Thursday, September 06, 2007

Risk Sharing?

Dari tagboard, Eri: Mas Ben, apakah ada di salah satu negara yang menerapkan sistem cost recovery dengan sistem Risk Sharing. Maksud saya adalah misalnya di POD cost untuk mendevelop suatu lapangan adalah $100MM dengan perkiraan produksi 10 MMBO. Misalnya nih kejadian sebenernya cuman terecover 5 MMBO, CR yg bisa dinikmati oleh Contractor ya cuman 5/10 x $100MM (setengahnya)? Tentunya kalau produksi melebihi target, ada insentif tertentu untuk kontraktornya.

-----
Mas Eri apa khabar? Perlu pembahasan sedikit detail, nggak cukup kalau dijawab di tagboard. Untuk model PSC, saya belum pernah lihat ya (yang mirip seperti itu). Problem utamanya: pada saat awal, informasi bawah permukaan (subsurface) itu masih sangat terbatas, dengan demikian reserves uncertainty masih sangat besar. Saya yakin nggak pernah ada perkiraan cadangan di POD (plan of development) mendekati realisasinya. Ada proses pembelajaran selama tahap pengembangan tersebut, ada value dari setiap tambahan informasi yang membuat cadangan menjadi membesar atau mengecil.

Dengan nature seperti itu, maka model kontrak seperti diatas malah akan menimbulkan insentif untuk tidak melaksanakan “good engineering practices”, kontraktor akan ngotot bahwa cadangan tidak besar dengan harapan nanti pada saat realisasi, recovery- nya jadi besar, otomatis dapat reward yang besar pula. Sementara host country akan lebih optimis dengan cadangan yang besar. Waktu diskusi dan rapat akan habis dipakai mempertahankan argumentasi masing2 untuk sesuatu yang dua duanya masih belum jelas!. (lagi pula kalau kebanyakan rapat nanti bisa meningkatkan biaya: snacks, kopi, teh, lemper, etc- cost recovery meningkat pula jadinya… he ).

Problem kedua, kalaupun sudah sepakat masalah estimasi recoverable reserves dan biaya tersebut, realisasinya itu untuk berapa lama?. Maksudnya apakah dibatasi sampai periode di dalam POD, artinya kalau di POD, perkiraan produksi 15 tahun, apakah dengan demikian batas recoverable nya sampai 15 tahun juga.. Ini bisa rame lagi, pada prakteknya khan POD sering di revisi, lha kalau model kaya gini, masih boleh nggak revisi POD?, kalau boleh, pasti kontraktor minta revisi begitu melihat recoverable reserves- nya menyusut, kalau nggak boleh, kontraktor bisa jadi akan “cut loss”, proyeknya nggak diterusin…!

Problem ketiga, bagaimana metoda penalty – reward-nya, apakah berdasarkan kinerja tahunan (kalau nunggu end of project - ya kelamaan), apa yang bisa terjadi ? Kontraktor cederung akan nge-set produksi diawal kecil, tapi realisasinya akan digenjot segede mungkin, kembali lagi: prinsip good engineering practices diabaikan, sumur2 jadi rusak, secara longterm, tidak ada yang memperoleh manfaat (terlebih buat host country..). Jadi: serba susah deh mas..

----

Namun demikian (nah ini yang penting, kata temen saya: kalau denger orang ngomong, intronya dengerin sambil lewat aja, yang penting pas dia ngomong, “namun demikian”, atau kalau sama bule, dengerin pas dia ngomong “but”, “therefore”, etc.. bagian awalnya cuekin aja. Masalahnya kadang kadang “but” nya ini nggak keluar keluar…he he..). Untuk model service contract, hal tersebut masih dimungkinkan (tentu nggak persis seperti ilustrasi mas Eri diatas). Kenapa? karena sebagian besar model service contract itu untuk tahapan pengembangan (development), dalam banyak kasus berlaku untuk lapangan lapangan yang sudah berproduksi, dengan demikian data sudah cukup memadai, relatif “low uncertainty”.

Contohnya: Ada suatu model service contract, dimana dibuat kesepakatan mengenai laju produksi yang mereka sebut “stipulated production rate” kita singkat SPR, dapet reward kalau diatas SPR dan penalty kalau dibawahnya. Menurut cerita temen dari negara yang pernah pake model ini, menentukan SPR itu juga berlarut larut, setelah sepakat dengan angka SPR pun, nanti bisa rame lagi, kenapa? karena kontraktor cenderung akan genjot produksi setinggi mungkin, ya wajar dong dapet reward kalau diatas SPR, sebaliknya host country complaint, karena menggenjot produksi tanpa mempertimbangkan “good reservoir management”, malah memperkecil recoverable reserves, lha salah lagi… he he. Tapi pada prakteknya tidak sesulit itu, ada negosiasi negosiasi berdasarkan tambahan data baru di lapangan, karakteristik reservoir menjadi lebih jelas, tentunya akan ada kesepakatan untuk menyetujui kenaikan produksi.

Sekarang agak menyimpang sedikit, tidak berhubungan langsung dengan pertanyaan diatas, namun perlu juga untuk menambah wacana. Sekedar ilustrasi bahwa contoh klasik untuk model service contract itu adalah untuk project Enhanced Oil Recovery atawa EOR (dan atau metoda metoda lain yang bertujuan untuk meningkatkan recovery factor, seperti teknologi rusia itu lho: vibro apa itu? Yang mengguncang guncang lapisan tanah dekat sumur minyak, biar produksi bisa meningkat..). Umumnya kontraktor mendapat fee dari setiap barrel peningkatan produksi. Gambar klasiknya seperti dibawah ini.


Sederhana sekali, setiap peningkatan produksi (warna hijau) kontraktor dapet fee sebesar “x” US$ per barrel. Pada prakteknya, yang susah itu malah menentukan baseline (sebagai info buat yang awam, baseline ini di prediksi berdasarkan existing conditions, diluar pekerjaan EOR, maka profil produksinya akan mengikuti baseline tersebut) . Kalau realisasinya sama atau dibawah baseline, otomatis kontraktor nggak dapet apa apa (ya wajar, karena EOR itu khan tujuannya memberi tambahan recovery, kalau sama atau dibawah baseline, ya gatot, tanpa EOR produksinya akan segitu juga...).

Bagi yang niatnya jelek (alias oknum), baseline ini bisa jadi “mainan”, oknum di perusahaan kongkalikong aja sama kontraktor EOR (tentu oknum ini harus decision maker, kalau pegawai rendahan gimana mau jadi oknum? he he). Dia bikin baseline serendah mungkin, nanti si kontraktor juga bikin proyek EOR nya asal asalan (karena pada dasarnya si kontraktor ini emang nggak punya keahlian di bidang EOR, kalau ahli tentu nggak mau jadi oknum, nggak mau kongkalikong..). Jadi dari EOR bohong bohongan tadi, si kontraktor tinggal ongkang2 kaki aja, terima fee… seolah-olah ada “gain” dari baseline, padahal baseline nya bohong2 an juga.. ! harusnya biar fair, bayar fee-nya pake duit bohong2 an juga ya…. Udah dulu ah, ini ilustrasi juga bohong2 an kok!

Tuesday, September 04, 2007

Kebijakan Pajak BBM

Ini menyambung posting sebelumnya mengenai pajak BBM, soalnya sekarang lagi merhatiin kecenderungan energy taxes di negara konsumen gede (G7 countries). Kalau kita lihat negara G7 Eropa (UK, Perancis, Jerman dan Italy) termasuk gede banget pajaknya, sementara negara G7 lain kaya US dan Canada cenderung kecil. Apakah ada hubungan antara densitas populasi dengan kebijakan perpajakan? Bisa jadi!.

