Wednesday, May 30, 2007

Eksporter LNG Terbesar

Siapa eksporter LNG terbesar? selama beberapa tahun terakhir, hampir semua orang tahu, RI jawaranya, but it's over now.. Sekarang jawaranya sudah berubah, RI sudah di "overtake" sama Qatar. Lihat data paling anyar dibawah (Source: World Gas Intelligence, Vol. XVIII, No. 22, May 30, 2007)

Seperti diduga Jepang, mengimpor 39.4% dari total perdagangan LNG dunia, bersama Korsel total impornya mencapai 55% (lebih dari separuh dari LNG yang beredar di dunia). Tampaknya Qatar akan bertahan terus menjadi jawaranya LNG, kesuksesan ini tentu tidak terlepas dari kontribusi teman teman kita yang sekarang ikut menjadi tulang punggung industri LNG di Qatar, nggak mungkinlah Qatar ngerjain sendiri, penduduknya nggak cukup banyak.. manpower adalah problem utama mereka.

Monday, May 28, 2007

Terms Baru Bolivia?

Tag board dari Mas tanto: mohon dibantu utk bs sharing klo ada sumber info mengenai sistem kontrak migas di bolivia yg ditetapkan evo morales, trimakasih

Saya juga belum punya info detail mas modelnya kaya gimana, paling infonya dari yang di quote koran koran, dimana disebutkan dengan kontrak baru itu, semua perusahaan asing harus menyetor 82 persen dari penerimaan (bukan total laba) ke YPBF dan hanya 18 persen untuk perusahaan asing sebagai operator eksplorasi minyak.

Diskusi ini khan rame di miling list, apalagi 82% itu khan dari gross revenue, emang luar biasa sich! Bagus mana dengan 85%: 15% nya PSC kita?
Saya posting sebagian komentar saya di miling list, yang terkait dengan diskusi ini:
------------------
Rekan milis Yth,

Izinkan saya ikut urun rembuk tentu dengan spirit yang juga ingin belajar. Memang kalau dibandingkan, “Gov.Take” RI yang 85% dengan “82% dari total value-nya” Bolivia, jelas lebih baik punya Bolivia. Kalau diasumsi cost yang dikeluarkan 10% dari total value, maka “Gov. Take” Bolivia jatuhnya 91% (82% / 100%-10%). Kalau cost nya lebih besar. Maka “Gov. Take”nya akan lebih besar lagi, kalau cost-nya =18%, Gov Take = 100% buat Bolivia, Kontraktor nggak dapet apa apa… jadi kalau cost-nya sama atau lebih dari 18%, tanpa diusir kontraktor akan pulang sendiri..!!

Pembagian model Bolivia ini memang luar biasa tingginya buat negara, sayangnya dikoran koran nggak begitu jelas, terms ini untuk proyek2 apa saja, kalau kita cari di internet lebih detail, sebenarnya terms ini khan untuk proyek yang sudah berjalan (kalau nggak salah untuk proyek gas dengan rate diatas 100 mmcf/d). Pertanyaannya: kenapa kontraktor kok (akhirnya) setuju juga dengan terms yang “luar biasa” tingginya ini?, jawabnya simpel: karena mereka udah tahu persis struktur biayanya, paling tinggal maintain biaya produksi saja, bila perlu nggak usah invest lagi, nggak usah ngebor2 lagi, bisa jadi “biaya produksi” yang dikeluarkan kontraktor sekitar 10% (atau kurang) dari total value. So ..masih dapet bagian profit sekitar 9%.

Model PSC kita yang 85:15 itu khan untuk “full cycle”, dari eksplorasi sampai produksi, kalau membandingkan model full cycle dengan negara lain, menurut saya “Gov Take” nya (85%) sudah cukup fair. Bolivia pun tidak mungkin menawarkan model mereka itu untuk block baru, dijamin nggak ada satupun investor yang tertarik!. Mana ada investor nekat, ngebor eksplorasi belum ketahuan hasilnya, kalaupun nanti dapet terus dikembangkan, akses ke revenue dibatasi cuma 18%!. Kapan baliknya biaya biaya yang telah dikeluarkan?

Dstnya....

--------cut--------

Sebenernya apa yang terjadi di Bolivia dan Venezuela tidak terlepas dari adanya "unfair contract" pada masa lalu, makanya selalu dibilang, kalau ente mau kontrak yang langgeng dalam jangka panjang, bikinlah terms yang fair dan fleksibel.. kalau nggak, ya ditengah jalan pasti akan ribut ribut...

