Wednesday, August 20, 2008

Bagaimana Mendisain Kontrak Migas yang Menguntungkan Negara?

Diskusi dalam rangka mencari model kontrak migas baru dalam setahun belakangan ini cukup marak, baik di forum, seminar dan milis yang terkait dengan industri migas. Dalam pertemuannya dengan Presiden OPEC Chekib Khelil, Wapres JK mengatakan bahwa Pemerintah akan mengubah kontrak migas yang selama ini diterapkan, tidak akan lagi menghitung komponen biaya pemulihan atau cost recovery yang diajukan perusahaan migas. Sebaliknya, pemerintah akan membuka tender untuk biaya pemulihan tersebut.

Di mancanegara, hal semacam ini bukanlah praktek yang baru, dalam kasus penawaran blok yang menggunakan metoda competitive bidding, parameter apapun bisa saja menjadi bagian yang ditenderkan, termasuk: royalty, cost recovery limit, profit oil split, ROR, dan lain lain.

Perlu dipahami disini bahwa cost recovery limit adalah pembatasan biaya yang dapat dibebankan dalam satu periode (1 tahun), artinya, biaya yang belum bisa di recover akan dibebankan pada tahun berikutnya (carry over). Pada akhirnya nanti, semua biaya akan di recovery. Cost recovery limit sangat penting pada saat awal pengembangan lapangan migas, karena menjamin adanya profit oil yang akan dibagi antara negara dan investor.

Idealnya, suatu model kontrak migas dari awal sudah mengantisipasi perubahan parameter, seperti: cadangan yang direfleksikan oleh tingkat produksi, harga minyak dan biaya. Dengan kata lain, diharapkan model kontrak migas tersebut cukup fleksibel terhadap perubahan dari berbagai parameter tersebut selama kontrak berjalan. Perubahan parameter disini terkait dengan tingkat keuntungan. Sistem yang kaku dan tidak fleksible bisa berakibat terjadinya ketidakseimbangan proporsi pembagian keuntungan. Sekedar mengingatkan parameter yang umum digunakan untuk mengukur porsi pemerintah adalah Government Take (GT), yang didefinisikan sebagai seluruh bagian penerimaan pemerintah, baik berupa: royalti, pajak dan profit oil share dibagi dengan total profit.

Mencari model yang pas & menguntungkan?

Upaya mencari model kontrak yang pas untuk diterapkan seyogyanya terus didorong dan dikaji, namun tetap perlu diingat bahwa setiap proyek mempunyai resiko yang unik, sehingga model kontrak yang diusulkan harus mencerminkan resiko proyek. Apakah ada model kontrak yang paling baik? OPEC secara rutin melakukan workshop untuk bertukar informasi sesama negara anggota mengenai pengalaman pelaksanaan model kontrak di negara masing masing. Berdasarkan 2 workshop yang telah diadakan sebelumnya, kesepakatan yang dicapai adalah bahwa: one size fits all model does not exist!. Tidak ada model yang cocok untuk semua kondisi. Kenapa? Karena resiko yang dihadapi berbeda untuk setiap proyek di masing masing negara, bahkan dalam satu negarapun, resikonya juga bervariasi. Model kontrak yang dipilih seyogyanya mencerminkan resiko dari proyek tersebut. Sebagai ilustrasi: tentu tidak menarik bagi investor apabila ditawarkan model service contract untuk proyek yang beresiko tinggi seperti: eksplorasi migas di laut dalam.

----

Diskusi di miling list komunitas migas, blog dan lainnya (dimana para pakar senior, praktisi PSC dan birokrat terlibat dalam diskusi ini); banyak perdebatan, usulan dan kritik mengenai kemungkinan diusulkan model kontrak migas baru yang menguntungkan negara. Menurut pengamatan saya, sejauh ini terbagi menjadi dua kelompok pemikiran.

1. Kelompok yang meng-anggap lebih baik memodifikasi atau mengimprove terms & conditions dari PSC yang saat ini berlaku (modifikasi dapat berupa: cost recovery limit, sliding scale profit oil split, profitabilty based dan lain lain).

2. Kelompok yang alergi terhadap cost recovery dan mengusulkan supaya kontrak migas langsung dibagi berdasarkan Gross Revenue (lihat posting saya sebelum2 nya).

Dalam posting ini saya tidak akan membandingkan mana yang lebih baik dari keduanya, pada dasarnya pandangan pribadi saya sudah dituangkan pada banyak posting2 di blog ini sebelumnya, termasuk juga di beberapa blog diskusi PSC disini.

Berita mass media di tanah air yang menyebutkan bahwa RI akan belajar dari model negara lain seperti: Algeria dan Libya (mengacu dari pernyataan Pak Wapres JK seusai bertemu Presiden OPEC Dr. Chekib Khelil). Kita sendiri tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Sekedar info, Dr. Khelil ini punya pengalaman yang panjang dalam urusan model kontrak migas. Beliau pernah menjadi salah satu VP untuk Industri & Energi di Worldbank. Salah satu papernya zaman dulu (1995) yang pernah saya baca, judulnya: “Fiscal Systems for Oil - The government “take” and competition for exploration investment”. Paper lama tersebut masih bisa di akses disini. Sudah luar kepala kalau ngomongin istilah2 cost recovery limit, government take, sliding scale, etc. Tentu tidak heran kalau beliau memberi banyak masukkan tentang kontrak migas ke Pak JK.

Belajar pengalaman negara2 lain tentu diperlukan, walaupun sebenarnya kedua negara tersebut “jam terbang” nya untuk urusan PSC relatif “junior” dibanding kita. Tetapi tidak berarti bahwa yang senior selalu lebih baik dari junior, apalagi kalau yang senior ternyata kurang improvisasi.

Kalau kita sedikit mendalami model kontrak di Algeria dan Libya, membandingkan secara langsung PSC terms & conditions-nya bisa misleading. Kenapa? Pertama, khususnya Libya, secara umum level prospectivity-nya diatas kita, jadi tentu wajar kalau Terms & Conditions nya lebih berat buat IOC (dalam bahasa yang lebih umum, Government Take nya lebih tinggi). Disini hukum pasar berlaku, “demand” untuk block di Libya tinggi. Jadi kita tidak bisa serta merta memasang level Government Take setinggi Libya, kalau “demand” kurang, ya “price” akan turun juga. Kedua, ada keterlibatan (partisipasi) dari NOC pada saat tahap pengembangan. Hal ini bisa berupa share NOC sebesar 50% untuk kasus Libya, atau 51% share dipegang oleh Sonatrach (NOC Algeria). Dengan demikian pada tahap eksplorasi IOC membiayai 100% biaya eksplorasi, pada saat tahap development, NOC turut membiayai sesuai share-nya.

