungan harga minyak mentah Indonesia (ICP).

Penentuan harga minyak di pasar internasional sebagaimana kita ketahui merupakan masalah yang kompleks, lihat posting posting sebelumnya tentang harga minyak

Formula ICP

Perhitungan ICP saat ini mengikuti formula tertentu yang merupakan harga rata rata tertimbang dari sumber yang kompeten dalam perdagangan minyak internasional, antara lain: Platts, RIM dan APPI.

Platts adalah penyedia jasa informasi energi terbesar di dunia, jasa informasi tidak terbatas pada minyak, namun juga gas alam, kelistrikan, petrokimia, batubara dan tenaga nuklir.

RIM Intelligence Co, adalah badan independen yang berpusat di Tokyo dan Singapore, mereka menyediakan data harga minyak untuk pasar asia pasific dan timur tengah.

APPI (Asian Petroleum Price Index), menggunakan sistem panel (panel pricing) dimana penentuan harga minyak dilakukan oleh partisipan pelaku industri (seperti: trader, refiner dan producer). APPI dikeluarkan oleh SeaPac Services di Hongkong. APPI dianggap sebagai mekanisme penentuan harga yang standar untuk wilayah Asia Timur.

Formula harga minyak ICP terus mengalami perubahan, sebelumnya formula ICP:

ICP = 40% Platts + 40% RIM + 20% APPI.

Sejak Oktober 2006, Indonesia mengubah bobot perhitungan ICP, dimana persentase APPI berkurang, formula menjadi:

ICP = 47.5% Platts + 47.5% RIM + 5% APPI

Sejak Juli 2007 (?), APPI di-drop, sehingga ICP menjadi 50:50 untuk Platts dan RIM.

Pertanyaan: Kenapa sich APPI akhirnya di drop? Salah satu alasan mengapa APPI tidak dipergunakan lagi adalah karena rendahnya harga minyak hasil assessment APPI tersebut. Kelemahan sistem panel APPI terletak pada masalah transparansi dan kemungkinan adanya kecenderungan untuk terjadi manipulasi. APPI menggunakan sekitar 70 panelis dari perusahaan kilang (refiners) di Asia pasifik, produsen minyak mentah (producers) dan pedagang (traders). Effisiensi dari sistem panel mengandalkan pada variasi perwakilan partisipan dalam pasar minyak mentah tersebut, apabila tidak seimbang, bisa menimbulkan distorsi. Sebagai contoh: Perusahan minyak internasional (IOC), mereka bisa mewakili ketiganya, yaitu: sebagai produsen, sebagai trader dan juga sebagai refiner, hal seperti ini bisa membuat distorsi harga yang cenderung akan membela kepentingan partisipan tertentu.

Pricing harga minyak “rendah” cenderung lebih disukai oleh IOC, mengapa? Pertama sebagai produsen, apabila mereka menggunakan model kontrak PSC di negara produsen, dengan harga minyak yang relatif lebih rendah, maka IOC tersebut dapat mengklaim volume minyak mentah lebih banyak dari mekanisme cost recovery (IOC bisa lifting lebih besar dengan harga minyak lebih rendah). Kedua sebagai refiner, tentu mereka lebih suka dapat minyak mentah dengan harga yang lebih “rendah”.

Kalau ada distorsi harga, tentu ada efek juga ke ICP, kalau pas harga minyak lagi tinggi, efeknya lumayan juga (walaupun bobotnya cuma 5%). Disamping itu hitungan ICP ini urusannya kemana mana, termasuk ke pricing LNG yang formulanya mengikuti harga minyak (ICP).

Sunday, October 21, 2007

Higher Price - Higher Take?

Dari Tag Board, Adjie: Mas, Ekuador menyusul Venezuela dan Bolivia, melakukan "nasionalisasi", trend Amerika latin?