Memang nggak mudah sich, ilustrasinya gini: pada saat belum diketemukan apa apa, terms yang disepakati kelihatannya "cukup fair", tapi pada saat ada penemuan yang gede, mulai ada tekanan dari "shareholders" di host country yang menganggap kalau terms yang telah disepakati terlalu lunak buat Kontraktor... Begitu pula kalau lapangan udah tua, karena perlu investasi untuk meningkatkan atau mempertahankan produksi, gantian kontraktor yang merengek rengek, bilang kalau terms yang lama sudah nggak pantes lagi, minta diubah supaya lebih lunak..he he, ya begitulah broer.. lagi lagi.. that's life!

Saturday, May 26, 2007

Legal Aspects & Economics Aspects

Ketika kita mempelajari model kontrak perminyakan, sebaiknya kita mendalami tidak saja aspek ekonomis namun sangat perlu juga mendalami aspek legalnya. Namanya juga kontrak, kaya kontrak rumah aja, isinya nggak cuma berapa harga kontrak tentunya, tapi juga aspek aspek hukum yang mengikat pihak yang berkontrak.

Contohnya gini: kemaren sohib saya bikin makalah di IPA, makalahnya bagus, mempertanyakan effektivitas cost recovery dalam PSC Indonesia. Teman ini mengusulkan supaya “dihapuskan saja” cost recovery ini (kita singkat CR saja). Jadi nggak perlu mekanisme cost recovery, sementara semua biaya di-capital-kan (kecuali production cost dan admin cost yang di–expense).

Tentu kita tidak heran kalau “PSC with no CR” (ini istilah yang dia gunakan) akan lebih jelek buat Kontraktor, mengingat model PSC kita sebenarnya cukup royal dalam mengkategorikan komponen biaya mana yang masuk capital dan biaya apa saja yang masuk expense. Karena lebih jelek buat Kontraktor, kemudian sohib ini menyarankan untuk memperoleh IRR dan NPV yang sama dengan model yang diusulkan, dapat dilakukan dengan mengubah profit oil split yang lebih baik buat Kontraktor.

Mudah2 an saya nggak salah tangkap, ini berdasarkan makalah yang dikirim ke saya oleh sohib yang lain, karena saya sendiri nggak denger presentasinya, jadi apa yang saya tangkap seperti itulah kira kira.

Kalau kita meninjaunya semata mata dari aspek ekonomis, syah syah aja apa yang diusulkan sohib saya ini, pada dasarnya khan cuma usulan perubahan kategori biaya biaya. Secara aspek ekonomis, valid!.

Namun istilah yang digunakan yaitu: “PSC with no cost recovery” ini yang agak membingungkan saya sebenarnya. Kenapa kok tiba tiba muncul istilah "no cost recovery",

Kembali ke jenis jenis model kontrak, kita kenal di PSC ada istilah cost recovery tapi tidak umum atau tidak dikenal di sistem konsesi (royalty tax). Ini yang saya maksudkan kita mulai masuk areanya aspek legal. Kalau metoda yang diusulkan itu untuk sistem konsesi, that’s fine. Karena dalam sistem konsesi terjadi transfer of ownership ke Kontraktor. Tapi kalau untuk PSC, ya lain, “ownership” tetap yang pegang negara. Kontraktor memperoleh “ownership” nya berupa bagian “profit oil, ftp dan cost recovery”. Karena urusan "ownership" ini, kurang pas kalau kita samakan dengan hitung hitungan “ekonomi perusahaan" secara umum. Makanya istilah cost recovery muncul di PSC dan service contract tapi tidak muncul di sistem konsesi (royalty tax). Jadi cost recovery itu punya arti legal, tidak semata mata ekonomis. Secara perlakuan akuntansi syah syah saja untuk mengusulkan perubahan kategori biaya biaya. Masalahnya kalau kita menabrak aspek legal ini, "menghilangkan mekanisme cost recovery", itu bisa menimbulkan penafsiran seolah olah model konsesi sama dengan model PSC, yang dari sisi perhitungan keekonomian proyek memang nggak ada bedanya, tapi dari aspek legal, tentu beda sekali! Menurut saya, apapun usulan perubahan pengkategorian biaya biaya, selama bentuknya masih PSC, tidak akan menghilangkan mekanisme atau istilah cost recovery itu sendiri.