Seorang teman milis kemudian terkagum dengan PSC Algeria yang membatasi cost <= 49% total production. Tentu kita tidak bisa nyontek gitu aja, mereka membatasi recovery biaya sebesar itu, karena Sonatrach ikut membiayai yang 51%, masuk akal kalau limitnya kemudian sebesar 49%.

Sebenarnya disinilah kuncinya, selama ini pikiran kita terlalu terkotak kepada bagaimana menaikkan bagian pemerintah dengan mengutak ngatik formulanya. Pengalaman saya membuktikan hal ini bukan pekerjaan mudah, karena pada saat yang sama kita harus berpikir dalam dua perspektif, negara dan kontraktor (IOC). Secara serampangan membuat formula yang menguntungkan negara, bisa jadi tidak ada manfaatnya ketika formula tersebut membuat proyek menjadi tidak ekonomis dalam perspektif kontraktor. Sebaliknya terlalu royal juga, akan merugikan negara. Tentu pada akhirnya akan terjadi kompromi dari kedua pihak, makanya disebut kontrak. Kedua pihak sepakat mencapai posisi optimum dari perspektif masing masing.

Menurut saya, cara yang lebih elegan untuk menaikkan bagian pemerintah itu adalah dengan ikut berpartisipasi (seperti kasus partisipasi NOC Libya dan Algeria, kalaupun ada yang mau dicontek dari negara2 ini, inilah satu2nya menurut saya yang layak dicontek. Kalau formulasi PSC nya malah terlalu kompleks, kurang bermanfaat untuk dicontek). Ini cara gampang menaikkan “Government Take”, sengaja saya kasih tanda kutip disini, karena tambahan “Take” ini diperoleh dari NOC Take. Logikanya seperti ini; kalau Anda mau dapat lebih banyak bagian profit, ya Anda ikut investasi dong (dalam hal ini, ikut membiayai pengembangan lapangannya). Sekali lagi ini cara elegan untuk dapat bagian “kue” lebih banyak. Lihat ilustrasi berikut:



Ikut partisipasi otomatis akan meningkatkan “total” government take, pada gambar tersebut gov take termasuk “kue” yang menjadi bagian NOC. Untuk penyederhanaan dalam ilustrasi ini dianggap NOC bayar pajak dengan rate yang sama dengan IOC. Partisipasi 50% misalnya bisa saja pada prakteknya di bagi antara NOC dan Perusahaan lokal (Pemda). Mis: 40% NOC, 10% Pemda. Konsekuensinya NOC dan Pemda akan ikut menyetor pembiayaan untuk pengembangan dan pengeluaran operasional (opex) sesuai share mereka.

Keuntungan lain: NOC (walaupun bukan sebagai operator), bisa ikut terlibat langsung pada proyek tersebut, mestinya disini isu cost recovery bisa di minimalkan, karena semakin banyak “pengawas”. Sesama pemegang share, tentu mereka akan saling mengawasi (IOC, NOC, Local Company). Di beberapa negara produsen (Misal: Norway), ada aturan bahwa IOC tidak boleh punya 100% interest dari suatu block, minimal mereka harus menggandeng 2 – 3 patner. Tujuannya adalah supaya sesama patner punya interest dan saling mengawasi, hal ini minimal bisa mengurangi beban pemerintah. (Nanti ada yang protes, bisa saja sesama mereka kolusi Mas, he eh.. di dunia ini anything is possible, tapi kita lihat hal positifnya saja dulu, jangan curiga terus he he.)

Hal lain yang juga perlu dicatat bahwa cara ini lebih elegan, bisa saja Pemerintah menggunakan cara lain, menaikkan langsung profit oil split after tax menjadi 90% : 10% (dari 85% ; 15%). Semua biaya tetap dibebankan ke investor atau IOC. Hasilnya Gov Take akan naik sekitar 90%, tapi cara ini kurang elegan karena kontraktor tentu berhitung juga (IRR nya akan drop signifikan). Seperti saya bahas sebelumnya, “hukum pasar” akan berlaku lagi. Untuk memperoleh “total” Gov Take yang sama (90%), dapat dilakukan melalui partisipasi sekitar 30%. Teorinya, IRR kontraktor akan sedikit turun (tergantung bagaimana mekanisme pengembalian biaya eksplorasi, namun tidak separah melalui mekanisme menaikkan profit split diatas).

Kontrak Blok Cepu termasuk yang mengikuti cara ini (bisa jadi karena pada saat itu sudah menjadi isu nasional, sehingga mau tidak mau IOC nya entah terpaksa atau rela beneran melakukan joint development dengan NOC). Kontrak Blok Cepu, terdiri dari ExxonMobil (45%), Pertamina (45%) dan Pemda (10%). Secara “Gov Take” tentu jauh lebih baik dibanding dengan ExxonMobil yang pegang 100%?.

Nah, dari pada pening mikiran formula yang pas yang belum ketemu juga, bagaimana kalau nyonteknya di partisipasi NOC ini, bagaimana kalau disetiap perpanjangan kontrak ikut pola ini? Ada yang bilang, “darimana duitnya?”, saya pernah ketemu dengan kolega yang kerja di investment banking, dia kerjaannya cari proyek pengembangan lapangan migas di mancanegara yang perlu pembiayaan (hanya untuk tahap development, kalau eksplorasi ogah dia). Mestinya nggak perlu pusing mikirin dari mana duitnya, yang penting mikirin bagaimana niatnya he he..!

Judul posting ini mungkin lebih cocok diubah dari Bagaimana Mendisain Kontrak Migas yang Mengutungkan Negara? Menjadi Bagaimana Meningkatkan Bagian Negara dengan Cara yang Elegan?

Thursday, August 14, 2008

Participation Contract & Joint Operating Agreement (JOA)

Ada yang tanya via email: Mas benny, apa beda Participation Contract & JOA dengan PSC , konsesi dan service contract.
-------------

Terkadang memang agak membingungkan juga ketika kita mendengar istilah participation contract, apakah ini bentuk lain dari tiga petroleum arrangement yang kita kenal tersebut (PSC, konsesi dan service contract)? Jawabnya tidak, sebenarnya bentuk kerjasamanya masih dalam kerangka salah satu dari 3 diatas.

Participation Contract atau Participation Agreement (PA) bermula di wilayah Timur Tengah (yang menggunakan model konsesi). Munculnya PA pada saat itu disebabkan oleh dorongan agar pemerintah terlibat lebih banyak dalam pengusahaan minyak. PA merupakan bagian dari upaya itu, dimana pemerintah (biasanya diwakili oleh NOC) ikut mempunyai kempemilikan dalam bentuk government atau state participation, kepemilikan tidak berubah (fixed) bisa juga terus meningkat setiap periode tertentu, dalam kasus beberapa negara Timur Tengah, tingkat kepemilikan Pemerintah terus meningkat, sampai akhirnya menjadi 100% milik negara.

