Harga minyak? mana ada yang tahu kapan naik kapan pula turunnya, suka suka dia aja, seperti dapat dilihat pada posting sebelumnya. Para analyst yang kerjaan tiap hari memprediksi harga minyak aja kebingungan sendiri. Padahal, untung ruginya perusahaan minyak, salah satunya ya ditentukan oleh harga minyak itu sendiri.
Apa hubungannya antara kontrak perminyakan dengan harga minyak?, tentu macem macem, tergantung mau dilihat dari perspektif apa. Kalau kita perhatiin, pada saat harga minyak naik, biasanya yang punya lahan (negara atau host country) merasa perlu mengenakan tambahan pajak buat si kontraktor, karena (menganggap) untungnya kontraktor “kebanyakan”. Sebaliknya dari sisi kontraktor, tentu akan berusaha menunjukkan bahwa mereka “nggak untung untung amat” karena toh biaya juga pada naik. Tentu nggak ada yang bisa disalahkan, semuanya punya argumen.
Tulisan ini mengajak kita melihat bagaimana perilaku kontrak perminyakan terhadap fluktuasi harga minyak. Sebelumnya perlu kita ingat kembali model model kontrak perminyakan yang ada, yaitu: konsesi (atau royalty tax), production sharing contract (PSC) dan service contract. PSC sendiri belakangan berkembang dengan macam macam features khususnya cara cara pembagian profit oil split.
Nah sekarang apa yang dimaksud dengan fleksibilitas kontrak perminyakan?, fleksibilitas disini maksudnya adalah seberapa fleksibel model kontrak tersebut terhadap perubahan tingkat keuntungan (profitability), untuk penyederhanaan diasumsikan bahwa perubahan tingkat keuntungan ini diakibatkan oleh naik turunnya harga minyak (pendekatan ini sedikit kasar namun valid, dari beberapa studi disebutkan bahwa kenaikan minyak pengaruhnya lebih signifikan dibanding kenaikan biaya biaya).
Supaya sedkit lebih jelas, coba kita ambil contoh, katakan, model royalty tax, kontractor akan bayar royalti 10% dari gross revenue dan tax sebesar 40% dari pajak korporasi. Dari sini kita bisa melihat bawa bagian yang masuk ke host country adalah royalty dan pajak. Parameter yang biasa digunakan untuk mengukurnya adalah Government Take (GT), dimana GT = bagian yang masuk negara (dalam kasus ini royalti dan pajak) dibagi dengan keuntungan atau profit yaitu gross revenue dikurangi cost.
Kalau kita lihat angka ril, dengan kenaikan harga minyak, tentu pembayaran royalti dan pajak dari kontraktor akan naik, jadi dari sisi host country akan terjadi kenaikan pendapatan, begitu pula dari sisi kontraktor, nggak ada yang aneh tentunya. Hal yang menarik itu adalah melihat bagaimana bagian “kue” keuntungan ini dibagi antara host country dengan kontraktor. Untuk sistem royalty tax ini, kalau kita buat exercises, maka makin tinggi harga minyak, maka sebenarnya “bagian kue” host country akan makin mengecil (istilah kerennya “Government Take” tadi). Jadi kalau pada saat harga minyak $20 per barel, host country dapet 70% dari profit, pada saat harga minyak naik, katakan $60 per barel, maka host country dapetnya cuma 58% profit (tentunya angka angka ini hanya untuk ilustrasi saja, perhitungan angka persisnya tentu perlu asumsi biaya biaya, profil produksi, dll). Jadi kalau kita plot antara profitability atau harga minyak dengan “Government Take (GT)”, hasilnya makin naik harga minyak makin turun GT-nya. Makanya jangan heran kalau host country tiba tiba minta naikin bagiannya kalau harga minyak naik, argumennya: ya kaya gini ini! masuk akal khan?
Bagaimana dengan PSC?, tentu sedikit lebih kompleks karena PSC banyak pernik perniknya. Secara umum gini: PSC yang profit oil split based-nya berdasarkan “non-profitability based”, misalnya: fixed profit oil split (kaya RI standard), atau production based (banyak dipakai di mancanegara, RI juga punya yang model gini), cumulative based, etc, maka GT tidak sensitif terhadap kenaikan harga minyak. Misalnya harga minyak $20 per barel dapet GT = 70%, kalau harga minyak naik $ 60 per barel, dapetnya ya segitu juga 70%. Paling tidak lumayanlah - lebih baik dari model royalty tax.