Iya Ekuador baru mengeluarkan keputusan, 99% tax untuk windfall profit (batasannya: oil price diatas 24 $/bbl). Tahun lalu presiden mereka sebelumnya sudah menaikkan tax dari 17% ke 50%, sekarang sama presiden baru mereka dinaikin lagi. Sebagai tambahan disebutkan, kalau IOC keberatan dengan keputusan itu, ada opsi untuk mengubah ke service contract (dari model PSC sekarang). Kita tunggu saja bagaimana perkembangan selanjutnya, saat ini masih ada pertemuan2 antara IOC dengan pemerintah sehubungan dengan keputusan yang dianggap cukup mengejutkan tersebut.

Bolivia seperti kita ketahui, sebelumnya telah melakukan perubahan drastis, melalui UU migas mereka yang baru (2005 hydrocarbon law), ditetapkan kalau royalty dinaikin jadi 18% dan Direct Tax on Hydrocarbon (DTH) sebesar 32%, jadi totalnya 50% dari “value of production hydrocarbon”. Untuk lapangan yang gede (kalau nggak salah 2 fields), ditambah “gov participation” sebesar 32% sehingga total jadi 82% (ini asal usul angka sebesar 82% seperti banyak dilansir mass media beberapa bulan lalu).

Negara Amerika lainnya, Kolombia dan Peru, mungkin karena tingkat prospektivitas mereka, memilih jalur yang lebih friendly ketimbang negara tetangga lain. Sebenarnya urusan naik naikin tax dan renegosiasi dengan IOC akibat meningkatnya harga minyak ini, nggak melulu terjadi di Amerika Latin, kita tahu sebelumnya Algeria juga mengeluarkan aturan windfall profit tax, beberapa negara FSU juga mulai me review kontrak mereka. Kita nggak boleh lupa juga, bahwa UK juga mengenakan windfall profit tax ini (tahun 2002 dan 2005), begitu juga di Alberta, Canada yang sekarang lagi rame dengan rencana mereka menaikan “take”.

------
Tidak bisa dipungkiri bahwa melambungnya harga minyak membuat orang berhitung ulang, khususnya untuk beberapa model kontrak yang tadinya terlalu “lunak”. Pemerintah tersebut me-review model kontrak mereka dalam rangka meningkatkan “take”. Dalam beberapa kasus, perubahannya agak terlalu ekstrim juga, khususnya ketika mendefinisikan “windfall profit”. Diskusi “windfal profit” ini bisa berkepanjangan, banyak teori, pendapat dan perdebatan mengenai siapa yang berhak dan bagaimana pembagiannya.

Disisi lain, pemerintah juga harus melihat bahwa kenaikan harga migas, juga berakibat kenaikan yang signifikan baik biaya kapital maupun non kapital serta jasa penunjang lainnya. Hal ini perlu juga dihitung2 supaya perhitungannya “cover both sides”. Apa yang dilakukan di Alberta sana dapat dijadikan contoh yang cukup baik, khususnya dalam hal transparansi. Rencana parlemen dan pemerintah setempat untuk menaikkan royalty didukung oleh perhitungan2 yang bisa diakses kedua belah pihak. Dengan demkian, dari pihak kontraktor (IOC) bisa men-challenge asumsi biaya biaya yang digunakan oleh team panel yang mengusulkan kenaikan royalty yang mereka anggap asumsi biayanya terlalu rendah…

Kita perlu catat juga bahwa nggak semua negara merasa perlu meningkatan “take” nya, UEA lewat Adnoc-nya, seperti dikutip dari International Oil Daily (16 Oct 2007), memberikan insentif dalam bentuk, antara lain: acceralerated depreciation dan lain lain yang bertujuan mendorong investasi untuk meningkatkan kapasitas output mereka.
-------
Banyak analyst berpendapat, bahwa tindakan unfriendly semisal “nasionalisasi” hanya akan memberikan manfaat dalam jangka pendek, dalam artian bahwa pemerintah segera mendapat dana segar. Bagaimana longtermnya? IOC tentu akan pikir pikir untuk ikut seandainya ditawarkan blok baru, dengan demikian apakah NOC dapat diandalkan untuk aktivitas eksplorasi?. Kalau pemerintah punya uang, apa nggak sayang dipake buat “berjudi”, ngebor eksplorasi kasarnya kaya berjudi, high risk!, apa nggak lebih baik duitnya dipake buat pendidikan, infrastruktur dan lain lain. Untuk urusan “perjudian”, bukannya lebih baik diserahkan kepada “penjudi juga”. IOC punya pengalaman dan jam terbang dalam “berjudi” ini, tapi tentu mereka mengharap reward yang gede pula. Orang masuk casino, mimpinya jadi milyarder, mana ada yang main judi cuma mimpi menang 10% he he..

