Thursday, August 02, 2007

Lagi2 Cost Recovery!

Sebenarnya males ngebahas cost recovery, udah terlalu sering, kemaren dapet email dari kolega, dia bilang: “masalah cost recovery, rame lagi tuh..”, weleh .. never ending story..

Kadang kadang kalau baca statement para pengamat, agak aneh juga, padahal beliau beliau itu paham benar bisnis migas, misalnya ada yang bilang: “kalau cost recovery naik, harusnya dibarengi dengan kenaikan produksi...”. Sebenarnya kalau yang ngomong orang awam, dapat dimengertilah. Tapi kalau pengamat migas, seharusnya tidak sepotong2 gitu melihatnya, emang kalau biaya naik karena investasi sekarang, terus produksi langsung naik?.

Padahal mereka juga tahu persis, kenaikan biaya upstream ini terjadi dimana mana, seberapa siginifikan kenaikannya?, saya lampirkan plot “upstream capital cost index” dari kajian CERA.


Sebagai ilustrasi: biaya 3D seismic naik dua kali lipat untuk 2 tahun terakhir, begitu juga biaya ngebor, biaya tenaga kerja juga naik, dimana mana sekarang terjadi kelangkaan tenaga ahli perminyakan, belum lagi yang standard kaya harga baja, dll. Jadi buntut dari kenaikan harga minyak ini (seperti biasa) diikutin kenaikan biaya biaya untuk kegiatan hulu, itulah hukum pasar, supply vs demand.

Cost recovery naik dan produksi turun dibanding tahun lalu apakah itu berarti jelek?

Kita bahas satu per satu.

Pertama, kalau harga minyak nggak naik, itu jelas lebih jelek, tapi kalau harga minyak naik, bukankah penerimaan negara juga meningkat, data menunjukkan kalau penerimaan negara lebih baik dari periode sebelumnya (rata rata harga minyak RI tahun 2005 sekitar 53 USD per barrel, tahun 2006 sekitar USD 64 per barrel). Bukankah kenaikan penerimaan negara lebih penting?, kurang fair kalau cuma melototin kenaikan cost recovery (karena dimana mana di belahan dunia ini, biaya memang naik).

Kedua, kolega yang berkecimpung di migas semua tahu, bahwa ada “time lag” antara investasi dengan produksi, kalau keluar duit sekarang, manfaatnya baru dirasakan beberapa tahun lagi, jadi nggak bisa dilihat sepintas gitu aja, wah tahun ini cost naik, produksi harus naik.. ya nggak gitu lah!.

Ketiga, masalah lapangan di Indonesia yang sebagian besar udah tua, (sekali lagi) kolega yang berkecimpung di migas juga tahu kalau secara alamiah lapangan tersebut produksinya akan turun, yang bisa dilakukan hanya mempertahankan supaya tingkat penurunan produksinya tidak terlalu besar, itulah kerjaan teman teman GGE di perusahaan migas, gimana supaya produksi tidak anjlok. Perlu pekerjaan optimisasi sumur sumur tua tersebut yang (tentunya) memerlukan biaya, itupun (biasanya)hanya untuk "membantu" supaya tingkat produksinya nggak turun drastis, kalau nggak ada optimisasi, memang nggak diperlukan biaya, konsekuensinya: produksi sumur kalau di plot jadi "terjun bebas", malah lebih parah lagi situasinya!

Namanya lapangan tua, sama aja kaya ngurusin mobil tua, biaya perawatan malah naik, ini buah simalakama, dicuekin efeknya bisa gawat karena urusannya dengan safety & lingkungan, kalau diganti semua, nggak ekonomis dan lagi2 menaikkan cost recovery. Jadi harus bener bener "fit for purpose technology" yang di adopsi, cost effektif tanpa mengorbankan safety & environment. Gampang diomongin, not so easy di implementasi.

Mau produksi naik?, ya nggak ada cara lain selain: eksplorasi, mempercepat pengembangan lapangan yang sudah ditemukan, penggunaan aplikasi teknologi untuk peningkatan produksi termasuk EOR, memproduksikan lapangan lapangan kecil atau yang nganggur (idle fields), semua itu perlu investasi saat ini juga, manfaatnya ya nanti dong sabar.

Keempat, sebagaimana diketahui saat ini banyak sekali GGE kita eksodus ke LN, karena tawaran income yang lebih baik, nggak heran kalau banyak KKS sekarang kebingungan mempertahankan GGE mereka. Gimana mempertahankan mereka? Tentu salah satu nya dengan menaikkan kompensasi, ujung2 nya ya cost recovery akan naik juga.. begitulah siklusnya, mau produksi “terjun bebas” tapi cost recovery tidak naik, atau mau produksi di maintain tapi cost recovery sedikit naik?

Kelima, ada pemikiran untuk menghilangkan cost recovery dengan mengganti menjadi model kontrak yang nggak ada cost recovery (royalty). Saya termasuk yang kurang setuju dengan ide ini karena tidak menyelesaikan masalah, apa dengan mengganti model kontrak, penerimaan negara menjadi lebih baik?? I doubt it, sudah banyak dibahas advantages dan disavantages pada posting saya sebelumnya…

.....

Bahwa ada ide untuk memperjelas cost cost apa saja yang recoverable, saya kira itu hal yang positif, sebenarnya pepatah: “mencegah lebih baik dari mengobati”, itu yang harus dilakukan untuk urusan cost recovery ini. Maksudnya, semua proyek proyek itu harus dimatangkan dulu perlu atau tidaknya, harus diakui (khususnya pada masa lalu) banyak juga terjadi proyek proyek yang sebenarnya tidak begitu diperlukan (unnecessary projects), ini yang harus diminimalkan. Untuk menyatakan bahwa ini perlu atau tidak perlu, Anda harus cukup pintar dalam arti memahami lika liku operasional, teknis dan bisnis migas, tidak cukup hanya dengan semangat nasionalisme. Anda kalau mau menangkap “penjahat”, paling tidak ilmunya sama atau diatas penjahat tersebut, apalagi “penjahat” nya canggih semua, kalau ilmunya dibawah, ya ketipu aja Anda nggak merasa.. makanya belajar, biar nggak ketipu he he!! Udah ah bosen ngomongin cost recovery!

4 comments:

Anonymous said...

Pak Benny,

Sebagai orang awam yang coba ngikuti isu ini, saya tertarik dengan kondisi perminyakan kita yang ternyata bertumpu pada sumur-sumr minyak yang udah tua [Bisakah saya dapat datanya?]. Nah jadi kepikiran: gimana kalau cost recovery-nya dibatasi berdasarkan persentase tertentu dan persentase itu bertambah seiring waktu.

Maksudnya pada awal eksplorasi/produksi persentasenya kira-kira katakanlah 80% dan angka itu naik pada tahuntahun selanjutnya. Dengan demikian, pemerintah dan KKS sama-sama menanggung "rugi" semata karena kondisi sumur yang terus menua.

Ada masukan?

Mumu Muhajir
mumu.muhajir@yahoo.co.id

Anonymous said...

Pak Mumu,

Data lapangan (kapan mulai produksi?) mungkin bisa di cek ke beberapa institusi pemerintah (BP Migas & Dirjen Migas) atau ke website yang kadang menyediakan informasi tersebut spt: US embassy Jakarta.

Menurut saya yang perlu dilihat itu adalah berapa persentase cost recovery terhadap gross revenue (dalam satu tahun), naik apa turun? kalau naik, ini baru masalah! Tetapi yang terjadi saat ini adalah cost recovery naik, Gross revenue juga naik, dengan demikian persentase cost recovery thd gross revenue sebenarnya tidak naik (malah turun). Dengan kondisi ini, tidak ada masalah sebenarnya, karena itulah bagian mekanisme pasar.

Kalau yang terjadi yang kedua, persentage cost recovery thd GR malah terus naik, baru perlu diambil "corrective action", tentu banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan membuat batasan minimal government share untuk satu periode tertentu, serta banyak cara lainnya. Nanti mungkin bisa dibahas lebih jauh.. maaf buru buru mau jumatan!

Salam,
Benny

Unknown said...

Mas Benny,

Iya nih isu cost rec ini kayak lagu yg diputar berulang2 aja. Saya juga geleng2 kepala kalo baca comment-nya orang2 yg sering disebut pakar di bidang perminyakan.

Tadinya saya pikir BPMIGAS tidak pernah menjelaskan ke publik soal ini tapi begitu baca annual reportnya BPMIGAS tentang cost rec, saya rasa penjelasannya sangat2 jelas dan gamblang.

Supaya berita soal ini gak berulang2 terus, mungkin BPMIGAS perlu meningkatkan fungsi media relationnya. Menurut saya ini, hanyalah persoalan komunikasi saja.

Salam,
Arifin

Anonymous said...

Setuju Mas Arifin, BPMIGAS memang harus punya Public Relation & Information yang kuat, Website yang menarik dan informatif, etc. Persoalan komunikasi dan informasi tidak bisa dipandang sepele. Apalagi kondisinya kaya sekarang2 ini!