Untuk itulah saya kira kita perlu mendalami aspek legal dari kontrak. Contoh lain, secara umum PSC lebih stabil dari konsesi, karena ada klausul contract stability, klausul ini menjamin bahwa terms yang disepakati dalam kontrak harus dipertahankan selama periode kontrak. Jadi ada provisi yang meminta ada keseimbangan apabila ada tindakan atau aturan yang menyebabkan berubahnya “fiscal arrangement” istilah kerennya (‘re-balancing’). Contohnya gini: seperti di PSC kita, karena dulu pemerintah mengubah pajak dari 48% ke 44%, maka untuk mempertahankan after tax profit split sebesar 85:15, maka dikontraknya kemudian diubah pula besarnya before tax profit split, ya ini, re-balancing tadi.

Kalau konsesi, secara umum tidak terikat, artinya kalau pemerintah mau naikin pajak, ya naikin aja, masalahnya khan host country dapetnya cuma dari royalty dan pajak, khan nggak dapet bagian profit oil. Ini baru masalah contract stability, belum lagi klausul klausul lain! Ya segitu dulu deh..

Tuesday, May 22, 2007

Pajak BBM

Saya pernah baca di koran (lupa koran apa, terbitan inggris apa amrik ya?), ketika masyarakat di negara negara maju complaint karena harga bahan bakar minyak terus naik, diakhir artikelnya, si wartawan nulis: “apa kita harus menyalahkan Opec?”.

Apa hubungan kenaikan harga minyak mentah dengan kenaikan BBM?, ya pasti ada hubungan, sekarang kita lihat dulu komponen apa saja yang membentuk harga BBM di negara maju? apa yang paling penting? Apalagi kalau bukan PAJAK.

Komponen yang membentuk harga BBM, kasarnya terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: harga minyak mentah + margin industri + pajak. Pajak ini bervariasi, UK yang paling jor joran (lihat gambar dibawah):

Negara produsen bisa balik ngomong: “jangan complaint ke kita dong, complaint ke pemerintah Anda, dengan naiknya harga BBM karena kenaikan harga crude, pajak yang didapat negara Anda lebih gede, mau nggak negara Anda nurunin pajak, supaya Anda beli BBM nggak mahal?, makanya demo aja you punya government - minta turunin pajak!". he he...

Memang kalau dibandingin dengan energi fosil lain di negara negara OECD, minyak ini kena tax paling tinggi, diikuti oleh natural gas, herannya batubara (coal) malah dipajakin alakadarnya. Jangan heran kalau pendapatan dari oil taxes negara negara G7 (Amrik, Kanada, Jepang, Perancis, Itali, Jerman dan Inggris) lebih gede ketimbang pendapatan dari minyak mentah (crude) seluruh negara anggota OPEC. Padahal total produksi semua negara anggota OPEC mencapai 35% permintaan dunia...

Thursday, May 10, 2007

Membandingkan Fiscal Terms

Ada yang tanya lewat email:”mas kalau mau bandingin fiscal terms beberapa negara, parameter apa sih yang dibandingin, karena ada yang menggunakan standard kriteria investasi, seperti: IRR, NPV, Profit to Investment, ada istilah Government & Contractor Take, ada lagi seperti yang mas benny posting, AGR dan ERR, jadi bingung, mohon pencerahan..?”.

Ini email sebenarnya udah lama, bulan lalu kali, belum sempat dibales, maklumlah kerjaan rutin ternyata lumayan menyita waktu. Pulang kantor, nyampe rumah juga udah males mikir, baru duduk depan komputer, anak gua udah mulai complaint: “papa kok maen komputer terus..!”. Weekend?, keburu banyak list yang harus dikerjain dan dikunjungin.... so, mohon maaf baru sempat respon sekarang…

Pertanyaannya bagus, kalau jawaban singkatnya, ya semua parameter tersebut penting!, kalau bisa di analisa semua, pake semua aja he he. Saya sering mikir, apakah benar investor itu menggunakan semua itu dalam proses pembuatan keputusan mereka atau jangan2 lebih banyak pake “feeling” aja?.

Kembali ke parameter diatas, kalau metoda standard kaya IRR, NPV, PI dan temen temannya, kelebihannya adalah konsisten, dalam artian jelas duit keluar masuknya kapan (timing of cashflow), jadi sahih alias dapat dipertanggung jawabkan, namun memerlukan banyak input (asumsi), production profile, cash outflow, etc. Sebagai ilustrasi gini: Kalau Anda bandingkan fiscal terms dua negara (supaya nggak rumit, anggap saja secara prospek geologi se-level-lah), yang satu: IRR country X = 21%, satunya lagi IRR country Y = 20% (biasanya NPV dan PI konsisten, sama sama lebih tinggi country X). Otomatis pilih country X?. Kalau Anda analyst atau economist, saya kira Anda akan jawab “YES”, tapi kalau Anda yang punya duit dan udah malang melintang dibisnis ini, saya nggak tahu apa langsung setuju aja. In my opinion, I don’t think so.