Yang perlu dipersiapkan itu adalah terjadinya kondisi ekstrim, kalau ekstrimnya nggak dapet apa apa, ya udah itu resiko kontraktor!, tapi perlu juga dipersiapkan kondisi ekstrim lain yaitu: profitnya berlipat ganda (misalnya: ketemu giant field, harga melonjak, dll). Ini kerjaan yang melibatkan banyak keahlian untuk memasukkan faktor ini, sehingga kmungkinan ini sudah diantisipasi sebelum kontrak dimulai..

Sunday, October 14, 2007

Oil Trading & Pricing

Tanggal 8 -12 Oktober 2007, aku ikut training, International Oil Trading & Pricing di Oxford, UK. Awalnya kenapa kok ikut training ini sebenarnya ada ceritanya. Di Sekretariat sini ada “aturan tidak tertulis” yang bilang: kalau mau ikut training atawa kursus, maka nggak boleh ngambil subject yang jadi core expertise kita. Harus subject lain. Waktu baru masuk saya sempat tanya sama senior disini, apa alasannya?. Jawabnya masuk akal, dia bilang, ente khan masuk sini udah dianggap ahli, logikanya nggak perlu training lagi, kalau mau mempertajam keahlian bukan ikut training atau kursus, tapi ikut seminar, workshop, conferences, brainstorming, etc… Oke lah apa lu kate deh!

Karena setiap tahun ada jatah training, pas awal tahun kemaren bingung cari subject apa, kendala lain adalah bahwa training tersebut kalau bisa sedapat mungkin diluar bulan Maret & September, karena pas bulan tersebut aktivitas di Sekretariat paling tinggi dibanding bulan2 lainnya. Akhirnya saya pilih subject mengenai oil trading (and pricing), karena kepingin tahu lebih banyak urusan dan kerjaan trader ini. Dari cerita kolega dan info lainnya katanya kalau mau ikut training tersebut, yang bagus punyanya
Oxford Princeton Programme, adanya bulan Oktober di Oxford, ya udah saya oke aja, minta tolong didaftarin sama bagian training.

Saya baru sadar pas awal September, lha jadwal kursusnya 8-12 Oktober, bukannya itu bulan puasa? alamak… nggak enak bener puasa2 ikut training di Oxford sana, bukannya apa2, mikirin gimana sahurnya ini yang pusing. Apalagi temen saya bilang, itu hotelnya dipinggir kota Oxford, room service nggak 24 jam, cuma sampe jam 10 malem.. weleh!. Ya udah sebelum berangkat, saya langsung bilang nuning, tolong dipersiapkan perbekalan buat sahur berikut perangkatnya…

Sebelum berangkat, masih kepikiran - lebaran di Wina tanggal berapa ya, 12 apa 13?. Kalau tanggal 13 sich ok, karena jadwal flight balik ke Wina tanggal 12 jam 19.30 waktu London, sekitar 2 jam terbang, nyampe sekitar Jam 22.40 waktu Wina, masih oke. Tapi kalau lebaran tanggal 12, wah wassalam, gua masih training disini. Masalahnya kepastian tanggal 12 apa 13 nya khan baru diputuskan tanggal 11 nanti.


