Saturday, August 19, 2006

Cost Recovery Limit

Kalau kita lihat model model kontrak perminyakan di dunia ini, banyak juga yang menggunakan cost recovery limit, artinya dalam satu tahun kalender, biaya biaya yang boleh dibebankan oleh contractor dibatasi sampai sekian persen dari gross revenue. Sisanya dapat di carry forward ke tahun berikutnya. Besarnya limit bervariasi mulai dari 30% gross revenue sampai 100% (kalau 100% jadinya no cost recovery limit). Biasanya negara yang pake cost recovery limit sampai kecil sekali (misal: 25-50%), umumnya nggak mengenakan royalty, jadi dari gross revenue bisa langsung potong buat cost recovery, makanya dikasih limit, kalau nggak, bisa bisa nanti abis buat nalangin cost doang, government nggak kebagian diawal awal produksi.

Sebenarnya yang ingin saya bahas tuh mengenai istilah yang biasanya muncul kalau model kontrak tersebut ada cost recovery limit-nya, yaitu: unused cost oil atau excess cost oil, istilah ini perlu dipahami benar, karena kadang kadang treatment-nya beda.

Excess cost oil itu kira kira maksudnya gini: kalau biaya biaya (depresiasi capex + opex + unrecovered previous cost) pada tahun kalender itu lebih kecil dari cost recovery limit, maka sisanya disebut excess cost oil, contoh: untuk satu tahun kalender, total biaya dari komponen biaya biaya tersebut adalah 30 MM$, terus gross revenue misal 100 MM$, karena cost recovery limit = 40%, maka excess cost oil nya sebesar 10 MM$.

Nah yang menarik, excess cost oil dikemanain?, lagi lagi tergantung kontraknya, di beberapa model kontrak, excess cost oil langsung masuk ke government (lihat gambar bawah yang sebelah kanan), jadi nggak dibagi sama contractor. Contoh? PSC Egypt, Sudan (model PSC 1999).


Enak dong Government?, ya boleh boleh aja dong!, jadi gitu! excess cost oil langsung masuk ke pundi negara.

Pada umumnya, excess cost oil itu dibagi antara government dengan contractor yang mana proporsinya sama dengan profit oil split, atau dengan kata lain, karena proporsi pembagiannya sama, maka dikatakan: excess cost oil itu langsung masuk ke profit oil! (lihat gambar biar jelas).

Ada juga yang lain lagi, excess cost oil itu dibagi antara contractor dengan government, tapi proporsi pembagiannya beda dengan profit oil split, nah dalam hal ini, bisa lebih baik, bisa juga lebih jelek buat contractor. Kalau kasus yang lebih baik buat Contractor, contohnya model R/C nya Malaysia.

Jadi, treatment excess cost oil ini harus jelas bener, kecenderungannya sekarang, yang model "excess cost oil langsung masuk ke government" mulai berkurang, mungkin dianggap nggak terlalu baik, jadi nggak meng - encourage contractor untuk melakukan cost saving, contractor mikir, buat apa cost saving?, orang semuanya masuk ke Government kok, mending costnya gede gedein aja sekalian. Makanya di Egypt pun, model PSC mereka yang lebih baru juga udah diubah, bahwa excess cost oil juga dibagi dengan contractor.

Kalau model R/C Malaysia (lihat posting sebelumnya), itu meng-encourage contractor untuk lebih cost effective, karena, kalau melakukan cost saving, excess cost oil-nya akan dapet lebih gede, dibanding dari profit oil split. Ya gitu deh, pinter pinter yang disain aja, maunya gimana gitu lho...

Indonesia pernah juga pake model cost recovery limit, yaitu: PSC generasi I, besarnya 40% dari gross revenue, kalau ada excess cost oil, dibagi dengan contractor. PSC generasi II, nggak ada lagi cost recovery limit. PSC generasi III, cost recovery limit nggak ada (cost recovery nggak dibatasi), tapi mulai diperkenalkan istilah First Tranch Petroleum (FTP), jadi ya secara nggak langsung, FTP itu berperan sebagai "cost recovery limit" juga, cuma bedanya sama royalty, kalau royalty semua langsung masuk pundi negara sedangkan FTP dibagi dengan contractor.

4 comments:

Anonymous said...

thank'God. semua artikel ekonomi migas bermanfaat untuk semua hal. terima kasih pak Benny. Saya Dadang Hermawan, bekerja sebagai perencana anggaran di Provinsi sangat membutuhkan dan mohon izinnya, artikel - artikelnya untuk bahan perencanaan anggaran, semoga pak Benny diberi kesehatan selalu, kekuatan lahir batin, kebahagiaan dunia akhirat juga seluruh keluarga pak Benny. Untuk meningkatkan kualitas komunikasi sehubungan dengan faktor kualitatif dan berhubung saya tidak mempunyai id blogger dan gmail maka saya kirimkan e mail saya di da2nk_hermawan@yahoo.com

Benny Lubiantara said...

Alhamdulilah kalau bermanfaat, bagi saya menulis blog spt membuat catatan, kadang2 kalau saya perlu info cepat dan pernah saya tulis di blog, malah lebih cepat dilihat di blog, ketimbang cari filesnya di notebook.

Terima kasih untuk doanya, Amien.. saya bisa di kontak di: aratnaibul@yahoo.com.

Wassalam,
Benny

Alvin said...

Mas Benny, saya agak sedikit bingung. Dari contoh yang diberikan, porsi yang $100MM - $40MM = 60MM, apakah akan menjadi Equity to be Split (ETBS)? Karena kalau berdasarkan definisi ECO, berarti apabila total cost di tahun berjalan lebih kecil dari CR Limit, maka yang ada justru ETBS. Sehingga ECO hanya muncul apabila semua sunk cost belum ter-recover (di mana total cost >= CR Limit). Namun demikian, apakah mungkin dalam tahun berjalan akan bisa muncul ETBS dan ECO secara bersamaan? Mohon pencerahannya untuk saya yang masih bingung ini. Thanks.

Benny Lubiantara said...

jadi gini Alvin:

kalau cost rec limit/ceiling = 40%, maka apabila gross revenue = 100 $MM, 60% akan SELALU lari ke ETBS.

kalau kebetulan cost-nya sama dengan 40 $MM, maka nggak ada ECO (ECO = 0 $ MM), tapi kalau katakanlah:
cost = 30 $MM, maka ECO = 10 $ MM, kalau cost = 20 $ MM, ECO = 20 $ MM, dst-nya.

Total cost dalam hal ini sudah semua cost (accumulated), kalau masih ada cost yang unrecovered, maka akan direcovered pada tahun2 berikutnya... (dalam tahal awal tentu masih banyak yang belum ter-recovered, adanya ceiling/limit akan meperlambat proses recovery cost).