Ada juga pendapat yang bilang kalau masyarakat di belahan eropa (barat) punya toleransi yang tinggi terhadap tingginya pajak bahan bakar minyak ini dibanding orang amrik atau kanada karena dua alasan: pertama, shorter distance to travel, kedua, better access to public transport. Tapi sebenarnya nggak toleran2 amat, buktinya tahun 2000 ada demo juga di UK menentang tingginya pajak BBM ini.

Hal lain yang juga menarik untuk diamati itu adalah level konsumsinya, kita tahu kalau di US sana, konsumsinya luar biasa besar, gasoline misalnya konsumsi bisa 20 kali lipat dibanding UK. Sekarang timbul pertanyaan: apakah pajak yang rendah itu mendorong terjadinya konsumsi yang besar? Atau yang terjadi begini: karena tingkat konsumsi yang besar, maka menjadi semacam pressure buat government, yaitu pressure yang kuat untuk menentang setiap ada ide untuk menaikkan pajak.

Secara teori, pajak bahan bakar minyak ini antara lain bertujuan: 1. untuk mengcover biaya konstruksi dan maintenance infrastruktur transportasi, 2. sebagai sumber untuk pengeluaran pemerintah, 3. sebagai koreksi thd negative externalities, 4. dan lain lain

Point pertama kelihatannya oke untuk kasus US, tapi yang lebih umum buat negara lain kayanya point kedua. Nah, point ketiga ini yang kita coba bahas lebih jauh karena ini urusannya dengan lingkungan. Teorinya seperti ini: barang barang “jahat” harus dipajakin gede gede supaya mengurangi konsumsinya, slogannya: tax bad not goods. Karena fuel ini mempunyai efek negatif terhadap lingkungan, maka (katanya) perlu dipajakin yang gede, supaya dapat keuntungan ganda (istilah kerennya: double dividend), yaitu: pertama, pencemaran lingkungan berkurang karena konsumsi berkurang, kedua, ada pemasukan pajak (yang teorinya) bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Idealnya semakin mencemari suatu produk, semakin gede tingkat pajaknya, tapi realitanya tidaklah demikian, sebagai contoh: coal yang relatif lebih besar efek pencemarannya, malah dipajakin lebih rendah dari petroleum dan gas. Begitu pula untuk sesama petroleum products: kerosene dan diesel mestinya kena pajak lebih gede dari gasoline, tapi prakteknya tidak selalu demikian, karena urusannya dengan “distribusi of income”. Suatu negara mungkin harus memproteksi industri coal-nya, kalau nggak bisa2 angka pengangguran meningkat. Begitu juga dengan kerosene yang relatif lebih banyak digunakan oleh kelompok yang lebih miskin.. masak nekat dipajakin tinggi2, nanti government-nya nggak populer, tidak pro rakyat miskin. Not so easy ya?..

Sebagai penutup, menarik melihat komentarnya Sanjeev Gupta dalam papernya “Taxation of petroleum products: theory and empirical evidence”, saya kutip: the domestic taxation of petroleum products is an important source of revenue in most countries. However, there is a wide variation of taxes rates on petroleum products across countries, which cannot be explained by economic theory alone.

Wednesday, August 29, 2007

Cost recovery - salah kaprah?

Kamis, 02/08/2007 10:50 WIB
Perusahaan Migas Berang Dituding Nikmati Cost Recovery
Alih Istik Wahyuni - detikfinance

Jakarta - Perusahaan migas protes dituding sebagai pihak yang menikmati besarnya cost recovery yang dibebankan pada negara. Presdir Star Energy, Supramu Santosa menjelaskan, bahwa perusahaan kontraktor juga ikut membayar cost recovery. "Kita juga ikut bayar, nggak hanya pemerintah. Jadi kalau dibilang kita yang menghambur-hamburkan cost recovery, salah itu," katanya dalam seminar cost recovery di gedung Departemen ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (2/8/2007).

Besaran cost recovery yang dibayarkan perusahaan kontraktor disesuaikan dengan bagi hasil (split) yang tercantum dalam kontrak. Untuk pengembangan minyak misalnya, bagi hasilnya adalah 85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk kontraktor. Jadi cost recovery yang dibebankan pada pemerintah adalah 85 persen dan pada kontraktor adalah 15 persen.

Aturan yang sama juga berlaku pada proyek pengembangan gas yang bagi hasilnya bekisar antara 70-65 persen untuk pemerintah dan 30-35 persen untuk kontraktor. Ia juga menjelaskan terkait masuknya gaji ekspatriat yang masuk kedalam cost recovery. "Kita sebelumnya sudah ajukan ke BP Migas, dan kalau disetujui, artinya memang diperlukan," katanya.

Baginya yang harus dilakukan adalah segera melatih pekerja dalam negeri untuk menggantikan ekspatriat itu.

"Kalau mau kita bayar 50 persen ya bagi hasilnya juga jadi 50:50 juga dong. Jadi beban negara berkurang, kita yang naik," kata Supramu.

------------------------------------------------

Berita diatas saya copy - paste dari Detikcom, statement yang menarik, mudah2 an wartawati-nya nggak salah kutip...

Saya kira persepsi angka keramat 85: 15 atau 70:30 dan seterusnya ini harus diluruskan, bahwa ada statement, 85:15 itu berarti pemerintah menanggung 85% biaya dan kontraktor 15% sebenarnya tidak tepat (karena kalau logikanya seperti ini, maka munculah kesimpulan ngawur seperti alinea terakhir yang saya bold diatas).

Lebih tepat kalau dikatakan: kenaikan cost recovery akan mengurangi profit oil baik kontraktor maupun pemerintah masing masing sebesar 15% dan 85%. Bagaimana dengan cost yang telah dikeluarkan? ya tetap saja 100% dikembalikan ke kontraktor.

Adanya kesalahan logika ini, kemudian menimbulkan usulan aneh, bagi hasil diubah menjadi 50:50 supaya beban negara berkurang. Lha yang berkurang beban apa?, selama kontraknya tetap PSC, tetap saja 100% cost yang dikeluarkan akan dikembalikan.

Seperti biasa kita pakai ilustrasi (biar simpel, kita asumsi tidak ada FTP)
Untuk bagi hasil 85 - 15, sebagai berikut:
Gross Revenue = 100
Cost = 30
Profit Oil = 70 (100 - 30)
POCAT* = 10.5 (15% x 70),
*) POCAT = Profit Oil Contractor After Tax

Sekarang, katakanlah cost naik menjadi 40

Gross Revenue = 100
Cost = 40
Profit Oil = 60
POCAT = 9

Ada 2 interpretasi yang timbul:

Interpretasi Pertama:
POCAT akan turun sebesar 1.5 (9 – 10.5), akibat kenaikan cost sebesar 10, atau secara umum dapat kita katakan POCAT turun sebesar 15% setiap terjadi kenaikan cost.

Interpretasi Kedua:
Kontraktor menanggung 15% dari kenaikan cost tersebut atau secara umum menyatakan kontraktor menanggung 15% biaya.

Interpretasi yang benar jelas interpretasi pertama, interpretasi kedua tidak tepat, karena kontraktor tidak menanggung 15% biaya, melainkan 100% biaya dan akan dikembalikan melalui cost recovery juga sebesar 100%. Namun demikian, (sayangnya) banyak yang senang interpretasi yang kedua, syah syah saja selama tidak membuat logika menjadi terbolak balik.

