Ketika Evo Morales melakukan gebrakan “nasionalisasi”, banyak media massa baik asing maupun lokal menyoroti gebrakan ini, yang menarik adalah munculnya angka 82%, namun tidak dijelaskan secara rinci dari mana asal usul angka tersebut. Sehingga wajar kalau kemudian banyak yang membandingkan angka 82% dari total pendapatan untuk Bolivia ini dengan term dan kondisi PSC di tanah air.
Bolivia, melalui UU migas mereka yang baru (UU hidrokarbon, 2005), menetapkan bahwa royalti naik menjadi 18% dan Direct Tax on Hydrocarbon (DTH) sebesar 32%, dengan demikian totalnya menjadi 50% dari value of production hydrocarbon. Untuk lapangan yang besar, ditambah partisipasi pemerintah sebesar 32% sehingga total menjadi 82%. Dari sinilah angka tersebut diperoleh.
Membandingkan dengan kondisi PSC Indonesia, yang pembagiannya 85% : 15%, tentu tidak “apple to apple”. 85% PSC RI adalah Government Take (persentasi dari profit setelah pembayaran pajak). Karena 85% tersebut adalah dari keuntungan bersih, apabila dihitung dari pendapatan total (gross revenue), tentu persentasinya tidak sebesar itu, masih jauh dibawah Bolivia yang sebesar 82%.
Pembagian model Bolivia ini memang luar biasa tingginya buat negara. Pertanyaannya: kenapa perusahaan minyak disana terpaksa setuju juga dengan terms yang “luar biasa” tinggi ini?, jawabnya sederhana: karena mereka sudah tahu persis struktur biayanya, sehingga mereka hanya mengeluarkan untuk biaya produksi saja, tidak perlu melakukan investasi kapital lagi. Misalkan biaya produksi sebesar 10% dari pendapatan total, maka perusahaan masih memperoleh keuntungan sebesar 8.32%*) dari pendapatan total. Kalau mereka tahu biaya produksi lebih besar dari 18% pendapatan kotor, tanpa diusirpun, perusahaan minyak akan kabur sendiri, tidak mau mereka kerja bakti.
Perlu dipahami disini, model 82% ala Morales ini berlaku untuk lapangan besar yang sedang berproduksi, dengan demikian tidak ada sama sekali resiko eksplorasi, apabila Morales menawarkan konsep ini utuk blok baru yang belum pernah di eksplorasi, tentu tidak akan ada satupun investor yang berminat. Mana ada investor nekat, melakukan pemboran eksplorasi yang belum ketahuan hasilnya, kalaupun nanti kelak ditemukan cadangan komersial, akses ke pendapatan total dibatasi hanya maksimum 18% termasuk biaya. Investor akan berpikir ulang, kapan biaya investasi meraka akan kembali.
Sementara model PSC RI dengan pembagian 8%:15% itu untuk aktivitas yang “full cycle”, mulai dari eksplorasi sampai produksi, kalau membandingkan model full-cycle ini dengan negara lain, menurut saya, bagian pemerintah dari keuntungan setelah pajak tersebut sudah cukup fair. Untuk kondisi tertentu, pembagian “split” - nya turun menjadi (80:20, 75:25, 70:30, etc) tergantung lokasi dan resikonya. Sebenarnya apa yang terjadi di Bolivia dan beberapa negara Amerika Latin lainnya tidak terlepas dari adanya kontrak yang tidak berimbang (unfair contract) yang dibuat pada masa lalu.
---
*)Ilustrasi: maksimum bagian perusahaan adalah 18%, dikurangi 10% biaya (dari total biaya tersebut diasumsikan ada kontribusi pemeritah sebesar 32%, sebagai akibat partisipasi pemerintah sebesar 32%).