Dalam perkembangannya, dibuatlah sistem PSC yang profit oil split-nya berdasarkan profitabililty, bisa berupa ROR, bisa juga berupa faktor tertentu lainnya yang pada intinya mengukur tingkat keuntungan. Profit oil split untuk sistem seperti ini biasanya lebih kecil bagi host counry pada saat profit rendah dan meningkat pada saat profit naik. Dengan demikian, kalau kita buat exercises, hasilnya akan seperti ini: pada saat harga minyak $ 20 per barel, GT misalnya sekitar 35%, pada saat harga minyak naik $ 60 per barel, GT meningkat jadi 75%. Kalau kita plot, makin naik harga minyak, makin meningkat GT-nya.
Ada juga suatu sistem PSC yang agak khusus, misalnya: salah satu PSC Sudan, dimana mereka melakukan pembatasan cost recovery sebesar 60%, artinya bila cost yang terjadi lebih dari 60% gross revenue, maka kurangnya akan dibayarkan pada tahun berikutnya (carry forward), namun kalau cost yang terjadi kurang dari 60% gross revenue, misalnya ternyata cuma 40% gross revenue, maka selisih 20% itu langsung diambil buat host country (Ini kasus khusus, umumnya yang 20% itu dibagi lagi antara host country dengan kontraktor dengan split yang sama dengan profit oil split). Untuk kasus yang kaya gini, tidak heran kalau makin naik harga minyak, makin besarlah GT.
Bagaimana dengan sistem service contract?, saya kira gampang dipahami, bawah untuk model seperti ini, dimana kontraktor hanya memperoleh fee, semua profit akan masuk ke host country, dengan demikian, otomatis dengan naiknya harga minyak akan naik pula GT-nya.
Kalau kita summary, kira kira plotnya kaya gini (angka angka relatif Government Take (GT) hanya untuk tujuan ilustrasi saja):
Apa hubungannya antara kontrak perminyakan dengan harga minyak?, tentu macem macem, tergantung mau dilihat dari perspektif apa. Kalau kita perhatiin, pada saat harga minyak naik, biasanya yang punya lahan (negara atau host country) merasa perlu mengenakan tambahan pajak buat si kontraktor, karena (menganggap) untungnya kontraktor “kebanyakan”. Sebaliknya dari sisi kontraktor, tentu akan berusaha menunjukkan bahwa mereka “nggak untung untung amat” karena toh biaya juga pada naik. Tentu nggak ada yang bisa disalahkan, semuanya punya argumen.
Tulisan ini mengajak kita melihat bagaimana perilaku kontrak perminyakan terhadap fluktuasi harga minyak. Sebelumnya perlu kita ingat kembali model model kontrak perminyakan yang ada, yaitu: konsesi (atau royalty tax), production sharing contract (PSC) dan service contract. PSC sendiri belakangan berkembang dengan macam macam features khususnya cara cara pembagian profit oil split.
Nah sekarang apa yang dimaksud dengan fleksibilitas kontrak perminyakan?, fleksibilitas disini maksudnya adalah seberapa fleksibel model kontrak tersebut terhadap perubahan tingkat keuntungan (profitability), untuk penyederhanaan diasumsikan bahwa perubahan tingkat keuntungan ini diakibatkan oleh naik turunnya harga minyak (pendekatan ini sedikit kasar namun valid, dari beberapa studi disebutkan bahwa kenaikan minyak pengaruhnya lebih signifikan dibanding kenaikan biaya biaya).
Supaya sedkit lebih jelas, coba kita ambil contoh, katakan, model royalty tax, kontractor akan bayar royalti 10% dari gross revenue dan tax sebesar 40% dari pajak korporasi. Dari sini kita bisa melihat bawa bagian yang masuk ke host country adalah royalty dan pajak. Parameter yang biasa digunakan untuk mengukurnya adalah Government Take (GT), dimana GT = bagian yang masuk negara (dalam kasus ini royalti dan pajak) dibagi dengan keuntungan atau profit yaitu gross revenue dikurangi cost.
Kalau kita lihat angka ril, dengan kenaikan harga minyak, tentu pembayaran royalti dan pajak dari kontraktor akan naik, jadi dari sisi host country akan terjadi kenaikan pendapatan, begitu pula dari sisi kontraktor, nggak ada yang aneh tentunya. Hal yang menarik itu adalah melihat bagaimana bagian “kue” keuntungan ini dibagi antara host country dengan kontraktor. Untuk sistem royalty tax ini, kalau kita buat exercises, maka makin tinggi harga minyak, maka sebenarnya “bagian kue” host country akan makin mengecil (istilah kerennya “Government Take” tadi). Jadi kalau pada saat harga minyak $20 per barel, host country dapet 70% dari profit, pada saat harga minyak naik, katakan $60 per barel, maka host country dapetnya cuma 58% profit (tentunya angka angka ini hanya untuk ilustrasi saja, perhitungan angka persisnya tentu perlu asumsi biaya biaya, profil produksi, dll). Jadi kalau kita plot antara profitability atau harga minyak dengan “Government Take (GT)”, hasilnya makin naik harga minyak makin turun GT-nya. Makanya jangan heran kalau host country tiba tiba minta naikin bagiannya kalau harga minyak naik, argumennya: ya kaya gini ini! masuk akal khan?