Menu sahur, apa boleh buat, apalagi kalau bukan mie instant, 2 porsi biar nendang

Pas hari hari training, setiap cofffe break, gua mondar mandir aja di halaman hotel, iseng nyamperin salah satu peserta dari Nigeria, "kok lu nggak ngopi?", dia jawab: "ini ramadan, gua lagi puasa", wah ada temen senasib. Pas waktu lunch, buru buru ke kamar, lumayan ada waktu 1 jam buat dipake tidur.

Trainingnya sendiri gimana? Pesertanya sebagian besar trader dari perusahaan minyak (BP, Shell, Chevron, Petrobras, OMV, etc), Investment banker (JP Morgan, bank macem macem), orang2 bagian marketing dan shipping crude dan products. Materinya cukup komprehensif, mulai dari: Oil market, shipping & freight, refining, forward & futures market, trading strategies, hedging, geographic price arbitrage, exchange of futures for physical, swap, options, etc. kalu mau lihat detail course contents-nya disini. Enaknya biar nggak ngantuk, tiap 1 jam dikasih exercise untuk didiskusikan per kelompok, denga demikian, ada kesempatan untuk belajar langsung dari trader. Kelebihan lain: instrukturnya banyak, hampir setiap sesi ada instruktur dari luar yang merupakan praktisi, lumayan - jadi nggak bosen.

Exercise-nya lumayan berat, untungnya dulu pas lagi senengnya mendalami real options, saya banyak baca buku2 dan paper2 mengenai options, futures and other derivatives, jadi ada background dikitlah, kalau nggak pernah baca buku begituan, pas dikasih exercise, bisa2 bengong aja!

Kamis sore tanggal 11 aku sms nuning, “ma, udah ada pengumuman dari vienna islamic centre belum, kapan lebarannya?”, setengah jam kemudian, dapet balesan: “barusan dapat kabar dari islamic center, lebarannya besok..”. Hah… !. Malemnya ada cara makan makan oleh penyelenggara training di city centre-nya Oxford, aku udah nggak konsen, ngebayangin orang2 lagi sibuk takbiran. Jumat pagi telpon ke rumah, anak bini gua lagi sibuk mau berangkat shalat ied. Untungnya (seperti biasa..) masih ada yang menghibur, acara halal bil halal untuk warga Indonesia di KBRI Wina diadakan hari Sabtu… wah masih ada kesempatan silaturahmi. Ya, beginilah kalau asal pilih jadwal training he he..!! Anyway, selamat lebaran, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir bathin.

Wednesday, October 03, 2007

Insentif migas tak ada gunanya?

Kamis, 20/09/2007 15:33 WIB

Insentif Migas Dianggap Tidak Ada Gunanya
Alih Istik Wahyuni - detikfinance

Jakarta - Berbagai insentif yang diberikan pemerintah di sektor migas dinilai tidak ada gunanya lagi. Pasalnya, insentif dan fasilitas yang digelontorkan demi menyemangati kontraktor, justru kontraproduktif dengan produksi minyak dan gas di Indonesia yang terus turun.

Demikian disampaikan Peneliti LP3ES Pri Agung Rakhmanto dalam konferensi pers di kantor LP3ES,Jalan S Parman, Kamis (20/9/2007).

Pri mencontohkan, seperti pada periode tahun 1976 hingga tahun 1988 ketika terjadi perubahan batasan cost recovery dalam kontrak production sharing. Saat itu biaya produksi yang bisa diklaim ke pemerintah yang semula berlaku 40 hingga 60 persen direvisi menjadi 100 persen.

Tapi pada kenyataannya, produksi dan cadangan minyak yang ditemukan justru turun signifikan. Dari 1,7 juta barel per hari menjadi sekitar 1,1 juta barel per hari.

Begitu juga yang terjadi pada periode tahun 2000, ketika cost recovery justru diduga banyak penggelembungan hingga 120 persen karena masuknya biaya-biaya yang tidak seharusnya. Pada saat itu, produksi migas justru turun dari 1,4 juta barel per hari pada tahun 2000 menjadi sekitar 1 juta pada tahun 2006. "Jadi sekian banyak insentif sudah ada, tapi justru produksi turun. Jadi tidak ada hasilnya," tegasnya.