Coba kita analisa lebih jauh implikasi dari interpretasi ini, sekarang mari kita berandai andai persentasi bagi hasil diubah menjadi 50:50, maka analog seperti diatas.

Gross Revenue = 100
Cost = 30
Profit Oil = 70
POCAT= 35 (50% x 70)

Seperti diatas, katakanlah cost naik jadi 40

Gross Revenue = 100
Cost = 40
Profit Oil = 60
POCAT = 30

Jadi POCAT akan turun sebesar 50% (30-35)/10 setiap kali terjadi kenaikan cost.

Kalau kita bandingkan kedua porsi bagi hasil diatas, tentu saja kontraktor akan mengalami penurunan POCAT yang lebih besar untuk porsi bagi hasil yang lebih besar, yaitu: dari 15% menjadi 50%. Namun demikian, tentu naif kalau kita berhenti sampai disini saja, dengan mengubah porsi bagi hasil menjadi lebih besar (50:50), maka POCAT melonjak 233%!!! (dari 10.5 menjadi 35 atau dari 9 menjadi 30). Weleh weleh..

Dari ilustrasi diatas, saya tidak tahu bagaimana menerangkan logika: “beban negara berkurang?”, bagaimana kok bisa sampai kesimpulan seperti itu. Saya menduga kesimpulan ini muncul karena salah kaprah menggunakan interpretasi yang kedua tersebut.

---------------------------
Kalau mau (ini kalau mau lho.. keukeuh dengan angka 50:50), ubah aja jadi model PSC JV, artinya okelah 50:50, pemerintah ikut membiayai 50%, nanti hasilnya dibagi seperti ini: setelah gross revenue dipotong royalty, maka untuk cost recovery masing masing pihak dapet 50%. Sisanya (setelah royalty dan cost recovery) berupa profit oil, 50% dari profit oil langsung masuk ke kantong pemerintah, sementara 50% dibagi antara pemerintah dengan kontraktor sesuai dengan PSC terms & conditions yang disepakati, beginilah model kontrak PSC JV yang di adopsi di beberapa negara. Beban cost contractor jadi turun, tapi profit oil ya turun juga dong, kira2 mau nggak yang seperti ini?

Friday, August 17, 2007

Dirgahayu Indonesia

Seperti tahun lalu, tidak ada panjat pinang, gerak jalan atau lomba bidar di Wina.., tentu ada upacara di KBRI dan acara pesta rakyat tanggal 26 nanti… sempat terharu ketika ngantri makan siang di kantin UN, bertemu dengan koki yang kebetulan orang Indonesia (yang kalau ngomong logatnya Malaysia..), “Merdeka Pak” saya bilang, dia nggak kalah kencengnya menjawab “Merdeka”, yang ngantri di belakang pada bingung…..

Banyak harapan setiap kali merayakan 17-an, banyak berita sedih (bencana, korupsi, dll), tapi terhibur juga mendengar siswa kita berprestasi di berbagai macam olimpiade fisika, biologi, matematika dan lain lain. Olahraga masih belum menggembirakan, jadi inget waktu piala Asia, sebelum pertandingan Saudi Vs Indonesia, di Lift saya ketemu kolega Saudi, “bagaimana peluang nanti?” – saya jawab: “Fifty fifty”, saya berdoa kalaupun kalah jangan skor telak seperti biasanya, malu awak ini. Untunglah begitu lihat detik.com, cuma kalah tipis. Pas Irak juara, saya samperin kolega orang Irak, “Selamat ya, Anda negara lagi babak belur aja bisa juara Asia….”

Diantara pesimis dan optimis, saya termasuk yang (agak) optimis, masih banyak adik2 kita yang belajar keras siang malem, teman2 yang kerja dengan kinerja yang baik & nggak ikut2 an korupsi (padahal ada peluang kalau mau!), untuk menjadi lebih baik, tidak semudah membalik telapak tangan tentunya, tetapi kerja keras cepat atau lambat pasti akan membuahkan hasil.

Dirgahayu Indonesia..!


Ini foto karyanya rekan: Athmam Mufti, teman seperjuangan di lepas pantai Maxus dulu, saya baru tahu kalau beliau ini mempunyai bakat menjadi fotographer handal.

Monday, August 13, 2007

Kontrak yang Effektif & Effisien?

Tadi pagi dapet email dari Mas Tatang R Jiwapraja (TRJ), sebenarnya agak sungkan juga manggil “mas” mengingat beliau ini jauuuuh lebih senior dari saya, bisa jadi angkatannya malah lebih senior dari pak Menteri Purnomo. Sedikit cerita ihwal pemanggilan dengan “mas” ini, dulu ada tradisi di TM (teknik perminyakan) ITB kalau manggil dosen itu dengan sebutan “mas” (kalau perempuannya tentunya “mbak”) , tujuannya supaya akrab antara mahasiswa dengan dosen. Agak risinya juga, mengingat banyak dosen yang sudah sangat senior, seperti almarhum Dr. Iman Soengkowo, dulu kalau ngajar, kita mau tanya manggilnya cuma: “mas mas..”. Kebiasaan ini berlanjut setelah kerja, di kantor manggil senior yang dari TM juga dengan sebutan Mas, buat yang dari non TM kedengeran kurang ajar juga, masak ada fresh graduate manggil VP cuma “mas mas” he he..

Pak eh.. .Mas TRJ kirim bahan presentasi beliau waktu forum ikatan ahli teknik perminyakan indonesia (IATMI) 2007 kemaren, seperti biasa saya sangat seneng kalau terima makalah makalah dari seminar di tanah air, jadi temen2 tolong kirimlah soft copy bahan bahan seminar, conference atau apalah kalau kebenaran menghadiri seminar dimana saja he he.

Sebenarnya bahan presentasi ini pernah jadi diskusi panjang antara saya dengan beliau di milis, karena beliau cs ini pendukung model PSC baru dengan pembagian berdasarkan Gross Revenue, sementara saya sendiri termasuk yang kontra. Diskusi panjang lebar ini pernah saya posting sebelumnya.

Adanya usulan Mas TRJ ini dilatar belakangi oleh susahnya urusan manajemen “cost recovery”, dua poin yang jadi latar belakangnya, yaitu:

1. Pengawasan & urusan adminitrasi rumit, mahal dan menyita waktu, tetap berpotensi untuk terjadinya penyinpangan

2. Imbalan untuk effisiensi tidak seimbang (kecil)

Berikut saya tampilkan slide usulan beliau:



Dengan adanya metoda pembagian berdasarkan Gross Revenue ini, maka pemerintah tidak perlu repot repot mengurusi cost recovery, pokoknya terima bersih setiap tahun sebesar (1-X)%. Pendukung model ini beranggapan bahwa dengan adanya pembagian berdasarkan GR ini, maka kontraktor akan berusaha effisien, karena berapapun mereka melakukan effisensi, semuanya akan masuk ke Kontraktor (kalau inget teori Saving Index yang pernah saya posting, maka SI untuk model ini = 1, artinya kalau ada cost saving, $1, maka $1 tersebut semuanya menjadi milik Kontraktor).

Kenapa saya kontra model ini?

Pertama, model seperti ini sangat sensitif terhadap harga minyak, tanpa perlu repot repot melakukan efisiensi, rasio cost recovery thd gross revenue akan turun sendirinya dengan kenaikan harga minyak. Saya plot data dari Bulletin BP Migas.