Bagaimana dengan PSC?, tentu sedikit lebih kompleks karena PSC banyak pernik perniknya. Secara umum gini: PSC yang profit oil split based-nya berdasarkan “non-profitability based”, misalnya: fixed profit oil split (kaya RI standard), atau production based (banyak dipakai di mancanegara, RI juga punya yang model gini), cumulative based, etc, maka GT tidak sensitif terhadap kenaikan harga minyak. Misalnya harga minyak $20 per barel dapet GT = 70%, kalau harga minyak naik $ 60 per barel, dapetnya ya segitu juga 70%. Paling tidak lumayanlah - lebih baik dari model royalty tax.
Dalam perkembangannya, dibuatlah sistem PSC yang profit oil split-nya berdasarkan profitabililty, bisa berupa ROR, bisa juga berupa faktor tertentu lainnya yang pada intinya mengukur tingkat keuntungan. Profit oil split untuk sistem seperti ini biasanya lebih kecil bagi host counry pada saat profit rendah dan meningkat pada saat profit naik. Dengan demikian, kalau kita buat exercises, hasilnya akan seperti ini: pada saat harga minyak $ 20 per barel, GT misalnya sekitar 35%, pada saat harga minyak naik $ 60 per barel, GT meningkat jadi 75%. Kalau kita plot, makin naik harga minyak, makin meningkat GT-nya.
Ada juga suatu sistem PSC yang agak khusus, misalnya: salah satu PSC Sudan, dimana mereka melakukan pembatasan cost recovery sebesar 60%, artinya bila cost yang terjadi lebih dari 60% gross revenue, maka kurangnya akan dibayarkan pada tahun berikutnya (carry forward), namun kalau cost yang terjadi kurang dari 60% gross revenue, misalnya ternyata cuma 40% gross revenue, maka selisih 20% itu langsung diambil buat host country (Ini kasus khusus, umumnya yang 20% itu dibagi lagi antara host country dengan kontraktor dengan split yang sama dengan profit oil split). Untuk kasus yang kaya gini, tidak heran kalau makin naik harga minyak, makin besarlah GT.
Bagaimana dengan sistem service contract?, saya kira gampang dipahami, bawah untuk model seperti ini, dimana kontraktor hanya memperoleh fee, semua profit akan masuk ke host country, dengan demikian, otomatis dengan naiknya harga minyak akan naik pula GT-nya.
Kalau kita summary, kira kira plotnya kaya gini (angka angka relatif Government Take (GT) hanya untuk tujuan ilustrasi saja):
Apa yang bisa dilakukan oleh model royalty tax dan PSC non-profitability based untuk meningkatkan GT-nya?, bisa dengan dua cara, pertama naikin “state atau government participation”, kedua ya berlakukan “progressive taxes”, atau yang mau gampang, kenakan excess profit tax kaya yang sekarang dilakukan sama Algeria, emang agak kurang popular cara kaya gini.
Yang penting buat guideline adalah bahwa perlu dibuat suatu sistem yang mempunyai respons positif terhadap kenaikan harga minyak, apakah dengan demikian kita harus pake sistem progresif (profitability-based profit oil split)?, tentu nggak juga, lihat situasinya, karena sistem ini (umumnya) menghasilkan GT yang rendah pada saat awal. Sistem ini penekanannya adalah kontraktor diberi kesempatan untuk memperoleh minimum return yang diinginkan, baru setelah itu tercapai – GT bagian host country meningkat. Tentu nggak cocok untuk daerah yang prospek geologi bagus dan biaya rendah. Model progresif cocok untuk daerah yang resiko tinggi, artinya karena resikonya sangat tinggi, maka host coutry “berkorban” untuk dapat GT yang kecil lebih dahulu, baru setelah mulai profit, GT akan meningkat.
Sementara buat negara yang kaya minyak, biaya rendah, tentu mereka akan pilih service contract. Mana model yang terbaik? Ini pertanyaan yang susah jawabnya, karena kalau ditanya seperti ini, jawabnya selalu nggak ada yang terbaik, yang ada itu yang optimum sesuai dengan faktor geologi, strategi host country, resiko, biaya dan lain lain, jadi ujungnya: one size fits all models does not exist tetap berlaku!.
No comments:
Post a Comment