Participation agreement sebenarnya untuk memberikan penekanan yang terkait dengan keterlibatan pemerintah dan perusahaan minyak dalam pola kerjasama migas, jadi bentuknya kontraknya bisa jadi salah satu dari model yang telah dibahas sebelumnya. Misalnya: pada model konsesi (royalty tax) ada satu klausul yang mewajibkan partisipasi negara. Didalam model standar PSC RI pun ada klausul Government participation, biasanya dalam bentuk opsi pemerintah untuk memperoleh kepemilikan mencapai persentase tertentu (umumnya 10 - 15%) apabila Kontraktor menemukan cadangan yang komersial. Opsi ini biasanya diberikan kepada NOC atau perusahaan lokal.

Pada Participation contract, opsi pemerintah umumnya cukup besar (katakanlah 50%), karena pemerintah tidak berbisnis, maka NOC yang ditunjuk mewakili pemerintah. Diantara IOC dan NOC tersebut kemudian dibuatlah kontrak berbentuk Joint Venture, sementara hitungan pembagian minyaknya, ya tetap saja ikut salah satu model PSC atau konsesi tersebut. Makanya tidak heran sering juga kita dengar istilah model hydbrid atau JV contract. Tetapi ini bukan model baru, tetap mengacu ke salah satu dari 3 arrangement yang saya sebut diatas.

Sedangkan mengenai istilah Joint Operating Agreement (JOA), penjelasan singkatnya kira kira begini: Dalam banyak kasus, interest dalam satu wilayah kerja (block) dimiliki oleh lebih dari satu pihak. Misalnya block X, interestnya yang punya: company A, B dan C. Diantara mereka kemudian membuat kesepakatan yang disebut JOA itu. Salah satu ditunjuk jadi operator (biasanya yang punya share paling besar), yang untuk selanjutnya si operator ini yang berurusan dengan pemerintah. Kemudian dibuat juga komite bersama yang akan me-review rencana kerja mereka, istilah kerennya Joint (Operating) Committee. Hubungannya dengan PSC? Kontrak mereka dengan negara itu berupa PSC, kesepakatan antara mereka disebut JOA. Kira2 gitu deh.

Sunday, August 03, 2008

Presentasi Mas Wid di PII


Berikut saya postingkan, makalah Mas Wid yag di presentasikan di PII, 31 Juli 2008 di Jakarta. Mas Wid men-share materi ini di milis TM ITB.

---------------

PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia
Cost Recovery versus Peningkatan Produksi Migas di Indonesia

Oleh: Widjajono Partowidagdo


PSC di Indonesia
Dasar pemikiran pengelolaan migas di Indonesia sebenarnya sudah dirancang dengan ide Kontrak Production Sharing (Bagi Hasil). Pencetus ide Kontrak Bagi Hasil adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada ditangan pemiliknya.(6)

Pak Ibnu Sutowo dalam bukunya “Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara” (1970)9 menyatakan yang dibagi adalah minyak (hasilnya) dan bukan uangnya. Pak Ibnu menyatakan, “Dan mengenai minyak ini, terserah pada kita sendiri, apakah kita mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkannya, untuk kita”. Intinya adalah kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam Kontrak Production Sharing manajemen ada di tangan pemerintah.

Perbedaan Kontrak Karya (konsesi) dan Kontrak Production Sharing (bagi hasil) adalah pada manajemennya. Pada Kontrak Karya, manajemen ada di tangan kontraktor, yang penting adalah dia membayar pajak. Sistem audit disini adalah post audit saja. Pada Kontrak Production Sharing (KPS), manajemen ada di tangan pemerintah. Setiap kali kontraktor mau mengembangkan lapangan dia harus menyerahkan POD (Plan of Development) atau perencanaan pengembangan, WP&B (Work Program and Budget) atau program kerja dan pendanaan serta AFE (Authorization fo Expenditure) atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol. Sistem audit di sini adalah pre, current, dan post audit.(7)


Tujuan jangka panjang KPS sebenarnya adalah mengusahakan minyak kita sedapat mungkin oleh kita sendiri. Dengan mengelola KPS bangsa Indonesia dapat belajar cepat tentang bagaimana mengelola perusahaan minyak serta belajar cepat untuk menguasai teknologi di bidang perminyakan. Pak Ibnu menyatakan “Tapi telah menjadi tugas kita dan telah kita sanggupi untuk mengusahakan minyak kita oleh kita sendiri. Dan ini telah memikulkan suatu kewajiban atas pundak kita semua, supaya setiap detik dan setiap ada kesempatan, kita berusaha mengejar know, how dan skill ini dalam tempo yang sependek mungkin”. Indonesia memang diakui sebagai pelopor Production Sharing di dunia. Sayangnya ide Pak Ibnu dan ide berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dari Bung Karno justru lebih berhasil dilaksanakan oleh Petronas Malaysia. Walaupun demikian, kita cukup berbangga hati mempunyai Medco dan perusahaan-perusahaan swasta nasional lainnya yang dapat menyaingi perusahaan multi nasional. Pertaminapun diharapkan dengan statusnya yang baru segera bisa menjadi perusahaan migas multi nasional yang unggul.(7)

Perlu disadari bahwa ide Swadesi Mahatma Gandhi maupun ide Berdikarinya Bung Karno tidak berarti kita anti asing. Swadesi dan Berdikari menginginkan kerjasama dengan pihak asing, tetapi dalam kesetaraan. Terus terang saja, kita memerlukan perusahaan multinasional untuk melakukan eksplorasi (apalagi di laut dalam). Kita harus menghormati mereka sebagai tamu seperti yang dianjurkan Nabi: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamu”.Gandhi bahkan menyatakan bahwa: All men are brothers atau semua manusia bersaudara.(4)

Untuk kepentingan nasional, sebaiknya bagi kontrak yang sudah selesai diprioritaskan untuk dikerjakan perusahaan-perusahaan Nasional (Pertamina, Swasta Nasional, Perusahaan Daerah) atau paling tidak saham Nasional lebih besar. Mohon diingat bahwa visi pengusahaan migas di Indonesia adalah untuk memanfaatkan migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945).

Pengusahaan Migas di Dunia
Pengusahaan (hulu) migas sebagian besar dilakukan oleh perusahaan multinasional di banyak Negara berkembang, termasuk Indonesia berdasarkan suatu kontrak. Dalam perjanjian tersebut tentunya Pemerintah dan Kontraktor mempunyai misi (prioritas) berbeda yang menurut Seba dalam bukunya “Economics of Worldwide Petroleum Production (2003)” (8) adalah sebagai berikut :


Pada dasarnya kontrak-kontrak migas di dunia dibagi atas konsesi, PSC dan kontrak-kontrak lain (Babusiaux, D., 2004) yang akan dibahas satu per satu:(1)
1. KONSESI

Dalam konsesi negara menjamin kontraktor hak eksplorasi eksklusif, dan hak pengembangan dan produksi eksklusif untuk setiap penemuan komersial. Hal-hal yang membedakan konsesi dan PSC adalah kepemilikan hidrokarbon yang diproduksikan, kepemilikan instalasi produksi dan hal-hal apa yang merupakan bagian dari negara.