Kedua, semakin turun percentase cost recovery thd gross revenue karena naiknya harga minyak, maka semakin turun pula ”kue” pemerintah atau GT (ingat GT ini adalah rasio dari profit, artinya semakin meningkat profit, semakin turun GT, wajar saja karena semua ”penurunan” cost masuk ke Kontraktor), padahal kenaikan profit ini akibat kenaikan harga minyak, bukan akibat efisiensi kontraktor!. Supaya jelas lihat plot dibawah.

Gambar diatas adalah simulasi perbandingan antara PSC standard dengan seandainya mau digunakan metoda pembagian berdasarkan GR, sebagai ilustrasi, dibuat pembagian berdasarkan GR sebesar 70% - 30%, atau 60 – 40%. Dapat kita lihat bahwa untuk model berdasarkan pembagian GR, semakin kecil cost thd GR (baca: semakin profit), maka GT malah semakin turun, apabila cost thd GR antara 10- 20%, model ini malah lebih jelek (bagi pemerintah) dibandingkan PSC standard.

Ketiga, buat Kontraktor pun belum tentu model ini menarik, khususnya apabila kita menawarkan blok baru, apa Kontraktor berminat dengan pembagian berdasarkan GR ini? Kalau untuk yang sudah tahap pengembangan atau yang sudah extension, pokoknya ”existing blocks” lah, keliatannya kontraktor oke karena mereka sudah tahu benar cost structure-nya (tentu lihat lihat dulu berapa ”X” nya).

Apakah saya anti model seperti ini?, tentu tidak! dalam hidup ini nggak ada yang perfect, saya cuma ingin memberikan gambaran bahwa kita harus hati hati, karena saya percaya, kita semua (saya, Mas TRJ dan rekan2 lain) berusaha memikirkan model baru yang lebih baik buat negara dan cukup menarik bagi investor, jangan sampai malah yang terjadi kita tidak sadar membuat model yang lebih buruk.

Apakah model pembagian berdasarkan GR bisa di implementasikan? Kalau memang ingin dicoba, saya hanya menyarankan supaya dimodifikasi sedemikian rupa.

Bagaimana caranya? Pembagian GR tersebut jangan dibuat fixed, tetapi sliding scale terhadap harga minyak.

Misalnya:

70 : 30 untuk harga minyak dibawah 40
75 : 25 untuk harga minyak 40 s/d 60
80 : 20 untuk harga minyak diatas 60

Tentu angka angka diatas hanya sekedar ilustrasi.

Kalau mau sedikit lebih akurat, dibuat suatu faktor misalnya F = cost / gross revenue, selanjutnya dibuat sliding scale berdasarkan F tersebut seperti diatas, berapa besar X dan F tentu bisa dihitung hitung dulu, berapa sich idealnya.

Demikian deh, sekali lagi saya terima kasih sama Mas TRJ, beliau ini “sparing partner” saya di milis.

Thursday, August 02, 2007

Lagi2 Cost Recovery!

Sebenarnya males ngebahas cost recovery, udah terlalu sering, kemaren dapet email dari kolega, dia bilang: “masalah cost recovery, rame lagi tuh..”, weleh .. never ending story..

Kadang kadang kalau baca statement para pengamat, agak aneh juga, padahal beliau beliau itu paham benar bisnis migas, misalnya ada yang bilang: “kalau cost recovery naik, harusnya dibarengi dengan kenaikan produksi...”. Sebenarnya kalau yang ngomong orang awam, dapat dimengertilah. Tapi kalau pengamat migas, seharusnya tidak sepotong2 gitu melihatnya, emang kalau biaya naik karena investasi sekarang, terus produksi langsung naik?.

Padahal mereka juga tahu persis, kenaikan biaya upstream ini terjadi dimana mana, seberapa siginifikan kenaikannya?, saya lampirkan plot “upstream capital cost index” dari kajian CERA.


Sebagai ilustrasi: biaya 3D seismic naik dua kali lipat untuk 2 tahun terakhir, begitu juga biaya ngebor, biaya tenaga kerja juga naik, dimana mana sekarang terjadi kelangkaan tenaga ahli perminyakan, belum lagi yang standard kaya harga baja, dll. Jadi buntut dari kenaikan harga minyak ini (seperti biasa) diikutin kenaikan biaya biaya untuk kegiatan hulu, itulah hukum pasar, supply vs demand.

Cost recovery naik dan produksi turun dibanding tahun lalu apakah itu berarti jelek?

Kita bahas satu per satu.

Pertama, kalau harga minyak nggak naik, itu jelas lebih jelek, tapi kalau harga minyak naik, bukankah penerimaan negara juga meningkat, data menunjukkan kalau penerimaan negara lebih baik dari periode sebelumnya (rata rata harga minyak RI tahun 2005 sekitar 53 USD per barrel, tahun 2006 sekitar USD 64 per barrel). Bukankah kenaikan penerimaan negara lebih penting?, kurang fair kalau cuma melototin kenaikan cost recovery (karena dimana mana di belahan dunia ini, biaya memang naik).

Kedua, kolega yang berkecimpung di migas semua tahu, bahwa ada “time lag” antara investasi dengan produksi, kalau keluar duit sekarang, manfaatnya baru dirasakan beberapa tahun lagi, jadi nggak bisa dilihat sepintas gitu aja, wah tahun ini cost naik, produksi harus naik.. ya nggak gitu lah!.

Ketiga, masalah lapangan di Indonesia yang sebagian besar udah tua, (sekali lagi) kolega yang berkecimpung di migas juga tahu kalau secara alamiah lapangan tersebut produksinya akan turun, yang bisa dilakukan hanya mempertahankan supaya tingkat penurunan produksinya tidak terlalu besar, itulah kerjaan teman teman GGE di perusahaan migas, gimana supaya produksi tidak anjlok. Perlu pekerjaan optimisasi sumur sumur tua tersebut yang (tentunya) memerlukan biaya, itupun (biasanya)hanya untuk "membantu" supaya tingkat produksinya nggak turun drastis, kalau nggak ada optimisasi, memang nggak diperlukan biaya, konsekuensinya: produksi sumur kalau di plot jadi "terjun bebas", malah lebih parah lagi situasinya!

Namanya lapangan tua, sama aja kaya ngurusin mobil tua, biaya perawatan malah naik, ini buah simalakama, dicuekin efeknya bisa gawat karena urusannya dengan safety & lingkungan, kalau diganti semua, nggak ekonomis dan lagi2 menaikkan cost recovery. Jadi harus bener bener "fit for purpose technology" yang di adopsi, cost effektif tanpa mengorbankan safety & environment. Gampang diomongin, not so easy di implementasi.

Mau produksi naik?, ya nggak ada cara lain selain: eksplorasi, mempercepat pengembangan lapangan yang sudah ditemukan, penggunaan aplikasi teknologi untuk peningkatan produksi termasuk EOR, memproduksikan lapangan lapangan kecil atau yang nganggur (idle fields), semua itu perlu investasi saat ini juga, manfaatnya ya nanti dong sabar.

Keempat, sebagaimana diketahui saat ini banyak sekali GGE kita eksodus ke LN, karena tawaran income yang lebih baik, nggak heran kalau banyak KKS sekarang kebingungan mempertahankan GGE mereka. Gimana mempertahankan mereka? Tentu salah satu nya dengan menaikkan kompensasi, ujung2 nya ya cost recovery akan naik juga.. begitulah siklusnya, mau produksi “terjun bebas” tapi cost recovery tidak naik, atau mau produksi di maintain tapi cost recovery sedikit naik?

