Wednesday, December 31, 2008

Revisi Pelaporan Cadangan SEC

Tanggal 29 Desember, the Securities and Exchange Commission (SEC) mengumumkan bahwa mereka secara aklamasi menyetujui revisi dalam rangka mordenisasi persyaratan pelaporan perusahaan migas untuk membantu investor mengevaluasi "value" dari investasi mereka di perusahaan migas.

Revisi yang cukup penting antara lain:

The new disclosure requirements approved by the Commission include provisions that permit the use of new technologies to determine proved reserves if those technologies have been demonstrated empirically to lead to reliable conclusions about reserves volumes. The new requirements also will allow companies to disclose their probable and possible reserves to investors. Currently, the Commission’s rules limit disclosure to only proved reserves.

The new disclosure requirements also require companies to report the independence and qualifications of a reserves preparer or auditor; file reports when a third party is relied upon to prepare reserves estimates or conducts a reserves audit; and report oil and gas reserves using an average price based upon the prior 12-month period rather than year-end prices. The use of the average price will maximize the comparability of reserves estimates among companies and mitigate the distortion of the estimates that arises when using a single pricing date.

Teks lengkap dari Press Release tsb dapat dilihat disini.
-------------

Aturan mengenai harga rata rata selama periode 12 bulan menjadi sangat relevan saat ini, untuk tahun 2008 ini saja, bayangkan kalau menggunakan harga year- end price yang berkisar $ 40 per barrel.

HAPPY NEW YEAR,
Wishing everyone a peaceful, healthy and joyful New Year.

Tuesday, December 23, 2008

Penundaan Proyek

Jangan heran kalau baca berita belakangan ini mulai terdengar berita penundaan proyek proyek besar di sektor migas. Proyek proyek seperti Oil Sand di Kanada, Heavy Oil dan Deepwater tertentu, memerlukan minimal harga minyak diatas US $ 60 per barrel. Ketika sekarang harga minyak memble, di mass media kita baca sebagian dari proyek tersebut akan ditunda dan atau dibatalkan (lihat Petroleum Argus, 22 Dec 2008).

Untuk menerangkan semua itu, kita harus kembali ke laptop, kembali ke teori dasar yang disebut teori Economic Rent. Teori ini dikembangkan oleh para ekonom (Ricardo diantaranya) untuk melihat bagaimana keuntungan dari tuan tanah bervariasi terhadap kualitas dari tanah tersebut. Penjelasan klasiknya sebagai berikut.

Pada gambar diatas diasumsikan bahwa tuan tanah secara logik akan mulai bercocok tanam terlebih dahulu pada area tanah yang paling subur (L1), area yang kurang subur L2, L3, dan seterusnya, baru akan ditanami kemudian kalau dianggap cukup menguntungkan. Apa yang dimaksud dengan economic rent disini adalah ”surplus” (area warna biru). Menurut Ricardo, Rent timbul karena adanya perbedaan produktivitas, rent untuk area L1, lebih besar dari L2 karena perbedaan kualitas dari area L1 dan L2. Area yang paling tidak subur (lowest quality) dalam hal ini L7, sama sekali tidak akan di produksikan.

Pertanyaanya: bagamana kalau harga komoditas turun? Seperti kita lihat pada gambar dibawah ini, L4 s/d L7 sama sekali tidak menghasilkan rent. Apa yang bisa dilakukan? tingkatkan kuliatas tanah dengan memberi pupuk.

Konsep economic rent dalam industri migas

Aplikasi konsep ini dalam industri migas dapat disederhanakan dengan membuat perhitungan ”supply cost”, yang terdiri dari komponen biaya biaya (exploration, development dan operating), pajak, royalty dan minimum rate of return. Katakanlah di suatu negara ada 8 lapangan (A – H), maka kita hitung masing masing ”supply cost” ini, kemudian kita plot dari yang paling rendah ke paling tinggi. Analogi dengan konsep Rent, diatas, maka economic rent dalam kasus migas ini adalah area yang berwarna biru.

Ketika harga minyak rendah, tentu kemudian tidak menarik untuk mengembangkan lapangan E s/d H. Kondisi inilah yang saat ini terjadi saat.

Bagaimana biar menarik?, dikasih insentif, misalnya keringanan tax, royalty dan lain lain. Hal ini akan menurunkan supply cost (penurunannya warna putih untuk Lapagan F, G, H). Insentif ini cukup baik bagi lapangan E & F tapi tidak cukup menarik untuk lapangan G & H. jadi untuk lapangan G & H, ya apa boleh buat, tetap ditunda dulu...

Sunday, December 21, 2008

Renegosiasi vs harga minyak

Harga minyak ibaratnya seperti main “roaler coaster”, turun naik kenceng, jadi bikin pusing banyak orang. Ketika harga minyak tinggi kemaren kemaren, banyak negara produsen “protes” dan menutut bagian yang lebih besar dari hasil pendapatan migas. Banyak negara minta renegosiasi kontrak, jangan lupa kasus kontrak LNG Tangguh yang sempat rame di mass media tanah air, yang pada saat itu cap batas atasnya cuma dipatok sebesar $ 25 per barrel (yang kalau nggak salah kemudian berhasil nego jadi $ 35 per barrel). Ketika harga minyak tinggi sekali waktu itu ($ 140 per barrel), banyak yang kembali protes dan kemudian dibentuk team renegosiasi lagi.

Dengan harga minyak yang sekarang sudah jatuh dibawah $ 35 - $ 40 per barrel, apa team ini masih perlu berunding lagi. Kalau harga minyak terus turun dibawah $ 20 per barrel (sesuatu yang kelihatannya mustahil, sama halnya ketika harga minyak $ 140 per barrel, pada saat itu, orang mikir mustahil akan turun dibawah $ 40 per barrel dalam beberapa bulan kedepan). Mungkin gantian pihak China yang minta renegosiasi, karena harga LNG-nya sudah kemahalan he he. Bisa jadi setiap negara akan terus sibuk bikin dan bubarin team renegosiasi.

Pada saat harga minyak tinggi, negara yang protes untuk minta bagian “Govenment Take“ lebih tinggi, sebaliknya, pada saat harga minyak rendah, gantian, perusahaan migas yang protes, supaya negara berkenan mengurangi bagian “Government Take” nya. Pertanyaannya: seberapa cepat perubahan kebijakan itu dilakukan. Untuk negara tertentu, seperti Russia, mereka bergerak cepat, pada saat harga minyak anjlok drastis belakangan ini, export taxes-nya diturunkan sebesar 32%. Saya kira negara lain sudah mulai menyiapkan ”program insentif“ nya, supaya proyek tetap jalan.

Kelompok pemikiran yang menyatakan bahwa kontrak migas itu harus cukup fleksibel untuk menangkap perubahan yang sudah menjadi ciri industri migas tampaknya valid. Dari awal, kontrak migas seyogyanya dikaitkan dengan harga minyak dan tingkat keuntungan (profitability). Supaya mereka secara otomatis bekerja pada saat harga minyak seperti roaler coaster ini, dan supaya tidak perlu sibuk membentuk team renegoasiasi, yang takutnya belum sempat kerja harga minyak sudah berubah drastis. Baru menghitung formula untuk windfall profit taxes, eh.. harga udah anjlok, ketinggalan kereta terus nanti..

Thursday, December 18, 2008

Dari Seminar Analisis Kontrak Bagi Hasil Migas

Kompas.com
Kontrak Bagi Hasil Migas Perlu Ditinjau Ulang
Sabtu, 6 Desember 2008 20:52 WIB

BANDUNG, SABTU - Pemerintah perlu meninjau ulang kontrak bagi hasil atas eksplorasi minyak dan gas. Peninjauan ulang ini terutama mengenai pembebanan recovery cost yang dibebankan pemerintah atas operasional pengeboran minyak dan gas oleh kontraktor.

Sekretaris Jendral Minyak dan Gas Bumi Indonesia Rudi Rubiandini mengatakan, recovery cost ke depan sebaiknya menjadi beban langsung kontraktor. Tidak lagi perlu lewat penggantian dari pemerintah seperti yang dilakukan selama ini. Perubahan teknis perhitungan bagi hasil perlu diubah. Hal ini disampaikannya di dalam Seminar Analisis Kontrak Bagi Hasil Industri Migas di Indonesia dan Alternatifnya, Sabtu (6/12) di K ampus Institut Teknologi Bandung.

Caranya, yaitu tidak lagi menggunakan penghitungan bagi hasil 85:15. Atau, 85 persen keuntungan bagi hasil plus recovery cost untuk pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor. Penghitungan idealnya menjadi seperti ini : keuntungan pemerintah adalah X, sementara kontraktor (100 x) % plus recovery cost. Sehingga, pembagian itu nantinya bisa 60 : 40. Tapi, pemerintah tidak perlu menanggung recovery cost yang jumlahnya itu kerap menggelembung dan rentang penyimpangan.

Keuntungannya, mendorong efesiensi pada kontraktor. Demi efisiensi ini dengan sendirinya, kontraktor akan cenderung memanfaatkan sumber daya lokal yang tentu lebih murah. Fungsi kontrol dari pemerintah pun akan berkurang, tuturnya. Sistem bagi hasil ini mirip dengan Malaysia. Dimana, sharing yang diterima bisa fleksibel, naik turun.
------------------------------


Saya kepingin sekali hadir di seminar ini, sayang nggak bisa. Isu ini sudah banyak dibahas di milis Teknik Perminyakan ITB, dimana mas Rudi termasuk pendukung konsep ini (dan saya yang kontra). Selama ini diskusi kami di milis lebih tajam, penuh argumen dan ilustrasi. Alasan kenapa saya kontra, bisa dilihat di posting posting sebelumnya.