Kepemilikan produksi
Sebelum dikeluarkan dari dalam tanah secara umum hidrokarbon adalah milik negara apapun jenis kontraknya. Walaupun demikian dalam konsesi kontraktor menjadi pemilik dari hidrokarbon yang diproduksikan dengan kewajiban membayar royalty dalam bentuk fisik (minyak atau gas) atau dalam bentuk tunai, pada waktu mereka dikeluarkan dari dalam tanah dan mencapai kepala sumur.

Kepemilikan instalasi hidrokaron
Dalam konsesi kontraktor memiliki instalasi sampai kontraknya habis. Ketika kontraknya habis instalasi diserahkan kepada negara tanpa kompensasi oleh kontraktor. Negara bebas menggunakan sesukanya jika masih berguna secara ekonomi dan sebagai alternatif negara dapat meminta kontraktor untuk membuang sebagian atau seluruh instalasi dengan biaya kontraktor jika tidak ingin menggunakannya. Kontraktor dapat menggunakan instalasi lagi untuk produksi dari penemuan lain di negara yang sama.

Sumber pendapatan untuk negara
Pada konsesi negara memperoleh pendapatan melalui sumber-sumber berikut :
- Bonus (penandatanganan atau produksi)
- Fee permukaan
- Royalty atas produksi
- Pajak atas pendapatan
- Dalam beberapa kasus, pajak kelebihan keuntungan (excess profit tax).

Pada kebanyakan negara walaupun dimana tidak benar-benar ada kontrak, beberapa term ditetapkan pada hari ijin diberikan (royalty excess profit tax) tetapi pajak dan keuntungan berdasarkan hukum pajak umum, sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu. Sebagai contoh telah terjadi penurunan pajak secara berturut-turut di Inggris, Norwegia dan Belanda akhir-akhir ini dan industri perminyakan diuntungkan karenanya.

2. PRODUCTION SHARING CONTRACT

Kerangka kerja umum
PSC dimulai di Indonesia 1966 antara Pertamina dan IIAPCO, dan kontrak sejenis di buat di Peru 1971. Kemudian banyak negara yang memberlakukannya diantaranya negara pengekspor minyak : Indonesia, Mesir, Malaysia, Siria, Oman, Angola, Gabon, Libia, Qatar, Cina, Aljazair dan Tumisu. Negara yang sedikit mengekspor minyak: Tanzania, Pantai Gading, Mauritania, Kenya, Eihiopia, Zaire & Jamaika. Juga negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet.

Sukses dari formula ini di negara-negara berkembang dan dalam ekonomi transisi adalah disebabkan beberapa kepentingan diantaranya hubungan kontraktual (perusahaan minyak bukan pemegang langsung kuasa pertambangan) dan konsep dari sharing (membagi) produksi, disamping kekuasaan negara yang lebih besar terhadap aktivitas perusahaan minyak, yang berlaku sebagai pemberi jasa atau kontraktor.

Komponen Utama
- Prinsip
Secara hukum peranan negara pada kontrak bagi hasil mengikuti dua prinsip berikut:
- Negara memiliki hak pertambangan sehingga mereka memiliki produksi, hal ini secara hukum mengakibatkan monopoli negara pada eksplorasi dan produksi hidrokarbon. Perusahaan minyak bertindak sebagai pemberi jasa atau kontraktor.
- Walaupun negara atau perusahaan negara mengandalkan kemampuan teknis dan sumber dana dari perusahaan minyak (yang meminjamkan atau mendanai kapital yang dibutuhkan) dia tetap memiliki bagian terbesar dan produksi. Bagi hasil ini adalah dari produksi yang terlihat pada laporan tahunan dan bukan pada cadangan total. Kontraktor bertanggung jawab atas pembiayaan dan menjalankan operasi dan hanya memperoleh pengembalian biaya dan keuntungan jika terdapat penemuan komersial yang dikembangkan.

Pengembalian biaya
Pengembalian biaya berbeda antar negara bahkan dalam suatu negara tergantung kepada perjanjian waktu ditandatangani kontrak. Pada kontrak bagi hasil kontraktor berhak menerima pengembalian biaya selama tidak melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak. Proporsi ini dikenal sebagai cost oil. Kekurangan yang belum diperoleh di carried forward (bawa ke depan) untuk recovery pada tahun. Tahun berikutnya dengan prinsip yang sama cost oil diberi nilai dengan menggunakan harga pasar dari minyak mentah sebelum dibandingkan dengan recoverable cost.

Batas maksimum dari cost oil di kenal sebagai cost stop (cost recovery ceiling), bervariasi tergantung kepada negara dan kontraknya, tapi biasanya berkisar antara 30 dan 60%, walaupun dapat 100%. Harga cost stop mempengaruhi keekonomian, makin besar makin bagus return on investment (pengembalian investasi) nya.

Formula pengembalian biaya menjadi semakin kompleks, karena aturan-aturan lain yang diterapkan pada kontrak sebagai berikut:
- Investment credit (17% in Indonesia, antara 33,3 dan 40% di Angola). Di Indonesia kontraktor menerima 117% dari biaya kapitalnya. Hal ini dirancang untuk mengkompensasi efek dari inflasi (recovery didasarkan pada harga nominal, tanpa indeksasi).

- Menyebarkan recovery dari biaya kapital terhadap waktu: depresiasi straight line (garis lurus) 4 sampai 5 tahun (Angola) atau double declining balance (Indonesia).

- Definisi yang lebih rinci dari biaya perminyakan yang di recover :
* Apakah bonus, bunga dan biaya finansial termasuk atau tidak?
* Prioritas untuk recovery dari kategori biaya yang berbeda (eksplorasi, pengembangan, produksi dan lainnya).
* Recovery dari biaya bersama (joint costs) yang dibagi antar anggota konsorsium dan biaya yang dikeluarkan dari tiap anggota.
* Metoda bagaimana biaya dibagi antar daerah-daerah pengembang jika penemuan-penemuan beruntun dikembangkan.

PSC biasanya tidak membayar royalty dari produksi, tetapi jika royalty dibayar, costs oil dihitung pada produksi sesudah dipotong royalty.

Bagi hasil dari produksi (profit oil split)
Proporsi minyak sesudah dipotong oleh costs oil disebut profit oil. Pada awalnya produksi dibagi atas dasar yang tetap. Di Indonesia 65 – 35 % split antara pemerintah dan kontraktor diubah menjadi 85 – 15 % untuk minyak dan 70 – 30 % untuk gas. Kemudian pada 1979 split tergantung pada produksi, 50-50% untuk produksi rendah dan 85 – 15 % untuk produksi tinggi. Di Angola pada 1979 skala progresif diberlakukan untuk komulatif produksi dari suatu lapangan minyak – skalanya tergantung dari geografi (onshore, offshore, dangkal atau dalam).