Kelima, ada pemikiran untuk menghilangkan cost recovery dengan mengganti menjadi model kontrak yang nggak ada cost recovery (royalty). Saya termasuk yang kurang setuju dengan ide ini karena tidak menyelesaikan masalah, apa dengan mengganti model kontrak, penerimaan negara menjadi lebih baik?? I doubt it, sudah banyak dibahas advantages dan disavantages pada posting saya sebelumnya…

.....

Bahwa ada ide untuk memperjelas cost cost apa saja yang recoverable, saya kira itu hal yang positif, sebenarnya pepatah: “mencegah lebih baik dari mengobati”, itu yang harus dilakukan untuk urusan cost recovery ini. Maksudnya, semua proyek proyek itu harus dimatangkan dulu perlu atau tidaknya, harus diakui (khususnya pada masa lalu) banyak juga terjadi proyek proyek yang sebenarnya tidak begitu diperlukan (unnecessary projects), ini yang harus diminimalkan. Untuk menyatakan bahwa ini perlu atau tidak perlu, Anda harus cukup pintar dalam arti memahami lika liku operasional, teknis dan bisnis migas, tidak cukup hanya dengan semangat nasionalisme. Anda kalau mau menangkap “penjahat”, paling tidak ilmunya sama atau diatas penjahat tersebut, apalagi “penjahat” nya canggih semua, kalau ilmunya dibawah, ya ketipu aja Anda nggak merasa.. makanya belajar, biar nggak ketipu he he!! Udah ah bosen ngomongin cost recovery!

Thursday, July 19, 2007

Harga BBM di Negara Maju

Iseng iseng bandingin harga BBM di negara OECD. Datanya dari buku IEA yang terbit tiap kuartal: IEA Statistics, Energy Prices & Taxes, Q1, 2007. Supaya gampang dibaca satuannya saya ubah jadi Rupiah per liter (asumsi kurs: 1 USD = Rp 9,000). Ini dia harga BBM di negara negara tersebut


Ternyata mahal ya BBM disana, khususnya di negara Eropa Barat, di Turki malah termasuk yang termahal. Sementara di USA dan Meksiko relatif murah. Saya kira kita sudah tahu bahwa penyebab tingginya harga BBM tersebut apalagi kalau bukan pajak atawa tax. Tax ini bentuknya bisa macem macem, mulai dari: VAT, excise tax sampai special tax seperti environmental tax, etc.

Sekarang kita breakdown komponen tax dari total harga diatas, hasilnya dibawah ini:


Dapat kita lihat bahwa pajaknya bervariasi: USA, Meksiko, Canada dan New Zealand (untuk Diesel), komponen Tax nya relatif kecil, sementara untuk negara Eropa, Komponen tax nya rata rata 60% dari harga yang harus dibayar konsumen.

Kalau kita rata rata, untuk harga diluar komponen tax, jatuhnya sekitar Rp. 5,000 - Rp. 5,500 per liter (ini data untuk Q1, 2007).

Wednesday, July 18, 2007

Pioneer Service Contract

Kalau kita bicara asal muasal PSC, hampir semua buku referensi menyebutkan Indonesia, walaupun ada beberapa text yang menyebut konsep ini (berasal) atau juga dikenal di Bolivia maupun Venezuela. Namun untuk level implementasi, tak pelak lagi untuk konsep PSC, Indonesia-lah pioneer-nya.

Bagaimana dengan Service Contract?, beberapa text menyebut praktek pertamanya dikenal di Argentina yang populer disebut “Frondizi Contracts” (ini mengacu nama Presiden Argentina yang memimpin saat itu, Arturo Frondizi, 1958 – 1962). Ada 3 jenis kontrak, yaitu: drilling, development dan exploration & development.

Untuk model Drilling Contract, pada dasarnya Kontraktor diminta mengebor sejumlah sumur di area tertentu. Pembayaran (payment) ke kontraktor berdasarkan jumlah tertentu per meter kedalam sumur dan per jam setiap sumur yang telah diselesaikan (per hour spent on competion the wells). Setelah komplesi sumur selesai, tanggung jawab Kontraktor berakhir, selanjutnya perusaahan nasionalnya (YPF) yang mengambil alih untuk tahap produksi. Kalau untuk kondisi sekarang, model ini kaya hubungan service company dengan perusahaan migas.

Untuk Development Contract, Kontraktor mengerjakan lapangan YPF yang diketahui sudah ada minyaknya. Kontraktor akan menerima fee sebesar sekian $ per volume yang di produksikan. Sedangkan untuk Exploration /Development Contract, Kontraktor melakukan eksplorasi di wilayah yang baru (resiko eksplorasi ditanggung Kontraktor). Pembayaran tergantung bagaimana komersialitas lapangan yang ditemukan, pembayaran bisa dilakukan in kind (crude) tapi pada kebanyakan kontrak, pembayaran ke kontraktor dalam bentuk kas.

Inilah cikal bakal model service contracts, dari perspektif peningkatan produksi, dapat dikatakan sukses karena terjadi peningkatan produksi yang signifikan: dari 97,000 BPD tahun 1958 menjadi 266,000 BPD pada tahun 1962. Impor crude juga turun dari 130,000 bpd menjadi 20,600 BPD. Namun demikian, secara politis kontrak ini kurang populer, ini juga salah satu faktor penting yang membuat Frondizi harus lengser melalui kudeta militer tahun 1962
.
---------------
Referensi:
Raymond F. Mikesell, "Petroleum Company Operations & Agreements in Developing Countries", 1984. Chapter 9: Service Contracts

Wednesday, June 20, 2007

Investment Credit - Insentif?

Dalam PSC Indonesia, ada suatu jenis insentif yang dikenal dengan nama Investment Credit (kita singkat IC), bunyinya di kontrak seperti ini:

Contractor may recover an investment credit amounting to 17% of the capital investment costs directly required for developing Crude Oil production facilities of each new field out of deduction from gross production before recovering Operating Costs.. bla bla bla …dst-nya.. "

Investment Credit (IC) ini dikenakan pajak (taxable), masalah yang sering timbul dengan adanya insentif IC ini adalah bahwa IC sesuai hirarki dapat diambil terlebih dahulu sebelum “Operating Cost” (“Operating Cost disini adalah semua komponen biaya, depreasiasi, dll yang masuk kategori untuk di cost recovery). Pada saat “Operating Cost” (pake huruf besar untuk membedakan dengan production cost atau operating expense) relatif kecil terhadap Gross Revenue, maka: “No Problemo..!”, artinya mekanisme insentif IC ini berjalan sebagaimana mestinya. Lihat gambar dibawah biar jelas:


Gambar sebelah kiri, kondisi bila tidak ada insentif IC, sedangkan gambar sebelah kanan ada insentif IC (besarnya IC disini hanya asumsi untuk tujuan ilustrasi, IC tepatnya 17% capital investment cost). Jelas terlihat bahwa Share of Gross Revenue Kontraktor meningkat dari 57.5 menjadi 60.

Masalah timbul bagi Kontraktor pada saat awal produksi dimana “Operating Cost” sama atau lebih besar dari Gross Revenue. Akibatnya, adanya insentif IC malah menjadi semacam “Cost Recovery Limit” bagi Kontraktor. Kenapa? karena seperti disebut diatas, IC ini akan dikenakan pajak. Lihat ilustrasi dibawah biar jelas.