Alinea terakhir juga agak mengganggu saya, bahwa sistem ini mirip dengan Malaysia, sistem Malaysia yang mana?. Setahu saya tidak ada sistem beginian di Malaysia, memang benar model Malaysia fleksibel, tetapi tetap ikut pakem PSC normal, dimana ada mekanismen cost recovery. Jadi, sistem PSC-nya yang fleksibel, bukan mematok pembagian di gross revenue, dengan angan angan kontraktor akan lebih effisien.

Tuesday, December 09, 2008

Bagaimana kalau harga minyak cuma jigo tahun depan?

Beberapa temen di milis yang kerja di sektor migas, sudah mulai mengantisipasi apa yang akan terjadi seandainya tahun depan harga minyak tambah anjlog. Harga minyak ini responnya sangat sensitf terhadap supply demand tenaga kerja. Saya dulu inget, anak perminyakan kalau lulus pas harga minyak bagus, begitu wisuda sudah mengantongi minimal dua atau tiga surat tawaran kerja, ini untuk kasus yang IP nya sedang sedang saja (kaya saya he he). Kalau yang cum-laude, wah bisa banyak sekali surat tawaran kerjanya, “untungnya” yang lulus cum-laude, paling satu orang, jadi ada azas “keadilan” he he. Tapi kalau Anda lulus “timingnya nggak tepat”, maka Anda harus lebih sabar, nunggu harga bagus lagi, kalaupun ada tawaran, persaingan akan sangat ketat.

Bagaimana kondisi tenaga kerja migas saat ini, apakah sudah mulai seret iklan lowongan di kompas & headhunter?. Kuncinya saya pikir tahun depan. Tahun 2009 memang harus dicermati, diperkirakan proses market adjusment mulai berjalan. Seberapa cepat impact dari penundaan proyek migas terhadap penurunan biaya biaya sektor jasa penunjang (service compay). 100 proyek besar migas tahun 2006 di mancanegara, rata rata menggunakan asumsi harga minyak 40 $/bbl, dengan IRR rata rata 15 - 20%. Sebagian kemudian di adjust lagi karena biaya capex naik tajam. Walaupun pada saat itu harga minyak tinggi, karena masih belum on-line, ya nggak bisa menikmati.

Faktor lain yang harus dilihat adalah strategi dan kondisi keuangan perusahaan migas, semua sadar kalau krisis kali ini lebih parah dari krisis 1998. Penundaan proyek yang selama ini sudah terjadi karena ketidaksepahaman antara IOC dengan negara tuan rumah dalam hal hal seperti: cost recovery, bagi hasil (share split), lingkungan, masalah lokal dan politik lainnya, sekarang menjadi lebih kongkrit dengan adanya krisis finansial.

Permasalahan lain yang akan timbul adalah; di satu pihak IOC sudah membuat komitmen untuk investasi dalam kontraknya, yang tentunya sangat diharapkan oleh negara (host goverments). Penundaan ini tidak saja menyangkut urusan tertundanya pendapatan langsung dari hasil minyak bagi negara (dan kontraktor), tetapi juga masalah pendapatan “tidak langsung” bagi rakyat dalam bentuk: barang & jasa penunjang lokal (local goods and service content).

Didalam tatanan strategi, saya kira semua perusahaan migas akan melihat ulang kembali rencana program eksplorasi mereka, komitmen rencana kerja yang sudah “firm” (menyangkut komitmen kontrak) kemungkinan akan tetap di prioritaskan. Proyek yang mahal dan beresiko dalam wilayah kerja akan masuk rencana penundaan. Beberapa perusahaan mungkin akan fokus ke perawatan sumur, ngerjain workover, stimulasi, dan pekerjaan yang cost effective lainnya.

Namun demikian, kita juga harus mencatat, bahwa akan ada perusahaan minyak yang melihat dari perspektif lain (melihat jangka menengah dan panjang). Mungkin bisa disebut melawan arus, kalau yang lain mengurangi aktivitas, perusahaan ini akan melakukan tindakan sebaliknya, memanfaatkan momentum turunnya biaya barang dan jasa penunjang yang signifikan. Tentu saja perusahaan yang masuk kategori ini harus mempunyai “posisi laporan keuangan” yang relatif baik (Lihat ilustrasi). Kalau Anda kerja di perusahaan yang masuk kategori ini, ya Anda aman dan tetap sibuk.

Jadi ya kita tunggu aja tahun depan, nikmati saja hidup mumpung load kerjaan menurun. Tidak cuma harga minyak yang siklusnya naik turun, hidup kita pun demikian, kata guru ngaji saya: pas lagi dibawah, ya nggak usah terlalu sedih, pas lagi diatas, ya nggak usah terlalu senang….!.