Monday, January 07, 2008

Harga Minyak - how high is too high?

Namanya Arjun Murti, dia bekerja di Goldman Sachs, anak muda ini salah satu pembicara yang paling ditunggu pada waktu menghadiri Oxford Energy Seminar, September 2006. Arjun mendadak populer dikalangan analis harga minyak dengan teorinya super spike yang meramalkan harga minyak akan segera mencapai 105 $ per barrel. Pada saat itu, di kalangan analis - Arjun dianggap nyeleneh, tapi sebenarnya banyak juga yang penasaran dengan teorinya tersebut. Pada sesi lain dalam seminar yang sama, Ivo Bozon dari perusahaan konsultan yang juga terkenal (MacKinsey), membuat ramalan sebaliknya, harga minyak akan segera turun ke level 35 - 40 $ per barrel. Saat itu harga minyak WTI sekitar 64 $ per barrel, turun sejak mencapai puncaknya bulan Juli 2006 sebesar 76 $ per barrel. Dua bulan kemudian harga minyak terus turun ke level 55 $ per barrel dan orang mulai melupakan teorinya Arjun.

Mingguan Petroleum Intelligence Weekly (PIW), secara rutin mengadakan semacam kontes forecast harga minyak yang terdiri dari para analis beken dari institusi kondang kelas dunia. PIW edisi April 2007, memuat range forecast dari analis tersebut, hasilnya: untuk rata rata tahun 2007 range-nya berkisar antara 54 - 66 $ per barrel. Apa yang terjadi kemudian? Harga minyak terus meningkat sejak April 2007, pola ini berbeda dengan tahun tahun sebelumnya dimana harga minyak akan cenderung turun setelah liburan musim panas berakhir, ini ternyata tidak terjadi untuk tahun 2007. Melihat perkembangan harga minyak, PIW edisi September menurunkan kembali update forecast harga minyak dari para analyst tersebut, untuk kuartal 4, 2007, yang berkisar antara 67 – 77 $ per barrel, tidak satupun analis beken memperkirakan harga minyak akan tembus ke level 80 $ per barrel. Ada joke diantara para analis, “pekerjaan apa yang paling sia sia?”, jawabnya: “mem-forecast harga minyak”.

Semua analisa harga minyak tentunya berangkat dari faktor faktor fundamental, seperti: pertumbuhan ekonomi, supply vs demand, level persediaan (stocks) di negara konsumen, spare capacity OPEC, weather (musim), tentunya juga ditambah kemungkinan terjadinya gangguan pasokan baik karena masalah geopolitik maupun badai dan bencana alam lainnya.

Apa yang terjadi tahun 2006, ketika supply vs. demand dianggap cukup, namun terjadi masalah pasokan untuk produk produk hasil kilang akibat adanya bottleneck. Selain masalah kapasitas, juga ada masalah kompleksitas kilang karena terjadi ketidakseimbangan permintaan produk minyak. Secara global, permintaan untuk light products (gasoline, naphtha) meningkat sebaliknya permintaan heavy products relatif turun. Konfigurasi kilang yang jenis simpel tidak bisa meng-upgrade crude residue menjadi light products. Maka terjadilah “rebutan” minyak mentah jenis ringan, sementara tambahan pasokan minyak mentah yang tersedia sebagian besar jenisnya heavy crude, yang terjadi akhirnya: surplus heavy crude sementara defisit light crude.

Perkiraan pertumbuhan permintaan dan pasokan minyak global biasanya dilakukan oleh banyak institusi, seperti: OPEC, DOE, IEA, CERA, PFC, Barclay Capital, Argus dan lain lain. Data tersebut ada yang bisa diakses langsung, ada juga yang harus membayar dulu sebagai anggota. Perkiraan pertumbuhan permintaan untuk tahun 2008 dari rata rata institusi tersebut sekitar 1.3 juta barrel per hari. China, India dan Timur Tengah mengambil porsi sekitar 850 ribu barrel per hari (65%) dari tambahan permintaan global tersebut.

Bagaimana dari sisi pasokan? tambahan sekitar 800 - 900 ribu barrel per hari dipasok dari negara Non-OPEC (Utamanya: Brazil, Canada, Russia dan Azerbaijan). Sementara kekurangannya akan diisi oleh OPEC, dengan spare capacity OPEC sekitar 2 - 3 juta barrel per hari, fundamental tentunya cukup aman.