Beberapa negara memberlakukan mekanisme penyesuaian untuk harga minyak tertentu (price capping). Dengan bagian pemerintah untuk bagian harga diatas price cap dapat mencapai 100 % (sebagai contoh Angola, Malaysia, Peru dan Indonesia sebelum 1978).

Pada tahun 1983 sejumlah negara memperkenalkan mekanisme production sharing tidak pada produksi harian atau komulatif tetapi berdasarkan rate of return (atas indikator lain dari keuntungan) kepada kontraktor pada waktu tertentu. Negara-negara ini adalah : Equatorial Guniea, Leberia (sharing berdasarkan rate of return), India, Libiya, Tunisia, Pantai Gading dan Azarbaijan (bagi hasil menurut R-ratio, yang kelihatannya lebih mudah di terima).

Terdapat variasi yang cukup besar pada the profit oil split (bagi hasil keuntungan minyak) antar negara-negara dan kontrak-kontrak yang berhak. Hal ini memperlihatkan perbedaan pada potensi dan biaya perminyakan yang dikeluarkan dimana biaya tergantung pada karakteristik dan lokasi dari penemuan. Kesuksesan PSC dibandingkan konsesi adalah karena lebih fleksibel untuk di negosiasikan.

Pajak Keuntungan
Pada kontrak bagi hasil di Indonesia sampai 1976 bagi hasil keuntungan minyak (profit oil split) dihitung sesudah pajak sehigga kontraktor tidak dikenakan pajak keuntungan secara eksplisit. Bagi hasilnya adalah bersih dari pajak dimana pajaknya sudah termasuk pada governmnet’s share. Walaupun demikan, kontraktor menerima bukti pembayaran pajak, sehingga dia memperhitungkan jumlahnya terhadap kewajiban pajak di negaranya, untuk menghindari pajak ganda.

Pada tahun 1976, the U.S. Internal Revenue Service (IRS) berhenti mengijinkan pajak national sebagai kredit pajak. Akibatnya atas permohonan perusahaan-perusahaan Amerika, terjadi perubahan formula pada PSC. Hal ini mengakibatkan diperkenalkannya prosedur terpisah untuk menentukan pajak pendapatan dengan menggunakan peraturan umum perpajakan untuk perusahaan komersial dan industri di neagara tuan rumah. Prosedur ini tidak berlaku untuk perusahaan-perusahaan Eropa.

Sebagai contoh, apabila bagi hasilnya antar Negara dan kontraktor adalah 70 – 30 % dan pajaknya 50 %, maka bagi hasil sebelum pajak 60 % (atau 30 % / (1 – 50 %))sehingga pendapatan pemerintah di luar pajak adalah 40 % (atau 1 – 60 %) dan pajaknya sendiri adalah 30 % (atau 50 % dari 60 %) sehingga pendapatan total pemerintah adalah 70 %.

Pembagian Produksi
Berlainan dengan pada konsesi, kontraktor hanya berhak atas bagian dari produksi sama dengan the costs oil (recoverable costs) ditambah share nya pada profit oil dan memasarkannya.


3. BENTUK KONTRAK YANG LAIN

Service Contracts (Kontrak Jasa)
Kontrak-kontrak ini dibuat oleh perusahaan-perusahaan di negara-negara produsen yang menginginkan perusahaan-perusahaan minyak untuk melakukan eksplorasi, pengembangan dan atau produksi atas nama mereka.

Service Contracts digunakan terutama di Timur Tengah dan Amerika Latin, tetapi peggunaannya tidak meluas. Terdapat dua kategori service contracts, tergantung dari derajat resiko yang di tanggung perusahaan minyak.

- Risk service contracts atau agency contracts, dimana kontraktor hanya memperoleh pengembalian biaya jika proyek menghasilkan produksi.
- Technical assistance atau cooperation contracts, dimana resiko tidak ditanggung, dengan melakukan pekerjaan atas dasar remunerasi (penggantian) yang disetujui.

Risk service contracts
Kontrak ini berlaku di negara-negara dimana minyak dinasionalisasi atau perusahaan nasional mendapatkan monopoli, seperti Argentina, Brasil, Indonesia, Irak dan Iran.

Risk service contract adalah kontrak dimana kontraktor melakukan eksplorasi hidrokarbon dengan resiko dan pengeluaran sendiri atas nama perusahaan nasinal dan mendapat pengembalain biaya yang dikeluarkan dan diremunerasi dalam bentuk tunai tergantung kepada keberhasilan eksplorasinya. Semua produksi adalah milik perusahaan nasional, walaupun kontraktor mungkin dapat membeli sebagian dari produksi tersebut atas kondisi-kondisi yang disetujui. Perbedaan utama antara risk services contract dengan production sharing contract adalah kontraktor dibayar tunai dan bukan dengan produksi hidrokarbon, sehingga dia tidak dapat memasarkannya.

Buyback contracts
Kontrak ini diberlakukan berdasarkan pada konteks khusus di Iran dimana konstitusi Iran tidak mengijinkan hak perminyakan diberikan dalam bentuk konsesi. Walaupun demikian dengan peraturan perminyakan 1987 dimana kontrak dapat dilakukan antara menteri perminyakan, perusahaan negara dari perusahaan lokal atau asing atau pribadi. Conoco melakukan perjanjian pertama Maret 1995 untuk pengembangan lapangan-lapangan Sirri A dan Sirri B, tetapi karena dibatalkan oleh pemerintah Amerika, maka proyek tersebut diambil Total pada Juli 1995.

Pada kontrak ini kontraktor mengeluarkan semua biaya kapital, mendapatkan biaya selama produksi dan memperoleh pembayaran tetap, yang dinegosiasikan sebelum kontrak ditandatangani yang tidak tergantung kepada fluktuasi harga.
Waktu kontrak dibatasi oleh dua perioda kegiatan yang singkat : perioda pengembangan yang diikuti oleh perioda cost recovery dan remunerasi (penggantian). Waktu total dari kontrak adalah 4-6 tahun. Jadwal waktu, program dan nilai pekerjaan ditetapkan pada perencanaan pengembangan yang dilampirkan pada kontrak. Operasi diawasi oleh komite pengelolaan bersama (a joint management committee) yang terdiri dari tiga wakil dari pihak terkait dan the National Iranian Oil Company (NIOC) menjadi operator jika operasi dimulai. Sebagian dari pengeluaran harus dialokasikan ke sub kontraktor lokal.