Diasumsikan Operating Cost = 100% of Gross Revenue, adanya IC membuat recoverable cost Kontraktor jadi turun, kalau tanpa insentif IC, Kontraktor dapat me-recover cost sampai 85%, maka dengan adanya IC, pada tahun tersebut, Kontraktor hanya dapat merecover cost-nya sampai 73% saja. Akibatnya, Share of Gross Revenue Kontraktor malah turun dari 87.2 menjadi 82. Dengan demikian fungsi IC sebagai insentif tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Untuk kasus kasus tetentu seperti Deepwater, Secondary Recovery dan lain lain, dimana besarnya insentif IC ini lebih besar persentasenya terhadap Capital Investment Cost, maka efek dis-insentif tersebut akan lebih terasa lagi…

Tapi yang namanya Kontraktor khan selalu “cerdik”, karena tahu persis IC akan bekerja kalau dalam "kondisi normal" (maksudnya setelah persentase Cost thd Gross Revenue turun), maka mereka (yang cerdik tadi, karena ada juga yang kurang cerdik he he...), biasanya minta penundaan perlakuan IC tersebut….. Pada saat awal insentif IC minta di ”Off” khan, baru minta di “On” khan kalau kondisi sudah normal. Namanya orang bisnis mana ada yang mau rugi… Nggak bisa disalahkan juga, itu namanya pintar memanfaatkan kelemahan sistem.. Selanjutnya terserah yang berwenang, boleh atau enggak, namanya usul sich boleh boleh aja, "gitu aja kok repot" kata Gus Pur-nya Republik Mimpi.. ("kok tahu Gus Pur mas?", lumayan dik ada hiburan berkat YouTube.com..!).

Gitu ceritanya untuk yang belum paham, jadi nggak usah bingung mengenai mekanisme “insentif dan dis-insentif” dari Investment Credit ini, paling nggak kalau ada pakar ngomong, ada bayanganlah binatang apa yang lagi dibahas … salam!

Tuesday, June 19, 2007

Royalty (10%) vs FTP (15%)

Mas Budi teman saya tanya: “katanya untuk fiscal terms RI yang baru, FTP-nya berubah (turun dari 15% jadi 10%) dan tidak dibagi dengan Kontraktor. Ada teman yang bilang ini lebih baik buat Kontraktor, sementara teman lain bilang sebaliknya. Menurut mas BL, ini lebih baik buat government atau buat kontraktor?, wassalam…..”
----------------

Mas Bud, piye kabare?, saya juga dengar katanya demikian, kalau katakanlah FTP jadi 10% terus tidak dibagi (dengan Kontraktor), lha itu khan namanya Royalty, kenapa nggak pake nama Royalty aja sich?, wong dimana mana disebutnya Royalty, mungkin kita masih alergi dengan istilah Royalty. Selama ini khan istilah FTP (sepanjang yang saya tahu yang pakai hanya RI), diotaknya pengamat (FTP itu) dibagi dengan Kontraktor, ya kalau sudah nggak dibagi harus clear bener itu, “ini FTP yang nggak dibagi lho.. !”, Btw, apalah artinya sebuah nama?, tapi nanti ada yang protes, "nama penting lho mas, masak semua orang dipanggil, broer.. broer....".

Anyway, sekarang kita diskusi aja mana yang lebih baik, cuma saya mohon maaf supaya nggak bingung, saya akan pakai istilah Royalty 10% untuk "FTP 10% yang tidak dibagi" itu. Seperti biasa contoh soal akan membuat sesuatu menjadi lebih sederhana. Lihat gambar dibawah:

Gambar sebelah kiri FTP = 15%, sebelah kanan Royalty = 10%, kita anggap cost oil (cost recovery) sebesar 50% dari Gross Revenue, kalau kita bandingkan, maka bagian (share) government untuk yang model Royalty 10% lebih baik dibanding FTP 15% (44 dibanding 42.5).

Sekarang kita anggap cost oil-nya besar, yaitu 100% dari Gross Revenue, lihat gambat dibawah:

Apa yang terjadi, ternyata FTP 15% lebih baik dari Royalty 10% (12.8 banding 10). Karena perbandingan ini sensitif terhadap persentase cost terhadap Gross Revenue, sekarang kita plot aja biar lebih jelas, lihat gambar bawah:

Apabila persentase cost terhadap Gross Revenue > 87%, maka FTP 15% akan lebih baik buat Government, sebaliknya apabila persentase cost thd Gross Revenue kecil (<87%),>

Pada saat produksi awal, karena banyak investasi yang telah dikeluarkan, maka Gross Revenue pada tahun awal tersebut tidak cukup untuk membayar cost, dengan demikian pada awal produksi, FTP=15% lebih “menguntungkan” bagi Pemerintah. Sebaliknya setelah sebagian besar biaya biaya investasi telah di recovered, maka pada periode tersebut, persentase cost thd Gross Revenue akan menurun, dalam kondisi seperti ini, maka Royalty=10% akan lebih “menguntungkan” bagi Pemerintah.
Jadi, teman teman mas Budi tadi, kelihatannya keduanya benar, tergantung kondisi diatas!

Namun demikian, kita harus catat bahwa apabila kita melihat "full cycle" (dimana cost thd gross revenue hampir pasti dibawah 87%), disamping itu dari perhitungan GT, model royalty 10% akan memberikan GT sebesar 87% - 88%, sementara model FTP 15%, hanya sebesar 85%. Maka model Royalty 10% secara umum tentunya lebih baik bagi Pemerintah.

Monday, June 18, 2007

Tanya PSC vs R/T

Pertanyaan dari mas Christ di tagboard: "Mas sebenarnya bagaimana perbandingan signifikan Goverment Take antara model kontrak PSC dan Tax Royalty. kira2 anatara kedua model tersebut mana yang paling ideal untuk Host Contry. bisa gak mas saya minta data-data penerapan model tax raoyalti yang up date dari beberapa negara yang menerapkan model tersebut"..
---------------

Saya upload list negara negara yang menganut masing model model tersebut, pembagian ini nggak saklek, maksudnya ini yang utamanya. Bisa saja satu negara punya lebih dari satu macam model, atau malah tersedia ketiga model tersebut (PSC, R/T dan Service Contract). Kaya di RI, khan mayoritas PSC, tapi model TAC Pertamina itu khan service contract juga sebenarnya.

Bagaimana perbandingan signifikan Government Take antara model kontrak PSC dan Tax Royalty?

Secara umum PSC memberikan GT lebih baik dari R/T, tapi ini tidak berlaku umum, kembali lagi tergantung prospectivity (kemungkinan ketemu minyak) negara tersebut, bisa saja negara yang prospek tapi pake R/T (kaya Norway) lebih besar GT-nya dari negara yang pake PSC tapi kurang prospek (mis:Albania, Polandia, etc).

Kalau kita lihat model R/T, kebanyakan dipakainya di Eropa (yang relatif kurang prospek, kecuali UK dan Norway), kalau di Middle East, R/T-nya itu sisa konsesi zaman baheula yang masih berlangsung hingga saat ini. Kalau untuk model kontrak baru di negara negara Middle East, kebanyakan mereka pilih PSC atau SC.

Beda utamanya PSC dengan R/T, kalau untuk R/T host country nggak dapet bagian dari profit oil, cuma terima royalty sama tax doang.

Contoh penetapan royalty tax yang berhasil tuh di Norway, ada juga negara yang berubah dari PSC ke R/T kaya Kolombia, maksudnya biar investor lebih tertarik masuk. Mungkin karena saingannya (negara tetangga) lebih menarik dari segi prospectivity
.