Ada kelemahan metoda tadi, pertama, kurang dinamis, artinya gambaran keekonomian diatas berdasarkan skenario tertentu, begitu skenario tersebut berubah (cost berubah, atau cost sama, tapi timingnya beda, oil price beda, etc), maka bisa jadi berbalik, IRR country Y bisa lebih bagus. Tapi khan bisa di simulasi dengan banyak skenario?, iya sich, tapi kalau di level decision maker gitu, biasanya mumet mereka ngeliat gambar simulasi, ujungnya, pake “feeling” lagi.he he..

Contractor dan Government Take gimana? Lebih umum dipakai dalam membandingkan fiscal terms, karena dasarnya pembagian dari persentase profit, lebih gampang diterima dan dibayangkan. Bisa juga dipakai buat “quick look” jadi nggak perlu info production profile, etc. Superior? nggak juga, karena efek “time value of money” tidak kelihatan. Khan bisa diatasi dengan “discounted take”? Iya, tapi khan jadi mirip metoda diatas, karena untuk dapet “discounted take”, harus masuk ke detail cash flow analysis juga. Tapi intinya: secara umum, GT dan CT lebih sering digunakan untuk tujuan perbandingan.

Dari brainstorming saya dengan beberapa kolega, baik di institusi pemerintah, IOC dan konsultan, sebenarnya AGR dan ERR lebih menarik di level decision maker (apa itu AGR dan ERR – lihat posting sebelumya). Philosopinya gini: sebagai investor, uang yang keluar untuk eskplorasi sudah banyak (sunk cost), pada saat dikembangkan nanti (sesuai lamanya periode kontrak, biasanya 15- 20 tahun), ada resiko macam macam: produksi nggak sebaik yang dibayangkan, resiko harga minyak anjlog, disamping juga resiko politik. Sehingga yang jadi prioritas apa? Uang gua (sebagai investor) kembali secepat mungkin. Artinya gua pinginnya akses ke gross revenue atawa AGR (karena adanya: royalty dan cost recovery limit) semaksimal mungkin. Jadi AGR yang tinggi yang jadi prioritas gua!. Ini diskusi dari sama sama kolega yang bukan investor sich. Ya, begitulah, emang nggak ada yang mudah dalam bisnis man, semua parameter tersebut hanya supporting information. Keputusan investasi dipengaruhi banyak faktor…. Good luck!

Wednesday, May 02, 2007

Pengaruh DMO

Domestic Market Obligation (DMO) kerap menjadi kajian diskusi untuk PSC Indonesia, DMO bukan monopoli PSC kita aja kok, di beberapa model PSC negara lain, ada juga yang pakai DMO. Untuk kasus PSC kita, besarnya DMO = 25% x contractor equity share x lifting.

DMO ini baru berlaku setelah block tersebut berproduksi selama 60 bulan, karena dihargai discount, maka kontraktor akan menerima "fee" yang besarnya sekian persen dari harga pasar, DMO fee ini secara histori besarnya berubah ubah (lihat posting sebelumnya).

Sekarang kita akan melihat seberapa signifikan pengaruh DMO ini terhadap imbal hasil (return) Kontraktor, anggap saja untuk kasus ini, besarnya DMO fee = 15% dari harga pasarnya.

Hasilnya kira kira begini:

Kalau seandainya tidak ada DMO, IRR kontraktor akan sedikit lebih besar - garis putus putus (sama untuk kasus low dan high cost). Jika DMO fee yang dipakai 25% dari harga pasar, maka kedua garis tersebut (solid sama putus2) akan semakin dekat, makin besar DMO fee makin baik buat Kontraktor tentunya. Kalau DMO fee =100% harga pasar, maka kedua garis tersebut nempel (karena DMO fee = 100% sama artinya dengan tidak ada DMO).

Jadi signifikan atau nggak pengaruhnya DMO ini? Ya relatif Boss, kalau saya mewakili pemerintah, menurut saya nggak siginifikanlah, tentu Anda di Kontraktor akan beda lagi ngeliatnya, bilangnya signifikan kali..iya apa nggak??!