Technical Assistance Tanpa Resiko
Untuk kontrak ini kontraktor tidak menanggung resiko dan tidak mendanai proyek langsung. Dia memperoleh fee untuk jasa yang dia berikan. Fee ini dihubungkan lebih kurang kepada hasilnya. Kontrak ini biasanya untuk lapangan yang sudah produksi dan kadang-kadang untuk aktivitas pengembangan. Dana yang disediakan sepenuhnya oleh negara atau perusahaan negara dan tidak oleh kontraktor.

Contoh assistance contract diantaranya :
- Kontrak memberikan bantuan untuk memproduksi minyak yang diberikan negara-negara yang menasionalisasi industri perminyakan mereka pada tahun 70 an diantaranya Saudi Arabia, Kuwait, Qatar dan Venezuela.
- Kontrak dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan Eropa Timur kepada negara-negara berkembang sampai akhir 80 an seperti Kuba, India, Pakistan, Yunani dan Ethiopia.
- Perjanjian kerjasama untuk mengembangkan lapangan-lapangan baru atas nama perusahaan nasional, seperti di Abu Dhabi, India dan Benin.

Beberapa technical assistance contracts memberikan hak kepada kontraktor untuk membeli sebagian minyak yang diproduksikan. Kontraktor biasanya dikenai pajak (profit tax) yang berlaku di negara tersebut.

PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia
Indonesia adalah pelopor PSC. Maksud PSC adalah supaya kita bisa belajar cepat (transfer of technology) dari perusahaan asing karena mereka harus lapor kepada kita (pemerintah) setiap saat (manajemen ada di tangan pemerintah). PSC dibuat untuk kepentingan pemerintah.

Pertanyaannya apakah kontrak konsesi (Royalty and Tax) tidak berpihak kepada kepentingan pemerintah? Di Brunei, walaupun diberlakukan konsesi, 50 persen saham dimiliki oleh pemerintah (dibeli). Di Rusia diberlakukan 55 persen saham dimiliki oleh BUMN Rusia berdasarkan Undang-Undang. Sebagai contoh pada proyek Sakhalin, Shell yang tadinya memiliki saham 60 persen, sahamnya tinggal 0,6x(1-0,55) = 27 persen. Dengan demikian, maka negara tetap mengontrol kegiatan minyak dari kepemilikan sahamnya.3 Apabila kontrak konsesi mau diberlakukan di Indonesia, sebaiknya di daerah-daerah yang kontraknya habis, lalu ditawarkan kontrak baru dengan konsesi dengan catatan minimal 55% saham dimiliki nasional dan diberlakukan cost ceiling (misal 60%) karena pada konsesi control negara lebih lunak dari PSC.

PSC di Indonesia dikritik karena ketidakluwesannya. Andaikata di kontrak ditentukan bagi hasil dan FTP (First Tranche Petroleum) tertentu, maka hal tersebut berlaku dalam keadaan apapun. Di Cina bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan produksi. Makin besar produksinya maka makin besar bagian pemerintah dan cost ceiling nya. Di Malaysia bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan R/C (Revenue/Cost). Akibatnya, di Indonesia apabila ditemukan prospek yang kurang ekonomis maka sibuk menegoisasikan insentif dan kalau harga minyak tinggi orang berpikir mengenai windfall profit tax. Di Malaysia apabila cadangan (produksi), harga dan biaya berubah maka orang tidak usah pusing lagi.(3),(10)

Di Petronas disebutkan pentingnya partnership (kemitraan) dalam pengelolaan PSC. Di Petronas terdapat PMU (Petroleum Management Unit) dan Tim Studi yang memberikan saran kepada PMU. Disana apabila kontraktor butuh bantuan dibantu, tetapi apabila kontraktor tidak melakukan tugasnya secara optimal ditegur. Birokrasi dan birokrat di Petronas mendukung iklim investasi di Malaysia. (3),(10)

Cost Recovery pada Usaha Biasa / Kontrak Karya dan PSC
Keuntungan perusahaan migas baik pada Usaha Biasa atau Kontrak Karya (Konsesi) maupun PSC (Production Sharing Contract) dapat dinyatakan dengan Net Present Value (NPV):(6)


r = MARR : Minimum Attractive Rate of Return
r = biaya modal + profit margin + risks premium
t = waktu, tahun ke
n = jumlah tahun
Dimana Cash Flow (CF) dihitung dari:

Pada Usaha Biasa:
CF = R – C – GT

Pada PSC:
CF = NCS+REC-C
NCS = R – REC – GT, sehingga CF = R – REC – GT + REC – C = R – C - GT
akibatnya, apabila tidak ada Investment Credit dan DDMO (Different Price of Domestic Market Obligation) maka PSC dapat dihitung dengan rumus usaha biasa.

R = P.Q
GT = g . ES dimana: g : Government Take Rate = 0,85 untuk minyak dan 0,7 untuk gas

R : Revenue Q : Produksi
P : Harga C : Biaya
GT : Bagian Pemerintah = Penerimaan negara bukan Pajak + Pajak
: Government Take = Government Share + Tax

Mohon dibedakan antara cost (C), cost recovery (CR), recovery atau recoverable cost (REC). Biaya (C) adalah yang dikeluarkan, CR adalah yang ditagihkan, sedangkan REC adalah yang dibayarkan dengan analogi sebagai berikut:Catatan : Pendapatan bersih pada usaha biasa disebut taxable income dan pada PSC disebut Equity to be Split (ES).

C = I + OC = NC + CP
CR = NC + D + OC + UR
Apabila CR > R maka REC = R dan UR+1 = CR-REC serta ES = 0
Apabila CR < rec =" CR" 1 =" 0" es =" R-REC">

UR+1 = NC0

I = Investasi, CP = Capital, OC = Biaya Operasi, UR = Unrecovered, NC = Non Capital. D = Depresiasi

Pada PSC dan usaha biasa terdapat Cost Recovery dan Recovery. Bedanya, pada PSC karena penerimaan migas diterima dulu oleh pemerintah maka kontraktor menagih Cost Recovery pada pemerintah dan memperoleh Recovery serta Net Contractor Share. Pada usaha biasa pendapatan diterima pengusaha, sehingga dia menghitung Cost Recovery dan Recovery sendiri untuk pembayaran bagian pemerintah. Pada PSC manajemen ditangan pemerintah dan pada usaha biasa pada pengusaha.