Saturday, June 09, 2007

Mark-up Cost Recovery?

Ada yang email, tanya: Mas, saya udah baca blog nya khususnya mengenai cost recovery, kata mas benny, kalau ada mark-up, yang rugi tidak hanya Negara tapi juga Kontraktor, terus katanya yang untung itu oknum.. Terus terang saya kurang paham, bisa lebih diperjelas dengan contoh yang ada angka angka biar lebih clear, matur nuwun mas..
------------------
Kayanya banyak yang tanya mengenai cost recovery ini, jadi gini, kalau cost recovery naik, jangan selalu di konotasikan sebagai mark-up. Kalau harga minyak naik, terus harga harga komoditi penunjang migas dan jasa penunjang ikutan meningkat biayanya - ya tentu cost recovery akan meningkat.. Supaya fair kita jangan semata mata melihat nilai nominalnya, karena pada saat yang sama revenue juga naik, makanya saya lebih senang melihat cost recovery itu sebagai persentase dari Gross revenue, karena itu udah mengakomodasi kenaikan harga minyak dan juga kenaikan biaya upstream yang selalu ikut ikutan kalau harga minyak naik…

Kembali ke pertanyaan si Mas ini, mungkin yang dimaksud itu adalah investasi atau kegiatan yang nggak penting yang dipaksa diada-adain sehingga cost jadi naik, ya boleh boleh aja disebut mark-up.. Tapi ini khan kerjaan oknum, dimana mana pasti ada oknum lah mas (spt saya pernah posting sebelumnya), mau di Contractor, Service Company, Host country.. Mereka ini yang diuntungkan kalau terjadi mark-up, istilah kerennya “goldplating” alias investasi yang nggak perlu.., oke deh kita jelasin pake angka angka , biar rodo jelas..

Lihat gambar dibawah (ada oknumnya he he), Ceritanya gini, biar gampang, anggap aja gambar disebelah kiri sebelum ada “goldplating”, sebelah kanan, ada goldplating sebesar $1, (cost naik dari $39 jadi $40).

Nah siapa yang untung kalau cost naik? Kita lihat negara (host country) dulu, jelaslah tekor, turun dari sebelumnya $51.85 jadi $51 (turun $0.85). Contractor bagaimana? profit oil Contractor turun dari $12.32 jadi $12.06, otomatis tax juga turun dari $7.19 ke $7.07 (total after tax profit oil Contractor turun $0.15 – kalau nggak pas $0.15 itu karena ada faktor pembulatan).

Jadi dari kenaikan biaya $1 itu, Contractor (maksudnya yang punya company) rugi dan yang lebih rugi lagi (tentunya) Negara. Yang untung siapa? Ya itu tadi Oknum.. $1 goldplating atau mark-up itu larinya ke oknum Contractor, tentu saja bisa bekerjasama dengan oknum oknum lain… Jadi gitu, mudah2 an rodo jelas kalau pake angka gini.. sing penting jangan ikutan jadi oknum ya mas he he..

Thursday, June 07, 2007

Saving Index

Istilah saving index (SI) untuk petroleum fiscal diperkenalkan oleh Daniel Johnston, pada dasarnya konsep ini bertujuan untuk melihat apakah suatu fiscal terms itu memberikan insentif atau dorongan bagi Contractor untuk melakukan cost reduction. Ada manfaat nggak bagi Contractor untuk melakukan cost saving?.

Konsep SI ini simpel aja sebenarnya, caranya adalah dengan menguji seandainya terjadi cost reduction sebesar $1, maka berapa bagian dari pengurangan cost tersebut yang akan masuk menjadi bagian Contractor. Seperti kita ketahui, naiknya profit oil Contractor juga berakibat naiknya tax yang harus dibayar oleh Contractor tersebut.

Penjelasan dengan ilustrasi tentu akan lebih gampang, lihat gambar dibawah:

Misalnya, gambar diatas untuk suatu fiscal di negara antah berantah dengan terms sebagai berikut: Royalti = 10%, Profit oil split = 30: 70 (Contractor : Host Country), Tax = 35%

Sekarang kita buat asumsi biar sederhana, yaitu: Gross Revenue = $100, cost recovery = $40. Hasil perhitungan pembagian antara contractor dan host country (gambar sebelah kiri). Untuk menghitung SI, caranya adalah dengan mengasumsi terjadi penurunan biaya akibat cost saving sebesar $1, sehingga cost recovery turun menjadi $39 (gambar sebelah kanan).

SI adalah selisih profit oil split Contractor dan tax , yaitu: $0.2 atau 20 cents, artinya “net benefit” dengan turunnya cost sebesar $1, tersebut adalah 20 cents buat Contractor.

Ada yang tanya, jangan pake terms negara antah berantah, PSC standard kita Saving Index-nya berapa mas?, dengan cara yang sama kita peroleh sebagai berikut:

Jadi Saving Index untuk PSC standard kita sebesar 15 cents.

Ada juga contoh suatu fiscal terms yang mendorong supaya contractor melakukan cost saving, misalnya cost recovery dikasih limit sebesar 50% dari Gross Revenue, jadi misalnya cost-nya dibawah 50%, maka Contractor akan memperoleh split yang beda dengan profit oil split. Contohnya Proft oil split (30:70), tetapi excess cost oil split sebesar (50:50). Lihat gambar dibawah biar jelas:

Apakah SI-nya lebih baik? So pasti, kita lihat SI nya = 33 cents.

Sekarang kita cek kondisi ekstrim, ada nggak sich fiscal terms yang Saving Index (SI) = $1 atau 100 cents. Ada!, fiscal terms yang pembagiannya berdasarkan Gross Revenue, artinya kalau saving $1, maka $1 itu semuanya masuk kantong Contractor. Sebaliknya ada nggak fiscal terms yang SI nya = 0 cents, alias nggak ada insentif buat Contractor untuk melakukan cost saving?. Secara teroritis ada: misalnya suatu fiscal sistem dimana “excess cost oil” semuanya masuk bagian host country, atau suatu sistem yang mempunyai insentif capital cost uplift yang terlalu besar, ini juga merangsang Contractor untuk tidak melakukan cost saving. Begitu juga sistem yang berdasarkan ROR yang kurang bagus disainnya, bisa juga merangsang Contractor untuk tidak melakukan cost saving. Kenapa? Karena biasanya kalau ROR naik ke batas tertentu, profit oil split nya berubah menjadi lebih baik buat Host Country, jadi males Contractornya cost saving.. Gitu aja deh mengenai SI, udah kepanjangan ngecapnya nih...

Tuesday, June 05, 2007

Refinery Economics

Sebagai komoditi, minyak mentah (crude oil) berharga karena dapat diubah menjadi produk produk hasil kilang (refined products) yang bisa digunakan langsung oleh para konsumer termasuk kita kita ini. Harga suatu jenis minyak mentah pada dasarnya dipengaruhi oleh jenis atau komposisi produk hasil kilang yang akan diperoleh. Masing masing produk hasil kilang mempunyai pasar sendiri sendiri, sementara masing masing jenis crude menghasilkan bermacam macam jenis produk.

