Tuesday, August 01, 2006

Disain fiscal terms

Sebelum nulis topik ini, saya e-mail dulu Daniel Johnston - saya minta izin untuk menampilkan cartoon yang dibikin kembarannya David, saya kirim e-mail paginya, siangnya dia bales:

Dear Benny,
Nice to hear from you.
You have our permission to use the cartoon.
We look forward to seeing you again one of these days.
David is in Libya at the moment.

Sincerely,
Daniel (and David)

Sekarang baru lega naruh karya orang, kalau udah ada izin, walaupun sekedar cartoon, ini urusannya hak cipta, harus kita hargai karya orang lain.

Setiap kali berhadapan dengan urusan disain fiscal terms, saya selalu teringat cartoon ini (saya scan dari text book nya Daniel Johnston – “International Petroleum Fiscal System and PSC”- 1994), ngomong ngomong soal buku ini, isinya bagus banget, best seller, terutama untuk yang mau mulai mengenal petroleum fiscal, ya bolehlah sebagai acuan, walapun judulnya rada “aneh” juga, International Petroleum Fiscal System & PSC, lha kok, agak nggak nyambung gitu, ada kesan maksain.. Daniel sendiri juga mengakui hal yang agak aneh ini, cuma dia terus terang bilang bahwa maunya dia di-judul harus ada kata PSC-nya, mengingat tahun tahun itu (90-an), istilah PSC lagi ngetop ngetopnya, jadi ada strategi pemasaran juga.

Kembali ke cartoon, ketika kita men-disain fiscal terms, ibaratnya kita berada di “control room”, yang terdiri dari macam macam panel, kita harus melakukan “tune–in”, kira kira yang mana yang paling pas, tujuan akhir, dalam hal ini Government Take (GT). Mana kira kira yang paling pas supaya dapat GT sekian persen, apa kita harus mengurangi sedikit royalty, apa perlu menaikkan corporate income tax, gimana dengan profit oil split, sudah oke?, apa perlu disetel dikit?, signature bonus gimana?, tambah atau nggak usah pake aja? kalau cost recovery limit gimana? apa masih perlu? khan udah ada royalty, atau tetap mau dikasih limit juga, trus, government participation, berapa persen ya kira kira? negara yang lain berapa ya? ya gitu deh, gampang gampang susah khan!, makanya orang di cartoon itu garut garut kepala, ceritanya itu orang dari kementerian perminyakan, orang ESDM lah kalo di kita.

Ketika kita memilih GT yang pas, nggak gampang juga, tentu harus dilihat-lihat dulu, kegedean nggak nih kalau besarnya segini, gimana dengan negara laen yang kira kira sebanding prospectivity –nya. Apa kita punya alasan kalau kita memang harus lebih tinggi?. Nah, orang orang di “control room” itu harus punya “feeling”, sama seperti pilot di cockpit, dia udah punya feeling, kira kira panelnya harus-nya level nya dimana, mesti jago dong? Ya perlu jam terbanglah, sama kaya pilot tadi, makin tinggi jam terbang tentu lain “feeling”nya, nggak mungkin fresh graduate disuruh disain fiscal terms, jadi asisten dulu dong, ikut sama senior senior kita yang sudah tinggi jam terbangnya. Diajarin supaya cepet pinter, pengalamannya dibagi bagi, khan prinsipnya: kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit, ya nggak ?

Padahal di negara kita pakarnya PSC banyak banget, sayang pada nggak nulis buku (ini yang saya tahu sich, syukur kalau sudah mulai ada yang nulis). Orang bingung mau belajarnya kemana, paling ikut kursus, mahal euy he he, harus nunggu dikirim sama kantor, itu pun kalau ada budget (kacian de lo). Ada bukunya mas Wid (Prof. Widjajono – dari Perminyakan ITB), cuma rada susah nyarinya Mas, kayanya belinya harus di Bandung, itupun belum tentu dapet. Ada juga bukunya Dr. TN Machmud (mantan boss-nya Arco Indonesia), English Version, ini dari disertasi Doktor beliau, bagus tuh buat referensi, cuma kalau beli sendiri lumayan mahal, sekian ratus US dollar, kalau saya mah pinjem perpustakaan kantor aja, nanti kalau ada duit lebih, pingin beli buat koleksi he he!

1 comment:

Anonymous said...

Salam Pak Benny,

Saya mau tanya kalo kita berada di "ruang kokpit"nya indonesia berarti kebijakan kontraknya bisa macem2 donk??
khan data tiap lapanganya beda2..
terus gimana caranya agar dapat asumsi yang bagus untuk mendesain kontrak migas yg ideal. thx