Recoverable cost pada suatu tahun tidak mencerminkan apakah usaha tersebut hemat biaya atau tidak. Pada awal produksi, sesudah investasi yang besar, recoverable cost selalu tinggi. Apabila tidak ada royalty atau FTP (First Tranche Petroleum), bisa saja recoverable cost sama dengan pendapatan. Pada lapangan yang tidak mengeluarkan investasi lagi, dimana produksinya pasti turun, justru recoverable cost rendah karena dia hanya mengeluarkan biaya operasi. Royalty (awalnya berasal dari upeti kepada royal family atau keluarga kerajaan) adalah presentase dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemerintah. Sedangkan FTP adalah royalty yang di share (bagi) antara pemerintah dan kontraktor. Dengan royalty dan FTP pemerintah mendapat jaminan pendapatan sejak awal produksi. Untuk mengetahui suatu pengelolaan suatu daerah kontrak migas efisen atau tidak, tidak bisa diketahui dari recoverable cost tahunan. Untuk itu diperlukan POD (Plan of Development) atau paling tidak recoverable cost jangka panjang. Kondisi geografi dan geologi serta komposisi fluida reservoir yang berbeda menyebabkan lapangan yang satu bisa lebih mahal biayanya dari yang lain. Optimasi pengembangan, yaitu memaksimalkan pendapatan atau meminimumkan biaya, berdasarkan kondisi yang ada dilakukan dengan pengelolaan reservoir, teknologi dan perusahaan yang terbaik. Pengelolaan lapangan tua, lapangan marginal dan harga minyak yang tinggi menyebabkan biaya per barel lebih tinggi. Biaya produksi migas jangan hanya diperhitungkan terhadap produksi minyak saja, tetapi terhadap produksi minyak dan gas. Indikator yang perlu dilihat secara lebih komprehenship adalah R/C (Revenue to recoverable cost ratio) karena disitu diperhitungkan revenue (harga kali produksi) dan recoverable cost. Tabel 1 memperlihatkan produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas. Dari Tabel tersebut diperlihatkan bahwa produksi turun akibat penemuan cadangan yang turun. Walaupun demikian Gross Revenue dan Penerimaan Negara meningkat karena naiknya harga minyak Biaya biasanya meningkat dengan naiknya harga migas, yang penting Rasio Revenue terhadap Costs (R/C) meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 1 Produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas

Masalah cost recovery seharusnya diselesaikan antara kontraktor (yang mengusulkan) dan BP Migas (yang mengevalusi usulan). Untuk memperbaiki kualitas evaluasi diperlukan perbaikan kualitas personel kontraktor dan BP Migas baik dari profesionalitas maupun moral dan didukung dengan peraturan serta sistem komunikasi dan informasi yang baik pula.

Banyak yang menanyakan kenapa cost recovery naik sedangkan produksi minyak turun. Perlu dicatat bahwa produksi gas kita naik dan harga minyak naik. Perlu disadari peningkatan produksi dan investasi migas adalah masalah yang lebih kompleks, yang memerlukan kerjasama yang baik antara stakeholders yaitu kontraktor, BP Migas, BPH Migas, Departemen ESDM, Departemen Keuangan dan Departemen-departemen terkait lainnya, Pemerintah daerah dan Masyarakat. Selain itu juga tergantung faktor politik, ekonomi, keamanan, hukum, KKN, dll.5

Peningkatan Produksi Migas di Indonesia
Seperti usaha lain, untuk mempertahankan produksinya usaha migas perlu mempertahankan stock nya. Stock atau proven reserves (cadangan terbukti) pada migas turun dengan produksi dan naik dengan penemuan serta Improved Oil Recovery (IOR). IOR terdiri dari Enhanced Oil Recovery (EOR) maupun usaha peningkatan produksi lain. Gambar 1 memperlihatkan dinamika pengusahaan hulu migas.6 Tanda positif atau negatif diujung panah menyatakan hubungan antara dua besaran yang dihubungkan oleh panah tersebut. Sebagai contoh, jika produksi bertambah maka cadangan terbukti berkurang (hubungan negatif) dan jika terjadi penemuan, maka cadangan terbukti bertambah (hubungan positif). Cadangan yang belum ditemukan berkurang dengan adanya penemuan karena cadangan tersebut menjadi terbukti. Investasi meningkat jika potensi mendapat keuntungan meningkat. Keuntungan adalah fungsi dari produksi, harga, biaya dan pedapatan pemerintah. Teknologi berpotensi menurunkan biaya, sedangkan memelihara lingkungan baik fisik maupun sosial membutuhkan biaya.

Gambar 1 Dinamika Pengusahaan Hulu Migas

Penurunan produksi migas di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya penemuan akibat lesunya eksplorasi. Disamping diakibatkan oleh tingginya country’s risk Indonesia, lesunya eksplorasi tersebut disebabkan oleh diterapkannya bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN) impor dan pajak penghasilan (PPh) impor sejak diberlakukannya UU No. 22 / 2001. Menurut Goldman Sachs Research Institute (GSRI) 2007, Indonesia termasuk Negara yang berkatagori very high risk.10 Resiko tersebut ditentukan berdasarkan korupsi, aturan hukum, stabilitas politik, kualitas regulasi, dan indeks pembangunan manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 177/PMK.011/2007 diputuskan bahwa bea masuk ditetapkan 0% dari sebelumnya 15% dan PPN impor 10% dan PPh impor 2,5% ditanggung pemerintah, berlaku untuk migas dan panas bumi. Walaupun demikian, menurut beberapa pihak keputusan tersebut tidak permanen, sehingga seyogyanya dicantumkan dalam amandemen UU Migas. Perlu dicatat bahwa penemuan menurun tajam dari 2300 MMBOE pada 2001 dan 2002 ke sekitar 1050 MMBOE pada 2003 dan 2004 serta dibawah 500 MMBOE pada 2005 dan 2006.

Usaha peningkatan produksi dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan memproduksikan lapangan-lapangan yang terlantar dengan meminta kontraktor untuk melepaskannya (carved out) dan kemudian dioperasikan oleh perusahaan terpilih yang bersedia memproduksikannya. Hal ini sudah diakomodasi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2008. Walupun demikian keputusan tersebut akan lebih kuat apabila dicantumkan dalam amandemen UU Migas yang menyatakan bahwa apabila lapangan yang sudah ditemukan tetapi tidak dikembangakan dalam waktu tertentu (misal 5 tahun) harus dikembalikan kepada pemerintah.

Disamping itu banyak kontraktor yang kurang melakukan eksplorasi di wilayah kerjanya yang sudah produksi, akibatnya cadangan dan produksinya cepat menurun. Pemerintah perlu memberitahu kontraktor bahwa kriteria utama untuk perpanjangan kontrak adalah memproduksikan lapangan yang sudah ditemukan dan melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kerja yang sudah produksi.

Usaha lain adalah meminta kontraktor melakukan IOR, termasuk Enhanced Oil Recovery (EOR), seoptimal mungkin. Apabila dia tidak bisa melakukannya sendiri, maka dengan persetujuan pemerintah, dapat melakukan performance based contract dengan perusahaan jasa yang berniat melakukan IOR tersebut, dengan memberikan fee atau sebagian produksi hanya apabila terjadi penambahan produksi.

Produksi dapat ditingkatkan pula dengan dipercepatnya pembebasan tanah, ijin penggunaan lahan, diperbaikinya sistem birokrasi dan informasi serta kemitraan (partnership) dengan investor baik di Ditjen Migas maupun BP Migas, koordinasi yang baik antara instansi (ESDM, Keuangan, Dalam Negeri, Lingkungan Hidup, dan lain-lain) terkait, termasuk pusat dan daerah.

Permasalahan gas adalah iming-iming harga ekspor yang cukup tinggi dan belum jelasnya insentif apabila gas tersebut digunakan untuk domestik dengan harga lebih rendah. Gas lain yang bisa digunakan adalah Coal Bed Methane (CBM) yaitu gas methana yang ada dalam lapisan-lapisan batubara dimana cadangannya cukup besar. Indonesia perlu memberlakukan penerimaan pemerintah yang lebih rendah untuk CBM dibandingkan gas, karena biaya produksi CBM lebih mahal dibanding gas. Untuk pengembangan gas dan CBM perlu dipertimbangkan harga gas domestik yang menarik, misal $ 6/MSCF. Perlu disadari bahwa $ 6/MSCF gas hanya setara dengan $ 36 /BOE minyak. Lapangan gas medium dan kecil serta CBM memerlukan media transportasi berupa pipa. Pembangunan infrastruktur gas tersebut perlu ditingkatkan.

Cost Recovery versus Peningkatan Produksi Migas di Indonesia
Perlu diketahui bahwa biaya eksplorasi dan produksi migas per barel akan makin tinggi dengan:
- Penemuan di daerah yang sudah lama dikembangkan yang biasanya lapangannya makin kecil.
- Biaya produksi yang lebih mahal dengan berkurangnya produksi migas serta meningkatnya produksi air di lapangan-lapangan yang sudah lama produksi.
- Eksplorasi yang lebih mahal karena dilakukan di daerah-daerah terpencil serta laut dalam yang bisa mencapai $ 20-30 /barel.
- Biaya EOR (Enhanced Oil Recovery) yang bisa mencapai $ 20-30 /barel.

Perlu juga diketahui bahwa di tahun-tahun awal produksi dimana sunk cost mulai di-recover (peroleh kembali) maka recovery selalu besar.

Jangan sampai ketidaktahuan atas hal-hal diatas menyebabkan prasangka ketidakefisienan pengusahaan migas atau penggelembungan biaya. Walaupun, kewaspadaan terhadap penggelembungan biaya penting.

Hal lain yang perlu diketahui adalah bahwa cost recovery ada baik pada konsesi maupun PSC. Banyak orang berpikir pada PSC negara dirugikan karena ada cost recovery, sedang pada konsesi tidak ada. Pada PSC dan usaha biasa terdapat Cost Recovery dan Recovery. Bedanya, pada PSC pembagian revenue menjadi recovery, pendapatan pemerintah (government take) dan net contractor share dibicarakan dengan pemerintah. Pada konsesi pendapatan diterima pengusaha, sehingga dia menghitung Cost Recovery dan Recovery sendiri untuk pembayaran pendapatan pemerintah. Pada PSC manajemen ditangan pemerintah dan pada konsesi pada pengusaha. Malah sebetulnya pengontrolan cost recovery pada PSC adalah lebih berlapis-lapis daripada konsesi, karena pada PSC diberlakukan pre, current dan post audit sedangkan pada konsesi hanya post audit. Adalah tidak adil apabila pada Freeport diperbolehkan acara golf sebagai pengurang pajak (tax deductable) tetapi pada PSC tidak boleh di-recover.

Yang menyebabkan PSC tidak efisien adalah kalau birokrasinya berbelit-belit dan birokratnya tidak professional. Birokrasi bisa diusahakan sesederhana mungkin. Pemanfaatan computer untuk persetujuan & data base yang baik sangat membantu. Kita bisa mencontoh Malaysia atau Norwegia. Birokratnya diusahakan seprofesional mungkin (misal pernah magang di perusahaan migas multinasional dan sekolah di luar negeri). Selain itu diberlakukan bagi hasil dan cost recovery ceiling (sehingga kontraktor mau tidak mau akan berhemat) yang berbeda berdasarkan R/C sehingga kalau harga, produksi dan biaya berubah tidak perlu negosiasi (insentif atau pajak tambahan) lagi.

Peningkatan produksi migas di Indonesia dapat dilakukan dengan dimanfaatkannya lapangan-lapangan yang menganggur, diberlakukannya EOR di lapangan-lapangan yang sudah ada (Norwegia dan Cina saat ini saat ini mengenjot EOR nya) serta mengundang investor untuk eksplorasi yang di daerah-daerah yang lebih sulit (daerah terpencil dan laut dalam) sehingga mau tidak mau biayanya lebih mahal.

Manajemen yang benar adalah lebih mengutamakan peningkatan benefit, kalau perlu mengambil resiko yang diperhitungkan dan bukan hanya menghemat biaya. Manajemen di Indonesia saat ini, baik di pemerintah maupun dunia usaha, mengalami kegamangan karena banyak pengambil keputusan yang takut mengambil keputusan karena takut dikritik dan diperiksa. Napoleon Hill menyatakan untuk menghindari mengambil keputusan atau resiko atau kritik, hanya ada dua hal yang bisa dilakukan yaitu be nothing atau do nothing atau menjadi bukan siapa-siapa atau tidak melakukan apa-apa.2 Permasalahannya adalah bahwa pejabat diangkat untuk mengambil keputusan, kalau tidak kasihan stakeholder-nya. Ibarat kapal yang kaptennya tidak berbuat apa-apa, sehingga terombang-ambing. Pejabat disamping harus tahu mana yang benar dan salah, juga wajib tahu bagaimana memaksimumkan rasio manfaat-biaya dari keputusannya. Menghemat biaya tidak ada gunanya kalau mengakibatkan manfaat berkurang lebih banyak dari penghematannya. Maunya ngirit malah jadi morat-marit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Babusiaux, D., Oil and Gas Exploration and Production - Reserves, Costs, Contracts, Institut Français du Pétrole, 2004
2. Hill, N., Law of Success, Crescent News, Kuala Lumpur, 1979
3. Johnston, D., International Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, Daniel Johnston & co. Inc., New Hampshire, 2005
4. Kripalani, K., All Men Are Brothers, Life and Thoughts of Mahatma Gandhi, Navajivan Publishing House, Ahmedabad, 1960
5. PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas Investment in Indonesia, Jakarta, September 2005
6. Partowidagdo, W., Peningkatan Produksi, Investasi dan Kemampuan Nasional Hulu Migas, Seminar Migas Nasional, Majalah E&M, Jakarta, 11 Maret 2008
7. Partowidagdo, W., Manajemen dan Ekonomi Migas, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2002
8. Seba, R.D., Economics of Worldwide Petroleum Production, Oil and Gas Consultants International Publications, Tulsa, Oklahoma, 2003
9. Sutowo, I., Peranan Minyak Dalam Ketahanan Negara, Pertamina, Jakarta, 1972
10. The Goldman Sachs Group, Inc., 125 Projects to Change The World, New York, 2006