Supaya ada gambaran lebih jauh, kita sedikit masuk ke bagaimana prinsip kerja refinery. Pada dasarnya refinery ada 2 macem, pertama yang sederhana (simple refinery) kadang disebut juga “distillation”. Prosesnya sesuai namanya ya simpel aja, crude dipanaskan sampai 300 - 400 derajat Celcius, kemudian crude yang sudah dipanaskan tadi terpisah sesuai dengan “boiling point ranges”, mulai dari yang paling atas, produk dengan “boiling point” paling rendah (Gas, LPG) kemudian diikuti produk lain sesuai dengan kenaikan boiling point range-nya.

Jenis yang kedua adalah yang kompleks (complex refinery), pada dasarnya model komplek ini mempunyai “secondary process” ngelanjutin produk yang dihasilkan (upgrade) dari proses yang simple tadi, jadi ada “conversion unit”. Metodanya macem macem, ada hidrotreating, reforming, cracking (catalityc atau hydrocracking) dan yang paling canggih, yaitu: coking. Sementara ini yang penting tahu istilah aja, kalau mau detail proses kimianya, beli bukunya: handbook of petroleum refining processes (Robert Meyers).

Penggolongan simple dan kompleks dalam perjalanannya tidaklah eksak, distillation ditambah dengan secondary process, seperti reforming dan hydrotreating, sebagian menggolongkannya sebagai simple refinery juga. Simple refinery menghasilkan residu dalam jumlah besar, khususnya bila yang diproses itu jenis minyak berat (heavy crude). Sementara complex refinery, menghasilkan produk yang lebih ringan (light products) seperti gasoline dalam kuantitas yang lebih besar.

Supaya ada gambaran lebih jelas, bayangkan minyak mentah katakanlah jenis ringan, masuk ke refinery (simple dan complex), maka variasi produk hasil kilangnya kira kira seperti gambar dibawah. Jelas terlihat bahwa complex refinery akan menghasilkan light products yang lebih besar kuantitasnya.

Secara geographi, sebagian besar simple refinery berada di negara berkembang dan negara negara bekas uni soviet (FSU), hal ini karena permintaan terhadap light products relatif tidak besar dan residual fuel kebanyakan masih dapat dipakai untuk power generation. Sedangkan complext refinery kabanyakan berada di negara industri, sementara refinery yang paling kompleks alias canggih adanya di amrik sana. Hal ini tidak lain disebabkan permintaan light products (dalam hal ini gasoline) di amrik sana sangat tinggi dibanding negara lain. Pada saat ini beberapa negara berkembang khususnya negara penghasil minyak (Kuwait, Saudi Arabia, Venezuela), telah dan sedang melakukan investasi besar besaran untuk pembangunan complex refinery dalam rangka memberikan nilai tambah terhadap crude mereka

Mari sekarang kita diskusi aspek keekonomian kilang (refinery economics). Industri kilang tuh ribet, sebabnya antara lain: feedstock-nya macem macem, jenis prosesnya juga macem macem, output atau produknya sami mawon (maksudnya macem macem juga), kualitas produk demikian juga, dan (jangan dilupakan) sangat berorientasi ke pasar (market oriented). Salah satu aspek dalam refinery economics itu adalah istilah yang umum dipakai dan sangat dikenal, yaitu: Refining Margin (RM). RM ini mewakili monetary gain atau loss yang diakibatkan pilihan untuk memproses marginal atau incremental barrel dari minyak mentah yang dipilih oleh kilang tersebut untuk di proses (waduh jelek bahasa terjemahannya..), ini saya translate dari definisinya IEA. Aslinya gini: RM represent the monetary gain or loss associated with processing a marginal or incremental barrel of crude oil that a refiner might choose to process.

Maksudnya kira kira gini, misalnya untuk kilang di Singapore, RM untuk minyak mentah yang akan di proses beda beda, apakah itu minyak mentah: Minas, Tapis atau Dubai. Minas misalnya RM-nya lebih tinggi dibanding Tapis dan Dubai tersebut.

Bagaimana menghitung RM, lihat gambar berikut dulu:

Sebelum ngitung RM, kita hitung dulu apa yang disebut dengan Gross Product Worth (GPW), GPW ini tidak lain adalah rata rata tertimbang dari produk produk yang dihasilkan dari 1 barrel minyak mentah dikalikan dengan products spot price dari masing masing produk tersebut.

GPW = Yield (%) x Products Price Spot Market ($/bbl)

Netback = GPW – Refining Cost – Transportation Cost

Refining Margin = Netback – Crude Oil Price

RM merupakan indikator yang berguna bagi kilang untuk menaikkan atau menurunkan tingkat produksinya, atau dengan kata lain merupakan indikasi insentif bagi kilang untuk memproses lebih banyak crude (tertentu) menjadi produk, selain itu juga merupakan marketing tool bagi yang punya kilang dan pemilik crude.

Demikian dulu deh..!

Monday, June 04, 2007

PSC Gas?

Dari Mas Ayat: mas gimana klo topik bulan ini tentang gas bumi?? apa saja perbedaan PSC oil dengan PSC gas?? bagainama penghitungan PSC gas (apa saja ketentuannya, dll)??
--------
PSC gas sama oil nggak banyak bedanya: paling dari nature business-nya yang agak laen, untuk mengembangkan gas, tentu harus punya market dulu (bisa dalam bentuk Head of Agreement – HOA atau Gas Sales Agreement - GSA). Dari agreement tersebut kita tahu formula harga gas dan berikut volumenya, selanjutnya dari informasi ini kita baru bisa masuk ke perhitungan project economics (tentu setelah dapet info biaya biaya dari temen temen subsurface dan surface facilities).

Bagaimana metoda gas delivery? tergantung cadangan gas-nya (gede atau kecil) dan market-nya (jauh atau deket), mana yang lebih ekonomis: langsung alirkan lewat pipa (pipeline) atau dicairkan dulu (dalam bentuk LNG) kemudian dikirim lewat LNG carrier. Untuk pemilihan LNG atau pipeline, banyak paper yang memberikan rule of thumb, berupa plot (volume vs distance), mana yang lebih ekonomis.. rule of thumb ini tentu untuk general case saja.

Ini tentu teori gampangnya, kenyataannya tidak sesederhana rule of thumb itu, apalagi bila menyangkut cadangan atau volume yang gede dan distance rada "tanggung" (jauh banget enggak, dibilang deket udah jauh.. walah apaan nih?? he he..). Jangan heran nanti kalau Anda ketemu studi dari 2 konsultan dengan hasil yang bertolak belakang, yang satu bilang: LNG lebih ekonomis, studi dari konsultan lain bilang pake pipa lebih ekonomis... bingung khan?? maklumlah ini menyangkut duit gede soale.. jadi banyak pihak yang punya kepentingan... termasuk suppliers dan segala macem!

Gas biasanya ada kondensat, ini tentu tergantung petroleum properties dan kondisi formasi lapangan masing masing, dari sini bisa diperkirakan berapa volume kondensat. Hitungan keekonomian, tergantung kontraknya, umumnya 70:30 untuk gas, sementara liquid (kondensat) ikut aturan pembagian oil (85:15).

Cadangan? Ini penting, nggak boleh jor joran, biasanya "estimasi cadangan" lebih konservatif dibanding oil, karena ini menyangkut komitmen ke buyer, bisa bisa baru beberapa tahun udah short fall!.. Di BPMigas, (kalau nggak salah) ada aturan berapa discount faktor buat cadangannya (baik untuk pipeline maupun LNG).

Apalagi ya? sudah agak lupa euy, sudah lama nggak ngurusin rencana pengembangan lapangan (POD) he he.. Cmiiw, buat teman2 di KKS gas mohon tambahkan kalau ada yang kelewat.