Tuesday, September 04, 2007

Kebijakan Pajak BBM

Ini menyambung posting sebelumnya mengenai pajak BBM, soalnya sekarang lagi merhatiin kecenderungan energy taxes di negara konsumen gede (G7 countries). Kalau kita lihat negara G7 Eropa (UK, Perancis, Jerman dan Italy) termasuk gede banget pajaknya, sementara negara G7 lain kaya US dan Canada cenderung kecil. Apakah ada hubungan antara densitas populasi dengan kebijakan perpajakan? Bisa jadi!.

Ada juga pendapat yang bilang kalau masyarakat di belahan eropa (barat) punya toleransi yang tinggi terhadap tingginya pajak bahan bakar minyak ini dibanding orang amrik atau kanada karena dua alasan: pertama, shorter distance to travel, kedua, better access to public transport. Tapi sebenarnya nggak toleran2 amat, buktinya tahun 2000 ada demo juga di UK menentang tingginya pajak BBM ini.

Hal lain yang juga menarik untuk diamati itu adalah level konsumsinya, kita tahu kalau di US sana, konsumsinya luar biasa besar, gasoline misalnya konsumsi bisa 20 kali lipat dibanding UK. Sekarang timbul pertanyaan: apakah pajak yang rendah itu mendorong terjadinya konsumsi yang besar? Atau yang terjadi begini: karena tingkat konsumsi yang besar, maka menjadi semacam pressure buat government, yaitu pressure yang kuat untuk menentang setiap ada ide untuk menaikkan pajak.

Secara teori, pajak bahan bakar minyak ini antara lain bertujuan: 1. untuk mengcover biaya konstruksi dan maintenance infrastruktur transportasi, 2. sebagai sumber untuk pengeluaran pemerintah, 3. sebagai koreksi thd negative externalities, 4. dan lain lain

Point pertama kelihatannya oke untuk kasus US, tapi yang lebih umum buat negara lain kayanya point kedua. Nah, point ketiga ini yang kita coba bahas lebih jauh karena ini urusannya dengan lingkungan. Teorinya seperti ini: barang barang “jahat” harus dipajakin gede gede supaya mengurangi konsumsinya, slogannya: tax bad not goods. Karena fuel ini mempunyai efek negatif terhadap lingkungan, maka (katanya) perlu dipajakin yang gede, supaya dapat keuntungan ganda (istilah kerennya: double dividend), yaitu: pertama, pencemaran lingkungan berkurang karena konsumsi berkurang, kedua, ada pemasukan pajak (yang teorinya) bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Idealnya semakin mencemari suatu produk, semakin gede tingkat pajaknya, tapi realitanya tidaklah demikian, sebagai contoh: coal yang relatif lebih besar efek pencemarannya, malah dipajakin lebih rendah dari petroleum dan gas. Begitu pula untuk sesama petroleum products: kerosene dan diesel mestinya kena pajak lebih gede dari gasoline, tapi prakteknya tidak selalu demikian, karena urusannya dengan “distribusi of income”. Suatu negara mungkin harus memproteksi industri coal-nya, kalau nggak bisa2 angka pengangguran meningkat. Begitu juga dengan kerosene yang relatif lebih banyak digunakan oleh kelompok yang lebih miskin.. masak nekat dipajakin tinggi2, nanti government-nya nggak populer, tidak pro rakyat miskin. Not so easy ya?..

Sebagai penutup, menarik melihat komentarnya Sanjeev Gupta dalam papernya “Taxation of petroleum products: theory and empirical evidence”, saya kutip: the domestic taxation of petroleum products is an important source of revenue in most countries. However, there is a wide variation of taxes rates on petroleum products across countries, which cannot be explained by economic theory alone.

No comments: