Ketika kita mempelajari model kontrak perminyakan, sebaiknya kita mendalami tidak saja aspek ekonomis namun sangat perlu juga mendalami aspek legalnya. Namanya juga kontrak, kaya kontrak rumah aja, isinya nggak cuma berapa harga kontrak tentunya, tapi juga aspek aspek hukum yang mengikat pihak yang berkontrak.
Contohnya gini: kemaren sohib saya bikin makalah di IPA, makalahnya bagus, mempertanyakan effektivitas cost recovery dalam PSC Indonesia. Teman ini mengusulkan supaya “dihapuskan saja” cost recovery ini (kita singkat CR saja). Jadi nggak perlu mekanisme cost recovery, sementara semua biaya di-capital-kan (kecuali production cost dan admin cost yang di–expense).
Tentu kita tidak heran kalau “PSC with no CR” (ini istilah yang dia gunakan) akan lebih jelek buat Kontraktor, mengingat model PSC kita sebenarnya cukup royal dalam mengkategorikan komponen biaya mana yang masuk capital dan biaya apa saja yang masuk expense. Karena lebih jelek buat Kontraktor, kemudian sohib ini menyarankan untuk memperoleh IRR dan NPV yang sama dengan model yang diusulkan, dapat dilakukan dengan mengubah profit oil split yang lebih baik buat Kontraktor.
Mudah2 an saya nggak salah tangkap, ini berdasarkan makalah yang dikirim ke saya oleh sohib yang lain, karena saya sendiri nggak denger presentasinya, jadi apa yang saya tangkap seperti itulah kira kira.
Kalau kita meninjaunya semata mata dari aspek ekonomis, syah syah aja apa yang diusulkan sohib saya ini, pada dasarnya khan cuma usulan perubahan kategori biaya biaya. Secara aspek ekonomis, valid!.
Namun istilah yang digunakan yaitu: “PSC with no cost recovery” ini yang agak membingungkan saya sebenarnya. Kenapa kok tiba tiba muncul istilah "no cost recovery",
Contohnya gini: kemaren sohib saya bikin makalah di IPA, makalahnya bagus, mempertanyakan effektivitas cost recovery dalam PSC Indonesia. Teman ini mengusulkan supaya “dihapuskan saja” cost recovery ini (kita singkat CR saja). Jadi nggak perlu mekanisme cost recovery, sementara semua biaya di-capital-kan (kecuali production cost dan admin cost yang di–expense).
Tentu kita tidak heran kalau “PSC with no CR” (ini istilah yang dia gunakan) akan lebih jelek buat Kontraktor, mengingat model PSC kita sebenarnya cukup royal dalam mengkategorikan komponen biaya mana yang masuk capital dan biaya apa saja yang masuk expense. Karena lebih jelek buat Kontraktor, kemudian sohib ini menyarankan untuk memperoleh IRR dan NPV yang sama dengan model yang diusulkan, dapat dilakukan dengan mengubah profit oil split yang lebih baik buat Kontraktor.
Mudah2 an saya nggak salah tangkap, ini berdasarkan makalah yang dikirim ke saya oleh sohib yang lain, karena saya sendiri nggak denger presentasinya, jadi apa yang saya tangkap seperti itulah kira kira.
Kalau kita meninjaunya semata mata dari aspek ekonomis, syah syah aja apa yang diusulkan sohib saya ini, pada dasarnya khan cuma usulan perubahan kategori biaya biaya. Secara aspek ekonomis, valid!.
Namun istilah yang digunakan yaitu: “PSC with no cost recovery” ini yang agak membingungkan saya sebenarnya. Kenapa kok tiba tiba muncul istilah "no cost recovery",
Kembali ke jenis jenis model kontrak, kita kenal di PSC ada istilah cost recovery tapi tidak umum atau tidak dikenal di sistem konsesi (royalty tax). Ini yang saya maksudkan kita mulai masuk areanya aspek legal. Kalau metoda yang diusulkan itu untuk sistem konsesi, that’s fine. Karena dalam sistem konsesi terjadi transfer of ownership ke Kontraktor. Tapi kalau untuk PSC, ya lain, “ownership” tetap yang pegang negara. Kontraktor memperoleh “ownership” nya berupa bagian “profit oil, ftp dan cost recovery”. Karena urusan "ownership" ini, kurang pas kalau kita samakan dengan hitung hitungan “ekonomi perusahaan" secara umum. Makanya istilah cost recovery muncul di PSC dan service contract tapi tidak muncul di sistem konsesi (royalty tax). Jadi cost recovery itu punya arti legal, tidak semata mata ekonomis. Secara perlakuan akuntansi syah syah saja untuk mengusulkan perubahan kategori biaya biaya. Masalahnya kalau kita menabrak aspek legal ini, "menghilangkan mekanisme cost recovery", itu bisa menimbulkan penafsiran seolah olah model konsesi sama dengan model PSC, yang dari sisi perhitungan keekonomian proyek memang nggak ada bedanya, tapi dari aspek legal, tentu beda sekali! Menurut saya, apapun usulan perubahan pengkategorian biaya biaya, selama bentuknya masih PSC, tidak akan menghilangkan mekanisme atau istilah cost recovery itu sendiri.
Untuk itulah saya kira kita perlu mendalami aspek legal dari kontrak. Contoh lain, secara umum PSC lebih stabil dari konsesi, karena ada klausul contract stability, klausul ini menjamin bahwa terms yang disepakati dalam kontrak harus dipertahankan selama periode kontrak. Jadi ada provisi yang meminta ada keseimbangan apabila ada tindakan atau aturan yang menyebabkan berubahnya “fiscal arrangement” istilah kerennya (‘re-balancing’). Contohnya gini: seperti di PSC kita, karena dulu pemerintah mengubah pajak dari 48% ke 44%, maka untuk mempertahankan after tax profit split sebesar 85:15, maka dikontraknya kemudian diubah pula besarnya before tax profit split, ya ini, re-balancing tadi.
Kalau konsesi, secara umum tidak terikat, artinya kalau pemerintah mau naikin pajak, ya naikin aja, masalahnya khan host country dapetnya cuma dari royalty dan pajak, khan nggak dapet bagian profit oil. Ini baru masalah contract stability, belum lagi klausul klausul lain! Ya segitu dulu deh..
Untuk itulah saya kira kita perlu mendalami aspek legal dari kontrak. Contoh lain, secara umum PSC lebih stabil dari konsesi, karena ada klausul contract stability, klausul ini menjamin bahwa terms yang disepakati dalam kontrak harus dipertahankan selama periode kontrak. Jadi ada provisi yang meminta ada keseimbangan apabila ada tindakan atau aturan yang menyebabkan berubahnya “fiscal arrangement” istilah kerennya (‘re-balancing’). Contohnya gini: seperti di PSC kita, karena dulu pemerintah mengubah pajak dari 48% ke 44%, maka untuk mempertahankan after tax profit split sebesar 85:15, maka dikontraknya kemudian diubah pula besarnya before tax profit split, ya ini, re-balancing tadi.
Kalau konsesi, secara umum tidak terikat, artinya kalau pemerintah mau naikin pajak, ya naikin aja, masalahnya khan host country dapetnya cuma dari royalty dan pajak, khan nggak dapet bagian profit oil. Ini baru masalah contract stability, belum lagi klausul klausul lain! Ya segitu dulu deh..
No comments:
Post a Comment