Selain fasilitas cost recovery, kenikmatan lainnya adalah holiday domestic market obligation, dimana ada jangka waktu tertentu kontraktor diliburkan dari kewajibannya mensupply migas ke domestik dengan harga murah.

Ditambah lagi prosentase bagi hasil operasi migas di Indonesia yang makin menguntungkan kontraktor. Awalnya, bagi hasil migas pada tahun 1974 adalah 65:35 (kontraktor:pemerintah). Tapi kini, bagi hasilnya bervariasi antara 85:15 sampai 70:30. Belum lagi masalah pengurangan beberapa pajak yang dulu masih 56persen sekarang tinggal 44 persen.

Bahkan, ia menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah dan kontraktor-kontraktor itu."Bisa saja mereka (kontraktor) berpikir, dengan cost recovery yang besar saya sudah untung banyak. Ngapain genjot produksi, dengan produksi makin rendah kan kita bisa minta insentif lagi," katanya. Solusinya, ia mendesak agar pemerintah segera merenegosiasi sistem bagi hasil dengan para kontraktor migas itu. Seperti perombakan besar-besaran yang dilakukan Bolivia ataupun nasionalisasi yang dilakukan Venezuela. (lih/arn)

--------------------------

Oleh Bung Zaki, saya diminta mengomentari artikel diatas tersebut, saya secara personal tidak kenal dengan Mas Pri ini, saya lihat tulisannya di beberapa mass media bagus bagus, mungkin karena beliau ini sebelumnya pernah di KPS juga?, kalau nggak salah, dia ini adik kelas saya di TM, jadi sekarang kita sama2 menyimpang he he..


Saya akan memberikan beberapa komentar, saya (BL) dan Pri (PAR):

PAR:
Pri mencontohkan, seperti pada periode tahun 1976 hingga tahun 1988 ketika terjadi perubahan batasan cost recovery dalam kontrak production sharing. Saat itu biaya produksi yang bisa diklaim ke pemerintah yang semula berlaku 40 hingga 60 persen direvisi menjadi 100 persen.Tapi pada kenyataannya, produksi dan cadangan minyak yang ditemukan justru turun signifikan. Dari 1,7 juta barel per hari menjadi sekitar 1,1 juta barel per hari.

BL:
Mungkin bisa dilihat posting saya sebelumnya mengenai kilas balik PSC kita disini, memang era PSC Generasi I, cost recovery dibatasi 40% per tahun, tapi pembagian split-nya, sudah termasuk pajak 65% : 35% buat kontraktor. Dengan hitungan spt ini, maka bagian pemerintah relatif konstan sebesar 44% dari gross production (asal usul angkanya lihat di posting kilas balik PSC tersebut). Kemudian di revisi untuk PSC generasi II dan III yang masing masing cost recovery diperbolehkan mencapai 100%. Jelas PSC generasi II dan III lebih baik buat pemerintah (perhitungan Government Take, untuk II dan III sebesar 85% sedangkan PSC I = 74%). Sebagai tambahan, kita tidak bisa melihat hanya dari cost recovery limit untuk membedakan bahwa suatu fiscal term lebih baik dari yang lain. Untuk tujuan perbandingan, Government Take yang harus dipakai. Dari situ (menurut saya) tidak ada hubungan langsung antara perubahan PSC I, menjadi II dan III dengan penurunan produksi. Kecuali kalau mau membuat hipotesa (yang dikaitkan dengan model kontrak) bahwa karena PSC II dan III lebih tight bagi kontraktor dibanding PSC I, maka kontraktor kurang antusias, akibatnya produksi menurun?.

Saya kira, kalau kita lihat histori harga minyak, kelihatannya faktor harga minyak yang lebih dominan terhadap keputusan investasi perusahaan migas untuk eksplorasi dan produksi yang pada gilirannya akan berpengaruh ke tingkat produksi.

PAR:
Ditambah lagi prosentase bagi hasil operasi migas di Indonesia yang makin menguntungkan kontraktor. Awalnya, bagi hasil migas pada tahun 1974 adalah 65:35. Tapi kini, bagi hasilnya bervariasi antara 85:15 sampai 70:30. Belum lagi masalah pengurangan beberapa pajak yang dulu masih 56 persen sekarang tinggal 44 persen. Bahkan, ia menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah dan kontraktor-kontraktor itu.

BL:
Kita jangan salah kaprah disini, bahwa bagi hasil PSC Generasi I, 65:35 itu khan bagian pemerintah yang 65 itu khan sudah termasuk pajak kontraktor, sementara 85:15 itu khan net, kalau mau "apple to apple", dihitung “gross up” dulu, misalkan saja pajak 44%, maka dapetnya: 73.21%: 26.79% (bukannya lebih baik buat pemerintah dibanding tahun 1974 yang cuma 65:35?)

Mengenai pajak, yang turun 56% jadi 48% terus 44%, ini terjadi salah kaprah juga, jangan dikira kalau pajak turun, terus bagian pemerintah jadi turun, (kalau ceritanya gitu, masak bodoh kali pemerintah mau2nya nurunin tax?). Dalam kontrak PSC itu khan ada yang namanya: stabilization clause, bahwa perubahan pajak itu tidak berpengaruh terhadap after tax profit split yang 85:15, yang berubah cuma before tax profit split. Jadi pada akhirnya nggak ada yang berpengaruh (pemerintah nggak rugi, tax turun, tapi split before tax naik). Ilustrasi biar jelasnya gini: pada saat pajak 56%, split before tax = 66% : 34%, pada saat pajak turun 44%, split before tax = 73.21% : 26.79%. Split after tax ya tetap 85 : 15!. Sebenarnya dengan turunnya tax itu, buat kontraktor malah “rugi” lho, coba lihat di posting saya sebelumnya..

PAR:
"Bisa saja mereka (kontraktor) berpikir, dengan cost recovery yang besar saya sudah untung banyak. Ngapain genjot produksi, dengan produksi makin rendah kan kita bisa minta insentif lagi," katanya.

BL:
Coba tanya perusahaan minyak apa yang mereka cari cuma cost recovery plus insentif?, Anda khan tahulah, perusahaan minyak itu risk taker, ada resiko kalau nggak dapet apa apa.. Saya kira nggak lah, buat perusahaan minyak tentu misi utamanya cari tambahan cadangan dan genjot produksi sebesar besarnya, karena itu yang akan mempengaruhi saham mereka. Kalau cuma mau berharap dari cost recovery dan insentifnya, mungkin buat mereka lebih baik uang nya dipakai investasi yang aman sajalah, ngapain repot2 bikin perusahaan minyak..!

-------------------------
Secara umum saya setuju bahwa memberikan insentif harus hati hati, kenapa? karena resiko yang dihadapi di masing2 lapangan itu berbeda beda, jadi kalau mau memberikan insentif , lebih baik case by case, daripada buat satu insentif berlaku untuk semua, susah nanti bikin insentifnya? Ada yang merasa wah kalau segini nggak ngaruh, sementara yang lain, tanpa dikasih insentif pun sudah ekonomis.., akhirnya yang “sebenarnya nggak perlu insentif” jalan, yang diharapkan jalan, malah nggak mau, karena belum ekonomis tadi..

Disamping itu insentif eksplorasi lebih penting dibanding insentif pada tahap pengembangan, karena untuk harga minyak yang relatif tinggi sekarang ini, bisa jadi tahap pengembangan memang nggak perlu insentif lagi. Enhanced Oil recovery (EOR) perlu nggak? Ya tergantung, kalau dengan yang standard sudah ekonomis, tentu nggak perlu, sementara kalau masih belum ekonomis, dipaksa suruh EOR juga nggak akan mau kontraktornya.. So? Case by case… karena ketahuan kalau memang diperlukan, kalau nggak perlu?, ya nggak usah! ngapain cari masalah..!!