Salah satu faktor non-fundamental yang tidak boleh dilupakan adalah persepsi, persepsi yang timbul adalah bahwa posisi fundamental sangat ketat, yang pada gilirannya menimbulkan kecemasan konsumen terhadap keyakinan akan ketersediaan pasokan. Faktor faktor ini (kecemasan macetnya pasokan karena meningkatnya ketegangan geopolitik, ketidakyakinan kinerja pasokan Non-OPEC, dan kenyataan menurunnya level persediaan minyak mentah US) tentu mempunyai andil terhadap meningkatnya harga minyak. Faktor lain adalah melemahnya nilai tukar dollar dan turunnya tingkat suku bunga di US yang membuat investor melakukan hedging terhadap posisi dollar yang melemah, kondisi ini mendorong meningkatnya harga komoditas termasuk minyak.

Peran dan pengaruh spekulan di oil futures market.

Pada umumnya yang dimaksud spekulan dalam crude oil papers itu adalah kelompok yang tidak ada hubungannya dengan transaksi minyak yang sesungguhnya (physical crude). Misalnya: hedge, pension fund, dan lain lain. Transaksinya dicatat sebagai non-commercial oleh CFTC (commodity futures trading commission). Oleh karena itu transaksi non-commercial ini dijadikan pendekatan untuk melihat aktivitas spekulan. Analis berusaha mencari hubungan antara aktivitas spekulan dengan kecenderungan harga minyak, misalkan dengan membuat plot: harga minyak (WTI) vs. transaksi non-commercial, harga minyak vs. volume open interest (total jumlah futures contracts long atau short yang belum di likuidasi oleh offsetting transaction atau delivery).

Mengapa spekulasi kena getahnya dan dituding ikut mendorong melonjaknya harga minyak? Beberapa tahun belakangan transaksi di futures markets ini meningkat sekitar empat kali lipat dibanding 10 tahun yang lalu, begitu pula transaksi untuk kontrak non-commercial. Beberapa studi menyebutkan bahwa hanya melihat fundamental supply vs. demand di physical market tidak memberikan gambaran yang utuh tanpa membahas pengaruh paper market. Oleh karena itu, sebagian analis percaya bahwa meningkatnya transaksi spekulan ini berpengaruh terhadap peningkatan harga, walaupun susah dihitung secara kuantitatif berapa besar pengaruh kenaikan harga akibat aksi spekulan ini.

Namun banyak juga studi yang menyimpulkan sebaliknya, bahwa tindakan spekulasi tidak banyak berpengaruh terhadap harga minyak, tetapi yang terjadi adalah harga minyak yang mempengaruhi aksi spekulasi.

Analis yang mem-plot harga minyak dengan transaksi non-commercial maupun volume open interest, bisa menunjukkan hubungan bahwa pada periode tertentu ada korelasi positif, namun pada periode lain tidak ada korelasinya.

Menurut publikasi konsultan terkenal Cambridge Energy Research Associates (CERA) bulan Januari 2008, volume open interest di NYMEX mencapai 1.5 juta kontrak (standar NYMEX dan ICE Future, 1 kontrak = 1000 barrel). Apabila digabungkan dengan options, maka total volume open interest mencapai 2.4 juta kontrak. Untuk transaksi non-commercial, net long position sebesar 83 ribu kontrak, atau sebesar 83 juta barrel yang hampir setara dengan total permintaan dunia sebesar 86 juta barrel per hari. Posisi long futures menjadi menguntungkan apabila harga naik, net long position umumnya merefleksikan ekpekstasi harga akan naik. Spekulan memang tidak menentukan kecenderungan harga, tetapi tindakan spekulan mempunyai kemampuan untuk “mengarahkan” kecenderungan harga tersebut.

Mengingat begitu banyak faktor yang berpengaruh, fundamental dan non-fundamental, memperkirakan harga minyak memang luar biasa sulit kalau tidak mau menyebutnya pekerjaan sia sia, kecenderungan harga yang masih naik, tentu akan sampai batasnya dimana dia harus turun (what goes up, must go down). Ketika harga minyak sempat menembus level “tiga digit”, mungkin analis perlu kembali ke teorinya Arjun, dengan satu pertanyaan sesuai judul presentasinya dahulu: “how high is too high?”.

No comments: