Tuesday, May 24, 2011

Deepwater Brazil - dari Konsesi ke PSC?

Suksesnya penemuan cadangan minyak yang termasuk ukuran raksasa di lapangan Tupi, sekitar 250 km lepas pantai Rio de Janeiro pada tahun 2007, memulai era baru migas di Brazil. Setelah penemuan lapangan Tupi, beberapa lapangan di Subsalt basin tersebut juga ditemukan, seperti: lapangan Lara, Jupiter, Carioca, Bem-Te-Vi dan Guara. Petrobras memperkirakan produksi dari Subsalt basin akan mencapai 1.3 juta barel per hari pada tahun 2017 dan 1.8 juta barel per hari pada tahun 2020. Namun demikian, pengembangan lapangan lapangan ini diperkirakan tidaklah mudah, disamping lokasinya di laut dalam (kedalaman > 2,000 meter), permasalahan bawah permukaan/ reservoir juga merupakan tantangan tersendiri.

Gambar 1. Lokasi Subsalt basin, Brazil


Suksesnya temuan cadangan raksasa di Subsalt basin ini, membawa angin baru bagi kebijakan tender untuk blok baru di wilayah tersebut. Desember 2007, pemerintah membatalkan rencana lelang 41 blok, 2 minggu sebelum acara lelang dimulai. Keputusan ini cukup mengejutkan perusahaan migas (IOC).

Alasan utama pembatalan itu adalah bahwa pemerintah akan membuat peraturan baru dalam rangka menjamin agar negara memperoleh bagian yang lebih proporsional. Sub-salt basin dapat diibaratkan “big fish”; karena banyak ditemukan ikan besar, maka berbondonglah orang orang ingin memancing disana. Perdebatan kemudian terjadi mengenai model kontrak migas yang bagaimana yang dapat memberikan keuntungan maksimal bagi negara dalam konteks blok migas di Sub-salt basin ini?

Terkait pengaturan kerjama dengan investor dalam rangka aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di Brazil, UU Perminyakan (Petroleum Law) tahun 1997, hanya menyebut model konsesi (royalty/tax). UU tersebut sama sekali tidak menyebut kemungkinan penggunaan model lain selain kosensi. Makanya model PSC belum pernah ada disana.

Maka mulailah pihak berwenang di Brazil sibuk memeriksa model kontrak yang dipakai negara lain. Perdebatan mengenai dua pilihan: tetap model konsesi dengan modifikasi atau pindah ke model PSC, juga ramai di kalangan akademisi. Tentu ada yang pro dan kontra, yang tetap menginginkan model konsesi mempunyai argumen bahwa model in telah terbukti berjalan baik selama puluhan tahun, apabila pemerintah merasa perlu memperoleh porsi yang lebih besar, hal itu dapat dilakukan dengan melakukan sedikit modifikasi tanpa harus pindah ke sistem PSC. Sementara pendukung model PSC, beranggapan bahwa model konsesi hanya cocok untuk yang mempunyai resiko geologi besar, sementara sub-salt basin, karena sudah banyak temuan (discovery), resiko relatif mengecil. Disamping itu walaupun kedua model dapat memberikan bagian share yang sama besar buat pemerintah, namun pengaturan pembagiannya akan lebih mudah dengan model kerangka PSC, karena ada elemen “profit oil share”.

Bulan Juli 2009, pihak berwenang mengumumkan bahwa pemerintah akan pindah ke model PSC dengan membentuk perusahaan nasional baru yang secara khusus dibentuk pengembangan subsalt basin. Walaupun tidak dijelaskan alasan diperlukan pembentukan perusahaan nasional yang baru ini, namun ini diperkirakan karena status Petrobras. Walaupun dikenal sebagai perusahaan nasional, Petrobras bukanlah 100% sahamnya milik negara. Porsi pemeritah hanya 31.1% dari modal (capital stock), sisanya dimiliki oleh swasta. Pembentukan perusahaan baru yang 100% milik negara mungkin dimaksudkan untuk memaksimalkan tota bagian pemerintah dari kegiatan hulu di subsalt basin ini.

Kelihatannya apa yang terjadi di Brazil, bertolak belakang dengan situasi di tanah air. Pertama eksplorasi migas di Brazil sukses, namun situasi sebaliknya terjadi di tanah air. Kedua, Brazil mempertimbangkan PSC, sementara di tanah air, pemerintah sibuk mencari model lain yang bukan PSC karena alasan cost recovery. Penulis berpendapat, langkah Brazil ini benar, karena tahap pertama mereka adalah bagaimana mengundang investor untuk eksplorasi migas dengan term dan kondisi yang menarik. Setelah “ikan besar” berhasil ditemukan, otomatis posisi tawar menawar pemerintah meningkat, mau menawarkan model kontrak jenis apapun, investor cenderung akan ikut saja.

Sebaliknya ditanah air, kita terlalu sibuk mencari model yang menguntungkan negara, sementara pada saat yang sama kinerja eksplorasi tidaklah menggembirakan. Akhirnya yang terjadi adalah: boro-boro ketemu "ikan besar”, ikan teri pun belum kelihatan. Pada saat yang sama, model kontrak baru yang digadang gadang lebih simpel dan menguntungkan negara tersebut, hanyalah sebatas wacana alias hanya ada di awang awang.

Referensi:
1. De Oliveira, The Overhaul of the Brazilian Oil and Gas Regime: Does the Adoption of a Production Sharing Agreement Bring Any Advantage Over the Current Modern Concession System, OGEL, Vol 8, Issue 4, November 2010

2. Cunha, A,L, The Tupi Discovery and Possible Impacts on the Brazilian Legal Framework, OGEL, Vol. 6 – issue 3, November 2008

3. Randy Wood, Tupi: Just the Start of Brazil’s Sub-salt Story, 13 Februari 2008, http://www.energytribune.com/articles.cfm/791/Tupi-Just-the-Start-of-Brazils-Sub-salt-Story

4. Petrobras Website

1 comment:

PT Dwipa Citraperkasa said...

“A leader in well testing and early production facilities for the oil & gas industry”

As a group company with world-class capabilities in well testing and fluid, our top priority is to offer the best service for business-based energy and resources in Indonesia. Dwipa Group was established as a company providing Non Destructive Testing for the oil and gas industry. We believe that through commitment, determination and passion for growth, opportunities are endless.